Friday, 25 April 2014

Passion

Teman-temanku kebanyakan kerja kantoran dan melanjutkan kuliah. Sedangkan aku … aku sibuk berusaha menggapai cita-cita dan ridha-Nya. Sudah saatnya melakukan apa-apa yang aku senangi. Tidak mau jadi robot lagi :)) – 25 Mei 2014


Monday, 21 April 2014

Bekal Surga oleh W.S. Rendra

Bekal Surga oleh W.S. Rendra
Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku.
Bahwa semua ini hanyalah titipan.
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya.
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya.
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah Titipan-Nya

Tetapi… mengapa aku tak pernah bertanya:
Mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu?
Mengapa hatiku justru terasa berat ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?

Ketika diminta kembali,
Kusebut itu sebagai musibah…
Kusebut itu sebagai ujian
Kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan
Apa saja yang melukiskan kalau itu adalah derita…

Ketika aku berdoa,
Kuminta titipan yang cocok
Dengan hawa nafsuku…
Aku ingin lebih banyak harta
Ingin lebib banyak mobil
Lebih banyak popularitas
Dan kutolak sakit,
Kutolak kemiskinan
Seolah semua derita adalah hukuman bagiku

Seolah keadilan dan kasih-Nya
Harus berjalan seperti matematika
Aku rajin beribadah,
Maka selayaknyalah derita menjauh dariku
Dan nikmat dunia kerap menghampiriku

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang
Dan bukan kekasih…
Kuminta Dia membalas perlakuan baikku
Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan
Hidup dan matiku hanya untuk beribadah
“ketika langit dan bumi bersatu”
Bencana dan keberuntungan sama saja

(Puisi terakhir Pak Rendra yang dituliskannya di atas tempat tidur Rumah Sakit)

Sunday, 20 April 2014

[REVIEW K-DRAMA] SECRET GARDEN

poster promosi Secret Garden


Judul               : Secret Garden
Episode           : 20
Director          : Shin Woo-chul dan Kwon Hyuk-chan
Writer             : Kim Eun-sook
Starring           : Ha-Ji Won, Hyun-Bin, Yoon Sang-hyun, Kim Sa-rang
            Okay, sekarang saya mau review K-Drama Secret Garden, drama dari Korea favorit saya sepanjang masa :D. Saya baru nonton drama ini sekitar dua bulan lalu, padahal ada di harddisk saya udah hampir dua tahun lamanya XD.
            Satu-satunya drama Korea yang nggak saya skip pas nonton. Saya nggak kepengaruh sama muka-muka ganteng dan cantik mereka, kalau akting mereka bikin saya ngantuk saya pasti langsung nggak lanjut nonton :3. Udah ada tiga K-Drama yang nggak saya tonton sampai abis karena errr…. Tapi yang ini bener-bener pengecualian. Tadinya saya pikir ceritanya bakal klise ala sinetron banget. Mengingat tokoh utama cowok, Joo Woon si orang kaya yang sombong minta ampun jatuh cinta sama tokoh utama cewek, Gil Ra Im seorang stuntwoman miskin, yatim piatu yang tempat tinggalnya aja di indekos.
            Joo Woon tanpa sengaja ketemu Gil Ra Im karena ia salah membawa orang yang disuruh Oska—kakak sepupunya untuk dibawa ke apartemennya. Lalu ia terkesima melihat Gil Ra Im mengeluarkan aksinya sebagai stuntwoman. Sejak saat itu Gil Ra Im nggak bisa keluar dari pikirannya, dia juga nggak tahu kenapa. Akhirnya Joo Woon terus mengikuti Gil Ra Im (ceritanya pedekate) sampai Gil Ra Im eneg ngeliatnya datang terus ke tempat kerjanya. Saking enegnya Gil Ra Im sering nendang kaki Joo Woon berkali-kali, tapi ternyata mereka memang punya ikatan yang sudah digariskan sejak lama :’)
            Awal-awal episode diisi dengan humor yang bikin ngakak guling-guling XD. That Hyun Bin, his acting was freaking awesome! Saya suka karakter2 tokohnya yang nggak sempurna. Apalagi pas Joo Woon tanpa sengaja tertukar raganya sama Gil Ra Im, itu bikin geli setengah mati :DDD.  
            Adalagi Oska dan mantan kekasihnya yang saling mencintai, tapi masing-masing egois nggak mau mengakui perasaannya masing-masing. Oska marah karena mantan kekasihnya itu dulu menolak lamarannya. Sedangkan mantan kekasihnya itu marah karena Oska yang playboy yang cuma mementingkan dirinya sendiri.
            Lagu-lagu soundtracknya juga, aaakkk…. Cocok banget jadi pengiring setiap adegan-adegan krusialnya. Saya paling suka sama That Man – Baek Ji Young sama Here I Am – Mi feat 4Men <3.
            Ending-nya yang nggak ketebak itu juga menambah plus drama ini. Oh ya drama ini di Korea sana ratingnya sangat tinggi! Memang pantas mendapatkan antusias penonton >.<.
           


[REVIEW FILM] Temple Grandin: My Life With Autism

Temple Grandin Movie's Poster

Keterangan:
Judul               : Temple Grandin
Durasi             : 107 menit
IMDB rating  : 8,4
Director          : Mick Jackson
Writers           : Temple Grandin, Margaret Scariano

            Nonton film ini sebenarnya lumayan udah lama, pas tahun 2012. Saya nonton dengan tujuan untuk memancing ide saya pas nulis draft pertama Bintang dan Cahayanya. Film ini diangkat dari kisah hidup seorang professor bernama Temple Grandin yang mengidap autis sejak lahir. Film ini menceritakan perjuangan Temple Grandin dalam kehidupannya dengan autis yang ia miliki.
            Ayah dan Ibu Temple adalah dua orang jenius yang lulus dari Universitas Harvard. Mereka punya tiga atau empat orang anak (saya agak lupa sama yang ini), dan Temple adalah anak bungsu. Ibunya syok berat pada saat tahu Temple mengidap autis, padahal semua kakaknya normal-normal saja. Ia bertanya pada dokter dengan hati kusut mengapa terjadi demikian, dan dokter tersebut tidak bisa menjawab dengan alasan pasti karena memang penyebab autis sendiri yang masih misteri hingga saat ini. Saya memang pernah membaca suatu artikel yang menyebutkan jika sepasang suami istri memilik otak jenius di atas rata-rata besar kemungkinan salah satu anaknya bakal mengidap autis.
            Akhirnya Ibu Temple pun berjuang keras agar Temple bisa hidup seperti anak normal lainnya. Salah satunya memasukkannya ke sekolah biasa (bukan ke sekolah khusus). Sayangnya di sekolah tersebut Temple sering kena masalah. Biang keroknya itu teman-temannya yang suka ngolok-ngolok dia. Temple yang memiliki kontrol emosi minim memukul teman-temannya itu dan ibunya pun langsung di panggil oleh pihak sekolah.
            Ibu Temple hampir mau mengeluarkan Temple dari sekolah karena kejadian di atas tidak terjadi sekali saja. Tapi salah satu guru Temple mengatakan agar dia tidak melakukannya, dia melihat potensi Temple yang luar biasa dibandingkan dengan anak-anak normal lainnya.
            Spoiler-nya segitu dulu aja hwehehe, Sekarang saya ingin memberikan pendapat, film ini INSPIRATIF SEKALI :’D. Temple sangat jenius dibandingkan teman sebayangnya yang normal. Ending-nya menyentuh. Tidak percaya Temple bakal berkata seperti itu. Intinya, keberhasilannya menjadi seorang professor tidak lepas dari jasa ibunya yang tidak pernah menyerah untuk mendukung dia menuntut ilmu :’).  


[REVIEW BUKU] Kuantar Ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dan Bung Karno oleh Ramadhan K.H.

Bu Inggit dan Pak Karno
source: Kuantar Ke Gerbang

     “Aku mengikutinya, melayaninya, mengemongnya, berusaha keras menyenangkannya, meluluhkan-meluluhkan keinginannya. Namun, pada suatu saat, setelah aku mengantarnya ke gerbang apa yang dicita-citakannya, berpisahlah kami karena aku berpegang teguh pada sesuatu yang berbenturan dengan keinginannya. Ia melanjutkan perjuangannya seperti yang tetap aku doakan. Aku tidak berhenti mendoakannya – Inggit Garnasih”

          Ini buku roman berbau sejarah, sehingga gejolak yang terjadi sebelum masa kemerdekaan Republik Indonesia sedikit tergambar jelas di otak saya. Dan Subhanallah, Bu Inggit Garnasih mengingatkan saya pada loyalitas Siti Khadijah, istrinya Rasulullah Saw. Beliau selalu berada di sisi Pak Karno dalam keadaan apa pun tanpa terkecuali :').

      Jujur, saya baru tahu Bu Inggit sewaktu di bangku kuliah, pada saat saya berada di Bandung. Saya menemukan nama Jalan Inggit Garnasih. Selama masa SD-SMA, seingat saya nama Bu Inggit tidak pernah disebutkan dalam buku-buku pelajaran sejarah yang saya miliki. Yang ditulis hanya Bu Fatma, entah mengapa jadinya seperti itu.

     Terlepas dari endingnya yang menyebalkan buat saya T___T, sosok Bu Inggit mengajarkan saya dua hal krusial. Semoga saya nanti bisa memiliki loyalitas yang tinggi terhadap suami saya kelak seperti beliau, dan sikap BERJIWA BESAR seperti beliau :').
           


Friday, 18 April 2014

BINTANG DAN CAHAYANYA: BAB 1

Assalammu’alaykum, Readers! :D
Ini adalah bab 1 dari draft novel pertama yang saya buat yang tadinya berjudul ASTERALINA, saya ganti dengan BINTANG DAN CAHAYANYA.
Ceritanya agak realistic fiction, Alhamdulillah sudah terbit di toko buku dan diterbitkan oleh Elex Media Komputindo
1
Seandainya
           
Pagi itu kembali. Membiaskan semburat cerah namun menenangkan. Nyanyian burung-burung terdengar ramah menyambutnya dengan sukacita. Namun, di dalam sebuah rumah minimalis, yang berada di komplek rumah sederhana Perumahan Bumi Menggugah, seorang cewek berumur 16 tahun masih betah menempel di atas kasur kesayangannya. Molor.
Rambut sebahunya kusut masai beradu dengan bantal. Wajahnya yang oriental seperti perempuan keturunan Tionghoa yang bermukim di sekitaran Yunnan, berlumuran air liur di kedua pipi putihnya. Ia memiliki tubuh kerempeng, namun agak gembil di bagian pipinya itu. Sudah tidak jelas yang dikenakannya itu pakaian tidur atau karung goni sehabis kena pilin. Selimutnya entah sejak kapan tergeletak di lantai. Posisi tidurnya pun nyaris ke bibir tempat tidur.
Namanya Alina Lovita Wahab. Biasa dipanggil Alin. Ia sedang hanyut dalam dunia mimpi penuh fantasi. Berpetualang di alam bawah sadar yang sebenarnya tidak indah sama sekali. Mimpi dikejar ratusan tentara zombie di kegelapan hutan belantara. Mencekam sudah pasti, seramnya pun tak perlu ditanya lagi.
Namun, Alin tampak asyik dalam lelapnya. Tak ada wajah tegang, apalagi ekspresi kengerian. Ia malah sering cengengesan sendiri. Dasar gila!
Mungkin karena ini adalah hari Minggu, hari bermalas-malasannya sejuta umat, sehingga ia tidak peduli bakal bangun lebih siang dari hari biasanya; melanjutkan tidur sesuka hati walau ada yang bakal mengusik nanti. Terlebih adegan di mimpi itu nyaris sama dengan game yang sering ia mainkan bersama Gita, sahabat sehidup sematinya.
Suasana di rumah sederhana bertingkat dua itu masih terjerembab sunyi, hanya terdengar kesibukan Bunda di dapur. Itu pun hanya suara hentakan bertalu pisau di atas talenan.
Sementara itu, di sebelah tempat tidur Alin, berdiri Aster, adik semata wayang Alin. Setiap hari ia bangun pada pukul lima pagi. Pasti. Tidak pernah terlambat sekali pun! Ia sudah siap dengan jaketnya yang memiliki penutup kepala berbentuk kepala beruang kutub. Mata beruang yang sipit menyembul dari atas kepala kecil Aster. Mengenakan jaket itu membuatnya semakin menggemaskan.
Aster memiliki postur tubuh yang kecil. Terlihat lebih kurus dari rata-rata anak yang berumur empat tahun. Mata yang besar dibarengi dengan pipi yang gembil, rambutnya juga lurus sebahu, ia lumayan mirip dengan kakaknya saat masih kecil.
Pagi ini Aster ingin bermain sepeda karena setiap hari Minggu pagi memang sudah menjadi jadwalnya untuk bersepeda. Biasanya pula Alin-lah yang menjadi pemandunya, untuk itu ia membangunkan kakaknya agar bersiap-siap.
“Aa…! Aa…!” teriak Aster sembari menggoyangkan kaki kakaknya.
“Eng….” Alin tampak bereaksi, tapi tak ada tanda-tanda ia sudi membuka matanya.
Aster tidak lantas menyerah, ia terus menggoyangkan kaki Alin. Kali ini dengan guncangan yang lebih kencang. “Aa…!”
“Duh! Masih mau bobo!” Alin menepis tangan Aster dari kakinya. Dengan mata masih tertutup, ia meraih bantal yang ada di sampingnya; meletakkannya menutupi kepala.
Karena terdengar keributan yang cukup lama dari lantai dua, Bunda pun mencoba mengambil alih keadaan. “Alin...! Temani adikmu main sepeda!”
Sontak Alin pun tersentak mendengar teriakan ibunya. Ia terjaga sejenak; terduduk di atas kasur. “Main sendiri aja, Bun! Alin masih mau bobo!” kini ia malah menggelar selimut di seluruh tubuhnya.
Melihat kakaknya yang masih enggan bangun, Aster menyerah; ia turun ke lantai bawah menuju bundanya. Sepertinya ia ingin mengadu.
“Mana bisa Aster main sendiri? Ayo, temani dia bersepeda, Nak!” volume suara Bunda naik satu oktaf.
Alin bangun kembali dari rebahannya dengan mata setengah terbuka. “Impossible Aster bisa naik sepeda, Bun.” Alasan sebenarnya, Alin bosan juga lama-lama menghadapi aktivitas adiknya yang begitu teratur dalam kurun waktu tiga tahun ini.
“Kamu pegangin pas dia lagi naik. Sayang sepeda baru nggak dipakai,” balas Bunda santai.
“Lha?” Alin melongo mendengar pernyataan seringan angin bundanya.
“Pokoknya kamu harus nemenin Aster main sepeda!”
Maka setelah mendengar suara Bunda yang menggelegar bak toa di upacara sekolahnya, Alin pun terpaksa menurut; bisa-bisa ia tak diizinkan surfing dunia maya lagi di weekend ini. Meski memiliki sikap lembut dan tidak banyak bicara, bundanya itu cukup tegas dalam mendidiknya. “Iya,” jawabnya lesu. Dengan hati dongkol Alin beranjak dari tempat tidur; ia berniat untuk ke kamar mandi, tapi sebelum itu ia memandangi poster super-duper besar yang satu-satunya terpampang di dinding kamarnya.
Sebuah poster bergambar seorang tokoh kartun cewek yang mengenakan pakaian tentara yang terlihat berbeda dengan tentara umumnya. Dua mata coklatnya menatap runcing ke depan dengan paras yang membuat ciut orang yang menatapnya (tapi tentu pengecualian untuk Alin). Yang membuatnya sangat gagah, ia memegang senapan yang juga mengarah lurus ke depan. Siap-siap akan menembak musuh!
Dan kini Alin melakukan kegiatan rutinnya sehabis bangun dari tidur tiap pagi. “Bang!” seru Alin meniru gaya si tokoh kartun, walaupun seratus persen tidak mirip sama sekali. Bagai langit dan bumi jika dibandingkan antara baju tidur lusuh dan seragam tentara yang mentereng keren.
Kegilaan Alin terhadap segala yang berbau Jepang memang sudah tak bisa dipungkiri. Apa lagi jika menyangkut soal anime favoritnya, Fullmetal Alchemist. Dan dia sangat tergila-gila dengan karakter cewek minor dari anime tersebut yang merupakan seorang tentara berpangkat Letnan Satu.
 “Kalau nggak jadi tentara kayak Riza Hawkeye yang cool abis ini, minimal jadi istrinya tentara-lah ya!” ujarnya seraya cekikikan. Daripada cita-cita, sebenarnya ini lebih tepat dikatakan sebagai obsesi. Pagi-pagi begini pun ia sudah kesambet setan daydreaming.
“Alin! Cepat! Aster sudah nunggu kamu!”  
“Iya, Bun!” Alin pun melompat dari pijakannya karena terkejut dengan teriakan bundanya. Ia langsung ngibrit ke kamar mandi.
v   
Setelah hajatnya terpenuhi, Alin menuntun Aster menuju ke garasi. Sepedanya ditaruh di sana, tepat di samping sepeda motor yang biasa Bunda gunakan untuk ke pasar.
“Ayo, Ter. Kita main sepeda, tapi jangan lama-lama, ya! Kakak masih mau bobo!”
Sementara itu Aster hanya berjingkrak kegirangan ketika melihat kakaknya membuka pintu garasi; membawa sepedanya keluar. Ia tidak begitu paham dengan celotehan Alin yang tak berhenti menggerutui nasib jeleknya di pagi ini. Sepeda itu bercorak bunga-bunga pink ditambah juga taburan kepala kucing cantik—yang mendunia—yang dikenal bernama Hello Kitty berkumpul di antara bunga-bunga itu.
“Ayo, naik!” perintah Alin.
Susah payah Aster menaiki sepeda roda empatnya yang sebenarnya tak sebanding dengan ukuran tubuhnya yang kecil. Telapak kaki kanannya mengungkit ke atas untuk membantu kakinya yang lain menggapai sadel. Bara semangat menaiki sepeda terpancar dari wajahnya yang polos. Namun, sayangnya memang terlalu tinggi.
Dan hap! Seketika saja tahap pertama bersepeda berhasil Aster lewatkan; dibantu oleh kakaknya “Hah, memang kamu nggak bisa melakukannya sendirian, Ter,” tukas Alin manyun. 
Sementara Aster—yang lagi-lagi memang tidak mengerti apa yang Alin ucapkan—tertawa renyah merayakan keberhasilannya duduk di sadel berwarna merah itu. Ia pun mencoba memutar pedalnya sekuat tenaga, tapi hanya mampu memutar setengah.
Alin terang saja frustasi dibuatnya. “Ayo, Aster! Coba dinaikkan kedua kakimu ke pedal berbarengan supaya bisa memutar penuh. Ayo belajar! Nah, di sini. Taruh di sini kakinya!” Ia buru-buru meletakkan kaki kiri adiknya yang mungil di atas pedal. Namun, yang ada sepeda nyaris oleng ke kanan.
            “Hati-hati, Aster!” lenguh Alin tertahan. Kesabarannya memang cepat habis; ia kemudian mengacak-acak rambutnya sendiri. Belakangan ini ia selalu berusaha untuk tidak meledak-ledak, karena bisa-bisa Aster membalasnya dengan ledakan bom yang lebih dahsyat. Si kecil Astera jika marah bisa membuat seisi penghuni Jalan Bougenville keluar dari rumahnya.
“Aaa … aaa….” Aster tiba-tiba menarik baju kakaknya.
Dahi Alin mengerut. “Hah?”
“Aaa … aaa…,” ucap Aster lagi yang kini menggoyangkan sepedanya ke arah depan, lalu meraih tangan Alin memegangi handlebar sepeda
Dan bingo! Akhirnya Alin paham apa yang Aster coba utarakan. Ia mengembuskan napas kuat-kuat. “Oke, Kakak tuntun, tapi nanti belajar sendiri, ya. Capeknya pagi-pagi begini,” keluhnya mengelap dahinya yang dibanjiri peluh. Sang surya mulai menunjukkan kekuasaannya ternyata. Ia kemudian mendorong sepeda Aster secara perlahan.
Reaksi Aster pun makin ceria. Bibir tipisnya menyulam senyum lebar dibarengi dengan hentakan bertubi-tubi kedua tangannya.
Melihat kelakuan lugu Aster, kakaknya itu hanya geleng-geleng kepala. “Aster … Aster….” Dengan sisa kedongkolan di hatinya, Alin mendorong sepeda adiknya bolak-balik di sekitar jalan depan rumah; berputar-putar di jalan yang sama entah berapa kali karena Bunda tidak mengizinkan mereka sampai pergi ke jalan yang jauh dari rumah.
Aster dan Alin meneruskan kegiatan itu sampai matahari naik tepat di atas kepala mereka.
v   
            Selesai dengan kegiatan rutin paginya di hari Minggu, Alin langsung kabur ke dapur. Sampai di dapur, Alin buru-buru menyerbu botol air dingin di kulkas; duduk di meja makan. Ia menegak seluruh air yang ada di botol besar—yang sedang digenggamnya hingga terbatuk-batuk.
Sampai Bunda pun menukas, “Pelan-pelan, Nak.”
Sudah dipastikan Alin tidak bisa melanjutkan tidurnya lagi karena pagi telah berganti tahta menjadi siang. Mood untuk melanjutkan tidurnya yang terinterupsi tadi hilang begitu saja.
“Haah … Capeknya…,” sahut Alin menatap langit-langit dapur; bersandar di badan kursi meja makan. 
“Baru segitu saja sudah capek, Lin. Ini lebih capek bundamu lho,” komentar Bunda yang matanya tetap terpaku pada bawang merah yang sedang diirisnya.
Alin tiba-tiba jadi serba salah. “Iya … iya. Bunda komentar melulu deh kalau Alin ngeluh sedikit, kan masih dalam batas wajar.”
“Bunda cuma mau kamu mengurangi keluhan dan menambah rasa syukur,” titah Bunda
“Bukan maksud Alin begitu, Bun,” Alin jadi teringat ketika bundanya mengajari Aster naik sepeda roda empat beberapa bulan lalu. Saat itu Aster meminta jajan di supermarket depan komplek rumah. Bunda pun dengan rela mendorong sepeda yang dinaiki Aster sampai ke sana. Padahal untuk sampai ke supermarket dari rumah saja biasanya menggunakan ojek karena jaraknya yang memang jauh.
Alin tentunya tidak sampai hati melihat perjuangan bundanya. Ia pun cukup kaget ketika Bunda membelikan Aster sepeda baru roda empat yang agak besar dibanding sepeda sebelumnya. Beliau bilang ada tetangga yang menawarkan sepeda itu karena sedang membutuhkan uang. Dengan alasan simpati, Bunda pun membantunya.
Kesunyian sempat mengambang di ruang dapur. Namun, tiba-tiba ramai kembali ketika Aster berujar, “Aa…!”
Bunda pun mengerti apa yang anak bungsunya itu maksud. “Tolong masak mi itu buat Aster, Lin.”
“Hmm … iya … iya … tunggu sebentar, Bun. Aster ini ngerepotin terus deh dari pagi. Makannya juga mi melulu katanya dia nggak boleh kebanyakan makan fast food, kan, Bun?”
“Apa boleh buat, Nak. Dia itu autis-hiperaktif, jadi perlu kesabaran ekstra untuk mengurusnya. Kamu masih ingat sama janji kamu untuk memikul beban ini bersama-sama dengan Bunda, kan? Meski nggak setiap hari Bunda memintamu menepati janji. Aster sendiri masih susah untuk makan seperti kita-kita.”
Alin menghela napas sepanjang-panjangnya. “Iya, ingat, Bun.” Bohong. Ia selalu lupa kalau tidak diingatkan. Sebenarnya ia memang cukup muak dengan semua ini. Tapi ia juga tak sampai hati jika melihat bundanya berjuang sendirian.
 Alin lalu merebus mi untuk Aster, adiknya itu hanya mengoceh-oceh tidak jelas melihat kakaknya memasak. Sejak kecil Aster tidak lancar berbicara. Ia lebih sering menyampaikan keinginannya dengan tangisan atau amarah. Tapi untuk sepatah dua kata, hanya Bunda yang tampaknya mengerti. Sedangkan Alin, masih perlu belajar lagi untuk memahami.
Kalau boleh jujur, Alin benar-benar sayang Aster, kok. Ia lalu menatapi adiknya tanpa ekspresi sama sekali. Seandainya aja gue punya adik yang normal.
v   














Monday, 7 April 2014

Doa Penghilang Galau

Buat yang suka galau coba jangan muterin musik galau terus (jadi, tambah galau, kan? hihi). Buat sobat muslim/muslimah coba dibaca doa ini :)


Friday, 4 April 2014

Kumpulan Fanfic for LAFSEvent: Happy NaruSaku Day 3/4, Shippers :D

Event ini diadakan untuk merayakan hari ketika Uzumaki Naruto jatuh cinta pertama kali dengan Haruno Sakura, 3 April :)

Shonen Jump Event Calendar 2010




Pre-Event:


Naruto Fanfiksi for LAFSEvent NaruSaku Day 3/4: Jatuh Cinta Setiap Hari

MAU KE JEPANG GRATIS? YUK NULIS ARTIKEL. INFO LEBIH LENGKAP KLIK BANNER DI BAWAH INI.
Ikuti Present Campaign HIS Summer Trip Blogging Competition
Jatuh Cinta Setiap Hari
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: Angst/Romance. Rated T. Alternate Reality. Sekuel from Yume. Towards Multichapter in the future.  OOC.
Alur Campuran
For LAFSevent
Happy NaruSaku Day ¾
.
Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku setiap hari, jika hanya itu yang bisa membuatmu selalu berada di sisi….
.
.

I just love that man
I love him wholeheartedly
I follow him around like a shadow everyday
(That Guy – Baek Ji Young, OST Secret Garden)
.
.
            Haruno Sakura tidak bermaksud apa-apa. Ia hanyalah satu di antara berjuta wanita yang memiliki sifat plin-plan seperti langit musim gugur yang sering berubah-ubah. Ia hanya ingin meyakini bahwa pilihannya tidak salah. Karena itu ia meminta waktu. Tapi yang terlambat disadarinya …, pilihan sementaranya itu telah membawanya ke malapetaka yang lebih besar.
            Selama tiga bulan terakhir hidupnya bak terpuruk di lubang neraka….
.
            Senin, minggu terakhir bulan Maret
            Sakura segera berlari menuju ke ruang rumah sakit ketika mendengar kabar tersebut. Ia tidak peduli jika orang itu tidak memanggilnya. Orang itu hampir sebulan lamanya berada di Kiri dan pulang dengan membawa flu yang membuat kepalanya pening. Ia hanya ingin melihat wajah penuh semangat itu. Ia tengah diserang rindu yang menggunung….
            “Naruto!” serunya ketika ia tiba di sebuah ruang serba putih. Seseorang yang berada di dalam—yang bersandar di dinding menunggu ninja medis untuk memeriksanya—bertemu mata dengannya. Sakura terpaku sebentar di tempatnya. Menelisik dengan saksama sosok itu dengan mata hijaunya.
            Hingga membuat Uzumaki Naruto, si Hokage Keenam tersipu-sipu sendiri ditatap lama seperti itu. “Ah, siapa, ya?”
            Sakura seketika menggigit bibirnya. Ia seharusnya tahu bakal jadi seperti ini. Hatinya tersayat-sayat melihat ekspresi Naruto yang malu-malu sekaligus bingung itu. Lalu ia pun melontarkan senyuman palsunya pada Naruto. “Saya yang akan memeriksa keadaan Anda, Hokage-sama.”
            “Kau orang baru di sini? Kok aku baru lihat ya?”
            Sakura melangkah perlahan ke tempat tidur Naruto. “Saya Kepala Ninja Medis Konohagakure, Hokage-sama.”
            “Oh ya? Berarti kau cukup lama ya di sini?” Naruto menggaruk dagunya sendiri sembari mengingat-ingat Sakura.
            “Ya, dan sepertinya Anda terlalu sibuk dengan pekerjaan Anda sehingga tidak mengenal saya. Tetapi saya mengenal Anda,” ujar Sakura masih dengan senyuman palsunya.
            “Begitu ya,” Naruto mengeluarkan cengiran khasnya seraya mengusap-usap belakang kepalanya. Dalam hati ia mengerti mengapa ninja medis itu mengenalnya, karena dia adalah Hokage. “Kalau begitu salam kenal. Namaku Uzumaki Naruto? Kau?”
            Sakura berjalan menuju kotak obat yang menempel di dinding di sebelah tempat tidur. “Saya Haruno Sakura,” tukasnya cepat-cepat lalu memalingkan wajahnya pada kotak obat tersebut.
            “Wah, nama yang cantik. Sesuai dengan dirimu.”
            “Terima kasih, Hokage-sama,” jawab Sakura tanpa menatap Naruto.
            “Ah ya, tidak perlu seformal itu padaku. Kau boleh memanggil namaku. Sepertinya umur kita tidak terlalu berbeda jauh, Sakura.”
            Sakura masih menyibukkan dirinya di kotak obat tersebut. Kenapa? Kenapa kau tega melakukannya padaku Naruto? Ratapnya dalam hati. “Baiklah kalau yang itu kau mau, Naruto.”
            “Aku pikir tadi Ino yang akan datang. Karena kau yang akan menghilangkan flu sialan ini bagaimana jika besok malam aku menraktirmu makan di Ichiraku Ramen?”
            Sakura pun memberanikan diri untuk memandangi Naruto. Ia bisa mengetahuinya jika Hokage Keenam itu jatuh cinta pada pandangan pertama padanya. Ia kenal betul dengan tatapan mata biru yang penuh dengan cinta itu. Ia tahu ini bakal percuma, namun ia tak sanggup menolak. “Aku akan memikirkannya.”
            “Yosh! Terima kasih, Sakura-chan.”
            Sakura menggigit bibirnya kuat-kuat hingga berdarah—untuk menahan tangisnya agar tidak pecah. Ia tahu ini bakal percuma … karena besoknya Naruto tidak akan mengingat ajakannya itu lagi….
.
            Rabu, minggu terakhir bulan Maret
            Siang itu Sakura berkunjung ke Menara Hokage untuk memberikan laporan kerja rumah sakit Konohagakure.
            “Kerja yang bagus, Haruno-san. Kontribusimu sangat penting untuk kelangsungan hidup Konohagakure. Aku sangat berterima kasih.” Uzumaki Naruto, Hokage Keenam Konohagakure itu takjub dengan kinerja bawahannya tersebut yang mampu menurunkan angka kematian warga desa hingga 10%. Meski begitu ia sedikit heran mengapa baru melihat kunoichi cantik itu sekarang. Ia berpikir mungkin karena ia terlalu sering berinteraksi dengan banyak orang sehingga tidak mengingatnya.
            Sakura tersenyum kecut. Kau seharusnya tidak pernah memanggilku seperti itu, Naruto. “Ini sudah menjadi tugas saya, Hokage-sama,” ujarnya dengan sopan sembari membungkukkan badan. Ia tidak menyadari mata biru itu sedang menatapnya penuh kagum.
            “Sepertinya kau kecapekan, Haruno-san. Oh ya, namamu yang sebenarnya?”
            “Sakura,” jawab Sakura.
            “Kau tidak keberatan jika aku memanggilmu dengan nama kecilmu?”
            Sakura menggeleng seraya tersenyum tipis.
            “Baiklah! Sekarang ikut aku menikmati angin ya. Aku tahu kau butuh angin segar.” Naruto berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju Sakura. Ia lalu menggenggam tangan ninja medis itu.
            Sakura merasakan debaran di hatinya. Meski ia seharusnya marah dengan sikap lancang Naruto itu, tapi sudah seharusnya tidak ada jarak yang memisahkan mereka.
            Naruto ternyata membawa Sakura menuju ke atap Menara Hokage yang cukup luas—yang biasa digunakan untuk pertemuan rahasia Hokage dengan jounin dan chuunin. “Wah, segarnya!” serunya sesampainya di sana. Semilir angin langsung menghantam wajahnya dengan lembut. Ia memejamkan matanya rapat-rapat sembari menyesap udara segar di sekitarnya.
            Sementara itu mata Sakura tertuju pada tangan Naruto yang menggenggam tangannya. Ia tahu seharusnya genggaman tangan itu bertaut, bukan di satu sisi seperti itu. Dalam hati ia menangis sejadi-jadinya.
            Naruto lantas memandangi Sakura yang menunduk. “Ada apa?” tanyanya dengan ekspresi heran. Ia lalu memosisikan dirinya menghadap ninja medis itu.
            Sakura pun menegakkan kepalanya menatap Naruto. Ia melebarkan senyumannya pada Hokage Keenam itu. “Tidak apa-apa. Saya hanya merasa beruntung berdua seperti ini dengan Hokage termuda sepanjang masa Konohagakure.” Ia tahu pertemuan ini bakal percuma, namun ia hanya ingin menandaskan rasa rindunya. Ia ingin membuat Naruto jatuh cinta padanya pada pandangan pertama.
            Wajah Naruto memerah mendengarnya. “Haa…. Aku tidak menyangka kau akan berkata seperti itu,” tukasnya yang lalu tertawa terbahak-bahak. Ia lakukan itu untuk meredam kegugupannya. Ia lalu menatap Sakura sekali lagi. “Harusnya aku yang mengatakan itu, Sakura. Aku tidak habis pikir kenapa aku baru mengenalmu sekarang.”
            Sakura hanya menatapnya sembari tersenyum.
            “Kalau begitu besok malam apa kau mau menikmati taburan bintang bersamaku, Sakura? Di sini.”
            Senyuman Sakura semakin melebar, namun tangisan pecah di sanubarinya.
            -chan…. Kau lupa menambahkan –chan, Naruto. Kau kejam!
.
What’s the point of living alone? I’m your girl!
I can’t do anything without you. I know only you
I can’t even die because you might return.
I can’t live alone without you….
(I Can’t - Mi, OST Secret Garden)

            Jumat, minggu terakhir bulan Maret
            Sakura menatap pohon-pohon gundul sakura yang berjejer di depannya. Musim semi telah tiba sejak tiga minggu lalu, namun bunga-bunga di pepohonan tersebut belum kunjung mekar.
            “Kapan mekarnya ya?”
            Tiba-tiba sebuah suara muncul di samping Sakura. Ia pun menoleh ke arahnya. Cukup terkejut melihat sosok itu ada di sini karena jam segini seharusnya ia berada di Menara Hokage. Dan seharusnya Sakura yang pergi mengunjunginya. Ia tak pernah melupakan misinya untuk membuat Naruto jatuh cinta padanya setiap hari.
            “Mungkin awal April, Hokage-sama,” jawab Sakura tanpa ragu.
            “Eh?” Naruto menoleh ke sumber suara itu. Dari ekspresinya ia tidak menyadari ada juga orang di sana selain dirinya. Ia pun memandangi gadis itu dengan saksama. Matanya lalu tertuju pada hitae-ate yang ada di kepala Sakura. “Kau kunoichi Konoha, tapi kok rasa-rasanya aku baru lihat ya?”  
            “Anda pasti sangat sibuk sehingga melupakan saya. Saya sudah beberapa kali mendapatkan misi diri Anda. Ah ya, selamat datang di wilayah keluarga Haruno, Hokage-sama,” Sakura lantas membungkukkan tubuhnya pada Hokage termuda di Konohagakure.
            “Wah, jadi ini wilayah Klan Haruno,” Naruto terkikik, sedikit merasa bersalah.
            “Ya, kami memang hanya klan biasa yang tidak memiliki kemampuan apa-apa jika dibandingkan dengan klan lain. Kemampuan kami hanyalah membuat Konohagakure semakin indah,” jelas Sakura. Ia lalu merentangkan tangan kanannya. Mengambil kelopak bunga sakura yang jatuh dari dahannya. Ada beberapa bunga yang mekar, namun beberapa juga berguguran karena tertiup angin.
            “Bagiku itu sangat luar biasa. Shinobi pada umumnya adalah mereka yang ditugaskan dalam medan perang yang jauh dari kata keindahan. Jika memang hanya itu kemampuan klanmu, aku sangat mensyukurinya.”
            Sakura tercenung mendengarnya. Ini bukan pertama kalinya Naruto berkata seperti itu.
            “Jadi, siapa namamu?”
            “Haruno Sakura, Hokage-sama.”
            “Wah, nama yang cocok denganmu. Sepertinya kau lahir di saat bunga sakura sedang bermekaran.”
            “Begitulah.”
            Naruto menyerap seluruh udara di sekitarnya dengan perlahan. “Ah, aku tidak sabar menanti pohon-pohon itu bermekaran.”
            “Oh ya? Tapi saya tidak terlalu yakin saya akan bahagia saat mereka bermekaran,” bisik Sakura tiba-tiba.
            Namun Naruto dapat mendengarnya, karena itu ia kembali menoleh pada Sakura. Kali ini ia memahat ekspresi heran di wajahnya. “Mengapa kau bisa tidak bahagia?”
            “Seharusnya saya menikah dengan kekasih saya saat pohon-pohon ini bermekaran, tapi tidak jadi…,” jawab Sakura sambil memandangi kakinya sendiri.
            Mata Naruto sedikit melebar. “Rupanya kau telah memiliki kekasih. Sayang sekali jika pernikahannya gagal. Aku turut prihatin.”
            “Dia sendiri yang membatalkannya tanpa bilang pada saya dulu. Seharusnya kami menikah tanggal 3 April nanti. Dia sendiri yang dulu memilih tanggalnya karena baginya tanggal itu adalah tanggal istimewa.” Tanpa ditanya, Sakura memberitahu segala hal yang seharusnya diketahui juga oleh Naruto.
            Naruto menyimak dengan raut serius…. Pada dasarnya ia memang tidak tega melihat seorang wanita nyaris menangis, namun sayangnya ia tidak mengingat apa yang seharusnya tidak dilupakannya.
            “Tanggal istimewa karena tanggal itu pertama kalinya ia jatuh cinta sama saya…. Seharusnya kami juga akan menikah di bawah pohon-pohon sakura yang bermekaran ini. Tapi dia malah mencampakkan saya.” Kau mencampakkan aku, Naruto. Kau malah menghapusku dari ingatanmu!
            Naruto melihat bahu wanita itu mulai naik-turun tidak beraturan. Ia pun mengambil inisiatif mendekat ke arahnya. Selama ini ia belum pernah merasakan bagaimana pernikahan yang gagal itu. Sekali lagi, untuk kali ini Naruto sama sekali tidak mengetahuinya. Yang ia pahami, ia tidak ingin membiarkan gadis itu sendirian menghadapi kesedihannya.
            “Kalau begitu bagaimana jika kau memberikan kesempatan untuk laki-laki lain? Aku misalnya?” Naruto menawarkan kebaikan bukan karena kasihan. Namun karena diam-diam ia jatuh cinta pada pandangan pertama pada kunoichi itu.
            Sakura mendengarnya dengan jelas. Ia lalu berlari ke arah Naruto dan memeluknya dengan erat. Dinding ketabahan yang ia ciptakan sebulan lamanya akhirnya porak-poranda. Ia meratap sejadi-jadinya.
            Harusnya Sakura bahagia….
            Tapi ia tahu esok tak lagi sama….
            Esok hari semua ini akan hilang tak bersisa….
            “Kau kejam…. Kau kejam…!” pekik Sakura sembari menangis tersedu-sedu tanpa Naruto sadari bahwa gadis itu sedang memaki-maki dirinya. Ia memeluk Naruto dengan sangat erat. Ia sudah lelah berhadapan dengan Naruto yang esok hari tidak akan mengingatnya lagi…. Tapi ia tetap akan menunggu tanpa batas waktu….
.
It’s okay to give you my everything, and lose my everything.
You don’t know how much I love you….
I will wait for you here forever.
Say bad words, and go away, that’s okay.
You may not know how much I love you….
(Here I Am – Mi, OST Secret Garden)

            Tiga bulan yang lalu…. Rumah Sakit Konohagakure.
           
            “Aku mohon Baa-chan, kabulkan permintaanku. Aku … ingin melupakan Sakura-chan selamanya. Aku tidak ingin mengingatnya lagi….”
            Tsunade menatap pemuda di depannya dengan wajah prihatin. Keadaan Naruto begitu berantakan secara fisik dan mental. Mata birunya pucat, sorotnya seperti orang mati. Tubuhnya pun lebih kurus dari biasa. Ekspresinya kosong tanpa cahaya semangat. Ia baru melihat seorang pemuda yang patah hati begitu rapuh seperti ini. “Naruto bersabarlah sedikit. Berikan Sakura waktu. Kau tahu dia hanya butuh waktu untuk memastikan kebimbangan hatinya.”
            “Sakura-chan melepaskan cincin itu dari tangannya. Keadaan Sasuke yang baru keluar dari penjara membuatnya kembali mengingat cinta yang ia sangka telah dilupakannya. Jadi, apa lagi yang harus kutunggu?”
            “Naruto—”
            “Apa kau tega melihat aku lebih menyedihkan daripada keadaanku ini, Baa-chan? Aku tidak bisa mengendalikannya. Sakitnya terlalu luar biasa…,” lirih Naruto seraya menyentuh dadanya.
            Tubuh Tsunade gemetar. Ia bisa mendengar suara Naruto yang goyang; menandakan pemuda itu menahan tangisnya agar tidak membuncah keluar. Ia tahu betul yang Naruto minta darinya akan berakibat fatal. Karena itu ia tidak ingin gegabah….           
            “Aku bukan laki-laki yang plin-plan. Aku akan tetap mencintainya jika Sakura-chan bersama orang lain. Dan … itulah yang paling menyakitkan….”
            Tsunade terpaku di tempatnya.
            “Kau tidak ingin aku … membunuh diriku sendiri, kan?”
            Tsunade sontak berdiri dari duduknya. “Jangan gegabah—”
            “Karena itu kabulkan permintaanku, Baa-chan!” pekik Naruto sembari menggebrak meja di sampingnya. Ia mengepalkan tangannya rapat-rapat hingga darah muncul di sela-sela jarinya. Ia membungkuk menatap bayangannya sendiri di ubin dekat kakinya. Betapa jeleknya wajahnya saat itu. Giginya saling beradu karena getaran hebat di seluruh tubuhnya. Ia terguncang. Namun hatinya yang lebih terguncang…. “Aku ingin membunuh Sakura-chan di ingatanku. Aku tidak peduli dan tidak ingin mengenalnya lagi. Cukup sehari saja, lalu besoknya ia hilang kembali dari pikiranku. Aku tahu kau mengetahui jurus itu. Aku sangat butuh bantuan Baa-chan untuk melakukannya. Tolong….”
            Tsunade bergidik melihat sedikit demi sedikit air mengalir dari mata biru Naruto yang kini bercampur merah. Tanpa sadar ia ikut menangis juga. Ia mengembuskan napas kuat-kuat. Ia paham ia tidak memiliki jalan lain. Aku tidak punya kuasa apa-apa. Maafkan aku, Sakura. Jurus ini bersifat permanen, tidak ada yang bisa mematahkannya. Kecuali— “Baiklah jika itu yang kau mau, Naruto.”
            Tsunade lalu meminta Naruto untuk membenarkan posisi duduknya. Ia menggigit tangannya hingga berdarah, lantas dengan darah itu ia membentuk segitiga terbalik di seluruh dahi Naruto dan menuliskan nama lengkap Sakura di dalamnya. Kemudian ia melakukan lima segel tangan dan merapalkan jurusnya.
            Cahaya kuning pun mengitari ruangan itu, bersamaan dengan Haruno Sakura yang menghilang dari ingatan Uzumaki Naruto untuk selamanya….
.
.

THE END?
            Setelah kemarin membuat fic yang manis-manis sekarang mencoba kembali membuat angst meski tidak yakin ini angst 100 persen heuhehe :3. Udah saya bilang di atas fic ini bakal lanjut di multichapter yang nggak akan banyak chapternya, jadi ditunggu saja yak :D.
            Saya juga nggak bosen bilang kalau chapter baru Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki lagi ditulis. Jadi, mohon bersabar  ^^.
            By the way, Happy NaruSaku Day ¾ :D