“Wahai,
wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu,
tapi belum juga menikah (mungkin kerana kekurangan fizikal, tidak ada
kesempatan, atau tidak pernah 'terpilih' di dunia yang amat keterlaluan
mencintai harta dan penampilan wajah.) Yakinlah, wanita-wanita solehah yang
sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, bersedekah dan berkongsi,
berbuat baik dan bersyukur. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi
bidadari-bidadari syurga. Dan khabar baik itu pastilah benar, bidadari syurga
parasnya cantik luar biasa.” –
Tere Liye (Bidadari-Bidadari Surga)
Monday, 31 March 2014
Tuesday, 25 March 2014
Titik Nol Dunia
Monday, 24 March 2014
Me and Bandung #1
Assalammu’alaykum
readers :D
Pada dasarnya alasan saya ngulas
pengalaman saya sendiri selama tinggal di Bandung karena mungkin sampai akhir hayat
saya nanti, saya nggak akan pernah melupakannya. Saya tinggal di Bandung selama
lima tahun. Dan lima tahun bagi saya adalah cukup untuk merekam kenangan,
pelajaran, dan perjuangan saya selama menimba ilmu di sana.
Kata orang kalau kamu ke Bandung
kamu pasti bakal cinta kotanya dan orang asli sana. Well, saya mengalami keduanya hehehe. Tapi yang akan saya bahas di
sini cuma tentang kecintaan saya sama Bandung (yang satu lagi akan saya simpan
untuk proyek novel saya :3).
![]() |
source:antaranews.com |
Dimulai dari masa-masa terakhir di
SMA, cita-cita utama saya sehabis itu sebenarnya pengen banget masuk
Universitas Indonesia jurusan Sastra Jepang kalau nggak Sastra Indonesia. Tapi
di dalam hati saya juga pengen sekolah di Bandung, meski belum tahu mau masuk
perguruan tinggi mana. Waktu itu saya nggak tertarik sama Unpad, dan ITB. Lalu
sebelum SMPTN saya ikutan tes SMBB Telkom, tapi saya nggak lolos. Saya
tenang-tenang aja tuh nggak masuk Telkom karena saya pikir masih ada harapan,
SMPTN.
Nah, setelah sebulan, ada surat
datang ke rumah saya dari lembaga sertifikasi yang di naungi sama Yayasan
Pendidikan Telkom. Ibu saya pun mengira bahwa itu adalah STT Telkom yang masih
punya ikatan dinas (yang nanti bakal langsung kerja di Telkom) dan meminta saya
untuk daftar ulang saja di sana. Saya senang juga bakal sekolah di Bandung
(karena pada waktu itu saya nggak pernah ke Bandung dan banyak yang bilang asik
banget kuliah di sana). Cuma yang jadi kendala saya nggak punya saudara yang
tinggal di sana dan teman yang sekolah di lembaga tersebut.
Karena itu saya meminta izin sama
Ibu saya untuk mencoba ikut tes SMPTN. Saya sudah beli formulirnya. Tapi saya
nggak direstui sekolah di UI karena melihat jurusan yang saya ambil. Ibu saya
bilang kalau mau belajar bahasa Jepang les aja nggak usah sekolah kayak gitu,
lagian kamu udah di Telkom lho, nanti gampang cari kerja. Dan saya memang
tipikal anak penurut karena saya percaya ridha orangtua adalah ridha Allah,
meski sebenernya masih setengah hati karena saya pengen banget masuk ke Sastra
Jepan. Biar gampang ke Jepangnya hehe. Dari kecil umur 10 tahun nonton Digimon,
saya pengen banget ke Jepang sono, minimal traveling
lah, kalau beruntung sekolah di sana juga bagus.
Akhirnya saya jual formulir SMPTN
yang sudah saya beli ke sahabat saya. Lalu seorang sahabat saya berusaha
menghibur dan bilang: Nggak apa-apa
kuliah di Bandung, siapa tahu ketemu jodoh di sana. Hanya saja saya sama
sekali nggak kepikiran cari jodoh di sana hahaha. Saya masih menggalaukan
kesendirian yang bakal saya rasakan saat pertama kali menginjakan kaki di
Bandung.
Tapi sampai detik ini saya nggak
menyesal dengan pilhan saya untuk kuliah di Bandung. Di lembaga sertifikasi itu
saya bertemu dengan empat cewek luar biasa yang jadi sahabat saya sampai
sekarang. Saya juga kenal teman-teman lain dari seluruh wilayah Indonesia yang
punya karakter berbeda-beda. Meski karakter mereka bikin saya kena culture shock diawal-awal. Soalnya
selama di SMA dulu saya bergaul di lingkungan orang-orang alim yang pintar menutup
aibnya. Sedangkan pertama kali di Bandung, saya bertemu dengan orang-orang apa
adanya yang nggak malu-malu memperlihatkan aibnya K.
Namun Alhamdulillah, semua saya
jadikan pelajaran yang berharga.
Balik lagi sebelum keberangkatan ke
Bandung. Ibu saya pun membantu saya mencari teman sebelum sampai di sana.
Beliau meminta nomor telepon murid baru cewek ke lembaga itu. Sekadar untuk
kenalan. Akhirnya dikasih empat. Tapi dari empat nomor itu yang ngerespon baik
cuma satu orang, namanya Andini Fitri Lubis dari Medan…. Dan sampai sekarang
dia menjadi sahabat terbaik saya :3.
Berikutnya saya akan bercerita
tentang kenangan-kenangan saya bersama Dini :D
Saturday, 15 March 2014
Quote of The Day #2
For a star
to be born, there is one thing that must happen: a gaseous nebula must
collapse.
So collapse….
Crumble….
This is not your destruction!
This is your birth….
So collapse….
Crumble….
This is not your destruction!
This is your birth….
Thursday, 13 March 2014
Quotes of The Day
Bagi orang2 yang memendam rindu,
mencintai dalam diam, maka apa-apa yang ditunjukkannya hanyalah bagai gunung es
di dalam samudera, hanya memperlihatkan pucuk kecil dari betapa besar perasaan
itu di bagian dalamnya. Besarrr sekali yang tersembunyi.
Tapi bagi para tukang gombal, yang berceceran perasaannya di mana-mana, maka apa-apa yang diperlihatkannya itu justeru adalah semuanya, itupun dikali dua dengan kepalsuan. Tebar pesona di mana-mana. Tidak ada lagi yang tersisa di bagian dalamnya. Sudah diobral habis. Berhati2lah dengan golongan ini.
*Tere Liye
Tapi bagi para tukang gombal, yang berceceran perasaannya di mana-mana, maka apa-apa yang diperlihatkannya itu justeru adalah semuanya, itupun dikali dua dengan kepalsuan. Tebar pesona di mana-mana. Tidak ada lagi yang tersisa di bagian dalamnya. Sudah diobral habis. Berhati2lah dengan golongan ini.
*Tere Liye
Saturday, 8 March 2014
Naruto Fanfiction for Pre LAFSEvent: From Me To You
From
Me To You
Naruto © Masashi
Kishimoto
Warning: Romance. Rated K. Alternate Reality. Fluff? Maybe.
OOC.
Subtema: Greatest Gift
For Pre-LAFSevent
Coming Soon NaruSaku Day 3 – April 2014
.
.
“Naru-chan, ayo lihat kemari.”
Mata biru besar Naruto kecil
seketika menatap wanita berambut merah di depannya.
Uzumaki
Kushina sedang memotret anak semata wayangnya itu. Mumpung Naruto sedang tenang
menyantap makan siangnya dengan lahap di meja makan.
“Satu … dua … tiga….” Klik. “Anak
pintar,” ujar Kushina yang merasa puas akan ekspresi anaknya yang sangat
natural itu.
“Apa itu Kaa-san?” tanya Naruto sembari menunjuk ke benda asing yang sedang
digenggam ibunya.
Kushina pun tersenyum. “Ini kamera
lomo, Sayang.”
“Kamera lomo?” Naruto memiringkan
kepalanya tanda bingung. Tapi ia nampak tertarik juga dengan benda yang
menurutnya unik itu. Bentuknya segi empat, tapi ada lingkaran di
tengah-tengahnya, lalu di bagian kanan atas, terdapat lampu kecil. “Untuk apa?”
Naruto kecil keingintahuannya memang
cukup besar. Dan sebagai seorang ibu, tentunya Kushina harus dengan jelas
menjawab pertanyaan anaknya. Sesederhana mungkin. Agar anak semata wayangnya
itu bisa mengerti. “Ini dapat menghasilkan gambar dirimu, Naru-chan. Seperti yang ada di sana.” Kushina
menunjukkan deretan foto keluarga dalam bingkai—yang terletak di atas lemari
tak jauh dari meja makan.
Di sana ada foto Naruto sejak lahir sampai sekarang. Semacam
metamorfosis. Dan tentunya juga foto Kushina dan suaminya, Hokage Keempat. Yang
mereka bertiga di dalamnya juga tak kalah banyak.
“Wah, tapi apa hanya gambar diriku, Kaa-san? Padahal di sana ada Tou-san dan Kaa-san juga.”
“Gambar apa saja yang kausukai, dan
yang menurutmu bagus bisa kau ambil dengan kamera ini.” Kushina beranjak dari
tempat duduknya, berdiri di sebelah Naruto, dan memberikan kamera itu padanya.
Kedua alis Naruto terangkat. Meski
ia baru berumur lima tahun, nampaknya ia tertarik dengan kamera mainan itu.
“Bagaimana cara memakainya, Kaa-san?”
tanyanya antusias.
“Kau tinggal menekan tombol ini
saja, ‘Nak,” jelas Kushina sembari menunjukkan tombol merah—yang terdapat di bagian
atas kamera, dekat lampu kecil—pada anaknya.
Naruto kecil akhirnya mulai mempraktekkannya pertama
kali dengan memotret Kushina yang sedang membereskan meja makan.
Kushina pun tersadar Naruto sedang memotretnya.
“Hehe, bagaimana, Kaa-san?
Tadi caraku benar, kan?”
Senyuman manis melengkung dari bibir ranum Kushina, ia
bertepuk tangan. “Benar kok, Sayang. Anak pintar,” ujarnya sembari mengusap
kepala Naruto.
“Lalu, bagaimana caranya gambar yang ada di kamera ini
bisa berbentuk bingkai begitu, Kaa-san?”
tanya Naruto lagi.
“Untuk yang itu, serahkan saja pada Kaa-san. Jika angka ini sudah berjumlah
24, kembalikan kamera itu pada Kaa-san
ya.” Kushina menunjuk pada lingkaran kecil yang terdapat angka di sana.
Naruto pun mengerti. “Wakattebayo, Kaa-san!” teriaknya dengan penuh semangat.
.
.
Hari itu Naruto kembali bersekolah. Kelas
nol besar akademi ninja baru saja dimulai lima hari yang lalu. Tapi itu tidak
menjadikan Naruto malas, ia sangat rajin sekali pagi-pagi sudah datang. Karena ia
ingin seperti ayahnya kelak saat ia telah mencapai kedewasaan, menjadi Hokage
Konohagakure adalah impian terbesarnya.
Selama dalam perjalanan menuju ke
sekolah, Naruto memotret apa saja hal yang menurutnya sangat menarik: dari kupu-kupu
yang hinggap di pohon sakura, induk kucing yang sedang menyusui anaknya, sampai
seekor katak yang sedang meluncur ke kolam di dekat sekolah pun ia ambil
gambarnya. Musim semi di Konohagakure memahatkan pemandangan indah yang selalu
ditunggu para penduduknya. Musim yang pas juga untuk membuat sebuah memori dan
menyimpannya dalam benda mati yang biasa disebut foto.
Kushina yang berjalan di dekat
Naruto memandangi putra tunggalnya itu dengan raut wajah secerah mentari. Ia
memperbolehkan Naruto membawa kamera ke sekolah, asal tak digunakan ketika
pelajaran berlangsung. Ibunya pun tak terlalu mempermasalahkannya, karena
kamera itu cocok untuk pemula. Kushina berharap jika Naruto akan segera
menemukan memori indahnya di sekolah, dan merekamnya dengan kamera tersebut. Ia
ingin Naruto tumbuh besar dengan baik tidak hanya di rumah, tetapi juga di
lingkungan sekolahnya.
Namun yang tidak Kushina ketahui, setelah
pelajaran dimulai, Naruto malah semakin antusias untuk mengambil gambar-gambar
yang ditemukannya menarik. Ia lupa akan pesan ibunya. Karena ia masih polos,
tentu saja ia mengambil gambarnya sesuka hati. Apalagi momennya bisa dibilang
pas.
Dari kejauhan, Naruto melihat Guru
Iruka sedang memarahi Shikamaru karena ia tertidur dalam kelas. Ia pun
mengarahkan kameranya ke tempat duduk Shikamaru. Dan, ‘klik’, ia kemudian jadi
cekikikan sendiri.
Lalu Naruto menyedarkan pandangannya lagi ke seluruh
kelas. Tak jauh dari tempat duduknya, ia menemukan Kiba yang diam-diam sedang
asyik bercanda dengan Akamaru di bawah meja. Bunyi ‘klik’ pun terdengar lagi.
Lantas Naruto menelengkan kepalanya ke kiri, tiga blok
dari tempat duduknya. Dilihatnya Sasuke sedang berwajah masam, karena murid-murid
perempuan lain memainkan rambutnya yang seperti ekor ayam itu. Sebenarnya
mereka berbuat demikian karena mengagumi keturunan Uchiha terakhir yang tampan
lagi menggemaskan. Namun apapun bentuk kekaguman itu, sama sekali tak membuat
Sasuke tertarik. Justru kebalikannya, ia sangat risih.
“Dasar Sasuke sombong. Aku foto saja ah wajah jeleknya
itu. Hehehe,” ujar Naruto usil. Ia pun memotret kejadian itu.
Mata Naruto kembali berputar, kemudian tertahan di
depan sedikit ke arah kanan. Nampak Chouji sedang menyantap cemilannya
diam-diam. Ia meletakkan buku di depan wajahnya seperti sedang membaca. Padahal
tidak.
“Chouji, Chouji. Lama-lama kau bisa gendut lho.
Hihihi,” gumam Naruto pelan-pelan. Takut tertangkap telinga si bongsor itu,
karena bisa-bisa ia ngamuk gara-gara Naruto menyebutnya gendut. Dan, ‘klik’.
Di sebelah Chouji, ada Hinata yang nampak malu-malu sedang
menatapnya. Naruto tadinya hendak memotret Hinata, namun hal itu urung ia
lakukan. “Kenapa ia menatapku seperti itu?” tanya Naruto pada dirinya sendiri.
Dahinya mengerut. Ia merasa tak enak hati jika ketahuan memotret seperti ini. Sebisa
mungkin orang yang dipotret tak melihat ke arahnya. Ia pun melewatinya.
Lalu di sebelah Shikamaru, mata Naruto menangkap gadis
kecil yang memiliki rambut berwarna merah jambu dan Ino yang sedang bergosip
ria. Ia menggeser kamera itu dari wajahnya sejenak. Ditatapnya lekat-lekat
salah seorang dari dua perempuan itu.
Rupanya ada yang menarik perhatian Naruto. “Siapa yang
berambut merah jambu itu? Kok aku baru lihat, ya?” tanyanya pada dirinya
sendiri. Ia meletakkan tangannya di dagu. Meski baru lima hari bersekolah,
sebenarnya ia sudah bisa menghapal satu per satu nama dan wajah teman-teman
sekelasnya, namun ia tidak mengingat teman sekelasnya yang memiliki rambut
serupa dengan warna bunga sakura itu.
“Tenang, Anak-anak! Hari ini aku ingin memperkenalkan
murid baru pada kalian! Dia tidak bisa masuk pada hari pertama tahun ajaran
baru dimulai karena harus mengikuti orangtuanya dulu ke Kiri sejak enam bulan
lalu untuk urusan bisnis,” ucap Guru Iruka lantang yang kemudian menoleh ke
sana-kemari. “Eh? Di mana, Sakura?”
“Aku di sini, Sensei!”
teriak sebuah suara.
Guru Iruka pun menoleh. “Kenapa kau di sana, Sakura?
Aku belum memperbolehkan kau duduk. Ayo, kemari! Perkenalkan diri dulu di depan
kelas.”
Gadis kecil yang bernama Sakura itu pun berlari kecil
ke sebelah gurunya itu.
“Perkenalkan, namaku Haruno Sakura,” ucap Sakura,
kemudian ia menyebutkan data dirinya satu per satu.
Naruto segera memperhatikannya dengan saksama tanpa
mengalihkan perhatiannya pada Sakura. Ia merekam semua apa yang Sakura ucapkan
tentang dirinya sendiri. Terlebih pita merah yang melingkar di kepala Sakura
gadis kecil itu terlihat manis. Dan dua kata yang pada akhirnya terlontar dari
mulut Naruto: Haruno Sakura … Haruno
Sakura … Haruno Sakura….
Sampai Naruto kemudian menyadari matanya sejenak
bertatapan langsung dengan mata Sakura. Hijau bertemu dengan biru. Wajahnya pun
bersemu merah, Naruto langsung menegakkan posisi duduknya. Ia berencana
memberikan Sakura cengiran khasnya, namun sebelum hal itu dilakukannya, Sakura
menengok ke arah lain.
Naruto kecil belum mengerti apa itu cinta dan baru
kali ini ada seorang gadis kecil yang langsung membuat jantungnya berdetak tak
keruan pada pandangan pertama. Ia tidak tahu apa itu cinta, namun yang jelas ia
ingin sekali suatu saat bisa dekat dengan gadis kecil yang sangat manis itu.
“Cantiknya…,” bisik Naruto dengan ekspresi malu-malu.
.
.
Pulang sekolah Naruto tidak menunggu ibunya di tempat
ia biasa menunggu, yaitu di dekat ayunan. Ia memilih mengikuti Sakura dan Ino
yang saat ini sedang berkumpul dengan gadis kecil lainnya di dekat jalan
setapak menuju rumahnya, tepat di bawah beberapa pohon sakura yang sedang mekar.
Naruto termangu sejenak, lalu ia tersadar sedang melihat
sebuah pemandangan terindah selama hidupnya. Di bawah pohon sakura yang begitu
cerah karena pantulan sinar sang raja siang, ia melihat Haruno Sakura tersenyum
lebar—menunjukkan senyuman cantiknya. Saat itu Naruto tahu bahwa pemandangan
ini sangat langka karena itu ia pun segera mengeluarkan kamera lomonya.
Tanpa ragu, Naruto memotret Sakura berkali-kali. Saat
itu juga beberapa kelopak bunga sakura berguguran karena diterpa angin. Sampai
pada akhirnya Sakura melihat ke arahnya—yang berada sekitar sepuluh meter dari
pohon sakura. Dengan sigap Naruto pun menurunkan kamera dari wajahnya,
menyembunyikannya ke belakang. Ia lontarkan cengiran khasnya pada gadis
berambut merah jambu itu untuk menutupi kegugupannya dan melambaikan tangan.
Sakura menatap Naruto sejenak. “Siapa sih dia?” Kemudian
ia membuang muka—tak membalas senyuman Naruto. Ia pun mengajak teman-temannya
melanjutkan perjalanan pulang.
“Fuhh.” Naruto mengembuskan napasnya kuat-kuat. Ia
merasa lega karena Sakura tak mengomelinya langsung dan mengambil kameranya,
atau yang lebih buruk merusaknya.
Kamera lomo ini sudah menjadi barang berharganya.
Terlebih pemandangan yang berhasil ditangkap oleh lensa dalam kamera itu….
Naruto kemudian memeriksa angka yang sebelumnya pernah
ibunya sebutkan—yang berada di tepi kamera. Ia perhatikan dengan saksama. “Aih,
angkanya sudah 24 ya. Berarti sepulang sekolah nanti, harus dikembalikan pada Kaa-san.”
“Ah, kau rupanya di sini, Sayang. Kaa-san mencarimu, tahu! Kau kan seharusnya menunggu di dekat
ayunan,” omel Kushina yang berlari menuju Naruto dengan wajah kesalnya.
Melihat wajah ibunya yang seperti itu biasanya Naruto
langsung bergidik ngeri, namun kali ini ia tersenyum pada Kushina. Membuat
Kushina bingung menatapnya.
.
.
“Kembalikan! Kembalikan pitaku!” terdengar tangisan di
sana.
“Kau itu sebenarnya jelek jika memakai pita ini,
Sakura-chan. Buatku saja, ya.”
“Tidak mau! Pita itu dari ibuku….”
“Minta saja dibelikan baru, Anak Manja!” Suara tawa
mengejek kemudian ikut terdengar juga.
Membuat suara tangisan meledak sejadi-jadinya. “Huhuhu….”
“Jidatmu memang lebar, ya. Pantas saja kau dibilang jelek.
Hihihi.”
Siang itu sepulang sekolah—setelah berpisah dengan teman-temannya,
Sakura dicegat oleh kelompok anak nakal yang diketuai Ami, musuhnya yang selalu menjahilinya sejak lama. Biasanya Ami
tidak akan berani mengganggu Sakura jika Ino berada di dekatnya. Maka dari itu
melihat Sakura pulang sendirian, membuat anak nakal itu berani untuk
menyerangnya.
Pakaian Sakura pun kotor akibat tomat busuk yang dilempari
Ami dan kawan-kawannya. Wajahnya sembap dikarenakan air mata yang tak
henti-hentinya mengalir dari mata zamrudnya.
“Be-besok, aku tak mau ke s-sekolah,” ujar Sakura
tersedu-sedu. Ia melangkahkan kakinya ke rumah dengan tertatih-tatih.
.
.
Pagi itu Naruto sudah ada di kelasnya. Ia begitu
senang ke sekolah tepat waktu, karena tadi hampir terlambat jika ayahnya tak
membangunkan. Untung saja ayahnya menggunakan hiraishin no jutsu, sehingga dalam sekejap ia bisa sampai di
sekolah setelah sarapan terburu-burunya.
Dan juga, hari itu fotonya diperkirakan akan jadi.
Naruto tak sabar melihat hasilnya. Rencananya akan ia simpan di album foto yang
kemarin dibelikan Kushina. Tapi tak ada niatnya untuk memperlihatkan foto-foto
itu pada temannya.
Naruto memperhatikan seluruh isi kelas yang mulai
ramai. Teman-temannya sudah datang semua, kecuali satu orang yang ia tunggu-tunggu
tak kunjung muncul. Lima menit lagi pelajaran akan dimulai. Ia yang merasa
khawatir pun menghampiri Ino yang sedang mengobrol dengan Ten Ten. “Ino, kau
tahu Sakura ke mana?”
Ino mematung menatap Naruto. Seketika air mukanya
berubah sedih. “Sakura tak masuk sekolah hari ini, Naruto.”
“Eh? Kenapa? Apa dia sakit?” tanya Naruto yang
terkejut.
Kemudian Ino menarik Naruto ke pinggir kelas.
“Sebentar ya, Ten-chan,” ujarnya pada
Ten Ten sebelum meninggalkannya.
“Ada apa, Ino?” tanya Naruto yang heran terhadap
gelagat aneh Ino.
“Anu, ng…, Naruto. Janji ya kau tak akan mengatakannya
pada siapa pun.”
Alis Naruto terangkat. “Memangnya kena—”
“Pokoknya kau harus janji dulu,” sergah Ino
cepat-cepat. Tak memberikan Naruto kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya.
Naruto sempat tercenung, tapi kemudian ia pun
mengangguk. “Baiklah, aku janji. Sakura kenapa, Ino?”
Ino pun menceritakan kejadian kemarin yang dialami
Sakura. Ia mengetahui kejadian itu dari ibunya yang tak sengaja bertemu bertemu
ibu Sakura di pasar.
“Ami mengambil pita yang dipakai Sakura kemarin. Dan
ia menjahilinya. Sakura paling tidak suka dahinya dijadikan bahan ejekan.”
Sejurus Naruto menjadi geram sekaligus sedih.
Menurutnya Sakura itu sangat cantik. Justru dahinya yang lebar itu yang
menjadikannya cantik. Ia menghela napas panjang. “Lalu apa kau sudah menjenguk
Sakura-chan?”
“Belum, Naruto. Kata ibunya hari ini dia tidak mau
bertemu siapa-siapa.”
Wajah Naruto bertambah muram. Padahal ia ingin sekali
menjenguk Sakura nanti sepulang sekolah. “Baiklah kalau begitu. Terima kasih
karena telah memberitahuku, Ino.”
.
.
Sepulang sekolah, Naruto duduk di lantai ruang tamu.
Membantu ibunya menyimpan foto-foto
hasil jepretannya ke album. Sesekali Naruto melihat Kushina yang tertawa
sendiri melihat foto-foto itu. Namun ia tak terlalu mempedulikannya, karena
pikirannya kini terfokus pada seorang saja, yaitu pada Sakura. Ia sedang
menggenggam sebuah foto yang barusan diambil dari ibunya.
“Kaa-san,
apa Kaa-san punya bingkai bagus untuk
menyimpan foto ini?” Naruto menunjukkan pada Kushina salah satu foto yang baru
saja selesai dicetak itu.
“Bingkai? Bukannya kau mau menyimpan foto-foto itu di
sini, Naru-chan?” ungkap Kushina
sembari menunjuk album foto tersebut.
Lantas Naruto berdiri, dan beranjak duduk di pangkuan
Kushina. Kushina tanpa ragu-ragu memberi ruangan Naruto untuk duduk di sekitar
pahanya. “Hehehe. Iya, Kaa-san. Tapi
aku mau memberikannya pada seseorang.”
Kushina lalu menemukan sebuah foto yang sedang
digenggam anaknya. Tersadar pipi chubby
anaknya merekah semerah bunga mawar. Ia pun tersenyum. “Buat siapa, Naru-chan. Aaa…. Kau sudah punya pacar, ya?” Ia
sendiri teringat foto gadis kecil berambut merah jambu yang jumlahnya cukup
banyak difoto oleh Naruto.
“Bu-bukan, Kaa-san.
Dia teman sekelasku di sekolah.”
“Benarkah?” goda Kushina lagi.
Rona merah di pipi Naruto pun semakin merekah digodai
seperti itu. “Aa…. Kaa-san!” teriak
Naruto malu-malu.
“Hehehe.” Kushina lalu menyubit pipi gembul anaknya
dengan lembut. “Baiklah. Kalau Kaa-san
boleh tahu, dalam rangka apa kau ingin memberikannya ini?”
“Sebenarnya….”
Naruto kemudian menceritakan seluruh hal yang ia ketahui
dari Ino pada ibunya. Akhirnya Kushina pun mengabulkan permintaan Naruto. Ia
menaruh foto Sakura ke dalam bingkai foto bermotif bunga sakura.
.
.
Pagi harinya, Naruto bangun lebih pagi dari yang
biasanya. Karena sebelum berangkat ke sekolah, ia ingin singgah ke suatu tempat
dulu. Tak lupa ia berpakaian serapi mungkin, dan sarapan secukupnya. Ia lalu
berjalan sendiri ke rumah yang ditujunya. Kemarin Ino memberitahu Naruto alamat
rumah Sakura. Ia ditemani ibunya sampai di gang depan rumah gadis kecil itu,
kemudian ia meminta ibunya pulang saja karena akademi ninja tidak jauh dari sana.
Dari rumah Sakura ia berencana ke sekolahnya sendiri.
Tidak sulit menemukan rumah Klan Haruno. Beberapa
menit kemudian, sesampainya di depan rumah tersebut, Naruto mengumpulkan
keberanian untuk mengetuk pintunya. Setelah tiga kali menghirup udara
dalam-dalam, ia pun mengarahkan tangannya pada daun pintu. Namun…
CKLEK…
Pintu terbuka dari dalam.
“Aku berang—eh?” Rupanya yang membuka pintu adalah
pemilik rumah sendiri, yaitu Haruno Sakura. Ia nampak terkejut melihat teman
sekelasnya—yang belum ia ketahui—namanya itu ada di depan rumahnya pagi-pagi
begini. “Ada apa?” tanyanya datar.
Naruto menatap gadis kecil di depannya lekat-lekat.
Bisa ia lihat, tak ada pita merah lagi di rambut Sakura. Dan Sakura sepertinya
memotong rambut depannya lebih pendek! Sayang
sekali dahi indahnya itu tertutup, ujar Naruto dalam hati. Air muka Sakura pun tak secerah biasanya.
Sepertinya ia masih sedih dengan kejadian kemarin.
“Kenapa diam saja? Kau teman sekelasku, kan? Siapa
namamu?”
“Eh, y-ya….” Panggilan Sakura membuyarkan pikiran
Naruto. “Aku Namikaze Naruto, Sakura-chan!
Yoroshiku!” serunya terburu-buru. Ia
pun tak ingin berlama-lama mengulur waktu. Ia segera membuka tasnya dan
mengeluarkan bingkai foto dari sana. “I-ini…. Hadiah dariku untukmu.” Foto itu
pun ia berikan pada Sakura.
“Ini ap—lho? Ini kan aku,” ujar Sakura yang terhenyak
melihat potret dirinya yang berada di dalam bingkai.
“Ah, iya. Itu fotomu yang kuambil diam-diam kemarin.
Kamera dari ibuku, jadi aku ingin mencobanya. Gomenasai,” tukas Naruto yang tertawa paksa sembari menggaruk-garuk
belakang kepalanya. Ia sedang berusaha mengatasi rasa malunya pada Sakura. Kemudian
ia berusaha menghibur gadis kecilnya itu, yang sedang dirundung kesedihan. “Menurutku
kau lebih cantik jika dahimu kelihatan, Sakura-chan. Apalagi dengan pita merah di rambutmu,” bisik Naruto menunduk
sembari memutar-mutarkan jari telunjuknya.
Sakura menatap Naruto tak percaya, baru kali ini ada
pemuda kecil yang mengucapkan hal itu padanya. Ia memperhatikan Naruto cukup
lama.
“Baiklah. Aku duluan ya, Sakura-chan. Sampai jumpa di kelas. Daa….” Naruto hendak beranjak dari
sana, ia sudah kehabisan kata-kata. Namun baru satu langkah ia melenggangkan
kakinya, Naruto merasakan sebuah tangan menggenggam tangan kanannya.
“Tunggu di sini, Naruto. Aku mau ke dalam sebentar,”
ujar Sakura tiba-tiba.
“Eh? Kena—” Sebelum Naruto melanjutkan kata-katanya,
Sakura sudah terlanjur masuk ke dalam rumah.
Hanya sebentar, sekitar lima menit Sakura kembali lagi
keluar. Dengan pita merah di rambut merah jambunya. Dan tak disangka-sangka ia
menyium pipi Naruto. “Terima kasih, Naruto. Aku suka sekali dengan fotonya.
Hadiah paling istimewa yang pernah aku dapatkan seumur hidupku,” ia
menyunggingkan senyuman termanisnya untuk Naruto.
Naruto pun membatu dibuatnya. Tak menyangka mendapat
ucapan terima kasih seistimewa itu. Sekarang wajahnya keseluruhan berubah
merekah merah. Ia bahkan menahan dirinya agar tidak pingsan.
“Ayo, kita berangkat!” seru Sakura riang seraya menarik
tangan Naruto.
Sementara Naruto hanya diam tersipu-sipu menatap gadis
kecil yang disukainya itu. Matanya lalu beralih pada tangannya yang sedang
digenggam Sakura. Ia biarkan Sakura menarik tangannya, mengikuti cepat tubuhnya
yang berlari ke sekolah.
Pikiran Naruto melayang-layang di otaknya. Ia
berencana untuk memotret dirinya bersama dengan Sakura nanti di bawah pohon
sakura yang berada di jalan setapak itu. Semoga saja Sakura bersedia.
.
.
The End
Untuk fic
Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki sama Aufkakrung: Save Me Please, lagi dalam
pengerjaan. Ditunggu saja ya, Minna.