Pairings: NaruSakuSasu. Rating: T. Semi-Canon. Contains Death Character, Tragic/Romance.
Disclaimer: I don’t own Naruto. Naruto belong to Masashi Kishimoto.
Heart Chapter 6
Ancaman yang Tak Terduga
Happy Reading, Sahabat ^^
-
-
“Tsunade-sama, hasilnya sudah keluar.”
“Bagaimana?”
“Jantung Naruto cocok di transplan untuk Sasuke.”
“Begitu?”
“Ehm… Tsunade-sama, apa anda benar-benar akan melakukan operasi ini?”
“Tidak. Kau yang memimpin operasi ini, Shizune. Tim dokter sudah siap ‘kan?
“A—apa? Tsunade-sama,..mengapa aku yang—,”
“Kau yang memimpin jalannya operasi, Shizune. Titik.”
“Tsunade-sama…”
“Lebih cepat, lebih baik. Lagipula semuanya telah siap ‘kan, Shizune? Tak perlu menunggu Sakura pulang.”
“Ta—Tapi…bukankah lebih baik jika anda yang memimpin Tsunade-sama? Karena kemampuan saya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan anda.”
Tsunade terlihat berpikir sejenak, lalu berjalan perlahan meninggalkan Shizune. Lantas ia berbisik, tak mampu berbicara lantang. Seolah ada sesuatu yang menghalangi tenggorokannya untuk mengeluarkan suara. “Aku tak mampu melakukannya…” Lalu ia pun melangkahkan kakinya. Gelapnya koridor rumah sakit membuat kian gelap relung hatinya. Hujan pun tak pelak menambah suramnya hari nan pilu itu. Hari dimana semua akan berubah kelabu seperti awan nimbus yang sebentar lagi akan datang—yang niscaya tak henti-hentinya menumpahkan air hujan di dataran gersang. Dan Shizune hanya bisa menatap sedih master-nya. Enggan berargumen, karena ia rasa hal itu tak ‘kan berguna.
* * *
Sakura tercenung memandang sebuah buku yang ia genggam di tangannya.
“Mawar merah Konoha? Apakah dia seorang kunoichi?” Kemudian ia membuka halaman berikutnya. “I—ini siapa? Cantiknya...” Disana terpampang foto seorang kunoichi—berambut merah tergerai indah memanjang hingga betis—berpose menyamping sembari tersenyum simpul. Wanita itu memakai obi berwarna merah dengan hitai-ate desa Konoha di dahinya. Obi yang dipakainya memanjang hingga bagian paha, selebihnya ia memakai shirt hitam ketat hingga meraih atas paha. Dari bagian kaki, ia memakai sepatu bot yang panjangnya hingga ke lutut. Anting mawar merah berkilauan di telinganya. Dia terlihat gagah tapi sisi femininnya tetap ada.
“Dia pasti kekasih Hokage Keempat. Seleranya begitu tinggi.” Sakura tersenyum. Wanita ini mengingatkannya pada Tsunade, gurunya sendiri. “Sepertinya dia sangat menyukai bunga mawar,” gumam Sakura.
Sakura memperhatikan lagi foto itu. Di sekitar pinggangnya dililit kain dan terdapat katana di bagian kirinya. Dia pasti mahir menggunakan katana layaknya Sasuke. Lalu Sakura mengarahkan pandangannya pada tulisan yang tertera di bawah foto tersebut.
‘Kushina, Konoha no rosu akai’
“Kushina, Mawar merah Konoha. Julukan yang indah. Tapi aku tidak pernah mendengarnya. Dia pasti seorang kunoichi yang hebat sampai mendapatkan julukan indah seperti itu,” ujar Sakura.
Sakura lalu membuka kembali halaman berikutnya. Dia sebenarnya sedikit ragu—tidak patut untuk membaca buku seseorang yang dia tidak kenal. Apalagi buku ini sepertinya buku milik Hokage Keempat. Bisa jadi ia telah lancang, tetapi entah mengapa nalurinya mengatakan untuk menelusuri buku itu lebih dalam.
Sakura mematung, dia menemukan bunga mawar merah yang terselip di sana. Anehnya bunga mawar itu kelihatan segar dan tak menghitam, walau bentuknya sudah tidak keruan—lantaran sekian lamanya terselip di buku yang penuh debu itu.
“Hmm… Aneh. Kenapa dia tidak layu?.” Sakura menciumi bunga mawar itu. “Harumnya masih terasa, sepertinya jenis dari Rose Canina. Bukankah itu termasuk bunga langka di sini?” Sakura menciuminya sekali lagi, entah mengapa perasaannya menjadi tentram ketika harum bunga mawar menusuk-nusuk hidungnya. Mawar itu tidak berduri pula. Mungkin durinya telah dipangkas dari tangkainya.
Ia pun menuju ke halaman berikutnya. Barulah di sana Sakura menemukan deretan tulisan yang penuh dengan teka-teki. Ia tak mengerti apakah buku ini buku harian atau bukan. Karena kalaupun buku harian, tak ada tanggal dan hari yang tertera. Lantas Sakura membacanya perlahan agar tidak satupun kata terlewat dari pandangannya.
Manisku…
Kata orang kau seperti buah tomat
Ada juga yang bilang kau seperti cabai merah yang pedasnya minta ampun
Tapi bagiku kau adalah bunga mawar yang tumbuh di padang sabana.
Yang orang-orang beranggapan hanya ada ilalang di sana…
Kau wanita yang paling indah sejak dunia tercipta
Aku yakin itu, dan tak bisaku mengelaknya
Sakura tertawa geli, bahasa orang kasmaran memang terdengar sedikit mengerikan. Tutur kata yang elok dan semanis madu, tertulis cabai merah dan buah tomat di dalamnya. Tomat dan cabai merah kedua-duanya memiliki warna yang sama, lalu disama-samakan dengan bunga mawar. Lantas mengapa penjabarannya begitu jauh berbeda? Padahal mereka itu tak serupa dan tak pula sama.
Tapi Sakura mengerti. Beginilah orang yang sedang dimabuk kepayang oleh asmara. Bahasanya klise dan terkesan maksa.
Ya, barangkali isi hati Namikaze Minato yang tertera disini. Mungkin juga ada sesuatu hal yang membuatnya menulis seperti itu. Dan Kushina—Konoha no Rosu akai adalah kekasihnya, dan bisa jadi telah menjadi istrinya sekarang.
Kita akan menghadapi semua bersama-sama…
Itulah yang kau ucap berulang kali di telingaku.
Perang dunia shinobi ketiga dimulai.
Semuanya luluh lantak...
Warga sipil terluka, obat-obatan habis tak ada yang tersisa.
Tapi kamu… Kamu cintaku.
Aku tahu kau memiliki beribu-ribu kekuatan yang masih kau pendam.
Dengan Earendiru,
Kau tumbuhkan berjuta-juta mawar merah yang bisa menyembuhkan luka para warga sipil.
Meski kau tak tahu bagaimana cara meraciknya menjadi obat hehehe.
Ya, biarkan Tsunade-san yang melakukannya.’
Sakura tercenung. Dia tahu gurunya itu menjadi sangat terkenal karena penemuan obat mujarabnya pada saat perang dunia shinobi ketiga terjadi. Tapi untuk perihal mawar merah yang merupakan bahan utama obat mujarab itu, tak pernah singgah di telinga Sakura. Selama dia belajar ilmu medis pada Tsunade, tak pernah ia menceritakan pada Sakura perihal tentang mawar merah yang disebutkan di buku. Kalau memang pernah ada berjuta mawar di desa Konoha, mengapa dari dia kecil sampai sekarang Sakura tak pernah melihatnya? Kemanakah bunga ajaib itu sekarang? Dan yang lebih penting, kemanakah Kushina si Mawar merah?
Lantas muncullah seberkas sinar di pikirannya.
“Mu—mungkinkah mawar ini yang disebutkan di dalam buku?” Sakura memperhatikan bunga mawar itu dengan teliti. Matanya mulai berair—takjub dengan apa yang ia temukan. Ia kembali membaca paragraf berikutnya.
Lalu karena itu mereka menjuluki kau Konoha no rosu akai
Dulu mereka mengenalmu sebagai buah tomat atau cabai merah
Tapi mereka tak tahu kalau kau adalah orang yang sama.
Katamu, kau tak ingin. memberitahu mereka identitas kau yang sebenarnya.
Tapi hanya aku, Jiraiya-sensei, Tsunade-san, dan murid-muridku saja yang tahu tentang kau, Kushina.
Oh ya, tak lupa Mei Terumi yang sempat akan kunikahi dulu.
Namun kau mengacaukan pernikahanku dengannya.
Hahaha… Kau adalah wanita ternakal yang pernah aku temui, Kushina.
Tapi sungguh kasihku, aku sangat mencintaimu.
Sebelum aku tahu kau adalah seorang Yousei aku sudah mencintaimu.
Bukan karena kau adalah seorang makhluk perkasa melebihi manusia pada umumnya.
Karena belum pernah aku melihat rambut indah seperti yang kau miliki.
Kau yang keras kepala, kau yang cerewet bukan main.
Maafkan aku karena pernah meragukan cintamu, cinta kita.
Aku tak menyangka kau membatalkan perjalanan terakhirmu ke Barinoru.
Persinggahan terakhir klanmu, orang-orang terlupakan yang menepi ke Barat.
Mengikat jiwamu kepadaku menjadi tak abadi lagi seperti klanmu.
Pada akhirnya, aku berhasil mendapatkan satu mawar merah yang tersisa.
Kupikir aku tidak bisa bertemu lagi denganmu, jadi aku curi satu tangkai ketika banyak orang yang membutuhkannya.
Oleh karenanya kuharap dia bisa berguna nanti.
Mungkin untuk anak kita kelak kalau dia sakit
Hehehe entah mengapa aku sudah memikirkan memiliki anak, Kushina. Padahal menikah saja kita belum.
Atau juga untuk seorang shinobi kuat yang sedang diambang kematian.
Karena kita terlalu banyak kehilangan shinobi-shinobi muda dan tangguh.
Aku sangat terpukul kehilangan muridku Uchiha Obito, Kushina.
Dia mati muda, padahal aku rasa dia bisa menjadi shinobi yang hebat nantinya.
Karena dia adalah keturunan klan terhebat di desa kita tersayang ini.
Uchiha… Sakura terbelalak kaget. Tubuhnya gemetaran, pandangan matanya tak ia lepas sedetik pun dari kalimat terakhir paragraf yang baru saja dibacanya.
Mati muda… Dia langsung teringat pada satu sosok yang selalu ada di mimpi-mimpi malamnya. Dambaan hatinya, cinta matinya… Yang selama ini ia dan Naruto perjuangkan agar bisa kembali bersenda gurau bersama mereka. Dan kini ia telah kembali, namun dalam keadaan yang sama sekali tak Sakura harapkan terjadi. Apa harus secepat itu Sasuke meninggalkannya? Sakura tak menyangka perjuangan itu kini akan sia-sia jadinya.
Sakura memejamkan matanya. Kali ini ia tahan sebisa mungkin air matanya agar tidak jatuh. Ia menyeka air matanya yang kadung keluar. Ia kembali membaca halaman itu, lalu kalimat-kalimat ini menarik perhatiannya.
‘Oleh karenanya kuharap dia bisa berguna nanti.’
‘Atau juga untuk seorang shinobi kuat yang sedang diambang kematian.’
“Mu—Mungkinkah?” Sakura pun tersenyum lebar. Buku ini seperti mukjizat. Ia merasa memang telah ditakdirkan untuk menemukan buku tersebut.
Jikalau benar adanya bahwa mawar merah inilah yang menyembuhkan luka para shinobi kala perang dunia ninja ketiga, mungkin saja ia bisa menyembuhkan luka Naruto. Dan tak menutup kemungkinan pula bisa menyembuhkan Sasuke.
Sakura nyaris kegirangan. “Apakah aku bisa menyelamatkan mereka berdua?” tanyanya pada diri sendiri. Kemudian ia menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku pasti bisa! Aku sudah berjanji pada diriku sendiri sejak lama,” ucapnya lantang. Ya, semoga saja begitu. Karena rasa-rasanya meracik obat dari tumbuhan sudah sangat sering ia lakukan. Sakura berharap eksperimennya akan berhasil.
Kalau begitu artinya Sakura tidak apa-apa ‘kan mengambil bunga itu untuk ramuan obatnya? Karena obat itu untuk dua orang shinobi yang masih terbilang muda namun begitu hebat di kalangannya.
Sakura pun langsung kembali ke eksperimennya. Lantaran waktu berlalu sangat cepat dan enggan untuk berhenti sejenak. Tak ada yang lain yang ia pikirkan selain dua orang tim rekannya. Mereka yang sangat berarti bagi dirinya. Mereka berdua yang mengisi relung hatinya. Sakura tak mau kehilangan salah satu dari mereka. Dan semoga saja ia tidak dianggap pencuri oleh Tsunade karena tak sengaja mengambil arsip rahasia di rak bukunya.
Sakura tak lagi membaca buku itu. Hal tersebut terlupakan olehnya. Meskipun sebenarnya masih banyak misteri—yang belum terkuak—yang tersirat di sana.
* * *
Naruto memandang langit-langit di ruangannya. Wajah begitu lesu, masygul selimuti ke mana pun alam pikirannya pergi. Ia tak begitu yakin apakah hal yang dilakukannya ini benar atau salah. Akankah Sakura kembali tersenyum? Akankah rakyat Konoha menerima dengan mudah kembalinya Sasuke kelak? Dan yang lebih ia takutkan, akankah dunia berubah menjadi damai dan tentram? Semua itu masih menghantuinya hingga saat ini.
Tapi Naruto tetap yakin hanya inilah jalan yang tepat. Jalan kelam yang ia ambil padahal masih banyak hal yang ingin ia lakukan.
Ia mengatupkan matanya rapat-rapat. Kelopak mawar berterbangan kesana kemari, lautan lepas membentang hingga batas cakrawala. Burung camar menari mencari ikan segar di atasnya. Ombak bergulung—berlomba menuju pesisir yang terhubung dengan sungai kecil dibalik lembah yang berhalimun. Semua pemandangan itu masih terekam di otaknya.
Naruto berdo’a dalam hati. Semoga saja sang mawar merah adalah benar-benar seorang malaikat, sehingga dia bisa tinggal di tempat asri nan elok itu. Tempat yang tak memiliki nama. Atau memang dia bernama namun Naruto tak mengetahui namanya. Ya, cukup di sana. Cukup di sana ia tinggal—dia tidak mau lekas ke Nirwana.
“Hei, kyuubi,” sapa Naruto ke iblis yang tersegel di perutnya. Cukup lama ia tak berbincang-bincang dengan bijuu paling angkuh di antara semua bijuu itu.
“Grrrhhh… Nani, gaki? Mengganggu tidurku saja!” umpat kyuubi seraya membuka sebelah matanya.
Naruto tertawa kecil. “Huh, dasar iblis pemalas!”
“Damare! Kau yang menyebabkan aku jadi begini. Kalau aku baik-baik saja, sudah kucincang kau sejak lama! Lagipula harusnya kau berterima kasih padaku. Jika tak ada aku, kau pasti langsung tewas ketika Madara menyerangmu dengan amaterasu!”
“Jadi kau kehilangan kekuatanmu, kyuubi? Ternyata kau sangat lemah,” Naruto terkekeh-kekeh.
Kyuubi hanya mendengus kesal, malas menanggapi. Kekuatan amaterasu menggerogoti tubuhnya pula. Hal ini terjadi lantaran dia mencegah efek amaterasu agar tidak menjalar ke organ vital Naruto lainnya. Baru kali ini dia bersusah payah membantu Naruto agar tetap hidup. Tapi anak itu malah memilih mati. Sungguh terlalu.
Naruto diam sejenak, lalu kembali mengajak kyuubi berbicara. “Kyuubi…”
“Nani?”
“Kalau kau mati nanti, kau akan ke mana?” Tanya Naruto.
“Aku? Untuk apa kau tahu?”
“Dasar sombong. Aku hanya ingin bertanya!”
Kyuubi kembali meringkuk, hendak tidur. “Aku—aku hanya ingin kembali ke Tuanku saja. Aku merindukannya.”
“Eh? Tuanmu? Maksudmu Madara?”
“Jangan bercanda, gaki! Tuanku bukan sembarang orang. Dia paling istimewa di antara yang istimewa. Sampai mati pun aku tak sudi tunduk pada Uchiha tak tahu diuntung itu!”
“Bukankah Madara yang mengendalikanmu pada saat kau menyerang Konoha 16 tahun yang lalu? Kukira dia tuanmu. Aku tak mengerti.”
“Dia mengendalikanku dengan genjutsu terhebatnya. Sudah! Aku ingin tidur. Berhenti mengajakku berbicara!”
“Cih!” cibir Naruto. Namun tiba-tiba ia tertawa terpingkal. “Tak kusangka kau ini hewan peliharaan juga, kyuubi. Seperti burung perkutut.”
“Grrrrhhhhh…. Urushai!!!”
“Ano… Shitsureishimasu, Naruto-kun.”
Naruto segera mendongakkan kepalanya ke arah sumber suara. Ternyata itu Sai yang berdiri di tengah pintu ruangan yang terbuka. “Sai! Masuklah,” ujarnya sembari tersenyum.
Sai melangkah ke arahnya. Naruto memandang Sai dengan saksama. Entah penglihatannya yang salah apa bukan, bisa dilihat olehnnya sebongkah ekspresi dari air muka Sai yang selama ini sulit untuk dipersepsikan secara benar. Wajahnya begitu sendu, begitu yang Naruto lihat. Mungkin dia sudah tahu perihal keputusan bulat Naruto mendonorkan jantungnya untuk Sasuke.
“Jadi kau sudah tahu, Sai?”
Sai mengangguk pelan. “Ya, Shizune-san yang memberi tahu aku.”
“Yang lain?”
“Sepertinya kabar ini belum menyebar luas,” jawab Sai.
“Baguslah,” tukas Naruto acuh tak acuh. Dia memang tidak ingin perihal ini langsung menyebar dalam waktu 12 jam. Bisa-bisa ada yang mengganggu jalannya operasi nanti.
Naruto melihat ke arah jam dinding. Dia masih memiliki banyak waktu. Namun ada sesuatu hal yang ia ingin lakukan sebelum waktu itu tiba. “Sai, aku ingin meminta tolong padamu.”
“Apa?”
“Aku ingin ke Monumen Kepahlawanan Konoha sebentar. Kau mau mengantarkanku ke sana?”
Sai terlihat berpikir. Permintaan terakhir Naruto tidak sepatutnya ia tolak. “Baiklah,” Sai melangkahkan kakinya ke arah jendela. “Ninpou. Choujugiga,” dan seekor burung elang muncul dari jurus yang dikeluarkan olehnya. Ia memilih jalan udara karena menurutnya lebih baik ketimbang jalan darat, meskipun tempatnya tak terlalu jauh dari rumah sakit Konoha.
* * *
“Hmm… Segarnya!!!” Naruto memejamkan matanya lekat-lekat, menghirup udara yang sebenarnya kian dingin menyengat. Sai hanya membisu, sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa udara terlalu dingin untuk dinikmati. Tapi apa boleh buat, Naruto terlalu keras kepala untuk dinasihati.
Mereka dalam waktu singkat tiba di Monumen Kepahlawanan Konoha. Tak lupa Sai membawa kursi roda yang ia benarkan bentuknya. Naruto pun duduk di atasnya sembari memandangi pemandangan sekitar.
Lalu pandangannya tertuju pada pohon Sakura yang letaknya tak jauh dari sana. Bunganya berserakan di tanah karena terpaan angin yang mengganas. Ia hampir gundul tak berbunga. Layu seperti seorang gadis yang ia cinta sejak lama. Terlalu lama ia layu hingga tak menampakkan indah pesonanya. Terlalu lama ia sembunyikan senyuman manis di bibirnya.
“Naruto, pohon Sakura ini begitu rapuh dan layu. Mengapa kau begitu senang memandangnya?” Tanya Sai.
“Karena pohon Sakura ini mengingatkan aku akan dia,” jawab Naruto sembari tersenyum simpul.
Sai terperangah. Sakura. Haruno Sakura ‘kan yang dia maksud? Perasaan Naruto pada Sakura sudah tak asing baginya. Waktu itu Sai tak tahu apakah yang dikatakannya—sewaktu dulu pada Sakura—adalah hal yang tepat atau tidak. Ia berbuat seperti itu pada dasarnya untuk kebaikan Naruto. Janji seumur hidupnya pada Sakura yang membuatnya hidup dalam kutukan tiada akhir. Bagi Sai itu adalah beban yang sangat berat untuk Naruto pikul sendiri.
“Tapi aku tak pernah berharap dia membalas perasaanku,” lanjut Naruto.
Pada dasarnya kejujuran adalah hal rumit yang baik untuk dikatakan. Tapi kenyataan yang ada…terlalu menyakitkan untuk diterima.
Ada sebongkah perasaan bersalah yang Sai pendam selama ini. Kalau saja waktu itu ia tidak mengatakan perasaan Naruto yang sebenarnya pada Sakura, mungkin gadis itu tak akan berbohong pada Naruto. Karena hanya rasa sakit hati yang Naruto dapat. Dan kalau saja ia tidak menuruti Naruto untuk menjenguk Sasuke. Tentunya Naruto tidak akan pernah tahu Sasuke dalam keadaan sekarat. Dan dia tidak akan pernah tahu bahwa Sakura begitu sengsara ketika ia harus merelakan cinta pertamanya itu pergi untuk selamanya.
Dan pada akhirnya, Naruto tidak akan mendonorkan jantungnya untuk sahabat dan rival sejatinya itu. Tapi apa mau dikata, karena ia begitu keras kepala. Tak peduli apa kata orang nantinya. Baginya hidup adalah untuk melindungi orang-orang berharga. Lantaran tanpa hal itu dia serasa mati tanpa nama.
Entah mengapa Sai menjadi se-emosional ini. Sejak berteman dengan Naruto lambat laun ia menjadi mengerti bagaimana ekspresi-ekspresi yang sepatutnya dia keluarkan saat dia senang, sedih, jengkel, dan sebagainya. Artinya, Sai jadi mengerti ekspresi apa yang harus ia keluarkan di saat-saat seperti ini. Tapi ia malu untuk menunjukkannya, karena itu ia kemudian menjauh dari Naruto—duduk di bangku yang telah tersedia di sana.
Sai mengeluarkan alat lukisnya yang biasa ia bawa kemana pun ia pergi. Ia pandangi Naruto yang berada di bawah pohon Sakura—yang sedang mengulurkan tangan kanannya. Mengambil kelopak-kelopak bunga Sakura yang berguguran di tiup angin. Tak ada yang berhasil ia genggam, tapi Naruto tetap tersenyum riang.
Sai berniat mengabadikan pemandangan itu di kanvasnya. Lantas ia mulai menggerakkan kuasnya di atas kanvas. Meski pilu hatinya ia tetap menggambar dengan sepenuh hati.
“Dia memang layu dan rapuh, Sai. Tapi tak usah khawatir, sebentar lagi dia akan mekar. Lebih berseri dari waktu dulu. Kupu-kupu tak akan ragu lagi menari mengitarinya. Dia akan tersenyum seperti sedia kala. Rakyat Konoha akan merawatnya karena sebenarnya ia terlalu indah untuk diterlantarkan,” ucap Naruto yang sesekali memandangi Sai. Ia tidak tahu apakah Sai mendengar ocehannya atau tidak, Tapi butiran-butiran air mata yang jatuh dari mata hitam Sai disadari olehnya.
Naruto tersenyum. Rasanya ia ingin tertawa sekencang-kencangnya melihat raut muka Sai yang baru kali ini ia lihat. Tapi Naruto tak ingin menambah kesedihan seseorang yang telah dia anggap sebagai bagian dari tim 7. Untuk itu ia berkelakar seperti kelakarnya yang biasa ia lontarkan. “Tak kusangka seperti itu mukamu jika kau menangis, Sai. Hehehe,” canda Naruto sembari cekikikan. Ia berusaha sebisa mungkin untuk menahan tawanya tapi sedikit gagal walaupun tidak gagal total. Dalam hati ia merasa senang akhirnya Sai memiliki emosi seperti yang dimiliki manusia normal umumnya. Dulu Sai tidak mengetahui ekspresi apa yang harus ia pasang ketika kakak seperguruannya meninggal karena sakit.
“Ekspresi seperti itulah yang harusnya kau keluarkan pada waktu dulu kakakmu meninggal, Sai,” ujar Naruto lagi. Namun Sai tetap diam membisu. Fokus terhadap apa yang sedang ia gambar walaupun hatinya lara bukan main. Air mata tetap mengalir di pipi pucatnya.
“Haahh… Musim hujan akan tiba. Rasa-rasanya bumi seperti menangis mengiringi kepergianku,” Naruto kembali tertawa terpingkal sambil mengusap belakang kepalanya. Sedangkan Sai tetap larut dalam aktivitasnya. Ia tahan sebisa mungkin emosinya agar tidak mengganggu hasil gambarannya. Sedikit lagi akan rampung, tinggal kelopak bunga Sakura yang berjatuhan yang belum ia gambar. Sedikit lagi—sedikit lagi ia bisa menumpahkan sedu sedannya.
Naruto kembali berujar. Kali ini tinggal satu kelopak bunga Sakura yang harus Sai gambar. Dan yang satu ini bisa Naruto genggam. “Tak perlu bersedih, Sai. Karena pada umumnya kematian adalah hal yang akan dialami oleh setiap manusia.”
Akhirnya gambar itu pun selesai. Sai buru-buru meletakkan kanvas di sampingnya. Ia tidak mau hasil kerjanya rusak terkena air mata—yang kini mengalir deras tak terbendung—yang jatuh di atas kanvas. Kini tak ia tahan lagi perih hatinya. Ia menunduk, giginya bergemeretuk hebat. Karena luka akan kehilangan orang yang telah dia anggap sebagai ‘nakama’ terdekatnya, baru ia mengerti sekarang. Dan tak ia sangka seperti inilah rasanya. Jikalau seperti inilah kenyataannya, maka sesungguhnya Sai lebih memilih untuk tidak mempunyai emosi.
Naruto pun menghampiri Sai dengan menggerakkan kursi rodanya. Kemudian mengambil kanvas yang ada di sebelah Sai.
Naruto tersenyum pada Sai. “Seperti biasa. Gambarmu bagus, Sai.”
Namun Sai makin menunduk, tak mau melihat ekspresi apa yang sedang Naruto pasang saat ini. Karena senyuman getir Naruto mengoyak-ngoyak hatinya.
“Aku ada satu permohonan lagi padamu, Sai?”
Sai menelan ludahnya, agar ia dapat mengeluarkan suara. Meski ia masih terlihat terisak. “Nani?”
“Aku titip Sakura-chan dan Sasuke padamu. Aku tak bisa melindungi mereka lagi nanti.”
Air mata Sai semakin deras mengalir. Ia mengangguk pelan.
Sedangkan Naruto tak berusaha untuk menghibur Sai. “Arigatou na, Sai.” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya.
* * *
“Jadi begitu? Hampir saja aku kehilangan informasi. Aku harus cepat melaporkannya ke Madara.”
Naruto dan Sai tidak menyadari bahwa ada yang memperhatikan pembicaraan mereka. Zetsu—si mata-mata Akatsuki yang lihai dalam penyelidikan, terlihat bersembunyi di balik pepohonan rindang. Ia segera pergi dari area itu dan menghadap Madara di markas mereka. Markas baru yang tersembunyi di perbatasan desa Ame dan desa Iwa.
“Marada-sama, aku mendapatkan kabar terbaru untukmu,” ucap Zetsu yang tiba-tiba muncul di sebelah Madara. Rupanya Madara sedang duduk manis memandang hutan di sekitarnya.
“Oh, kau Zetsu. Aku sedang menunggumu. Ada apa?”
“Sepertinya Sasuke sedang sekarat tapi Naruto akan menolongnya.”
“Maksudmu?”
“Yang aku dengar dia mau mendonorkan jantungnya untuk Sasuke.”
“Eh? Majika? Baik sekali bocah itu,” olok Madara. “Tapi kau tak salah dengar ‘kan?”
“Tidak, Madara-sama. Karena aku sudah mencari informasi dari dua hari yang lalu. Aku terus memperhatikan tindak-tanduk Uzumaki Naruto, tentunya aku pastikan tidak ada orang yang menyadari kehadiranku.”
“Bagus, kau tahu kapan operasi itu akan dilakukan?”
“Jam 3 malam, dan yang aku dengar lagi Tsunade tidak ikut dalam proses operasi.”
“Hahaha. Ini kesempatan bagus. Baiklah, nanti kita akan menculik Naruto. Dia tidak boleh mati. Jika dia mati kesempatan kita untuk mengumpulkan bijuu akan sirna begitu saja,” ucap Madara tersenyum puas.
“Hanya Naruto saja? Bagaimana dengan Sasuke?
“Bocah itu biarkan saja. Dia sekarat, tak lagi berguna bagiku. Yang penting sekarang aku bisa mendapatkan kyuubi,” ujar Madara sembari menyeringai.
Inikah akhir dari perjalanan Uzumaki Naruto? Kalau operasi itu digagalkan, Sasuke juga dalam bahaya. Sepertinya Tsunade terlalu bersedih hingga melupakan ancaman terbesar yang seperti menghilang, tak terdengar kabarnya. Semuanya akan menjadi sesuatu hal yang tak terduga. Dan Madara masih menjadi ancaman paling berbahaya yang harus dikalahkan.
Bersambung…
Gomenasai baru sempet update. Dan maaf juga buat reviewers gak login gak sempet lagi dibales reviewnya. -_-.
Btw ada beberapa istilah yang asing bagi teman2 semua. Tapi elven sengaja gak tulis glossary-nya sekarang. Nanti kalau dibahas lebih dalam lagi baru elven tulis ). Oia udah baca Naruto chapter terbaru ‘kan? Kushina di sini bakal sedikit Elven bikin melenceng dari karakter dia di manga Naruto. Kisah cinta Minato dan Kushina juga sedikit terinspirasi dari film favorit elven. Nanti bakal elven lebih jabarkan lagi secara lengkap hehe.
Akhir kata, review please… ^^
The Ultimate Sacrifices
DISCLAIMER I don’t own Naruto. It belong to MASASHI KISHIMOTO
Sindarin Language. It belong to J.R.R TOLKIEN (Author of The Lord of The Rings)
"Aku bukannya putus asa atau takut menghadapi kelamnya dunia… Aku hanya meragukan kemampuanku ‘tuk membuat seulas senyum manismu memantul kembali di kornea mataku. Mungkin hanya kau yang paham maksudku untuk melakukan hal tergila dalam hidupku ini. Dan tentu aku tak ‘kan pernah menyesalinya." ~Elven Lady18~
Selamat Membaca Kawan ^^
“PRAANGGG!!”
Sebuah tabung reaksi lepas dari genggaman tangan Sakura. Ia terkejut bukan main. Masalahnya dia yakin kalau tadi dia sangat berhati-hati mengenggam tabung reaksi itu. Baru saja dua jam di laboratorium dia telah berbuat gaduh. Sakura menggerutu kesal, padahal ini masih pagi tapi dia sudah hilang konsentrasi.
Ia pun segera membereskan pecahan tabung reaksi tersebut dan mengambilnya satu persatu secara tergesa-gesa.
“Aduh!” pekiknya. Ternyata pecahan tabung yang ia ambil tergores, melukai jari telunjuknya. Dengan cekatan Sakura mengeluarkan jurus medisnya.
Pagi-pagi dia sudah mendapatkan hal buruk bertubi-tubi. Lalu perasaannya tak enak pula, layaknya ada sesuatu hal buruk akan terjadi. Lantas terbersit titik gelap dalam benaknya.
“Mungkinkah, Sasuke-kun…?”
* * *
Pecahan botol berserakan ke lantai, mengusik ruangan yang diselimuti paras hitam pagi itu. Bagaimana tidak? Tsunade teramat kaget dengan permohonan Naruto yang tiba-tiba dan alasan ia memutuskan? Tsunade perlu tahu dulu.
Seperti abu di atas tanggul. Dari matanya saja Tsunade bisa menebak bahwa Naruto sedang dalam keadaan mencekam. Ia menyelam jauh ke dalam mata biru laut yang begitu pekat sendu. Tak ada lagi gairah di dalamnya, yang tersisa hanya puing-puing durja yang terpantul dari mata safir nan elok itu.
Namun Tsunade tidaklah gamang. Ia tetap menepis buruk sangka yang terukir ketika dilihatnya binar-binar luka yang menjerat Naruto.
Tsunade tertawa getir. “Apa barusan kau bilang, Naruto? Maksudmu kau mengkhawatirkan Sasuke ‘kan? Kau tak usah cemas, dia sedang dalam perawatan intensif aku dan Shizune. Haah…Naruto. Aku pikir itu terlalu berlebihan…” Ia mencoba mendesersikan fakta yang ada. Ia pandang lagi mata Naruto. Rupanya Naruto sama sekali tak bergeming. Setetes peluh meluncur dari pelipis Tsunade. Apakah kebohongannya terbaca oleh Naruto?
Naruto terkekeh-kekeh seperti sehabis menonton panggung lawak yang sering ada di festival Konoha. Bukan rasa lucu yang Tsunade dapat. Malah ketakutannya makin mencuat kala melihat Naruto terpingkal hebat.
“Baba, kau tak usah berakting layaknya sedang pentas di sebuah drama,” alis Naruto mengkisut. Air mukanya berubah menjadi serius. “Aku tahu keadaan Sasuke sedang di ujung tanduk.”
Maka tak disangkal pikiran Tsunade langsung porak-parik. Tsunade mengerti, bahwa lambat laun Naruto akan mengetahui perihal yang memang sengaja dipendam untuknya. Lantas Tsunade mencoba berkelit. Pastinya mana sudi ia mengizinkan Naruto mendonorkan jantungnya untuk Sasuke. Ya, pernah sepintas ia berpikir hal ini mungkin akan terjadi. Tapi Tsunade tak menyangka hal ini benar-benar akan terjadi.
The Uchiha Prodigy tak pantas untuk diberi kesempatan hidup, itu pendapatnya. The missing nin yang bergelimpang kiryah, membuat repot semua orang dengan tindak-tanduknya. Bukan maksud Tsunade untuk tidak berperasaan, tapi ia mencoba menggunakan logikanya. Semua orang pasti setuju dengan pendapatnya tersebut. Naruto lebih pantas untuk mendapat kesempatan untuk hidup dibandingkan dengan keturunan Uchiha terakhir itu. Lalu mengapa Naruto begitu keras kepala hingga melakukan hal yang menurutnya gila ini? Mengapa ia rela menderita untuk mempertahankan seonggok daging pongah yang mengkhianatinya?
“Naruto, tidakkah kau pikir kau sudah tidak waras? Aku tahu Sasuke adalah teman baikmu. Aku dan Jiraiya pernah mengalami hal yang sama, dan untuk itu kami tidak keras kepala.” Tsunade merengkuh kedua pundak Naruto. “Naruto, kau tak bisa menegakkan benang yang sudah basah.”
Naruto memandang Tsunade dengan menyala-nyala. Dia menghela nafas panjang. “Baba, Sasuke tidak seperti Orochimaru. Aku tahu ada sisi lain dari Sasuke yang tak dapat ditembus oleh kegelapan pikirannya. Kau tahu kenapa dia sampai koma seperti itu sekarang? Itu karena dia menyelamatkanku. Lagipula hal ini bukanlah hal mustahil yang tidak dapat kau lakukan sebagai seorang ninja medis tangguh, baba.”
Tsunade terpaku membisu. Anak ini memang lain dari yang lain. Pola pikirnya sulit ditebak. Kadang sulit direka oleh akal sehat lantaran saking kepala batoknya pola pikirnya tersebut. Maksud hati Tsunade ingin mempertahankan apa yang layak Naruto dapatkan. “Naruto, coba sekali waktu saja kau pikirkan dirimu. Berhenti memikirkan orang lain!”
“Mana bisa aku begitu, Tsunade-baba?!! Sasuke bukan orang lain, tapi sahabatku!! SAHABATKU!” alih-alih Naruto menjadi naik pitam. Ia menatap tajam Tsunade. Perlahan ekspresinya melunak, namun masih menyimpan kemarahan yang disembunyikan. “Aku…sejak kecil tak ada yang memperhatikanku. Aku hidup sendiri tanpa laki-laki dan wanita yang seharusnya aku panggil ayah dan ibu. Penduduk desa menjauhiku karena sesuatu yang tersegel dalam perutku ini. Semuanya membenciku…” Naruto memandang perutnya sejenak. Seekor iblis—yang sedang terlelap—tersegel di sana. “Tak ada yang tahu…tak ada yang bisa mengerti bahwa hari-hari itu bagai neraka bagiku… Tapi mereka hadir ke dalam hidupku yang kala itu tak terperi bengisnya. Iruka-sensei, Kakashi-sensei, Sakura-chan, dan Sasuke… merekalah yang pertama kali menyirami hari-hariku yang layu lagi suram.”
Tsunade tercenung, dia mafhum bahwa hari-hari penuh penderitaan itu tak akan bisa lindap dilupakan oleh Naruto. Tsunade tak akan pernah mencoba untuk membayangkannya. Karena duka nestapa itu terlalu menyakitkan untuk dibayangkan.
“Setelah itu aku memutuskan…orang-orang yang aku cintai akan kulindungi dengan segenap nyawaku. Karena itu adalah caraku untuk mempertahankan hidup. Aku hidup dengan melindungi orang-orang yang berharga bagiku.”
“Naruto…” ucap Tsunade lirih.
Gigi Naruto bergemeretuk kuat, dia mengatupkan matanya rapat-rapat ingin menahan tangis yang nyaris tumpah mengalir.
“Naruto, Sasuke dalam keadaan seperti itu bukan karena salahmu.”
Naruto langsung memalingkan wajahnya ke arah Tsunade. “Bukan salahku? Bukan SALAHKU, BABA?! Kau tidak tahu ap—” Naruto menghentikan lontaran verbalnya. Ia kembali tertunduk, Naruto tahu tidak seharusnya ia membentak Tsunade yang belum mengerti kenapa ia begitu bersikeras untuk menyelamatkan Sasuke. “Aku tahu semua orang tak mengerti kenapa aku mati-matian ingin membawa Sasuke pulang ke Konoha.” Lantas terbersit sesuatu dalam pikirannya—yang sebenarnya telah lama ingin ia sampaikan pada Tsunade. “Tsunade-baba, bolehkah aku menceritakan sebuah kisah padamu?”
Tsunade terlihat berpikir sejenak, entah apa yang ada di benaknya. Tapi akhirnya ia pun mengangguk.
Naruto pun memulai ceritanya. “Dahulu kala, ada seorang anak yang bercita-cita untuk menjadi ninja. Ia bukan anak yang istimewa, malah terlihat bodoh dibandingkan dengan teman-temannya.”
Tsunade mengambil kursi dan duduk di atasnya—menyimak sebuah kisah yang sedang diceritakan oleh Naruto.
“Tapi walaupun begitu, dengan segenap keyakinannya dia lulus dalam ujian dan berhasil masuk ke tim yang dipimpin oleh shinobi yang hebat. Dalam tes berikutnya, ia yang paling sering masuk dalam jebakan yang dibuat oleh shinobi yang hebat itu.” Naruto tersenyum, ada sesuatu hal yang dia ingat yang menurutnya sulit untuk dilupakan waktu.
Tsunade menginterupsi. “Naruto, apakah kau menceritakan tentang dirimu sendiri?”
Naruto tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepalanya. “Bukan, baba. Dengarkan dulu ceritaku sampai selesai.”
“Kala itu dia diejek habis-habisan oleh teman perempuan yang satu tim dengannya. Mereka pun akhirnya saling ejek satu sama lain.”
Entah mengapa Tsunade merasa familiar akan cerita yang Naruto utarakan ini, tapi dia biarkan dulu Naruto menyelesaikan ceritanya.
“Sebenarmya anak tersebut jatuh cinta pada perempuan itu, oleh karenanya dia sering menggoda kawan se-timnya yang cantik lagi pintar tersebut. Namun, si temannya itu sama sekali tidak mengetahui perasaan dia yang sebenarnya. Hingga suatu saat…”
“Suatu saat perempuan itu kehilangan adik semata wayangnya. Kala itu anak tersebut telah beranjak dewasa bersama rekan-rekan timnya. Mungkin kita bisa menyebutnya sebagai pemuda sekarang, pemuda itu berusaha menghibur gadis yang dicintainya itu dengan segala lelucon konyolnya. Tapi tetap saja gadis itu tidak mempedulikannya.”
Tsunade tercekat, mungkinkah Naruto menceritakan… “Naruto, kau…? Maksudmu, itu…”
“Ssstt, baba. Dengarkan ceritaku dulu…” Naruto tersenyum simpul, kemudian ia melanjutkan ceritanya lagi. “Ya, gadis itu begitu terpukul. Semenjak kejadian itu, ia pun bertekad untuk menjadi ninja medis yang tangguh.”
Tsunade terkesiap, dugaannya benar. Tapi ia biarkan dirinya hanyut mendengarkan cerita Naruto. Rasa penasaran masih menyelimuti pikirannya.
“Karena setelah kesedihan pastilah ada kebahagiaan. Perempuan itu bertemu dengan seorang pemuda tampan—tampan melebihi teman se-timnya . Lantas ia jatuh cinta pada pemuda tampan itu, yang kutahu dia bernama Dan.” Naruto memandang semu mata Tsunade. Tsunade merasa tenggorokannya mengering. Masa-masa itu adalah masa tersulit dalam hidupnya.
“Ya, kami berpacaran. Tapi itu tidaklah lama, karena…”
Naruto memotong kalimat Tsunade. “Karena dia tewas saat perang, dan kau menjadi sedih berkepanjangan karenanya. Benar ‘kan, baba?”
Tsunade terperangah. “Bagaimana kau bisa tahu, Naruto?”
“Aku pernah tak sengaja membaca buku harian Ero-sennin, namun ketahuan olehnya dan dia langsung membakar buku hariannya itu, tak tahu mengapa.”
“Naruto, jadi kau…?”
“Ya, Tsunade-baba. Aku sedang menceritakan masa lalumu—yang kau bingung, ekspresi apa yang harus kau pasang ketika memutarnya ulang di dalam pikiranmu. Karena kau belum tahu sebenarnya siapa yang benar-benar kau cintai dalam hidupmu.” Naruto memalingkan wajahnya ke depan, memandang bunga daffodil dari Sakura—yang dulu sering ia bawa untuk Sasuke ketika dirawat di rumah sakit. Naruto tidak tahu maksud Sakura menaruh bunga itu—di antara bunga lainnya—di ruangannya. Dan tentulah Naruto menginterpretasikannya secara berbeda. Bukan sebagai perasaan yang tulus dari seorang anak manusia yang mengharapkan balasan cinta. Padahal bunga daffodil memiliki banyak arti selain arti yang indah-indah itu. Naruto sadar Sakura salah menaruh bunga.
Kemudian ia kembali melanjutkan ceritanya. “Pada akhirnya aku bisa mengetahui masa lalu Ero-sennin. Terutama tentang perasaannya terhadapmu.”
Tsunade menelan ludahnya sendiri, rasa-rasanya ia sama sekali tak enak hati untuk mengulang masa lalu yang baginya cukup suram itu. Ada perasaan bersalah yang masih terkurung dalam kalbunya yang tak ia singkap kepada siapa pun. Tsunade bukannya tak mengetahui perasaan Jiraiya yang sebenarnya padanya. Hanya saja Jiraiya tak pernah serius dengannya. Yang dia lakukan di depannya, hanyalah melakukan lelucon-lelucon mesum yang membuat Tsunade menghajarnya hingga babak belur. Lantas untuk apa Naruto menceritakan dirinya dengan Jiraiya?
“Kalau begitu kau sudah tahu ‘kan siapa yang aku maksud? Lalu apa kau tahu, baba? Waktu itu Ero-sennin sangat menyesalinya…” Naruto menatap Tsunade dengan lembut. “Dia menyesal karena tidak bisa menyelamatkan Nawaki dan Dan, padahal Ero-sennin ada di tempat kejadian saat itu.”
Tsunade menggigit bibirnya sendiri. ‘Kenapa Jiraiya berpikir seperti itu? Padahal yang menyesal adalah aku karena tidak bisa menyembuhkan mereka berdua,’ ungkap Tsunade dalam hatinya.
“Baba, kau dan Ero-sennin itu hampir sama dengan Sakura-chan dan aku.”
Tsunade terperanjat, sesuatu hal secepat kilat menyambar pikirannya. Ia ingat kalau Naruto mempunyai perasaan melebihi kata teman pada muridnya Haruno Sakura.
“Syukurlah, Sasuke-kun. Syukurlah kau baik-baik saja,” ucap Sakura sembari memeluk Sasuke yang telah siuman dari tidurnya akibat serangan genjutsu Itachi. Dan saat itu Naruto melihatnya—melihat gadis kecil yang dicintainya memeluk sahabatnya sendiri. Ia pun tersenyum getir dan segera meninggalkan ruangan.
Tsunade tidaklah keliru waktu itu, dia tahu Naruto memendam perasaannya pada Sakura. Namun gadis itu acuh tak acuhnya terhadapnya. Dan Naruto? Nihil, tak punya usaha apa-apa untuk menyampaikan perasaannya. Ia lebih banyak berbuat ketimbang mengutarakannya dengan kata-kata. Persis seperti Jiraiya kala ia melakukan kelakar-kelakar konyol di depan Tsunade.
Tsunade menyadari apa yang Naruto maksud dengan menceritakan semua hal ini. Dan tak tahu mengapa ia bisa menerka bahwa akhir dari semuanya akan terasa begitu menyakitkan.
“Ne, baba. Ero-sennin tidak pernah mengatakan perasaannya terhadapmu dengan serius ‘kan? Sebagai seorang lelaki tentulah ia mempunyai keberanian untuk mengungkapkan segala isi hatinya untuk seorang wanita yang ia puja. Tapi, kau tahu mengapa ia tak pernah melakukannya?”
Tsunade menatap Naruto dengan saksama, sekujurnya bertambah dingin. Ia menggelengkan kepalanya.
“Karena dia gagal menyelamatkan Dan yang pada misi tersebut satu tim dengannya,” jawab Naruto.
Tsunade terperangah. Hal ini masih tak masuk akal baginya. Kenapa Jiraiya sampai mengambil keputusan seperti itu?
“Baba, saat itu tempat persembunyian mereka saling berdekatan. Ero-sennin mengetahui ada shibobi musuh yang menyerang Dan dari arah belakang. Ia hendak memperingatkan Dan. Tapi…kesempatan raib begitu saja.”
“Aku masih ingat kata-kata Ero-sennin di buku hariannya. Lantas pemandangan selanjutnya tak sanggup untuk kulihat. Kau meratap hebat kala Dan meregang nyawa dan ninjutsu medismu tak mampu untuk menghidupkannya. Aku—mungkin seharusnya aku senang Dan telah tewas, karena aku memiliki kesempatan untuk memilikimu. Tapi entah mengapa hal tersebut malah membuat hatiku makin tertusuk dari dalam, tertohok hingga otakku ingin kukeluarkan dan kubelah saja. Agar kejadian ini tak terngiang lagi dalam pikiranku. Namun rupanya ia terus menghantui, tak mau pergi. Begitulah yang ia tulis, Baba”
Tsunade menggermang seketika. Sampai seperti itukah? Sampai sedalam itukah Jiraiya mencintainya? Tsunade tak pernah mafhum…tak pernah mempedulikannya. Karena ia tak tahu apa-apa saja yang Jiraiya pendam dalam otaknya—yang ia pikir telah membusuk karena isinya hanyalah hal-hal nista. Jiraiya selalu tertawa dalam sedihnya… Tersenyum di balik penderitaannya. Memang dari sewaktu kecil hingga remaja mereka sering bersama-sama. Dan tatkala kejadian-kejadian penuh lara itu dating, Tsunade memutuskan untuk lari dari kenyataan. Ia terperangkap dalam kabungnya selama bertahun-tahun dan pergi dari desa Konoha. Mereka rupanya belum saling mengerti satu sama lain.
“Aku hafal dengan kalimat-kalimat itu, karena aku begitu trenyuh ketika membacanya. Maksudku…aku tak pernah menyangka Ero-sennin memiliki perasaan sedalam itu pada seorang wanita. Lantaran aku sering melihatnya keluar-masuk pub-pub mesum—bermain dengan para wanita di sana, atau menulis novel dengan bahasa-bahasa vulgar khasnya.” Naruto tertawa kecil, begitulah…dia menyangka bahwa Jiraiya tidak pernah jatuh cinta pada satu orang wanita. Dia memang pecinta wanita. Tapi untuk hal yang lebih dalam, dari mukanya saja tidak kelihatan bahwa dia pernah melabuhkan satu cintanya kepada seorang wanita.
Kedua mata Tsunade mulai berair.
“Ero-sennin selalu berpikir bahwa hidupnya tidak pernah berhasil. Dia gagal untuk menyelamatkan Hokage Ketiga ketika maut menjeratnya, gagal menyelamatkan muridnya Hokage Keempat yang waktu itu tewas karena menyegel kyuubi ke dalam tubuhku, lalu dia gagal membawa teman se-timnya Orochimaru untuk kembali ke Konoha… Dan juga ia gagal untuk memenangkan hatimu. Ia membawa semua penyesalan itu hingga akhir hayatnya, baba.”
Tsunade menghadap bumi, ia tidak lagi menatap Naruto yang sedang memandangnya dengan senyuman getir penuh haru.
“Namun aku tahu, baba. Di saat-saat terakhirnya dia tersenyum, karena dia tahu akan ada generasi yang melanjutkan perjuangan-perjuangannya. Aku tahu yang diharapkannya adalah aku. Tapi dengan tubuh seperti ini… Aku tak akan mampu untuk melanjutkan perjuangan itu.”
Tsunade langsung menyeka air matanya. “Tidak, Naruto! Sakura pasti bisa menyembuhkanmu! Dia sedang berusaha menyembuh—!” hardik Tsunade yang langsung terhenti ketika dilihatnya Naruto menatapnya dengan tatapan nadir. “K—kau kenapa, Naruto?”
Naruto tersenyum simpul. “Begitulah kesudahannya, baba. Mungkin aku bisa saja sembuh seperti sedia kala. Menjadi Hokage yang paling sakti mandraguna di tahta dunia per-shinobi-an. Tapi aku tidak mau egois. Menurutmu bagaimana dengan Sakura-chan? Dengan memutuskan untuk merelakan Sasuke mati baginya itu sangatlah berat. Aku tidak ingin peristiwa yang di alami baba terulang pada Sakura-chan.”
Untuk kesekian kalinya Tsunade terperanjat. Lama-lama ia makin mengerti apa yang Naruto inginkan. Naruto anata wa…
“Aku tidak ingin mempunyai penyesalan yang sama seperti Ero-sennin. Kau pasti ingat baba, kalian berpisah begitu lama. Karena kalian berdua lari dari kenyataan yang ada—enggan menghadapinya bersama-sama. Dan aku tidak mau akhir yang memilukan seperti itu.”
“Naruto, Sakura dan aku tidaklah sama! Kalau kau mati, dia akan sangat merasa kehilangan! Sakura pasti akan sedih berkepanjangan dan menangis—.”
“Sakura-chan, tidak akan menangis meratapi kematianku dibandingkan jika Sasuke yang meninggalkannya. Dia…tidak mungkin bersedih sampai seperti itu…” potong Naruto.
Tsunade kembali tercenung. Kemudian kenangan akan masa lalu menghampirinya kembali—mengetuk pintu pikirannya perlahan—membuka memori saat Jiraiya berpamitan dengannya pergi ke desa Ame.
-
“Jiraiya, kalau kemudian kau mati…Aku—.”
“Eh? Apakah kau akan menangis untukku? Hahaha, terima kasih Tsunade. Aku merasa tersanjung.”
“Bodoh…”
“Tapi tidak akan seperti ketika Dan meninggal ‘kan?”
“Huh?”
“Haha, bercanda! Aku bercanda, Tsunade!”
-
Percakapan terakhirnya dengan Jiraiya. Waktu itu Jiraiya seperti biasanya—berkelakar sebagaimana dirinya. Santai dan tak peduli alam sekitar. Dan seperti biasa, Tsunade tidak begitu menanggapinya dengan serius. Namun kali ini entah mengapa hatinya remuk redam. Ia merasa ditampar bolak-balik di kedua pipinya. Ya, dia memang sangat bersedih saat dia tahu Jiraiya tewas di tangan Pain. Tapi…dia baru menyadari, ratapannya ketika Jiraiya dan Dan tewas adalah berbeda jauh adanya. Lalu anak ini…hanya demi gadis yang dicintainya. Ia rela mengorbankan nyawanya sendiri.
“Aku tidak ingin memiliki penyesalan yang sama.”
Kalimat Naruto itu berulang kali terngiang di otaknya. Kali ini Tsunade berada dalam dua pilihan sulit. Membiarkan Naruto mati dengan mencuatnya kemarahan seluruh penduduk Konoha, karena jika dipikir hal ini tidaklah masuk akal bagi seorang pengkhianat tiada tanding untuk memiliki kesempatan hidup yang mungkin tidaklah adil bagi seorang pahlawan besar seperti Naruto. Raikage saja menginginkan Sasuke di hukum mati lantaran pernah menculik Kirabi—adik tersayangnya—yang nyaris terbunuh di tangan Akatsuki.
Dan jika Sasuke dibiarkan mati. Itu akan menjadi hal yang berat bagi Naruto—yang telah Tsunade anggap seperti adik sendiri. Ia tak rela jika Naruto mengalami penyesalan seumur hidup yang sama seperti Jiraiya. Bahkan ketika ia mengetahui persepsi Jiraiya akan alur hidupnya sendiri, Tsunade menjadi trenyuh yang teramat sangat. Karena sesungguhnya ada penyesalan yang Tsunade kubur dalam-dalam di memorinya.
Tsunade tidak perlu lagi menerjemahkan kalimat-kalimat Naruto ke dalam kalimat yang lebih sederhana. Karena dari air mukanya dapat Tsunade terka dengan jelas, bahwasanya Naruto tidak main-main dengan keputusan pamungkasnya. Bukan maksud juga untuk berkompulasi. Tsunade tahu semuanya telah dipikir oleh Naruto dengan akal sehatnya sendiri.
Lantas benarkah akan seperti itu jadinya kelak? Benarkah Sakura akan tersenyum lebar kala dia mengetahui Sasuke memiliki kesempatan hidup? Dan Naruto…?
Tetes air mata tanpa sadar mengalir di kedua pipinya yang halus. Dan tanpa disadarinya pula, Naruto telah menggenggam kedua tangannya dengan lembut.
“Kalau aku mati, kyuubi juga akan mati. Dunia akan kembali damai karena Akatsuki tidak berhasil melaksanakan misinya. Ini kesempatan yang baik, baba. Kematianku akan membawa perdamaian dunia.”
Tsunade masih bimbang untuk memutuskan perihal tersulit yang dihadapinya selama ia menjadi Hokage. Tapi bagaimanapun juga, Naruto tidak akan berhenti memohon begitu saja.
“Godaime-sama, tolong periksa jantungku apakah cocok untuk Sasuke atau tidak.”
Sebuah kata langka terlontar begitu saja dari mulut Naruto. Tsunade tahu betul, belum pernah Naruto se-formal itu memanggilnya. Tsunade mengerti apa maksudnya, Naruto menginginkannya untuk segera menentukan sebuah pilihan karena dia adalah seorang Hokage. Selama ini Naruto memanggilnya baba atau baa-chan, karena ada ikatan yang mereka miliki, tak akan tergantikan. Karenanya Tsunade membiarkan Naruto memanggilnya seperti itu.
Dan kali ini Naruto memohon kepadanya sebagai seorang ninja yang ingin mengorbankan dirinya untuk tanah tumpah darahnya. Untuk kedamaian dunia yang berjuta-juta orang menginginkannya. Ya, semuanya makin masuk akal.
Tapi Ya, Tuhan... Mengapa anak ini yang lagi-lagi harus menjadi tumbal kebengisan dunia shinobi? Seorang anak yang telah susah payah berjuang agar dirinya bisa diterima di tengah-tengah rakyat Konoha karena dia bukanlah seorang anak normal seperti yang lainnya. Seorang anak yang mati-matian ingin membawa sahabat karibnya untuk pulang kembali ke desa tercintanya. Seorang anak yang begitu percaya diri bahwa kelak dia mampu untuk meraih gelar Hokage—gelar yang pastinya diidam-idamkan oleh kebanyakan shinobi. Lalu apakah perjuangannya akan sia-sia begitu saja?
Kalimat apalagi—dengan kalimat apalagi Tsunade harus berkelit? Tsunade menatap lekat-lekat mata cerulean yang berpijar membara—menunjukkan bahwa keputusannya sudah bulat dan dia butuh ketegasan dari Tsunade.
Tsunade mengatupkan matanya rapat-rapat.
“Aku tidak akan pernah kembali pada kata-kataku. Karena itulah jalan ninjaku.”
Uzumaki Naruto…siapa yang bisa bertahan dengan otak batok kelapanya yang kerasnya tak terperi? Semua orang selalu angkat tangan ketika kata-kata itu terlontar dari si ninja penuh kejutan nomor satu.
“Aku tidak akan mati sia-sia, Godaime-sama. Semua orang akan hidup dalam kedamaian, Sasuke berhasil kuselamatkan dan Sakura-chan akan tersenyum seperti sedia kala. Dan kau tidak perlu repot lagi memarahiku karena sikapku yang terkadang kurang ajar terhadapmu, Godaime-sama.”
Pertahanannya tumbang, Tsunade langsung memeluk Naruto erat-erat. Matanya terpejam, tapi begitu banyak air yang mengalir dari sana. Naruto tersenyum getir, semoga keputusannya diterima oleh Tsunade. Naruto membalas pelukan Tsunade, tapi malah menambah ratapan sang Godaime. Bahunya naik-turun, terisak-isak.
“Maafkan aku—maafkan aku, Naruto…” ucapnya sembari tersedu-sedu.
“Ya, baba. Kau tidak akan salah memilih. Klan Uchiha adalah klan hebat, kau pasti tidak akan menyesal mempertahankannya.” Naruto melihat ke masa depan. Mungkin masa depan adalah hal yang tidak tembus pandang dari matanya karena dia tidak bisa menebak apa yang akan terjadi di sana. Dia berpikir kalau Sasuke hidup pastilah dia akan menikah dengan Sakura. Lantas klan Uchiha yang baru akan terbentuk. Betapa Naruto ingin melihat langsung hal tersebut terjadi.
“Di mata Sakura-chan, aku memang tidak sebanding dengan Sasuke. Tapi baba, aku ingin mengutarakan perasaanku yang sebenarnya pada Sakura-chan. Selama ini aku selalu besar mulut tapi tidak pernah berhasil membuktikan kata-kataku. Karenanya aku harus menepati janjiku dulu. Meskipun…dia tidak akan pernah membalasnya.”
Jadi karena itu? Karena Uzumaki Naruto adalah orang yang selalu menepati janjinya. Mati pun ia rela. Tsunade sudah cukup tahu karena Naruto pernah membuktikannya ketika bertaruh dengannya dulu.
Sembari mengusap-usap punggung Tsunade, Naruto memintanya untuk memeriksa ulang kasus pembantaian klan Uchiha dulu. Hal itu bisa menjadi bukti mengapa klan Uchiha pantas untuk dipertahankan. Ia berharap Tsunade dapat menyelesaikan perkara rumit tersebut.
Tsunade mengangguk pelan, semuanya lekas ia mengerti kejadiannya. Kalau memang begitu ia akan melindungi Sasuke dengan kekuatan politiknya. Ya, mungkin saja sehabis ini Sasuke akan menjadi mangsa musuh-musuhnya terdahulu. Naruto menitipkan semuanya pada Tsunade. Dia meminta agar Tsunade menjaga jantungnya yang nanti akan tertanam di tubuh Sasuke. Karena dengan itu Naruto bisa menjaga dua orang yang sangat berarti baginya sekaligus.
“Mereka berdua pasti akan bahagia. Tenang saja, baba. Semua ini akan cepat berlalu, seperti pasir yang bertebaran ditiup angin. Semuanya akan menghilang begitu saja... Keputusanmu tidak-lah salah, baba.”
Tsunade lalu memanggil Shizune yang kebetulan melintas di depan koridor ruangan Naruto. Sembari menyeka air matanya, ia melenggang ke arah Shizune. Lantas ia meminta Shizune untuk memeriksa jantung Naruto apakah cocok dengan Sasuke. Shizune terkesiap dan hendak beragumen. Sontak Tsunade langsung mengiterupsi dengan lontaran khasnya yang tegas—Tidak mau mendapatkan feedback atas keputusannya. Shizune pun langsung menuruti.
Dalam hati sebenarnya Tsunade berdo’a, semoga saja jantung Naruto tidak cocok ditransplan untuk Sasuke. Dalam hati ia bergumam pula, bahwa perihal ini tidak akan lipur begitu saja dari memorinya. Karena Naruto sangatlah nirmala, dia begitu mirip dengan mendiang ayahnya—sang Hokage Keempat. Perjuangan yang sama, akhir cerita cinta yang sama.
Tsunade memandang ke arah luar jendela di koridor utama. Hujan rintik-rintik membasahi bumi, segala kuntum mengatup melindungi diri dari terpaan angin. Daun-daun layu meranggas meninggalkan rantingnya. Dan semua persis seperti waktu itu—seperti waktu terakhir kali dia menunggu kabar dari Jiraiya sembari memandang derasnya hujan yang tumpah membasahi desa yang dipimpinnya.
“Kau tidak tahu, Jiraiya. Waktu itu aku bersedia menjadi seorang teman hidupmu. Tapi kau malah pergi dan tak pernah kembali,” ucap Tsunade lirih. Dan itu adalah sebuah penyesalan yang Tsunade sembunyikan, menimbulkan luka yang cukup dalam di hatinya.
* * *
Sakura larut dalam ekperimennya. Beberapa kali ramuan yang ia racik gagal total sehingga ia harus mengulang takaran yang harus dijadikan satu senyawa yang sepadan, dan tidak kontradiktif.
Ia tidak mengerti mengapa kerjaannya jadi kelut-melut seperti ini. Barangkali karena ada sesuatu hal yang menganggunya sejak pagi. Mungkin saja Sasuke telah menghembuskan nafas terakhirnya beberapa saat yang lalu. Dan tentunya Sakura berusaha bersikap setenang mungkin. Dia tidak mau pikirannya kalut-malut hingga berakibat fatal pada ramuannya.
Tapi entah mengapa Sakura tidak terlalu memusingkan perihal meninggalnya Sasuke. Ya, Sasuke adalah cinta pertamanya sekaligus teman se-timnya. Sakura cukup berhasil untuk bersikap se-positif mungkin dengan intuisinya sendiri. Ia berpikir kalau Sasuke telah meninggal, barulah ia akan berkabung 3 hari setelahnya karena ia tidak dapat meninggalkan tugas ini begitu saja. Ia juga harus memikirkan Naruto, sahabat karibnya. Karena setidaknya satu nyawa mati tapi yang lainnya dapat ia selamatkan.
Sakura langsung menepis jauh pikiran buruk tersebut, dan melanjutkan pekerjaannya. Ia hendak mengambil salah satu buku di tumpuknya tepat di atas meja—tempat ia bereksperimen. Ia sedikit ricuh dan terburu-buru mengambil buku yang ia cari. Dan…
“BRAAKKK!!!”
Semua tumpukan buku jatuh berserakan ke lantai. Sakura menggerutu dan langsung membereskan tumpukan buku dengan mengambilnya satu per satu. Alih-alih satu buku terselip muncul di hadapannya. Sakura tidak tahu menahu akan buku tersebut karena ia ingat ia sama sekali tak pernah menyentuhnya. Barangkali terselip karena kemarin ia buru-buru mengambilnya dari lemari di ruang Hokage—tempat Tsunade menyimpan buku-buku obat favoritnya.
Sakura menggenggamnya perlahan-lahan dan membalikkannya—hendak melihat judul apa yang terpampang.
“Segenggam cinta dariku, Namikaze Minato.”
Begitulah yang tersirat di sampul depan buku tersebut.
Sakura terperangah. “Namikaze Minato? Bukankah dia adalah mendiang Hokage Keempat? Ugh…ini pasti dokumen sangat rahasia. Harus cepat kukembalikan sebelum shisou tahu.”
Namun entah mengapa langkahnya terhenti ketika halaman pertama sedikit terbuka. Sakura menyingkapnya perlahan dan membaca bahasa aneh yang tergurit di dalamnya.
“Dannen le. A ú-erin le regi. Rang ail le iestannen. Lû ail le tegin na hen. Gwannach o innen ului. Ú lû erui, ului. —Mawar merah Konoha—”
Sakura mengejanya terbelit-belit, bahasa yang sangat aneh—namun memiliki arti yang indah. “Mawar merah Konoha? Aku baru mendengarnya.”
“Kau telah jatuh. Dan aku tak mampu untuk menggapainya. Setiap langkah aku mengharapkanmu. Setiap ingatan yang membawamu kepada waktu sekarang. Kau tidak akan pernah meninggalkan ingatanku. Tidak di satu waktu. Tidak untuk selamanya.”
Rasa penasarannya langsung mencuat, buku apakah ini? Sejurus Sakura pun membuka halaman pertama dan mulai membacanya. Dan dari sinilah rahasia-rahasia mulai tersingkap dari tabir yang selalu menutupinya sekian tahun lamanya.
Bersambung…
Lagi-lagi ada bahasa elf-nya LOTR hehe. Tapi harus sabar dulu kawan, saya memang sengaja gak nulis crossover. Karena belum ada crossover di sini. Dan saya beri tahu juga, ini bukan akhir dari seorang pahlawan yang selalu dielu-elukan kehadirannya hehe.
Mohon maaf untuk reviewers gak login tidak sempat saya balas. Saya lagi jarang online dari hp dan dari PC. Ya… Gomenasai sekali lagi =__=
Okay, review please ^^
Heart
Naruto © Masashi Kishimoto
Sindarin, Quenya Language © J.R.R Tolkien
Warning: Semi Canon. Rated T. Tragedy/Drama.
Pairing: NaruSakuSasu.
.
.
Chapter 4
Sang Mawar Merah
.
.
Nafas Naruto tersengal-sengal jadinya. Ia benar-benar ketakutan. Apakah wanita itu adalah hantu? Tapi kenapa dalam satu hari ini mengganggunya? Dia tahu Uchiha Madara masih hidup. Dan kalaupun dia juga adalah ninja—yang memakai jutsu tertentu—tetap saja Naruto tidak bisa melawannya dengan keadaannya yang seperti ini.
Mengapa masalah sepertinya tidak pernah berhenti menghampirinya?
“Naruto, telin le thaed.”[1] Suara itu kembali mengusiknya. Rupanya ia belum beranjak dari sana. Tapi kini wanita misterius itu berujar dengan bahasa yang sama sekali Naruto tidak mengerti.
“Apa yang kau bicarakan? Aku tak mengerti!” teriak Naruto sembari melihat di sekelilingnya. Kumpulan kelopak bunga mawar—dari bunga mawar pemberian Konan yang berguguran—bertebaran tak tentu arah. Mata biru langit Naruto menelisik kemana arah kelopak mawar itu pergi.
“Lasto beth nîn, tolo dan nan galad.” [2]
Naruto menutup kedua telinganya. Dia sudah cukup pusing dengan segala masalah yang menimpanya dan kini ada seorang wanita misterius yang selalu mengusiknya, “Berhenti—berhenti, menggangguku!” teriak Naruto tak keruan. Matanya kembali melirik ke arah kumpulan kelopak bunga mawar itu pergi. Dilihatnya mereka berkumpul—membentuk sosok seorang wanita. Perlahan sosok itu mulai menampakkan wujudnya. Naruto terpana melihat apa yang ia lihat di hadapannya. Sesekali ia usap matanya, barangkali dia salah lihat. Tapi pada akhirnya, tak sedikitpun ia mengedipkan matanya.
Dalam pekatnya gelap malam dan kerlipan cahaya bulan. Muncullah sesosok wanita cantik di depannya dalam bayangan.
Ya, dalam bayangan mungkin. Karena Naruto tahu jika ia menyentuhnya, pastilah sosok itu dapat ditembus olehnya. Tak mengerti apa yang tersedar di depannya. Dia bertanya-tanya siapakah wanita ini sebenarnya? Dan jika diperhatikan dengan baik, perawakan wanita itu seperti bukan manusia pada umumnya.
Wanita itu sungguh cantik rupawan. Cahaya pucat mengelilinginya. Kulit putih terpendam dalam balutan baju miko dengan corak mawar di bagian bawah gaunnya. Merah mawar rambutnya, terbelah pinggir memanjang hingga ke bagian pinggul. Mata scarlet-nya sayu tanpa kornea—nyaris seperti mata klan Hyuuga. Tapi yang berbeda, mata itu penuh kerlipan bintang di dalamnya. Memandang Naruto lembut dengan seulas senyumannya yang menawan. Kedua telinganya sedikit runcing di ujung daunnya. Kelopak bunga mawar yang bertebaran perlahan mengelilingi wanita itu—menciptakan pemandangan eksotik layaknya di padang berjuta mawar. Dia tidak muda maupun tua. Warna merah, memang sangat cocok dengan wanita itu. Membuat yang melihatnya berhalusinasi, bahwa dia laksana peri dari negeri dongeng yang Naruto pernah dengar ceritanya.
“Ka—kau siapa?” Tanya Naruto ketakutan. Melihat wajah Naruto yang pucat pasi, wanita itu pun mendekatinya. Naruto sedikit bergerak ke belakang menjauhi wanita itu, namun wanita itu tiba-tiba meraih kedua bahu Naruto.
“Tenanglah, Naruto. Aku tak akan menyakitimu.” Wanita itu tersenyum simpul sembari meremas pelan bahu Naruto. Naruto nyaris loncat dari tempat tidurnya karena walaupun wanita itu kelihatan transparan, ternyata sentuhannya dengan pasti dapat dirasakan oleh Naruto. Wanita itu kemudian sedikit membungkuk, membelai wajah Naruto dengan kedua tangan indahnya. Mata wanita itu sedikit berair. Ada perasaan aneh dibenak Naruto, rasa-rasanya ia mengenal belaian sayang ini. Namun siapa pemiliknya ia tidak ingat.
“Apa maksudmu tadi? Aku tak mengerti apa yang kau ucapkan. Lalu apa maumu?” Tanya Naruto memberanikan diri. Teka-teki di kegelapan yang ia ingin segera tahu jawabannya.
“Kau tidak mengerti bahasamu sendiri?” Wanita itu menatapnya lembut.
“Bahasaku?” Naruto berpikir sejenak, ia ingat betul, ia tidak pernah mendengar bahasa asing itu apalagi berbicara dengan dialeknya yang sangat aneh. “Aku—aku tidak pernah tahu bahasa itu. Kau siapa? Apa kau malaikat?” Wanita tersebut tertawa mendengar pertanyaan Naruto. Ya, Tuhan tawanya saja sungguh sangat merdu. Mana ada manusia yang memiliki gelak tawa seperti ini?
“Apa aku terlihat seperti malaikat bagimu?” Wanita itu kini balik bertanya.
Naruto menganggukkan kepalanya, “Karena kau terlalu cantik untuk dibilang hantu.” Wanita itu kembali terpingkal. Naruto keheranan melihatnya, karena apa yang diutarakan olehnya sama sekali bukan maksud untuk melucu.
“Kalau aku memang hantu lalu apa yang akan kau lakukan?” Tanya wanita itu kembali.
“Kalau kau berubah menjadi hantu? Ehm…aku pasti langsung pingsan.” Naruto menelan ludahnya sendiri. Pernyataan bodoh, begitu yang ada dibenaknya. Bagaimana kalau wanita ini benar-benar hantu dan menampakkan wajah aslinya di depan Naruto? Ia tidak sanggup membayangkan wajah elok itu berubah menjadi seram.
“Begitu?” Wanita itu tersenyum.
“Hai,” ujar Naruto sembari menganggukkan kepalanya perlahan. Sepertinya wanita ini adalah orang baik-baik. Naruto mulai sedikit tenang. Namun siapa wanita ini sebenarnya, Naruto tetap ingin tahu.
“Kau sudah besar, Naru-chan.” Ucap wanita itu membuat Naruto terkesiap. Belum ada orang yang selama ini memanggilnya begitu. Bahkan orang-orang terdekatnya saja—seperti Kakashi-sensei, Sasuke, dan Sakura—tidak ada yang pernah memanggilnya seperti itu. Dari semua omongannya, mengapa wanita ini seperti telah mengenalinya? “Dan sifatmu yang ingin tahu ini, sangat mirip denganku, Naru-chan.” Lanjut wanita itu yang kini mulai kembali berair matanya. Ia menatap seluruh bagian tubuh Naruto, lalu matanya berhenti di bagian kakinya. Wanita itu menatap miris bagian sana.
“Ke—kenapa kau menangis?”
Belum sempat wanita itu menjawab, derap langkah kaki seseorang terdengar berjalan menuju ruangan Naruto berada.
“Naruto, ada yang datang sepertinya. Aku harus pergi.”
“Tapi kau belum menja—”
“Tenang saja. Aku akan mengunjungimu kembali. Namárië.” [3] Dan wanita itu pun menghilang bersamaan dengan kemunculan orang lain di daun pintu ruangan tersebut. Orang itu ternyata adalah Sakura.
Naruto menggerutu dalam hatinya. Dia sedang tidak ingin melihat Sakura saat ini. Jika melihat wajah sendunya, itu hanya membuat Naruto makin sakit. Dia masih terbayang-bayang pemandangan yang baru saja dia lihat di ruangan Sasuke.
“Naruto, kau sudah bangun rupanya.” Sakura melangkah masuk ke ruangan Naruto. Ia perhatikan bawaan Sakura di tangan kanannya. Ternyata Sakura membawa semangkuk ramen panas. “Kau belum makan ‘kan seharian ini? Aku bawakan ramen untukmu. Aku suapi ya?” Sakura membuka bungkusan ramen tersebut.
Yang dia tidak ketahui, Naruto menatapnya nanar. Ia bawa matanya ke wajah Sakura. Sedu sedannya—yang Naruto lihat di ruangan Sasuke barusan—terlihat memberi jejak nelangsa di wajah ninja medis itu. Masih ia ingat dalam benaknya jeritan hati si bunga sakura yang kemudian membuatnya berpikir bahwa dialah pelaku utama penyebab komanya Sasuke. Naruto nyaris semaput, padahal sebenarnya ia butuh banyak waktu untuk mencari jalan keluar agar Sakura-chan-nya tidak meratap lagi. Naruto ingin mengakhiri kesedihan gadis yang dicintainya itu sedini mungkin. Namun ternyata gadis itu malah secepat ini menghampirinya. Naruto tahu betul Sakura pasti sangat kerepotan karena mengurusi dirinya dan Sasuke.
“Aku sedang tidak ada selera untuk makan ramen kali ini, Sakura-chan,” ucap Naruto dingin. Ia menatap ke arah depan dengan tatapan kosong. Mangkuk di tangan Sakura nyaris beranjak dari genggamannya ketika ia mendengar Naruto tidak memanggilnya seperti yang biasa Naruto lakukan. Suaranya begitu pelan tak punya semangat. Hal teraneh yang lain, Naruto menolak ramen? Padahal tadi pagi dia merengek minta dibelikan makanan favoritnya itu. Ini seperti bukan Naruto yang Sakura kenal. Tapi Sakura mengacuhkannya dan bersikap tenang.
“Tapi kau belum makan seharian ‘kan, Naruto? Aku akan membantumu.” Sakura melanjutkan pekerjaannya lagi. Tersadar ia lihat, Naruto menatapnya dengan angkara murka. Sakura bergidik dibuatnya. Belum pernah Naruto memandanginya dengan tatapan tajam seperti ini.
“Tidak perlu, Sakura-chan. Nanti aku memakannya sendiri.” Naruto melanjutkan kalimat verbalnya, sementara Sakura meletakkan mangkuk berisi ramen ke meja yang ada di sebelah tempat tidur Naruto. “Yang paling penting sekarang, ada hal yang ingin kubicarakan padamu.”
Mata Sakura sedikit terbuka lebar. Airmukanya berubah seketika. Ia menjadi waswas dengan apa yang ingin Naruto utarakan. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak. Padahal baru saja dia menangis semalam di ruangan Sasuke.
“Ada apa, Naruto? Kau jadi sangat aneh,” ucap Sakura dengan terus memandangi mata sapphire yang tak kunjung menjauhinya. Ada yang lain dalam diri Naruto yang tak Sakura bisa tebak apa isinya. Lain kata lain perasaan, Sakura berusaha menyembunyikan ketegangannya dengan senyuman palsunya.
Naruto malah semakin menatapnya beringas. Senyuman palsu Sakura terbaca olehnya, “Kau tidak perlu memberiku senyum palsumu, Sakura-chan.”
Sakura tersentak. Ia terkejut dengan kata-kata yang Naruto utarakan. Ia takut senyuman palsunya disalahartikan oleh Naruto. Padahal bukan maksudnya untuk mengecewakan hati the Kyuubi Host itu. Dia tak melakukan hal yang menyakitkan hati Naruto ‘kan? Lalu mengapa Naruto menjadi naik darah seperti ini?
“Ma—maaf, Naruto. Aku tidak bermaksud apa-apa. A—Aku hanya kecapaian seharian ini.” Sakura menggigit jarinya. Ia tidak mau bilang penyebab yang sebenarnya mengapa dia sangat kelelahan hari ini. Beban yang ia miliki sangatlah berat. Biarlah ia rasakan sendiri, dia tidak mau membebani Naruto lagi dengan segala kesulitannya.
“Ya, aku tahu kau sedang kecapaian, Sakura-chan. Karena itu—” Naruto berhenti sejenak—menyedarkan matanya ke arah lain. Dia tidak mau memandangi Sakura.
“Karena itu apa, Naruto?” Tanya Sakura parau.
“Karena itu…Bisakah kau tidak mengurusiku lagi, Sakura-chan?”
Song Insert ‘Pergi dengan Indah by Kerispatih.’
Saatku tak mampu bertahan lagi…
Yang kumau hanya tak menyakitimu…
“Na—nani yattan da, Naruto? Tentu saja aku tak bisa begitu. Kau teman baikku, Naruto. Bagaimana bisa aku mengabaikanmu begitu saja?” Sakura mencoba berdalih. Ia kaget bukan main dengan permintaan tiba-tiba Naruto tersebut.
“Aku tidak apa-apa, Sakura-chan. Kau tak perlu khawatir. Meski tak bisa menjadi ninja lagi, tanpa kaki aku masih bisa hidup.” Naruto menatap kedua kakinya. “Tapi Sasuke…tanpa jantungnya dia akan meninggalkan kita.”
Biar saja kau tahu sendiri…
Cinta itu tak hanya mencari…kesenangan diri…
Sakura dibuatnya tersentak kembali. “Apa—apa maksudmu, Naruto? Wakanai… Sasuke-kun memang terluka parah. Tapi sekarang dia ba—”
“Berhenti membohongiku, Sakura-chan!” Naruto memotong kalimat Sakura dengan tiba-tiba. “Berhenti dengan segala omong kosongmu.” Ditatapnya Sakura dengan penuh kepedihan. Naruto memutuskan mengatakan semua perasaan pahit yang sebenarnya ia rasakan sejak lama. “Kau memang berbohong dengan maksud baik. Tapi itu hanya menambah kesakithatianku.”
Sakura langsung mematung, giginya bergemeletuk menahan dinginnya ucapan Naruto. “Naruto…anata wa?—”
Naruto menganggukkan kepalanya lesu. “Ya, aku tahu keadaan Sasuke, Sakura-chan. Aku tahu keadaan dia yang sebenarnya.” Naruto mengambil nafas sejenak. Ia tahu ini adalah keputusannya yang terkesan terburu-buru. Tapi dia sedang linglung karena semua masalah yang menimpanya. “Kau pasti menyadarinya ‘kan, Sakura-chan? Sasuke…lebih membutuhkanmu daripada aku.”
Butiran air mata mulai membasahi pipi Sakura. Ia tidak ingin menyakiti Naruto. Tapi mengapa yang semua ia putuskan nyaris selalu menggores hati teman baiknya itu?
“Tapi Naruto, kau—”
“Aku akan baik-baik saja, Sakura-chan.” Naruto kembali memotong kata-kata Sakura. Dia tidak ingin mendengarkan Sakura berdalih.
Saatku harus katakan perpisahan…
Yang kau mau hanya ku tetap bersamamu…
“Aku tahu kau sangat mencintai Sasuke…karena itu lupakanlah aku, Sakura-chan.”
Aku sangat mengerti sayangku
Tapi maafkan ini semua…harus berakhir.
“Kau tak perlu mencari obat untukku. Carilah pendonor jantung untuk Sasuke. Kau pasti bisa menemukannya.” Naruto mengepal erat tangannya. Entah mengapa ia benci dengan dirinya sendiri.
“Uso—Uso, Naruto. Naze?” Sakura menggelengkan kepalanya. Menggigit bibirnya dengan keras, berusaha untuk menahan air matanya agar tak mengalir deras.
Aku masih cinta…itu sebabnya ku pergi…
Ku masih sayang…itu sebabnya kuminta kau berpikir…
“Besok kau tidak perlu mengunjungiku lagi,” ucap Naruto lagi. Dia ingin mengakhiri semua. Ia ingin Sakura pergi dari hadapannya. Ia tak sanggup melihat Sakura terus menangis.
Cinta bukan buta…
Tapi cinta memahami…
Semoga hidup ini lebih berwarna bagi kita…
“Naruto, meski aku mencintai Sasuke. Tapi aku juga—”
“Damare, Sakura-chan! Aku tahu yang kau katakan kemarin di badai salju itu bohong!”
Meski harus terpisah…
Jauh…
Jauh…
PLAK!
Sakura melayangkan tamparan di pipi kanan Naruto.
“Kau bodoh, Naruto! Meski aku mencintai Sasuke-kun, bukan berarti aku harus mengabaikanmu!” umpat Sakura yang penuh linangan air mata di pipinya. Naruto menatapnya penuh kejut. Ia tak habis pikir mengapa Sakura malah menamparnya. Kemudian Sakura mengambil langkah seribu dari tempatnya.
“Sakura-chan, matte!”
Tapi yang dipanggil namanya telah menghilang dalam dekapan. Naruto nyaris mengejar Sakura, namun ia mengurungkan niatnya tatkala ia ingat keadaannya sendiri. Naruto langsung membantingkan tubuhnya sendiri ke tempat tidur.
“Kuso! Aku ingin mengurangi beban Sakura-chan. Tapi aku malah membuatnya menangis.” Naruto mengutuk dirinya sendiri. Ia memang paling tidak bisa mengerti perasaan seorang wanita. Meskipun dia telah lama berpetualang dengan Jiraiya, tetap saja baginya mengerti perasaan seorang wanita adalah hal yang paling sulit di dunia ini. Naruto sudah muak—sudah muak dengan semua hal yang menimpanya. Tiba-tiba terbersit sesuatu dalam pikirannya—yang dia terka hanya satu-satunya cara untuk menyelamatkan Sasuke. Tapi dia cukup lelah untuk berpikir terlalu jauh—ia tumbang dalam alam mimpinya.
.
0o0o0o0o0
.
Sakura langsung mendobrak pintu rumahnya ketika sesampainya ia di sana. Ia tak pedulikan omelan orangtuanya yang sudah lama menunggu kedatangannya karena anaknya sudah cukup lama meninggalkan rumah. Sakura langsung berlari ke kamarnya dan menguncinya rapat-rapat. Ia kemudian menjatuhkan dirinya ke tempat tidur dan menangis sejadi-jadinya.
Tak lama, ia kemudian menatap jendela kamarnya yang tertutup rapat. Perlahan Sakura membukanya. Semilir angin dingin, menyusup ke kamar kecilnya. Ia perhatikan rembulan yang menghiasi langit kelam di atas sana. Semuanya nyaris sama seperti saat itu—saat dimana Sasuke meninggalkan Konoha dan mengkhianati teman-temannya. Malam itu Sakura hendak menghentikan Sasuke dengan menyatakan perasaannya yang sebenarnya.
Tapi mujur memang tak mudah diraih, Sasuke tak menjawab perasaannya dan malah meninggalkan dia pingsan di bangku jalan. Hanya ucapan terima kasih yang keluar dari mulut pemuda tampan itu. Sakura—yang gagal membujuk Sasuke untuk tidak pergi—merasa tak mampu meraih binar harapannya. Karena itu ia meminta tolong Naruto untuk mengabulkan keinginannya. Keinginan terbesar dalam hidupnya—yang Sakura tahu—tak mudah untuk digenggam dengan tangannya sendiri. Namun kini semua nyaris mencapai klimaksnya.
Sasuke yang ia cinta dengan sepenuh hatinya memang telah kembali ke Konoha. Namun goresan takdir siapa yang tahu? Sasuke malah pulang dalam keadaan kritis yang Sakura tak mampu untuk menyembuhkannya. Dia akan pergi lagi dalam hidup Sakura. Namun Sakura paham, tidak mudah bagi Sasuke untuk kembali ke pangkuannya. Berkumpul seperti sedia kala, tertawa bersama—menangis bersama…senasib sepenanggungan. Masa-masa penuh warna pada saat tim tujuh berkumpul dulu, secepat inikah akan berakhir?
Satu-satunya cara adalah transplantasi jantung. Namun itu juga sulit untuk dilakukan, mengingat tak ada yang bersedia untuk mendonorkan jantungnya untuk Sasuke. Tadinya Sakura ingin melakukan hal gila dengan mendonorkan jantungnya sendiri untuk the Uchiha Prodigy. Tapi setelah ditelaah, jantung Sakura tidak cocok untuk Sasuke dikarenakan ketebalan katupnya yang sedikit berbeda. Oleh karena itu ia urungkan niatnya dan mulai mencari seseorang yang ingin mendonorkan jantungnya Sasuke ke desa-desa tetangga.
Sakura sedang kehabisan waktu. Niatnya ia ingin menyelamatkan Sasuke, tapi ia nyaris kehilangan waktu untuk menyelamatkan Naruto. Ya, hanya Naruto yang memiliki kesempatan untuk hidup. Bukan maksud hati Sakura mengabaikan temannya itu. Sakura hanya tak ingin kehilangan mereka berdua. Sakura tentu saja sulit untuk memilih dalam keadaan seperti ini. Kalau saja mereka berdua sehat-sehat saja akan lebih mudah baginya untuk menentukan sebuah pilihan. Tapi masalah yang sedang ia hadapi sungguh berbeda.
Dua orang lelaki itu mengisi ruang hatinya yang paling dalam. Meskipun tak pasti, dia menyadari perasaannya terhadap Naruto semakin lama semakin berlabuh mendekati dermaga kalbunya. Ya, Sakura mencintai keduanya. Namun cinta itu sangat sulit ia bagi seutuhnya kepada seorang saja. Karena mereka jatuh di dua belahan hatinya.
Sakura mengambil foto tim tujuh di meja yang berada di sebelah tempat tidurnya. Di sana ada Kakashi-sensei, Sasuke, dan Naruto. Ia membayangkan apabila salah satu diantara mereka telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Sakura menyadari…bahwa dia belum siap menghadapi semua ini.
“Aku…tidak bisa mengabaikan kalian berdua,” ujarnya.
Sakura meletakkan bingkai foto itu dalam pelukannya. Ia kemudian tertidur lelap ditemani desiran angin kalap yang masuk melalui jendela kamarnya yang terbuka lebar. Ia perlu menghilangkan penat yang selama ini menimpanya. Sakura sudah memutuskannya dengan mantap. Kejadian tadi di ruangan Naruto, membuatnya sadar akan satu hal. Mungkin dia harus merelakan Sasuke-kun-nya pergi dari kehidupannya. Bukankah manusia memiliki batas kemampuannya untuk melawan takdir?
Tapi ada yang Sakura tidak ketahui. Ia akan mengalami satu hal yang paling menyakitkan dalam hidupnya. Rasa perih itu akan lama menggerogotinya. Melebihi perihnya ketika Uchiha Sasuke meninggalkan Konoha. Hari-hari itu akan seperti neraka baginya.
.
0o0o0o0
.
Naruto tiba-tiba terbangun dalam tidurnya. Namun ia terjaga di tempat yang berbeda yang sama sekali tak ia kenal. Ia berbaring di atas dipan empuk di dalam paviliun terbuka yang dikelilingi pohon-pohon berwarna-warni. Daun-daunnya yang elok berserakan di sekitar paviliun. Sepertinya musim gugur sedang melanda tempat ini. Naruto melihat disekelilingnya. Kidungan burung pagi terdengar di penjuru tempat tersebut. Cahaya keemasan matahari menyelimuti area, sungguh menyejukkan mata walaupun terlihat berantakan.
Naruto bangkit dari dipan dan menemukan bahwa kakinya bisa digerakkan, mungkin bila mencobanya ia juga bisa berjalan. Tapi Naruto malah menggerutu, ia tahu pasti ini hanya sebuah mimpi.
Naruto mulai beranjak dari sana. Ia berjalan pelan menikmati pemandangan di sekitarnya. Tampaknya ia berada di atas salah satu tebing—yang mengapit sebuah lembah—yang ditumbuhi pohon-pohon rindang nan lebat. Jika dibandingkan dengan pepohonan yang ada di Konoha, pepohonan ini jauh lebih besar dan tinggi. Jeram-jeram kecil menghiasi tembok-tembok kokoh dua tebing. Jeram-jeram itu jatuh di sungai di bawahnya.
Naruto memperhatikan seluruh area di bawah kakinya. Ternyata di sana pemandangannya lebih elok lagi. Sebuah bangunan besar berdiri menantang menjulang nyaris menyaingi tinggi tebing di kakinya. Sepertinya bangunan itu adalah sebuah istana. Karena bangunan itu terlalu besar jika disebut sebagai rumah.
Naruto memperhatikannya dengan teliti, istana itu dikelilingi oleh paviliun-paviliun kecil yang nyaris sama bentuknya dengan paviliun dimana dia berbaring tadi. Pahat-pahatan daun terukir di dinding pualam istana. Altarnya tinggi dengan sebuah karpet merah yang digelar di tengah-tengahnya. Naruto mulai berkhayal, putri seperti apakah yang tinggal di istana megah itu? Ia tak peduli lagi apakah ini hanya mimpi atau kenyataan, yang jelas semua pemandangan yang diberikan oleh tempat ini sangat menghibur hatinya.
“Lembah yang indah…,” bisiknya.
Tapi ada yang masih membuat Naruto penasaran. Ia mulai merasakan wangi sedap bunga mawar yang menyengat hidungnya. Ia mengenal bau ini.
“Ini bau wanita itu,” ucap Naruto. Ia langsung mencari dimana bau itu berasal. Naruto berlari dan terus berlari hingga terdengar olehnya suara gemercik air yang cukup berisik. Ia melangkah perlahan ke depan. Ia buka matanya lebar-lebar. Rupanya terbentang luas sebuah lautan biru yang tak ada ujungnya. Angsa-angsa putih berterbangan kesana kemari seakan menari menyambut kedatangan dirinya. Yang Naruto sadari ada tiga pusaran air yang berputar menyatu dengan langit, nyaris seperti badai taifun. Pusaran air itu berputar kesana kemari tak tentu arah. Angsa-angsa itu mengikuti kemana pusaran air itu pergi. Sungguh aneh, Naruto tahu pusaran air itu laksana badai tapi sama sekali tak terlihat menakutkan bagi angsa-angsa tersebut. Mungkin mereka sedang mencari ikan segar di dalamnya.
Kemudian ia alihkan pandangannya ke sebelah kirinya. Dan ia temukan sang mawar merah berdiri di ujung tebing sembari memandangi lautan biru yang membentang di balik dua tebing kokoh. Naruto menyebutnya sang mawar merah karena ia tak mengetahui nama wanita itu. Naruto pun mendekatinya. Sang mawar merah menoleh ke arah Naruto, tersadar akan kehadiran si rambut blonde, ia pun tersenyum simpul.
“Naru-chan, im gelir ceni ad lín,” ujar wanita itu. Ia tetap berada dalam gaun merah miiko-nya. Sangat cocok dengan warna rambut panjangnya yang digerai indah.
“Sudah kubilang padamu, aku tak mengerti bahasa yang kau ucapkan,” ujar Naruto bersikap santai. Rasa-rasanya ia tak perlu santun kepada orang yang tak jelas juntrungannya. Kalau ada Sakura, ia pasti langsung meninju Naruto karena ketidaksopanan sikapnya.
“Artinya, senang bertemu denganmu lagi, Naru-chan,” sang mawar merah kembali tersenyum. Ia menatap laut biru yang berada di depannya. Kesunyian menyelimuti mereka. Ada banyak hal yang sebenarnya Naruto ingin tanyakan pada sang mawar merah, namun Naruto bingung untuk menanyakan hal mana dulu.
“Kau yang membawaku kesini ‘kan? Apa tujuanmu sebenarnya?”
Sang mawar merah menghela nafas perlahan. “Karena aku tahu, kau sedang dalam kesedihan yang mendalam,” jawabnya sembari memejamkan mata. Deburan ombak menerjang tebing yang melindungi lembah. Saling menyeru satu sama lain, membentuk sebuah instrumen abstrak namun sangat merdu didengar. Naruto tahu wanita ini pasti sedang asyik mendengarkan suara-suara indah ini.
“Bagaimana kau bisa tahu aku sedang punya masalah?” Naruto kembali menginterogasi sang mawar merah. Mata azure-nya tak pernah lepas menatap mata scarlet wanita yang masih membuatnya penasaran dengan segala kemisteriusannya.
“Hmm? Aku hanya mengikuti kata hatiku saja,” jawab sang mawar merah sambil tetap lurus menatap ke depan.
“Jadi kau telah mengenalku sebelumnya?”
“Ya, tentu saja.”
Naruto malah makin tambah pusing dengan jawaban-jawaban yang diberikan wanita yang ia tak ketahui asal-usulnya itu. Tapi ia cukup terhibur dengan adanya wanita ini. Karena dia telah membawa Naruto ke alamnya yang indah... Rasa-rasanya ia ingin selamanya berada di sini. Di tempat ini beban di pundaknya terasa lenyap. Tapi jika ia pergi, apakah dia bisa tinggal di sini? Atau inikah surga yang Tuhan janjikan bagi orang-orang yang mulia selama hidupnya?
“Tempat ini sangat indah. Aku jadi ingin sekali tinggal di sini.” gumam Naruto. Wanita itu berbalik memandanginya. Ekspresi wajahnya begitu tenang penuh perhatian. Membuat Naruto ingin menumpahkan semua kelu kesahnya pada wanita peri itu.
“Benarkah? Kau tak rindu akan kampung halamanmu?”
“Tentu saja aku akan selalu merindukannya!” teriak Naruto. Ia mungkin sedikit hiperbola karena wanita itu tetap tenang menghadapinya. “Em—maksduku…aku hanya berpikir jika aku mati nanti apa aku bisa tinggal di sini?”
Wanita itu tersenyum. “Mati? Kenapa kau berpikir begitu?”
“Apa kau malaikat yang akan menjemputku ke surga nanti?”
Wanita itu tertawa terbahak. Walau begitu, tawa lepasnya tetap saja sangat merdu didengar. “Aku malaikat? Tidak Naru-chan. Aku tidak jauh beda denganmu.” Sang mawar merah kembali menatap laut lepas di depannya. “Jadi kau berpikir bahwa kau akan mati karena ada aku yang sehari semalam mengganggumu? Kau pikir ini adalah surga?”
Naruto mengangguk kecil. Entah mengapa ia merasa pernyataannya barusan sangat konyol untuk diberitahukan pada sang mawar merah. Namun dia tidaklah asal sebut. Kematian adalah hal yang terngiang-ngiang di benaknya seharian ini. “Tapi aku memang berniat untuk mati,” ujar Naruto sembari menundukkan kepalanya.
Wanita itu segera mendekat ke arah Naruto. Mereka saling berhadapan satu sama lain. Disentuhnya dagu Naruto dengan jemari lentiknya. Ia mengangkat bagian itu secara perlahan. “Kenapa kau begitu putus asa?”
Naruto mulai mengingat insiden ketika terakhir kali ia bertarung dengan Sasuke. Insiden yang membawa sahabatnya nyaris jatuh ke dalam jurang kematian. Kemudian tangisan Sakura yang mengharapkan Sasuke sebagai pelipur laranya kembali. Naruto tahu hanya kepulangan Sasukelah yang akan membawa kebahagiaan untuk gadis yang dicintainya itu. Tapi kini ia mengerti…kalau janji seumur hidupnya dulu, tidak akan pernah bisa ia tepati jika ia hanya terpaku dalam tempat tidurnya.
Naruto tak mampu menjawab secara verbal pertanyaan sang mawar merah. Ia langsung jatuh ke dalam ratapannya. Airmatanya turun ke gundukan tanah hijau—tempat di mana ia memijakkan kakinya. Wajahnya tertunduk lesu. Bahunya naik turun karena saking terisaknya. Dalam hati ia memaki dirinya sendiri. Sebagai laki-laki ia seharusnya tidak menangis di depan seorang wanita. Apalagi wanita ini sama sekali tidak pernah ia kenal sebelumnya.
Tiba-tiba kilatan cahaya membangunkannya. Naruto mendongakkan kepalanya—memandangi wanita itu sembari membuka matanya lebar-lebar. Sang mawar merah seperti mengeluarkan sebuah mantra dari bibirmya.
“Ú I vethed nâ i onnad. Nâ boe ú i. Esteliach nad, estelio han,” ucap wanita itu sembari menyentuh dada kiri Naruto. Namun entah mengapa tiba-tiba Naruto jadi mengerti apa yang ia ucapkan.
‘Ini bukan akhir dari segalanya…ini adalah permulaan. Kau tidak perlu melakukannya. Jika kau tak ada yang bisa kau percaya. Percayalah pada ini.’
“Maksudmu aku harus percaya pada kata hatiku sendiri?” Tanya Naruto. Wanita itu mengangguk pelan.
“Ya, Naruto. Ketika malam akan berakhir, kau mungkin akan menemukan terbitnya sang surya.” Cahaya kembali terpancar mengelilingi mereka. Wanita itu ternyata kembali membawa Naruto ke dunia aslinya. Dunia dimana saat ini ia sedang terlelap dengan nyenyaknya. Tubuh Naruto gemetaran. Sang mawar merah mengenggam tangan Naruto dengan erat sembari mengeluarkan kata-kata yang membuat hati Naruto tenang.
“Sst, Naru-chan. Tidur...tidurlah hingga fajar tiba,” bisiknya sembari mengusap dahi Naruto secara perlahan. Tubuh gemetar Naruto perlahan menghilang karena sentuhannya. Tadinya sang mawar merah ingin sekali memberitahukan siapa dirinya yang sebenarnya kepada Naruto.
“Belum saatnya kau tahu siapa aku, Naru-chan,” ucapnya sembari berdiri hendak beranjak dari ruangan Naruto berada. “Kalau itu pilihanmu, tentu saja aku tak bisa menghentikannya.” Dirinya pun nyaris menghilang dalam bayangan. Tapi sebelum pergi ia berujar. “Namun setiap ibu…mempunyai kekuatan untuk melindungi anaknya.”
Sang mawar merah pun lenyap bersama kedatangan surya di ufuk timur.
.
0o0o0o0
.
Pagi sekitar pukul sepuluh, Tsunade mengunjungi Naruto kembali. Kali ini dia yang bertugas memeriksa keadaan Naruto karena Sakura telah memulai aktivitasnya untuk meracik obatnya. Ia hanya memiliki waktu 4 hari sebelum luka di kaki Naruto bertambah parah. Tsunade mempercayakan perihal ini kepada Sakura. Meskipun rasanya berat sebelah, tapi hanya Naruto yang memiliki kesempatan untuk hidup.
Tsunade berjalan memasuki ruangan di mana Naruto berada. Rupanya ia sudah bangun dan duduk di atas kasurnya. Memandang langit di luar jendela yang kala itu berawan. Sepertinya musim hujan akan tiba.
“Ohayou, Naruto!” sapa Tsunade. Naruto langsung menoleh ke arahnya.
“Ohayou, Tsunade-baba,” balas Naruto sembari tersenyum lemah. Tsunade sedikit tercengang melihatnya. Keadaan Naruto sedikit berantakan dibandingkan dengan hari kemarin. Ia lesu tak ada gairah. Namun keadaan kamarnya lebih parah lagi. Tsunade melihat pecahan vas bunga bereserakan di bawah jendela. Ia nyaris shock melihat pemandangan di ruangan Naruto. Kelopak bunga mawar merah bertebaran dilantainya.
“Naruto, kenapa kamarmu berantakan begini?” Tanya Tsunade yang perlahan mendekatinya.
“Hmm? Semalam jendela kubiarkan terbuka lebar. Angin besar tiba-tiba masuk. Lalu vas bunga itu pun terhempas dan bunga mawar jatuh berguguran,” jawab Naruto sembari menunjuk ke arah kepingan vas bunga itu.
“Begitu?” Tsunade sedikit bingung. Padahal seingat dia tidak ada badai tadi malam meskipun hari ini terlihat mendung, “Ya sudah, nanti kupanggilkan penjaga untuk membersihkannya.” Tsunade membuka mangkuk berisi bubur ditangannya. “Kau sarapan dulu ya, Naruto.”
Naruto menggelengkan kepalanya. “Nanti saja, Baba; aku sudah kenyang. Baru saja aku menghabiskan buah-buahan, sayuran yang diberikan Sai. Dan juga Sakura-chan tadi malam membelikan aku ramen.”
Tsunade memperhatikan bungkusan bekas buah-buahan dan ramen yang tergeletak di meja sebelah Naruto. Dan benar saja, semua isinya telah lenyap. Tsunade menatap Naruto dengan raut muka penuh rasa heran. Naruto sedikit aneh hari ini.
“Baiklah kalau begitu.” Tsunade meletakkan bungkusan yang dibawanya ke meja satu lagi. Memang ada dua meja yang mengapit kasur Naruto. Ia keluarkan semua isi bungkusan itu.
“Tsunade-baba, ada…yang ingin kubicarakan padamu,” ujar Naruto sembari menatap the Slug Sannin di sampingnya. Sementara yang disebut namanya sedang sibuk dengan aktivitasnya sendiri.
“Apa, Naruto? Katakan saja,” ucap Tsunade. Ternyata ia membawa obat luka bakar untuk Naruto dari racikannya sendiri. Tsunade menyimpannya ke dalam botol. Satu persatu tiga botol dia letakkan rapi di atas meja. Namun ketika akan meletakkan botol terlakhir…
“Aku…ingin mendonorkan jantungku untuk Sasuke.”
PRAANNNGGG!!!
Botol obat yang Tsunade bawa terlepas dari genggamannya. Ia langsung menatap Naruto dengan tubuh gemetaran. \
Bersambung…
Maaf cliffhanger hehe. Btw terlalu lama ‘kah alurnya? Atau malah sebaliknya?…
Para reviewers n readers pada penasaran sama siapa wanita itu? Ya kisi-kisinya sudah saya berikan ^^. Lha itu kenapa bisa ada bahasa LOTR di sini? Wkwkwkw… Jawabannya akan saya berikan nanti.
Okay review please ^^
GLOSARY
“taken from the Fellowship of the Rings dialogs and phrases from arwen-undomiel.com”
1. telin le thaed : Aku datang untuk menolongmu.
2. Lasto beth nîn, tolo dan nan galad : Dengarkan suaraku, kembalilah ke cahaya.
3. Namárië (Quenya Language) : Selamat tinggal
Heart
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: Semi Canon. Rated T. Tragedy/Drama.
Pairing: NaruSakuSasu.
Happy Reading guys ^^
.
.
Chapter 3
Ketika Diri Harus Memilih
.
.
Hari kian petang; kicauan burung pengiringnnya telah datang. Mereka bernyanyi-nyanyi merdu tatkala Matahari nyaris tergelincir ke balik pegunungan. Jikalau kau perhatikan lautan, biru lautnya seakan memerah diterpa cahayanya yang merabunkan mata.
Pepohonan yang berdiri kokoh di tengah keramaian kota. Tak berpolusi dan sungguh asri tatkala kau melihat pemandangannya yang begitu hijau. Sekalipun kota itu ramai akan penduduknya.
Desa Konoha—desanya para ninja yang terkenal hebat itu—mulai terlihat lengang. Para penduduk desa mulai kembali ke rumahnya masing-masing. Berniat untuk beristirahat atau bercengkrama dengan keluarga—melepas rindu yang seharian telah lama mengusik mereka.
Dan di sana—di salah satu ruangan di rumah sakit Konoha. Seorang gadis berambut pink terjaga dari tidur lelapnya. Dibuka matanya perlahan. Ia menyipitkan matanya. Menahan sinar merah matahari yang menyusup di celah-celah jendela.
Sakura melihat sekelilingnya. Dia heran karena dia tahu ini bukan kamar tidurnya. Kemudian dia merasakan kehangatan di sekitar kepalanya. Sakura tersentak, bantal yang dijadikannya tempat bersandar memang tidak seempuk bantal di kamarnya. Tapi entah mengapa terasa lebih nyaman. Diarahkan matanya ke samping bahunya. Sebuah tangan merengkuhnya, mengamankan dia dari dingin petang yang menerpa.
Sakura terpana melihat keadaannya. Di manakah dia saat ini? Sakura mengangkat kepalanya perlahan. Barulah rasa keingintahuannya terjawab. Ia melihat ke arah bawah, memperhatikan bantal yang seharian dia jadikan tempat sandaran kepalanya
‘Naruto!’ hampir saja dia berteriak kencang. Namun dia menutupi mulutnya agar hal itu tidak terjadi. ‘Ya Tuhan, kenapa aku bisa tidur di sini? Aku telah mengganggu pasien. Tapi kenapa Naruto tidak membangunkanku?’ Sakura bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Di lihatnya Naruto yang tertidur pulas. Wajahnya begitu damai, seakan-akan tidak pernah memiliki beban dalam hidupnya.
Sakura tersenyum. ‘Kau memang tukang tidur, Naruto.’ Kemudian Sakura membawa tangannya ke rambut landak Naruto. Dirapikannya rambutnya yang berantakan itu. Sakura melakukannya dengan penuh perasaan dan kelembutan. Lalu dibawanya tangannya menelusuri lekuk wajah Naruto hingga ke bawah dagunya. Bentuk wajah Naruto begitu tegas, menunjukkan kedewasaannya. Sakura menyadari bahwa Naruto semakin dewasa semakin tampan.
Kemudian ia perhatikan bibir Naruto yang kering. Bibirnya tipis dan melengkung indah. Jarang sekali lelaki yang memiliki bibir seperti ini. Sakura hendak membelai bibirnya, tapi terhenti di saat ada seseorang yang membuka pintu ruangan.
“Selamat Sore, Naru—” Ternyata itu Hokage Kelima. “Sa—Sakura?! Sedang apa kau di sini?! Kenapa kau naik ke tempat tidur, Naruto! Dia itu pa—”
Sakura langsung memotong kata-kata Tsunade yang nyaris tidak memiliki titik dan koma jika kau mendengarkan omelan panjangnya. “Ma—maaf, Shisou. Kau boleh saja memarahiku tapi Naruto sedang tidur,” ujar Sakura pelan.
Tsunade memang hampir akan mengomeli muridnya itu, namun ia urungkan niatnya dan mendekat ke arah Sakura. “Kau harus menjawab pertanyaanku tadi Sakura,” ucap Tsunade tegas. Walau ia seorang wanita tapi ia memiliki wibawa yang cukup tinggi.
Sakura segera beranjak dari tempat tidur Naruto. “Bisakah kita bicara di luar, Shisou? Aku tidak mau Naruto terbangun.”
Tsunade menuruti permintaan Sakura dan mengikutinya—yang keluar dari ruangan di mana Naruto dirawat—dari belakang. Mereka pun berdiri di sekitar koridor tak jauh dari ruangan itu.
Tsunade memang telah bangun dari komanya ketika Sakura kembali ke Konoha. Tentunya ada rasa bahagia dalam hati Sakura melihat gurunya itu telah sehat sedia kala. Tapi kebahagiaan itu terselubungi oleh penderitaan yang Sakura jua tak tahu kapan akan segera berakhir.
“Maaf, Shisou. Tadi pagi aku baru saja pulang. Aku langsung mengunjungi Naruto. Tapi aku sangat kelelahan dan aku tidak sengaja tidur di ranjangnya,” jelas Sakura. Ia menatap Tsunade waswas. Takut-takut Tsunade akan memarahinya.
“Begitu? Lalu bagaimana? Apa kau sudah menemukan obat untuk menyembuhkan kaki Naruto?” Tsunade tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Memang itu sebenarnya yang ia ingin bicarakan jika bertemu dengan Sakura di satu waktu. Namun tak disangka The Slug Sannin itu malah menemukan muridnya di ruangan Naruto.
“A—Aku belum menemukannya, Shisou,” jawab Sakura jujur.
“Belum? Lalu kemana saja kau selama ini, hm?” Nada suara Tsunade mulai meninggi. Ia menyilangkan kedua tangan di dadanya. Menunggu dengan sabar kalimat apa yang akan dilontarkan mulut Sakura. Namun muridnya itu malah diam seribu bahasa.
Sakura memutar matanya; mencari jawaban yang tepat untuk shisou-nya itu. Namun kekalutannya terbaca oleh Tsunade. Tsunade menghembuskan nafasnya kuat-kuat.
“Sudahlah, Sakura. Maaf aku terlalu menginterogasimu. Aku tahu kemana saja kau pergi kemarin hari.”
“…”
“Sakura tidak hanya Sasuke tapi Naruto juga sangat membutuhkanmu. Kau tahu itu?”
Mendengar pernyataan Tsunade, Sakura merasa disentil. Ada perasaan tidak enak muncul di hatinya. Apakah dia begitu pilih kasih terhadap Naruto selama ini?
“A—Aku tahu, Shisou. Sebenarnya terasa berat bagiku melakukan dua perkerjaan sekaligus. Aku tidak bisa mencari pendonor jantung untuk Sasuke-kun sembari mencari literatur obat untuk luka bakar Naruto.” Sakura menggigit bibirnya sendiri. Apakah Tsunade akan merasa puas dengan jawaban yang ia berikan?
“Aku sudah memberikan daftar buku dan sampel obatnya padamu Sakura. Kau tinggal mengembangkan dan menganalisisnya. Memang membutuhkan analisis yang berat untuk menyatupadukan bahan-bahan obat yang sesuai. Tapi hanya kau ninja medis yang memiliki kemampuan analisis tajam. Kau sudah tahu ‘kan Sakura?/ Jika kau tidak segera menemukannya kaki Naruto bisa diamputasi.”
“A—Aku mengerti, Shisou. Tentu saja aku tidak akan membiarkan hal itu menimpa Naruto.” Sakura tertunduk lemah. Rasa bersalahnya kembali mencuat. Mengapa ia tak bisa menjadi sahabat yang berguna bagi Naruto?
Entah mengapa juga rasa kantuk cepat sekali menerpa dirinya. Minggu-minggu ini merupakan minggu terberat baginya. Ia memiliki tugas berat untuk menyelamatkan kedua temannya yang sedang sekarat. Yang satu sedang melawan maut. Yang satu lagi terancam kehilangan kedua kakinya.
“Aku sangat mengerti, Sakura. Aku tahu bebanmu karena itu aku dan ninja medis lain juga membantu agar Sasuke dan Naruto bisa diselamatkan. Walau kecil sekali kemungkinan kalau Sasuke akan hidup.”
Sakura langsung mendongak; ia menatap gurunya itu dalam-dalam. Sakura tahu apa maksud Tsunade berbicara seperti itu. Secara tidak langsung ia berkata sudah saatnya Sakura untuk menentukan pilihan. Tapi Sakura memilih berpura-pura bodoh dengan menanyakan hal itu pada Tsunade.
“Maksud, Shisou?”
“Kenapa kau jadi tidak cepat tanggap begini, Sakura? Aku hanya ingin kau bertindak cepat. Tapi maaf memang ada sesuatu hal yang mengganjal di hatiku.”
Sakura langsung lemas. Rasa-rasanya ia ingin menutupi telinganya. Ia takut untuk mendengarkan kata-kata Tsunade selanjutnya.
“Kenapa Sakura? Kenapa kau tidak merelakan Sasuke pergi saja?” Tanya Tsunade tiba-tiba. Sakura terkesiap, matanya mulai berair. Bagaimana bisa ia merelakan cinta pertamanya itu meninggalkannya untuk selamanya? Dia tahu usahanya mencari pendonor jantung untuk Sasuke tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi setidaknya dia bisa menemukan seseorang yang merelakan jantungnya untuk menyelamatkan Sasuke.
“A—Aku hanya ingin menyelamatkan Sasuke-kun saja, Shisou. Aku ingin Sasuke-kun memiliki kesempatan kedua. Dia—Dia telah menyelamatkan Naruto dari serangan Madara. Sasuke-kun pasti akan berubah.” Suara Sakura mulai bergetar. Ia tidak pernah beradu argumen dengan Tsunade. Biasanya ia langsung mau menuruti kata-kata shisou-nya. Tapi kali ini Sakura berusaha untuk tetap tegak pada garis pendiriannya.
“Jadi begitu yang kau pikirkan?” Tsunade kemudian kembali menghembuskan nafasnya perlahan. “Aku tahu kau sangat mencintai Sasuke, Sakura. Tapi bukan berarti kau mengesampingkan hal lain yang jadi kewajibanmu. Aku tahu kau hanya memandang Naruto hanya sebagai sahabatmu saja.”
Sakura langsung merespon pernyataan Tsunade itu. “Aku sama sekali tidak bermaksud membeda-bedakan mereka, Shisou! Aku hanya—aku hanya—” Sakura tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Batang tenggorokannya tercekat, seperti ada sesuatu yang menghalangi dirinya untuk berbicara. Sakura menahan tangisnya. Ia tidak mau air matanya jatuh di depan guru yang selalu mengajarkan dia untuk menjadi seorang wanita berhati baja.
Tsunade memandang Sakura dengan perasaan lara. Ia mengerti akan kesulitan yang Sakura hadapi. Dan tentunya ia tidak mau Sakura mengalami hal yang sama dengannya dulu.
\Adalah Dan dan Nawaki, dua orang yang paling berharga dalam hidupnya. Namun mereka telah tiada dikarenakan bengisnya peperangan yang kala itu sulit sekali untuk diakhiri. Yang Tsunade inginkan tentunya adalah kebahagiaan muridnya itu.
“Maaf aku sepertinya memang terlalu memaksakan kehendakku. Aku pernah kehilangan dua orang yang kusayangi sekaligus. Jadi aku mengerti apa yang kau rasakan sekarang rasakan, Sakura.” Tsunade menatap Sakura sembari tersenyum kecil. Tapi raut sedihnya tak bisa ia sembunyikan. Sungguh berat baginya untuk melanjutkan kalimat berikutnya. “Karena itu aku tidak mau kau mengalami kepahitan yang sama denganku. Kehilangan dua orang yang paling berharga bagimu itu adalah hal yang sangat menyakitkan ya ‘kan, Sakura?”
Sakura tercengang. Dia mulai meresapi maksud dari kata-kata Tsunade tersebut. Sedikit demi sedikit ia mulai mengerti. Sakura tahu masa ini akan datang. Masa dimana dia harus memilih dan melepas sesuatu yang begitu bernilai bagi dirinya. Setidaknya satu nyawa bisa hidup jikalau yang lain gagal diselamatkan. Namun Sakura telah berusaha semaksimal mungkin bukan? Bukan berarti dia tidak mau menyelamatkan salah satu di antara mereka.
“Aku mengerti, Shisou,” ujar Sakura setengah mantap setengah ragu-ragu. Bagaimanapun hal ini begitu berat baginya. Merelakan cinta pertamanya untuk pergi selama-lamanya. Sakura ingin menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala kelu kesahnya kepada yang tak sanggup ia gapai hatinya. Untuk terakhir kalinya ia ingin sekali mengunjungi Sasuke. Karena besok dia memutuskan untuk menghabiskan waktunya di laboratorium.
Tsunade tidak mau menambah beban muridnya lagi. Oleh karena itu dia segera mengakhiri pembicaraan mereka.
“Baiklah, Sakura. Aku mau memeriksa keadaan Naruto dulu. Kau ingin kembali ke dalam?”
“Tidak, Shisou. Aku mau membelikan ramen dulu untuk Naruto. Dia bilang dia sangat ingin makan ramen.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Aku permisi dulu, Shisou.”
“Ya.”
Sakura kemudian mulai berjalan menjauhi Tsunade. Yang tidak diketahui oleh Tsunade, butiran air mata Sakura mulai jatuh perlahan. Ia berjalan sampai di persimpangan dan berhenti di sana. Dilihatnya ke belakang tempat dimana tadi dia dan Tsunade berdiri. Rupanya Tsunade telah masuk ke dalam ruangan Naruto. Sakura mengambil kesempatan ini. Dia malah ke kanan, berlawanan dengan arah dimana seharusnya ia pergi seperti yang ia katakan barusan. Namun kakinya menuntunnya untuk pergi ke ruangan dimana Sasuke dirawat.
.
0o0o0o0o0
.
Tsunade memperhatikan wajah Naruto dengan lembut. Anak ini telah menjadi idola desa Konoha sekarang. Dilihatnya di sekeliling meja ruangan itu. Ada banyak bunga terpajang di sana. Dari chysis yang berwarna kuning-putih, azalea yang berwarna pink kemerahan, camellia yang rupanya seperti bunga mawar, dan masih banyak lagi. Tsunade sendiri takjub melihat pemandangan itu. Ia tersenyum lembut. Semua orang di Konoha ingin Naruto sembuh secepatnya. Dan Tsunade menyadari pula bahwa semakin dewasa Naruto terlihat semakin mirip dengan ayahnya.
Tsunade kemudian mengarahkan pandangannya ke kaki Naruto. Kakinya telanjang, sama sekali tidak dilapisi sehelai kain pun. Dia hanya memakai celana pendek sebatas paha. Luka bakarnya nyaris meraih lututnya. Sebenarnya lukanya sudah kering namun entah mengapa setiap Tsunade mengeluarkan ninjutsu medisnya, luka bakar Naruto itu sama sekali tidak menutup total. Sel-selnya lambat sekali beregenerasi. Memang pada dasarnya hanya sharingan-lah yang bisa menangkal serangan jurus amaterasu. Orang biasa yang terkena serangan tersebut pasti sudah langsung rusak saraf-sarafnya. Dan juga aliran darah di sekitar luka akan berhenti dikarenakan pembuluh darah yang rusak. Sehingga untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, kaki korban harus langsung diamputasi.
Beruntung hal-hal buruk itu tidak terjadi dengan cepat menimpa Naruto. Mungkin karena Kyuubi yang ada di dalam tubuhnya yang memperlambat lukanya untuk menyebar. Ya, dia bisa menggerak-gerakkan kakinya sedikit. Tapi keadaan baik itu tidak akan berlangsung lama. Tsunade memperkirakan seminggu efek dari amaterasu itu akan terlihat. Jadi janganlah heran jika Tsunade begitu memaksa Sakura untuk melakukan tugasnya. Karena waktu yang meteka punya tinggal 5 hari. Tsunade tidak egois, dia juga ikut melakukan eksperimen untuk menemukan obat luka bakar yang tepat agar kedua kaki Naruto bisa menjadi normal seperti dulu. Tentunya orang yang menjadi Hokage harus sehat secara fisik dan jasmani bukan?
Yang Tsunade tidak ketahui, Naruto bermimpi dalam tidurnya. Dia berdiri di kegelapan. Dia sendiri tidak tahu mengapa suasana menjadi begitu gelap. Apakah karena malam atau karena hilangnya sinar rembulan. Yang dia tahu bahwa ada sekumpulan kelopak bunga mawar yang mengelilinginya. Mereka mengeluarkan suara-suara yang tidak Naruto mengerti apa maksudnya.
“Kau Uzumaki Naruto…aku datang untuk menolongmu. Dengarkan suaraku…”
Naruto menerka-nerka, sepertinya ini adalah suara seorang wanita. Tapi baru kali ini ia mendengar suara layaknya seorang bidadari surga. Sekalipun Naruto belum pernah mengunjunginya. Entah mengapa suara itu pernah ia kenali sebelumnya. Suara yang lembut namun tak menunjukkan kelemahan. Seperti sebuah nyanyian yang Naruto sering dengar di antara bunga-bunga sakura yang tumbuh di Monumen Pahlawan Konoha. Walau hanya semilir angin yang berhembus Naruto bisa mendengar suara-suara indah dibaliknya.
Naruto mencoba mencari tahu siapa pemilik suara indah itu. “Siapa kau?”
“Seseorang yang akan menyelamatkanmu. Kembali ke cahaya, Naruto. Dengarkan kata-kataku. Ayo kemari, waktunya telah tiba.” Sekumpulan kelopak bunga mawar—yang beterbangan itu—pun menjauhinya. Sepertinya mereka menginginkan Naruto mengikuti kemana mereka pergi.
“Tiba apa maksudmu? Aku tak mengerti!” teriak Naruto sembari berjalan mengikuti mereka. Lantas sekumpulan kelopak bunga mawar tersebut berkumpul dan membentuk sosok seorang wanita. Namun tetap saja Naruto tak mengenalinya karena ia tak menunjukkan rupanya.
Naruto hendak menyentuh dia yang tak diketahui wujudnya. Tiba-tiba sekumpulan kelopak bunga mawar itu kembali menyebar—mengelilingi Naruto. Pandangan Naruto jadi kabur karenanya. Kepalanya terasa berat dan tiba-tiba ia pingsan di tempat.
“Naruto!”
Naruto mulai terbangun dari alam mimpinya, ia bisa merasakan sebuah cahaya menerpa wajahnya. Dan kini ada yang memanggilnya kembali, namun suara ini sangat berbeda dengan yang tadi. Suara wanita ini sungguh kasar dan menakutkan.
“Hmm…,” gumam Naruto sembari membuka matanya perlahan.
“Naruto!” teriak wanita itu lagi. Rasa-rasanya Naruto kenal sekali akan suara ini.
Kemudian mata Naruto terbuka seutuhnya. “Ini dimana?” ujarnya bingung.
“Hei, Naruto. Kau tidak apa-apa? Kau sedang berada di rumah sakit. Bagaimana kau bisa lupa?”
“Hmm? Eh, aku masih di sini rupanya.” Naruto mengarahkan pandangannya ke kedua kakinya. Ternyata masih sama dengan keadaan di hari-hari sebelumnya. Padahal tadi dia bermimpi bisa berjalan.
“Tentu saja, Gaki. Sepertinya kau sedang bermimpi ya? Kau membuatku ketakutan saja.”
“Tsunade-baba? Sejak kapan ada di sini? Dimana Sakura?” Naruto menyadari bahwa Sakura tidak ada disampingnya. Dia mengacuhkan pertanyaan Tsunade.
“Sakura sedang membelikan ramen untukmu. Kau kenapa, Naruto? Aku kaget melihat ekspresimu pada saat kau tidur. Kadang seperti ketakutan, kadang kau nyengir sendiri. Kau bermimpi apa Naruto?”
“Yah, tidak apa-apa. Hanya sebuah mimpi biasa,” jawab Naruto. Naruto mengangkat badannya perlahan untuk duduk. Tsunade membantunya.
“Begitu? Lalu bagaimana keadaanmu, Naruto? Kau tidak merasakan mati rasa lagi ‘kan?” Tanya Tsunade. Naruto mengangguk perlahan. Ya, kakinya makin hari makin bisa digerakkan dan dia bersyukur karenanya. Tapi Naruto masih belum bisa berdiri maupun berjalan.
“Aku bisa sembuh total ‘kan, Baba?” Tanya Naruto. Entah mengapa dia merasa pesimis kali ini. Ia tahu betul amaterasu bukan jurus sepele yang bisa disembuhkan dalam waktu singkat. Ia tahu betul efek paling menakutkan dari jurus tersebut adalah kematian.
“Tentu saja Naruto. Kenapa kau menjadi pesimis begini?” Tsunade menatap wajah Naruto dengan ekspresi khawatir.
“Aku bukannya pesimis, Tsunade-baba. Aku hanya memikirkan hari ke depan. Kalau kakiku diamputasi aku pasti akan merepotkan banyak orang.”
BLETAKK!!
“Aduh! Kenapa memukulku, Baba?!”
“Kau bodoh, Gaki. Kau akan sembuh, kau harus ingat itu. Sakura sedang berusaha meramu obat untuk kakimu!” omel Tsunade. Seperti menggigit jarinya sendiri; kenapa Naruto jadi berpikir seperti ini?
“Ya, ya aku mengerti. Kau tak perlu marah-marah begitu, Baba,” ujar Naruto meringis sembari mengusap-usap kepalanya, ‘Huh…Baba dan Sakura-chan memang sama persis. Wanita-wanita yang menyeramkan,’ ungkap Naruto dalam hatinya.
“Tok…tok….” Pintu ruangan diketuk oleh seseorang. Tsunade dan Naruto langsung menoleh ke arah sumber suara.
“Ano…Shitsureishimasu.” Rupanya orang itu adalah Sai.
“Silahkan masuk, Sai,” ujar Tsunade ramah. Terlihat Sai menggenggam keranjang buah dan sayur-mayur di tangannya. Naruto mengerenyitkan dahinya berdo’a semoga itu bukan oleh-oleh untuknya. Mengingat buah-buahan dan sayur-mayur adalah dua hal yang paling tidak ia gemari.
“Naruto-kun, ini saya bawakan oleh-oleh untukmu, Douzo.” Sai menyodorkan keranjang itu dengan tidak berekspresi. Raut wajahnya yang khas itu membuat Naruto berpikir bahwa tak ada ketulusan dalam hati Sai. Padahal sudah lumayan lama Sai berada di kelompok tujuh namun tetap saja ekspresinya itu sering kali membuat Naruto berburuk sangka.
“Tidak MAU!” teriak Naruto seperti anak kecil. Tsunade kembali naik pitam. Ia menjewer telinga Naruto.
“Berhenti bertindak seperti anak kecil, Naruto. Buah dan sayuran itu bagus untuk kesehatanmu. Apalagi kau sangat memerlukannya saat ini.”
“Aduh—duh, iya…aku mengerti! Lepaskan tanganmu dari telingaku, Baba!” Naruto bernafas lega ketika Tsunade melepas cengkramannya dari telinganya. Begitulah Tsunade, tidak pernah memanjakan Naruto baik dikala dia sakit maupun sehat. Naruto memang telah dia anggap sebagai adiknya sendiri karena dia melihat diri Nawaki—adiknya kandungnya yang telah meninggal—dalam diri Naruto.
“Bagus kalau begitu.” Tsunade tersenyum simpul. Dilihatnya Sai yang hanya memelototi mereka dengan airmukanya yang datar. Benar-benar pemuda yang sulit dimengerti jalan pikirannya, “Baiklah. Sai, kau temani Naruto, ya? Aku mau memeriksa keadaan pasien lain. Dan kau Naruto, kau harus menghabiskan buah dan sayuran yang Sai berikan. Jangan sampai ada yang tersisa,” perintah Tsunade.
“Tapi Ba—” Naruto hendak protes tapi terhenti tatkala Tsunade memasang tatapan death glare-nya pada Naruto. Ia langsung ciut seketika, “Baiklah, Baba,” ujarnya bermuram durja.
Tsunade nyaris terpingkal melihat wajah masam Naruto, “Baiklah aku permisi dulu.”
Sai membungkukkan badannya sedikit ketika Tsunade lewat di sampingnya. Setelah itu ia mendekat ke arah Naruto.
“Bagaimana keadaanmu, Naruto-kun?” Tanya Sai.
“Hmm? Haha…ya…keadaanku begini-begini saja, Sai. Tak ada perubahan. Tapi kakiku sudah bisa digerakkan sedikit demi sedikit,” jelas Naruto sembari tetawa. Ia bermaksud tegar tapi entah mengapa ia sedikir khawatir juga dengan kondisinya.
“Syukurlah kalau begitu.”
Tiba-tiba angin kencang membuka paksa jendela ruangan yang tidak terlalu di tutup rapat. Berhembus masuk ke dalam ruangan. Naruto memperhatikan bunga mawar pemberian Konan yang mulai bergoyang-goyang tangkainya, lalu kelopaknya mulai gugur perlahan.
“Kau Uzumaki Naruto. Waktunya telah tiba. Kenapa kau tidak mengikutiku saja?”
Suara itu lagi. Ia bergidik ketakutan. Naruto tidak mengerti karena ia beranggapan yang tadi hanyalah sebuah mimpi belaka. Suara seperti bidadari surga itu kembali menghantuinya. Tapi kenapa pada saat dia sedang terjaga seperti ini. Adakah suatu pertanda dari suara itu?
Kemudian pikiran kalutnya buyar ketika ia lihat Sai beranjak ke arah jendela dan menutupnya rapat-rapat, “Anginnya dingin. Kututup tidak apa-apa ‘kan?”
“Eh? Y—Ya tidak apa-apa.” Naruto mengepalkan tangannya. Ia mulai merasa aneh. Sebenarnya dia takut sekali akan makhluk halus. Tapi ia tepis jauh-jauh pikiran konyol itu. Bukankah dia tidak terlalu percaya dengan yang namanya hantu?
“Sakura-san apa sudah kembali, Naruto-kun? Aku mendengar dari segelintir orang dia sudah tiba di desa namun aku belum bertemu dengannya.”
“Dia sudah kembali dari tadi pagi. Sekarang dia sedang membelikan ramen untukku,” jawab Naruto. Naruto tersenyum kecil mengingat hal yang terjadi pagi barusan. Sakura tertidur di sampingnya dan menggenggam tangannya mesra. Hampir-hampir ia melayang karenanya. Namun terhenti tatkala ia mengingat apa yang Sakura ucapkan dalam tidurnya.
‘Sasuke-kun…’
Naruto menjadi waswas. Apa yang sebenarnya terjadi pada Sasuke? Ia jadi teringat akan Sasuke.
“Sai, bisakah kau menolongku?”
“Ya, tentu saja. Ada apa?”
“Aku ingin menjenguk Sasuke,” jawab Naruto.
“A—apa? Kau belum bisa berjalan Naruto-kun. Bagaimana bisa menjenguk Sasuke-kun?” dalam hati Sai mulai panik. Kalau Naruto mengunjungi Sasuke. Bisa-bisa dia tahu keadaan Sasuke yang sebenarnya, sementara Sakura telah memintanya untuk tutup mulut.
“Aku bisa memakai kursi roda,” ujar Naruro sambil menunjuk ke arah kursi roda di sebelahnya. “Aku mohon, Sai; aku ingin melihat Sasuke sebentar saja.”
Sai yang merasa bersalah karena telah menutupi kebenaran mencoba berpikir realistis. Sasuke adalah orang yang sangat berharga bagi Naruto. Sahabat yang ia perjuangkan mati-matian dengan tetesan darah dan linangan air matanya. Dia selalu optimis dan yakin bahwa suaru saat Sasuke akan pulang ke Konoha. Dan usahanya terbukti bukan? Meski yang ia harapkan itu berbeda, tapi setidaknya Naruto tahu keadaan Sasuke yang sebenarnya.
Sai pun meng-iyakan. Dia mengambil kursi roda itu dan menuntun Naruto untuk duduk di atasnya. Ia mengutuk dirinya sendiri. Semoga yang ia putuskan itu benar.
.
0o0o0o0
.
Haruno Sakura menatap cinta pertamanya itu dengan penuh lara. Sungguh menyedihkan keadaan Uchiha Sasuke. Pernafasannya dibantu dengan alat, tabung-tabung besar oksigen mengelilingi ruangannya. Alat pendeteksi detak jantung juga ada di sana. Terlihat sekali betapa lemahnya jantung Sasuke bekerja. Jeda detak jantung yang berdenyut cukup lama dibandingkan dengan kinerja jantung normal. Begitu juga dengan kesadarannya. Mungkin sekarang Sasuke sedang berimajinasi dalam tidurnya.
Sakura kemudian duduk di bangku yang berada di sebelah tempat tidur Sasuke. Ia genggam tangan Sasuke perlahan dengan kedua tangannya. Ia tatap wajah Sasuke dalam-dalam. Airmata Sakura jatuh perlahan melihat keadaan Sasuke yang mengoyak-ngoyak hatinya ini. Muka Sasuke pucat pasi nyaris seperti mayat. Di bawah matanya ada lingkaran hitam yang kontras sekali terlihat. Uchiha Sasuke seperti orang yang tak memiliki roh dalam tubuhnya pada saat ini.
Sakura mengingat-ingat apa yang tadi ia bicarakan dengan Tsunade. Dalam hati sungguhlah berat baginya membiarkan Sasuke pergi dari kehidupannya. Sejak dulu ia telah berlatih menjadi wanita kuat dan ninja medis yang ahli dalam menyembuhkan penyakit apapun. Tapi mengapa ia kali ini merasa semuanya itu sia-sia? Kenapa ia tidak bisa mengobati satu nyawa yang sangat berarti baginya?
Dan dia juga menyadari betap sia-sia pula perjuangan Naruto. Ia tidak mau membayangkan bagaimana rekasi Naruto jika mengetahui Sasuke sedang sekarat seperti ini. Pastinya hati Naruto tak kalah sedihnya.
Sakura kemudian ia bawa tangan Sasuke ke pipi kirinya. Membelainya lembut sembari tersedu-sedu. Dan yang tak ia sadari adalah kehadiran dua orang yang baru saja tiba di daun pintu ruangan itu.
‘Ugh si—sial. Kenapa Sakura-san ada di sini?’ umpat Sai dalam hati. Ia membujuk agar Naruto kembali ke ruangannya dengan alasan bahwa yang menjenguk Sasuke harus perorangan.
“Tunggu, Sai. Kenapa Sakura-chan menangis?” Tanya Naruto pelan. Ia menggenggam tangan Sai tapi pandangannya tak lepas dari Sakura. Ia betul-betul ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Sasuke.
Sai menggerutu dalam hatinya. Harusnya ia tolak saja tadi permintaan tolong Naruto. Sekarang masalah akan bertambah runyam. Tadi Tsunade berkata bahwa Sakura sedang membelikan ramen untuk Naruto. Artinya Sakura berbohong pada Tsunade. Terlebih sekarang mereka memergoki Sakura menangis sembari menggenggam mesra tangan Sasuke. Ini bisa menjadi akibat yang buruk untuk Naruto.
“Aku—Maafkan aku, Sasuke-kun,” ujar Sakura parau. Naruto menatap Sakura tanpa mengedipkan matanya. Ia pasang telinganya baik-baik untuk mendengar apa yang akan Sakura utarakan.
“Maafkan aku—aku tidak bisa menyelamatkanmu. Aku tidak bisa menemukan pendonor jantung untukmu.”
‘Pendonor jantung?’ Tanya Naruto terkaget-kaget. Separah itukah luka Sasuke sehingga memerlukan pendonor jantung?
‘Kenapa—kenapa Sakura-chan berbohong padaku?’ Kemudian ia mengingat kembali kejadian itu—kejadian dimana Sasuke menyelamatkannya dari serangan Madara. Naruto memang melihat kusanagi menembus dada kiri Sasuke. Dia berpikir bahwa kemarin Sakura berhasil mengobati luka Sasuke. Tapi realita yang ada ternyata sangat berbeda seperti yang ia bayangkan sebelumnya.
Sai meninjau Naruto dengan perasaan linglung. Ia takut melihar reaksi Naruto setelah mendengar semua ini. Meskipun telah lama ia berusaha memahami perasaan orang. Tetap saja ia merasa simpati pada rekannya tersebut.
“Aku mencintaimu, Sasuke-kun. Kau tak akan terganti untukku. Meskipun kita akan berpisah. Cintaku akan selalu ada untukmu.”
Mendengar hal itu Naruto menutup matanya rapat-rapat. Dalam hatinya ia merasakan\ perih yang teramat sangat. Harusnya ia tahu…harusnya ia mengerti bahwa perasaan Sakura pada Sasuke akan kekal abadi selamanya. Harusnya ia tidak berharap lebih… sehingga tak sesakit ini hatinya.
“Maafkan kelemahanku, Sasuke-kun; seandainya aku lebih kuat…,” tangisan Sakura semakin menjadi-jadi. Ia meletakkan kepalanya di atas dada Sasuke. Bahunya naik turun karena saking terisaknya.
Nafas Naruto sesak seketika. Ia sangat tahu apa penyebab Sasuke menjadi seperti ini. Bukankah seharusnya yang tergeletak di tempat tidur itu adalah dirinya? Naruto mulai berandai-andai. Kalau saja waktu itu Sasuke tidak menyelamatkannya pasti tidak akan begini jadinya. Dan juga Sakura pasti tidak akan menderita seperti ini. Semua ini salahnya—salahnya karena ia tidak bisa memprediksi gerakan Madara. Salahnya karena ia tidak cukup kuat.
Naruto mempererat genggaman di bahu kursi rodanya. Kalau saja kursi roda itu tidak terbuat dari besi pastilah langsung remuk. Lalu ia pandangi lagi Sakura yang sedang membelai lembut wajah Sasuke. Kemudian Sakura hendak mencium dahi Sasuke. Naruto tak ingin melihatnya, ia langsung menundukkan wajahnya.
“Sai, bawa aku kembali ke kamarku.” Perintah Naruto. Sai mengerti, ia tak bertanya lagi. Dilihatnya Sakura yang masih tersedu-sedu dalam ratapannya. Kemudian mereka jauhi ruangan tersebut secara perlahan.
.
0o0o0o0o0
.
Malamnya Naruto kembali memandangi langit-langit di ruangannya. Terpaku dalam waktu yang terus bergulir tak berhenti. Kenangan-kenangan indah itu akankah terlewat begitu saja?
Tadi Sai akhirnya mau membeberkan semuanya setelah mereka kembali ke ruangannya. Akhirnya Naruto mengetahui kemana saja Sakura pergi saat ia tidak menjenguknya. Dan alasan mengapa Sakura tidak memberi tahu hal yang sebenarnya.
“Sakura-san mengelilingi desa tetangga untuk mencari seseorang yang mau mendonorkan jantungnya untuk Sasuke-kun. Dia tidak mau membeberkan hal ini kepadamu karena dia tak ingin membebanimu lagi. Selama ini Sakura-san berpikir jika dirinya hanya bisa merepotkanmu saja, Naruto-kun. Karena itu dia berusaha sendiri mencari pendonor jantung untuk Sasuke-kun dan meramu obat untuk mengobati luka bakarmu juga. Tapi sepertinya hal itu sulit ia kerjakan dalam waktu yang bersamaan. Menurutku dia juga sangat khawatir dengan keadaanmu.”
Sai juga menjelaskan bahwa serangan Madara kemarin mengenai bagian bilik kiri jantung Sasuke sehingga suplai darah ke seluruh tubuh menjadi lambat. Sasuke memerlukan alat bantu untuk pernafasannya karena organ tubuh yang bersangkutan tak mampu untuk mengambil oksigen dari luar. Oleh karena itu Sasuke membutuhkan transplantasi jantung agar ia bisa bernafas secara normal. Tapi dengan ketenarannya sebagai seorang kriminal, tak ada seorang pun yang sudi mendonorkan jantung untuknya. Naruto nyaris menangis mendengar hal ini.
‘Apa yang harus aku lakukan?’ batin Naruto dalam hati. Kemudian ia pejamkan matanya sejenak.
“Bayangan belum menggoyangkan dirimu, Naruto. Dia tidak akan menguasaimu. Tidak pada dirimu, dan tidak pada diriku. Kenapa kau biarkan kepedihan menghantuimu?”
Naruto sontak membuka matanya. Suara itu lagi. Ia melihat jendela ruangan yang telah terbuka padahal dia ingat sekali tadi Sai sudah menutupnya. Ia perhatikan kembali bunga mawar dari Konan yang kali ini berguguran seluruhnya. Sungguh aneh, angin begitu kencang berhembus tapi bunga mawar itu saja yang kelihatan goyah.
“Siapa kau? Tunjukkan dirimu!” teriak Naruto. Ia mulai merinding. Siapa sebenarnya wanita ini? Kenapa ia selalu mengganggunya?
“Orang yang mengenalimu, tapi kau tidak pernah tahu siapa diriku.”
“Apa maksudmu? Berhenti menggangguku!” Naruto kemudian melemparkan vas bunga berisi daffodil ke arah dinding sekitar jendela. Vas bunga itu pun hancur berkeping-keping bersamaan dengan hilangnya angin dan suara wanita aneh itu.
Nafas Naruto tersengal-sengal jadinya. Ia benar-benar ketakutan. Apakah wanita itu adalah hantu? Tapi kenapa dalam satu hari ini mengganggunya? Dia tahu Uchiha Madara masih hidup. Dan kalaupun dia juga adalah ninja—yang memakai jutsu tertentu—tetap saja Naruto tidak bisa melawannya dengan keadaannya yang seperti ini.
Mengapa masalah sepertinya tidak pernah berhenti menghampirinya?
Bersambung…
Kritik, saran, dll silahkan di kolom review^^