Sunday, 27 October 2013

Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki Chapter 11

Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from ‘HEART’. Semi-Canon. Alternate Reality. Semi-Crossover with The Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. OOC

Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure
“Biarkan Shikamaru sendiri dulu, Ino. Ia perlu menenangkan dirinya. Kau tidak ingin membuatnya tambah pusing, kan?” ucap Chouji yang paham betul tabiat sahabatnya itu. Ia sendiri di dalam hati berdoa semoga esok hari semua akan kembali sebagaimana mestinya. Walau tampaknya setelah ini jalannya akan penuh dengan kerikil-kerikil tajam
.
Chapter 10
Pertarungan Dua Yousei
.
.
Hutan itu malam ini tampak mencekam. Gelap menyapu seluruh permukaan hutan, ditambah dengan keberadaan tiga orang shinobi yang paling dianggap berbahaya di dunia ini. Mereka sedang mengatur strategi. Tampaknya sebentar lagi akan ada pertarungan besar. Dan tidak akan ada yang bisa menghentikan niat jahat mereka.
“Kau ingin menghancurkan kelima Negara Elemental, kan? Kalau begitu kau memerlukan pasukan yang banyak,” ujar Kabuto merapalkan sebuah jutsu doton. Ia membuka sebuah tempat yang selama ini di segelnya. “Memanggil Sembilan Iblis Berjubah Hitam tidaklah cukup.”
“Apa yang kauinginkan sebenarnya dariku? Sampai-sampai mau bergabung denganku,” tanya Madara dengan nada ketus.
“Kau selalu curiga ya, Tuan Madara. Aku sudah bilang kan bahwa aku menginginkan Uchiha Sasuke? Aku ingin kau membantuku untuk membunuhnya.”
“Hmm, penawaran yang tidak seimbang.”
Kabuto lalu tertawa dengan lantang.  “Kau menginginkan aku meminta lebih? Padahal aku yakin sekali kau akan melindungi Sasuke untuk kepentinganmu. Maka dari itu hanya itu yang aku inginkan. Aku ingin kau membuang seseorang yang sangat bermanfaat bagimu itu.”
“Cih, Sasuke sudah tidak bermanfaat bagiku. Mau kau apakan dia aku tidak peduli,” jawab Madara tegas. Tempat itu terbuka sepenuhnya, ia, Zetsu, dan Kisame mengikuti Kabuto dari belakang.
Di sana mereka menemukan tabung-tabung raksasa yang entah berisi apa. Cukup banyak. “Ini adalah tempat Tuan Orochimaru melakukan berbagai macam percobaan. Aku ingin mengambil gulungan jutsu terlarang di sini.” Kabuto pun menghilang dari pandangan mereka bertiga.
“Tuan Madara, apa dia bisa dipercaya?” tanya Kisame setelah Kabuto lindap di sekitar mereka.
“Untuk saat ini aku mempercayainya. Lagi pula aku membutuhkan apa yang dia tawarkan,” tukas Madara tanpa ragu.
Kabuto pun kembali muncul. “Ah, sudah kutemukan. Aku akan melakukan edotensei. Kita akan membangunkan yang sudah mati untuk membantu kita.”
Madara hanya terpaku mendengarnya. Ia sudah menduga jika Kabuto memiliki ide gila seperti ini. Ia mengatupkan mata rapat-rapat dan menatap Kabuto dengan mata setajam elang. “Baiklah kalau itu rencanamu. Aku akan membantumu membunuh Sasuke.” Ia lalu beranjak pergi dari sana diikuti Zetsu dan Kisame. “Jangan sampai gagal.”
“Kau juga jangan sampai gagal, Tuan Madara.”
Madara tersernyum sinis di balik topengnya. “Hn. Jangan meremehkan aku. Akan kubawa mayat Sasuke ke sini.”
“Aku akan menanti,” ujar Kabuto menyeringai kejam.
.
o0o
.
Di Uzumakigakure saat ini sedang siang hari. Matahari menunjukkan kuasanya di langit sana. Membuat Uzumaki Naruto mandi keringat. Ia dan Kushina sedang berlari-lari di atas batang-batang pohon raksasa yang tumbuh lebat di kampung halaman ibunya itu. Ini latihan dasar untuk mengembalikan fungsi otot-ototnya yang cukup lama tidak digerakkan.
“Cepat sekali,” ujar Naruto terengah-engah. Ia memperhatikan ibunya yang berada di depannya.
Rambut Kushina dikuncir kuda. Ia mengenakan obi berwarna merah tanpa lengan yang panjangnya hanya sepinggang, dipadukan dengan celana ketat pendek berwarna biru tua. Kakinya dilapisi dengan sandal ninja yang menutupinya hampir ke lutut.
“Ayo, Naruto susul aku!” teriak Kushina dengan lantang. Ia tertawa melihat anaknya kelelahan. Ia lalu turun ke batang yang lebih rendah tingginya dengan bersalto. “Kau harus berlari sampai pingsan.”
“Cih, yang benar saja,” gerutu Naruto. Tak mau kalah, ia lalu mempercepat larinya untuk menyusul Kushina.
Yang tidak mereka berdua sadari, Uzumaki Miyazaki memperhatikan mereka dari menara Rumah Besar Uzumakigakure. “Tampaknya setelah ini aku bisa mengajarinya jurus itu,” gumamnya.
.
o0o
.
Langit di Konohagakure sedang dikuasai malam. Kurenai tidak bia tertidur saat itu, ia memperhatikan Kakashi yang sedang tertidur pulas sembari memeluk Hiruzen yang tertidur di antara mereka. Tadinya Kurenai akan menaruh Hiruzen di keranjang tidurnya, tetapi Kakashi meminta agar Hiruzen tidur bersama dengan mereka. Tapi selama ini juga mereka jarang tidur bersama.
Kurenai tahu betul mengapa Kakashi memilih untuk tidur di rumahnya. Hal tersebut biasa Kakashi lakukan jika ia sedang dirudung masalah. Ia tentu saja tahu betul apa yang sedang dihadapi suaminya itu. Dulu Kakashi sudah kehilangan orang-orang yang berharga bagi dirinya. Dan sebentar lagi ia akan kehilangan satu lagi, yaitu muridnya, Sasuke. Padahal baru saja ia kehilangan Naruto.
Kurenai tentu saja sangat mengerti apa yang sedang Kakashi rasakan sekarang. Ia juga pernah mengalami masa-masa sulit setelah Asuma meninggal, namun tak lama Kakashi datang ke kehidupannya menawarkan kebahagiaan.  “Aku akan berada di sisimu selalu, Kakashi.” Ia memperhatikan wajah lelap Kakashi yang begitu tenang; lalu mengibaskan rambut yang menutupi matanya. Senyuman mengembang dari bibirnya. “Badai akan berlalu, Kakashi. Cepat ataupun lambat….” Ia mencium dahi Kakashi dan Hiruzen sebelum menyusul mereka ke alam mimpi.
.
o0o
.
“Kalian sudah mempersiapkan semuanya, kan?”
Di depan Tsunade, berdiri Shikamaru dan Yamato yang malam itu mendapatkan tugas khusus dari Tsunade.
Shikamaru mengangguk. “Ya, tapi kali ini tampaknya akan berisiko. Para Kage dari empat desa lain juga akan datang melihat eksekusi Sasuke. Selain perang saudara akan terjadi, kemungkinan kita bisa mendapat serangan juga dari keempat desa itu. Apa Anda sungguh-sungguh telah memutuskannya?”
Tsunade terdiam sembari menatap Shikamaru. Ia tahu betul bahwa si ninja jenius itu menginginkan Sasuke dihukum mati saja, tapi alasan mengapa Shikamaru bersikap seperi itu ia sendiri tidak tahu. “Sebenarnya aku sependapat denganmu, tetapi aku melakukan ini bukan untuk Sasuke….”
Shikamaru dan Yamato pun menyadari maksud dari Tsunade itu.
“Anda melakukannya untuk Naruto?” tanya Yamato untuk memastikan.
Tsunade memejamkan matanya dan mengangguk perlahan. “Lagi pula aku memiliki alasan lain. Kalian pasti ingin mengetahui kudeta yang dilakukan Klan Uchiha hingga membuat mereka dibantai massal, kan?”
Shikamaru dan Yamato menatap Tsunade dengan tatapan tajam.
“Sasuke pasti mengetahuinya. Karena itu dia dibutuhkan untuk dilakukan investigasi. Jadi bagaimana, Shikamaru? Apa teman-temanmu sudah siap?”
Shikamaru mengangguk.
Pandangan Tsunade lalu beralih pada Yamato. “Bagaimana dengan Kelompok Hitam ANBU, Yamato?”
“Mereka sudah mengetahui apa yang harus mereka lakukan.”
“Bagus,” ujar Tsunade tersenyum tipis. Ia lalu berdiri dan beranjak ke jendela. “Sebentar lagi akan pertumpahan darah di sini, tapi aku berharap darah itu tidak akan berakhir sia-sia.”
.
o0o
.
Sasuke belum bisa memejamkan matanya malam itu. Ia mengamati bulan yang cahayanya samar-samar masuk ke dalam ruang penjaranya yang begitu sempit dan minim udara. Bulannya penuh, indah sekali. Ia tahu betul sebentar lagi ia akan mati, tetapi dari lubuk hatinya yang terdalam sebenarnya ia ingin masih hidup. Ada banyak hal yang harus ia perbaiki. Tapi jika kematian yang lebih memilihnya, maka apa yang bisa ia lakukan?
“Apa yang kaulakukan di luar sana, Naruto? Kau masih hidup, kan?” tanyanya pada angin.
“Sasuke-kun.”
Sasuke langsung berdiri dari tempat tidurnya ketika ia mendengar seseorang memanggilnya. Ia memandangi jeruji besi yang di baliknya hanya ada kegelapan. “Siapa?”
Sesosok manusia bercadar mendekat ke arah jeruji. Ia membuka cadarnya sehingga wajahnya terlihat jelas. “Ini aku….”
“Hinata…,” ucap Sasuke terheran-heran. “Ada apa? Bagaimana kau bisa masuk? Penjara ini dijaga sangat ketat.”
“Jangan meremehkan Klan Hyuuga, Uchiha.” Sesosok manusia lain muncul di samping Hinata. Itu adalah Neji.
“Siapa kau?” Tetapi Sasuke tidak mengenalinya. Mungkin karena ia terlalu lama tidak berada di Konoha.
“Hh, kau tak perlu tahu—”
“Dia adalah Hyuuga Neji. Kakak sepupuku,” jawab Hinata memotong ucapan Neji. Ia tahu jika kakak sepupunya tidak menyukai Sasuke. Tetapi setidaknya mereka tidak bertengkar di saat yang genting begini.
“Pada hari eksekusi nanti, kami akan menyelamatkanmu, karena itu kami harap kau mau berkerja sama, Sasuke-kun,” jelas Hinata.
“Eh?” Sasuke terperanjat mendengarnya. “Mengapa kalian ingin menyelamatkanku?”
“Ini perintah dari Godaime. Kalau beliau tidak memerintahkan, pasti aku tidak akan mau,” tukas Neji ketus. Ia memperhatikan Sasuke dari atas ke bawah dengan raut sinis. Ia lalu menyadari bandul aquamarine melingkar di leher keturunan Uchiha terakhir itu. Kalungnya…. Bagaimana bisa ada di leher si Uchiha itu?
Hinata menghembuskan napasnya perlahan. “Neji-niisan,” ucapnya pelan, yang artinya memohon Neji untuk diam. Ia lalu kembali memandangi Sasuke. “Kau harus mempersiapkan diri, Sasuke-kun.”
“Hn,” sahut Sasuke.
“Cih, Dasar Uchiha tidak tahu terima kasih,” geram Neji. Kalau tidak ada jeruji besi di sana, ia pasti sudah membantai Sasuke dengan tenketsu-nya.
“Aku tidak meminta kalian menyelamatkanku. Itu adalah keinginan kalian,” balas Sasuke tak kalah ketus.
“Kalau begitu kau mau melakukannya demi Naruto-kun, kan, Sasuke-kun?” pinta Hinata. Ia berusaha agar keturunan Uchiha terakhir itu mau diajak bekerja sama saat hari eksekusi nanti. Kalau tidak, maka apa yang telah mereka persiapkan ini akan sia-sia.
Sasuke menatap datar Hinata yang ia sadari matanya telah berair di ujungnya.
“Aku tidak akan mengingkari janjiku pada Naruto-kun. Aku akan melindungimu.”
Alis Sasuke terangkat sedikit. “Gadis yang sedang jatuh cinta memang menyeramkan.”
Sampai-sampai membuat Hinata terkejut dengan ucapan tak mengenakan Sasuke itu.
Neji sendiri kembali membentengi diri agar kesabarannya tidak habis. Uchiha ini memang sombong!
“Terserah kalian. Aku tak peduli. Kalau nanti terjadi apa-apa, kalian yang akan menanggungnya. Bukan aku,” lanjut Sasuke tidak peduli. Ia lalu kembali berjalan ke tempat tidurnya. “Kalian pergi saja, aku ingin tidur.” Ia malah berbaring dan memejamkan mata.
“Cih, aku akan membuatmu berlutut di depanku untuk berterima kasih, Uchiha. Lihat saja! Ayo, Hinata-sama. Kita pergi dari sini.” Neji yang dirudung emosi, memaksa Hinata pergi dari penjara itu.
Namun, sebelum menghilang dari sana Hinata berujar. “Jangan membuat kematian Naruto-kun sia-sia, Sasuke-kun.”
Sasuke yang mendengarnya pun membuka mata. Ia kembali duduk dan menyadari kedua Hyuuga itu telah lindap dari sana.
Sementara itu Hinata dan Neji keluar dari penjara diam-diam. Mereka telah membuat tidur para penjaga, dan setelah bangun dijamin para penjaga itu akan lupa apa yang terjadi sebelum mereka tertidur.
Neji telah memberikan mereka serbuk ajaib untuk melancarkan misi ini. Setelah agal menjauh dari penjara ia menghentikan langkahnya. “Hinata-sama….”
Hinata pun menghentikan langkahnya dan berpaling pada Neji. “Ada apa, Neji-niisan?”
“Mengapa kau memberikan kalung berhargamu pada Uchiha Sialan itu?”
Mata Hinata melebar, lalu ia menunduk sembari memandangi kakinya sendiri. “Aku hanya tidak ingin ada teman kita yang mati lagi.”
“Tapi itu milik mendiang Hikari­-sama. Uchiha Sialan itu tidak pantas mendapatkannya.”
Sejurus Hinata membalikkan badannnya menghadap pada Neji. “Apa kau tidak tahu, Neji-niisan?”
“Tidak tahu apa?”
“Kalung itu adalah milik Klan Uchiha.”
Mata Neji pun membuka dua kali lipat. Ia lalu menghembuskan napas kuat-kuat. “Ya, tentu saja aku tahu. Aku hanya lupa….” Mereka pun melanjutkan perjalanan ke rumah dalam diam.
.
o0o
.
“Akhirnya rapatnya selesai juga.”
Shikamaru yang baru keluar dari ruangan Hokage menyadari jika Ino berada di sana entah sejak kapan. “Mau apa?” tanyanya dingin.
“Ibumu bilang kau akan menginap di Menara Investigasi, aku dimintai tolongnya untuk mengantarkan ini.” Ino lalu menyerahkan kotak bento yang dibungkus kain. “Baru dimasak, jadi kau harus cepat-cepat memakannya.”
Dahi Shikamaru mengerut. Ia lalu mengambil kotak bento itu dengan cepat. “Terima kasih,” ucapnya tanpa memandangi Ino dan pergi menjauhinya.
Tetapi Ino mencegatnya dengan memegang lengan Shikamaru dengan kuat. “Kau tidak sendirian, Shikamaru. Itu yang harus kauingat.”
Shikamaru terang saja tercengang sembari melihat tangan Ino yang menggenggam lengannya. Ia menatap Ino dengan sekilas dan keheranan melihat teman setimnya itu tiba-tiba jadi memperhatikannya. Namun ia tidak mau terbawa suasana, dengan paksa ia melepaskan tangan Ino dari lengannya dan segera pergi dari sana. “Merepotkan. Pulanglah Ino, hari sudah larut. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku.”
Ino lalu memandangi punggung besar Shikamaru yang perlahan-lahan menjauhinya. Tanpa sadar bulir-bulir air mata jatuh di pipinya. “Kenapa aku tidak berani mengatakan kalau bento itu aku sendiri yang membuatnya?”
Sementara itu Shikamaru yang sedang berjalan keluar dari Menara Hokage memandangi kotak bento di tangannya dengan perasaan yang tak menentu. “Ini bukan buatan ibuku. Kenapa aku sudi menerimanya?” tanyanya pada diri sendiri. Ia ingat betul ia hanya berkata akan rapat di Menara Hokage pada ibunya, bukan menginap di Menara Investigasi. Ia tahu betul jika bento itu Ino yang membuatnya.
Tadinya Shikamaru ingin membuang bento itu, tetapi akhirnya ia urung lakukan karena ia memang sangat lapar. Ia memandangi langit malam di atas sana yang minim bintang. “Syukurlah aku bisa mengucapkan terima kasih padanya….” Rasa-rasanya malam ini tidak terlalu buruk.
.
o0o
.
Sakura baru saja selesai berendam. Ia keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kimono bermotif bunga sakura. Warnanya setali tiga uang dengan warna rambutnya sendiri. Ia berpikir air akan membuat pikirannya tenang, dan membuang segala kekalutannya. Tapi ia salah besar. Hatinya tetap dibalut kegelisahan.
Perlahan, Sakura melangkahkan kakinya ke jendela yang tertutup, ia tidak akan membukanya karena tahu di luar sana begitu dingin. Ia memandangi pantulan dirinya sendiri yang ada di jendela dengan wajah mendung. “Aku begitu lusuh, padahal sudah mandi,” bisiknya.
Sakura lalu mendekati bibirnya ke kaca jendela. “Aku tidak akan membiarkan upacara kematian Naruto berlangsung.” Ia lalu menghembuskan udara pada kaca itu sehingga berembun. Kemudian ia bawa tangannya menyentuh kaca, menggambar sesuatu di sana dengan bantuan embun yang tadi diciptakannya sendiri. Ia membentuk wajah Naruto di sana….
“Aku merindukanmu, Naruto. Dan aku percaya bahwa kau masih hidup.” Sakura lalu menangis tersedu-sedu. “Kau mencintaiku, kan? Aku juga mencintaimu, tahu!” teriaknya seraya memukul-mukul jendela. Jendela itu bergetar menimbulkan suara gemuruh. Tapi tidak menyaingi gemuruh di hati yang menggoyahkannya saat ini.
  .
o0o
.
“Capeknya…!” seru Naruto seraya membaringkan tubuhnya di atas rerumputan. Ia betul-betul kelelahan setelah seharian berlari dari pohon ke pohon yang lain. Selain itu berkali-kali ia juga terpeleset. Ia belum bisa mengontrol cakranya dengan baik.
Kushina yang duduk di sebelahnya membanjurkan air ke wajah Naruto hingga membuat anaknya itu terkaget-kaget.
“Fuah! Kaa-sama, seharusnya kau bilang-bilang dulu kalau ingin memberiku air!” Sejurus Naruto mengusap-usap wajahnya yang dibanjiri air, ia lalu menatap Kushina dengan tatapan kesal.
“Segar, kan?” tanya Kushina seraya tertawa terbahak-bahak. Menurutnya ekspresi Naruto sangat lucu.
Naruto lalu mencari sumber air, matanya kemudian menemukan kolam air yang berjarak sekitar sepuluh meter darinya. Sekarang yang ia butuhkan adalah wadah. Naruto hendak mengambil wadah yang Kushina gunakan, tetapi di cari ke mana pun wadah itu tidak ada. Ia berputar-putar di tempatnya sendiri.
“Kau mencari apa, Naruto?” tanya Kushina tampak heran melihat tingkah laku anaknya.
“Kau mengambil air di sana dengan apa, Kaa-sama?” tanya Naruto sembari menunjuk ke arah kolam.
“Oh,” Kushina melepaskan ikatan di rambutnya dan membiarkan rambut merah darahnya tergerai. “Aku menggunakan kekuatanku.”
“Ah, curang,” ujar Naruto yang langsung berwajah kecut.
Kedua alis Kushina terangkat. “Kau mau membalas dendam ya?” ujarnya sambil menyentuh hidung Naruto dengan telunjuknya. Tangan kanannya kemudian mengarah pada kolam itu, ia menjetikkan jarinya. Dalam waktu singkat air di kolam berpindah ke tangannya dalam bentuk bola seukuran sepak bola.
Naruto terang saja tercengang melihatnya. “Kau melakukannya tanpa merapalkan jutsu?”
Kushina tersenyum. “Sepertinya kau sudah kuberi tahu, Naruto. Ini adalah kelebihan yousei. Mereka dapat mengeluarkan jurus tanpa merapalkannya terlebih dahulu.” Ia memandangi bola air yang berada di tangannya. “Tetapi itu pun buat mereka yang berhasil membuang minimal lima dari ketujuh dosa tak terampuni.”
“Ketujuh dosa tak terampuni?” tanya Naruto yang wajahnya berubah penasaran.
“Nanti akan kujelaskan. Tapi sebelumnya….” Kushina lantas kembali melemparkan bola air itu ke wajah Naruto. “Kena!”
“Grrr! Kaa-sama!” Membuat Naruto merajuk di tempatnya. Tangannya memukul-mukul tanah karena kesal dengan sikap kekanak-kanakan ibunya. Padahal ia sendiri sedang berperilaku seperti anak-anak yang dijahili.
Sementara itu Kushina terpingkal-pingkal melihat tingkah laku anaknya. Maklum saja, ia telah melewatkan masa kecil Naruto yang sebenarnya begitu suram. Karena itu saat ini adalah waktu yang tepat untuk bermain-main dengan Naruto, meski sebenarnya anak semata wayangnya itu telah beranjak remaja.
“Bagaimana kalau aku yang menjelaskannya, Kushina?”
Kushina dan Naruto sejurus diam di tempat ketika mendengar suara itu. Mereka berbarengan menengok ke sumber suara.
Terlebih Kushina, ia agak terkejut melihat ayahnya berada di sini. “Ada.”
“Aku pikir tubuh Naruto sudah pulih sepenuhnya. Ia hanya belum terbiasa menggerakkan badannya sampai di ambang batas kemampuan. Kemampuan tidak di situ saja, kan, Naruto?”
Naruto memandangi kakeknya dengan saksama. Ia seperti mengenal suara itu. Suara itu bukan pertama kali ia dengar sekarang. “Tentu saja. Aku pernah belajar senjutsu.
Senjutsu, eh? Di luar dugaanku,” ungkap Miyazaki, lalu menanggalkan pakaian atasnya. “Baiklah. Kita pemanasan dulu. Kalau kau pernah belajar senjutsu minimal kau bisa mempertahankan diri. ” Ia lalu mengayunkan tangan kanannya yang mengepal ke arah Naruto.
Naruto yang tidak tahu bahwa ia akan mendapatkan serangan tiba-tiba itu terang saja terpental beberapa meter. “Uaaa…!”
Ada!” seru Kushina yang tidak setuju dengan tindak tanduk ayahnya.
“Kau terlalu memanjakan Naruto, Kushina. Serahkan dia padaku. Kau hanya memperlambat proses belajarnya. Jangan memperlakukan Naruto seperti anak-anak yang baru belajar berjalan.”
Kushina pun memasang wajah cemberut. “Tapi Ada Naruto belum sembuh benar.”
Namun Miyazaki tidak mempedulikan apa yang dikatakan anaknya. Ia malah memperhatikan Naruto yang berdiri perlahan sembari meringis kesakitan. “Bagaimana Naruto? Kau dapat merasakannya, kan? Inilah kekuatan yousei.”
“Huh,” gerutu Naruto sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit karena berbenturan dengan tanah. “Apa itu tadi? Aku sama sekali tidak melihat apa-apa.”
“Elemen angin.”
“Eh?” sahut Naruto tercengang. Pantas saja begitu kuat. Untung aku tidak sampai tercabik-cabik.
“Apa kau pernah melakukan tes elemen yang kau miliki, Naruto?”
Naruto mengangguk. “Aku memiliki elemen angin.”
Miyazaki tersenyum tipis. “Bagus. Kebetulan akulah yang paling ahli mengendalikan elemen angin di sini. Jadi, bersiaplah, Naruto.” Ia melakukan kuda-kuda untuk melakukan serangan lagi. “Aku akan membuatmu babak belur, ssebelum menjelaskan tujuh dosa tidak terampuni kepadamu.”
Naruto terang saja was was mendengarnya. Apa yang ia inginkan sebenarnya? Satu-satunya cara saat ini adalah menghindar.
Sementara itu Kushina hanya menatap tanpa ekspresi kakek dan cucu itu. Tetapi setelahnya matanya malah berbinar-binar. “Tampaknya bakal seru,” ujarnya cekikikan. Ia lalu melihat ke beberapa dahan pohon di atas sana. “Sebaiknya aku melihat dari jauh saja.” Ia pun melompat ke dahan yang cukup besar dan duduk di atasnya. “Aku percayakan Naruto padamu, Ada,” bisiknya.
Miyazaki pun mengayunkan tangannya yang terkepal kembali ke arah Naruto, tapi dengan cepat Naruto menghindar seraya melakukan salto dua kali ke kanan. Yang tidak Naruto sadari, tangan kakeknya yang lain melakukan hal yang sama. Ia pun tidak sempat menghindar dan terkena serangan angin yang dahsyat sehingga membuat tubuhnya terpental dan membentur pohon raksasa yang tumbuh subur di sana.
Naruto sontak mengerang kesakitan. “Ugh, sialan! Baru segitu saja aku dapat terkecoh. Sepertinya tubuhku belum sembuh benar.” Ia lalu memandangi Miyazaki dengan mata memicing. Pandangannya agak kabur karena benturan tadi.
“Kenapa, Naruto? Apa kau mengaku kalah?” tanya Miyazaki dengan nada tinggi.
Naruto pun memandangi kakeknya dengan wajah merah padam. “Tapi bukan Uzumaki Naruto namanya kalau menyerah begitu saja.” Ia pun berencana mengeluarkan jurus andalannya. “Aku akan mencoba menggunakan senjutsu. Kagebunshin no jutsu.” Setelah itu muncul sepuluh klon Naruto. Ia lalu memberi perintah pada tiga klon. “Kalian bersemedilah untuk memunculkan senjutsu. Sisanya bantu aku melawan Kakek.” Ia pun membentuk sebuah rasengan dengan bantuan satu klonnya.
Kushina berdecak gembira melihat anaknya mengeluarkan jurus itu. “Wahaa, Naruto! Kau ternyata bisa melakukan jurus yang dibuat Minato! Jangan mau kalah, Naruto…!” serunya dengan lantang.
Miyazaki yang melihat perlawanan Naruto tersenyum tipis. Sepertinya pertarungan ini akan menjadi sangat menarik. Ia kemudian menatap Naruto yang berlari ke arahnya dengan sebuah rasengan di tangan. Hmm, gerakannya terlalu muda dibaca. Ia lalu membawa tangannya ke tanah untuk menopang tubuhnya yang berputar; satu kakinya menendang satu klon Naruto yang kemudian pada akhirnya menghilang. Tapi tak hanya di situ, ia menahan kedua tangan cucunya itu dengan kuat, lalu mengangkat tubuhnya dan melemparkannya ke sembarang arah.
“Wohoo! Ada memang hebat! Hidup Ada!” seru Kushina lagi yang kini malah menyemangati ayahnya.
“Sialan!” umpat Naruto yang kesal karena belum menyerang saja kakeknya malah membuat perlawanan duluan. Kaa-sama sebenarnya berpihak pada siapa, sih? Gerutunya dalam hati. Tetapi tak lama ia pun menghilang.
Mata Miyazaki membuka lebar. “Dua-duanya klon?” Ia lalu menyadari aura berbahaya yang berada di belakangnya.
“Rasakan ini!” Kali ini Naruto yang asli kembali menyerang Miyazaki dengan rasengan. Ia berlalri dengan cepat ke arah kakeknya.
Miyazaki pun buru-buru mengeluarkan jurus andalannya. Taktik yang bagus, tetapi aku lebih kuat. Ia lalu mengubah tubuhnya menjadi asap.
Naruto pun merasa seperti menembus sebuah roh yang keluar dari jasadnya. “Asap?” Ia ingin menoleh ke belakang. Tetapi terlambat. Kakeknya kembali mengayunkan tangannya untuk mengeluarkan jurus elemen angin.
Membuat Naruto terlempar kembali beberapa meter. “Aduh! Duh!” erangnya. Ia mencoba berdiri, tetapi sepertinya tulang rusuknya ada yang patah, ia merasa ada yang sakit di sekitar dada.
“Kali ini tampaknya kau sudah sangat kelelahan, Naruto,” ucap Miyazaki yang memandangi Naruto dengan wajah menantang.
Naruto lalu membuang ludah darahnya ke sembarang arah. “Heh. Aku belum kalah, tahu,” ujarnya penuh percaya diri.
Mata Miyazaki pun melebar dari biasanya. Ia seperti tidak bisa berkutik di tempat. Seperti ada mantra magis yang membuatnya terpaku sesaat. Ia pun menoleh ke belakang dan menyadari sebuah jurus modifikasi rasengan yang tidak diketahuinya datang dengan cepat menuju ke tempatnya berpijak. “Jurus apa itu?”
Katta,” bisik Naruto yang sangat percaya bahwa rencanya ini akan berhasil. Ketiga klonnya terlah berhasil membuat rasenshuriken yang cukup besar, lalu melemparkannya ke arah Miyazaki.
Miyazaki pun tidak tinggal diam dan berlari ke arah rasenshuriken. “Tapi ini elemen angin, kan? Jangan lupa, Naruto, aku juga bisa mengendalikan elemen angin. Dan akulah yang paling kuat di sini.” Ia mengambil rasenshuriken, lalu mengayunkannya….
“Heh, percuma, Kek. Tanganmu pasti akan terluka jika kau terlalu memaksakan—eh?” yang membuat Naruto terkejut, Miyazaki melempar rasenshuriken itu ke tempat sisa klonnya berada. Dan tentu saja klon-klon itu langsung lenyap karena jurus yang sangat dahsyat itu. Rasenshuriken itu pun bergerak melewati kolam lalu menghancurkannya sampai berdebu. Tidak sampai di situ, jurus tingkat S itu malah masuk ke dalam hutan dan memporak-porandakan sebagian isinya hingga menghilang.
“Ya, ampun. Gagal lagi,” ujar Naruto yang menghembuskan napas kecewa.
“Ada keributan apa ini?” Rin yang baru tiba di lokasi karena mendengar beberapa kali dentuman keras terperangah melihat tempat yang dilihatnya sekarang sungguh luluh lantak.
Kushina sendiri ternganga melihatnya. “Ya, ampun. Hutannya sampai hancur begini. Sepertinya tadi itu jurus yang tidak dapat Minato lanjutkan.” Ia lalu menoleh ke bawah dan menyadari Rin ada di sana.
Rin pun merasakan firasat buruk. Ia pun hendak pergi dari sana, tetapi suara Kushina menghentikan langkahnya.
“Rin-chan!!!” seru Kushina dengan riang.
Sialan, aku sebaiknya memang tidak usah kemari, gerutu Rin dalam hati. Ia lalu menoleh ke arah Kushina dan melontarkan senyum palsu padanya. “Ya?”
“Kau bisa kan mengembalikan tempat ini seperti semula? Dengan kekuatan waktumu,” ujar Kushina dengan wajah memelas dan tangan yang menyatu seperti memohon.
“Oh. Hahaha. Tentu saja bisa. Serahkan padaku! Hahaha,” sahut Rin dengan suara nyaring. Itu ia keluarkan untuk menghilangkan rasa frustasinya. Ya, ampun. Tentu saja aku bisa mengembalikan tempat dan hutan di sana seperti semula. Tetapi cakraku akan habis seketika. Aku bakal tidur dua hari dua malam. Ia pun mengaitkan kedua tangannya di depan dada, membuat segel jurus doton. Matanya yang coklat pun memerah. Lalu terdengar gemuruh dari sana.
“Jurus apa itu?” tanya Naruto yang keheranan melihat Rin mengeluarkan jurus yang tidak pernah dilihatnya.
“Rin adalah pengendali waktu. Ia sedang mengubah tempat ini dan hutan di sana kembali seperti semula,” jawab Miyazaki yang mendekat ke arah Naruto.
“Eh? Hebat sekali, aku baru mendengar ada jurus seperti itu.”
“Cepat berdiri. Kita ke Menara Uzumakigakure dan melanjutkan latihan.”
“Tunggu dulu. Sepertinya tulang rusukku ada yang patah dan juga tanganmu—eh?” Naruto tercengang melihat tangan Miyazaki yang menyentuh rasenshuriken tadi tidak terluka sama sekali. “Bagaimana bisa?” Naruto pun mencoba berdiri, dan ia kembai tercengang. “Dadaku tidak sakit lagi. Apa Kyuubi yang menyembuhkanku?”
“Kyuubi tidak menyembuhkanmu. Dia sedang tertidur dalam segelmu. Dan kau tidak akan memerlukan kekuatannya,” jawab Miyazaki dengan wajah datar. “Kalau kau tadi mempertanyakan tanganku, tanganku memang terluka, tapi sekarang tidak jadi masalah.”
 Sekarang Naruto sudah kembali berdiri tegak. “Apa yang terjadi sebenarnya?” tanyanya yang tampak kebingungan.
“Kushina sudah pernah menjelaskannya padamu, kan? Ini adalah salah satu kelebihan yousei. Mereka dapat meregenerasi sel-sel yang rusak dengan cepat ketika terluka. Tetapi memang ada batasnya. Jika musuhmu melakukan serangan bertubi-tubi padamu. Kau pasti akan mati juga.”
“Begitu?”
“Sekarang ikuti aku. Kita tidak punya banyak waktu. Tempat ini serahkan saja pada Rin.” Miyazaki pun kembali mengenakan pakaian atasnya dan berjalan menuju ke Menara Uzumakigakure.
“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Naruto pada kakeknya.
“Kita akan bertapa.”
“Huh?” Naruto memperlihatkan wajah tidak tertariknya pada kegiatan itu. “Kau ingin menjadikanku seperti pertapa?”
Tiba-tiba Miyazaki menghentikan langkahnya. “Bukan. Aku ingin kau menjadi Tuhan. Dengan membuang ketujuh dosamu yang tidak terampuni.”
“Hm?” kepala Naruto meneleng ke kanan. Tidak bisa menerka maksud kakeknya. Menjadi Tuhan? Ada-ada saja….
Bersambung….

Saturday, 26 October 2013

The Time Travel 5: Ke Myoubokuzan

The Time Travel
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: Rated T. Tragedy/Hurt/Comfort. Sequel from I Failed You. Semi Canon. Alternate Reality.
Pairing: Naruto dan Sakura.
Based on the song “In Heaven by JYJ”
Well, makasih banyak buat para pembaca, yang udah favoritin dan alert, dan juga para reviewers. Thanks a lot :D. Maaf lama banget update-nya. Lagi ribet sama skripsi yang dua kali ganti judul, jadi molor deh jadwal lulus saya -__-. Tapi sekarang saya sudah lulus. Tinggal nunggu wisuda \^^/
Langsung aja deh, selamat membaca ya ^^
Summary : Haruno Sakura yang meregang nyawa, mendapat tawaran dari Kyuubi kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahannya yang telah membiarkan Naruto mati karena luka yang dideritanya. Kyuubi merasa punya hutang budi pada Naruto yang telah menjadi host-nya selama hampir 20 tahun. Ia pun membawa Sakura ke zaman Perang Dunia Shinobi Keempat. Mencari tahu penyebab Naruto memiliki luka dalam yang serius yang sampai membuatnya mati.
.
.
Sakura pun menghela napas panjang, meski ia kesulitan untuk membendung tangisannya, ia berusaha untuk tenang. Ia lalu memeriksa keadaan Naruto dengan shousen no jutsu. Matanya membulat sebesar telur puyuh ketika menemukan hal yang tak diduganya. “Napasnya berhenti….”
.
.
Chapter 5
Dying
.
.
Dia sedang berada di sebuah ruangan yang selama dua tahun terakhir menjadi kehidupan keduanya. Di sana serba putih. Dan putih adalah warna yang dapat menentramkan hati. Seharusnya seperti itu, bukan? Namun hal-hal yang diketahui secara general memang tak sepenuhnya benar.
Di ruangan lab Rumah Sakit Konoha, Sakura tidak mengenal lagi apa itu ketentraman setelah apa yang ia lihat di depannya saat ini. Secarik kertas yang sedang ia genggam yang membuatnya seperti itu.
“A-apa ini?” tanya Sakura dengan getaran nada yang tinggi.
Dia telah melakukan check up secara menyeluruh pada Naruto. Dari cek darah sampai yang terakhir radiologi. Dan dalam tabel yang tertera di kertas yang sedang ia genggam itu ia menemukan seluruh fungsi organ dalam tubuh Naruto menurun. Dari jantung, hati, ginjal, darah, sampai ke sistem pencernaan, semuanya menunjukkan hasil yang membuatnya resah.
Sakura menggigit bibirnya. Ia tiba-tiba teringat akan mimpinya yang sebenarnya sudah lama terkubur, namun kini kembali ke permukaan memorinya. Mimpi itu…. Bayangan Naruto meregang nyawa hadir kembali dalam pikirannya….
Napas Sakura pun memburu. Lalu ia embuskan kuat-kuat demi mendapat ketenangan yang ia perlukan saat itu juga. “Tenangkan dirimu Sakura. Tenangkan dirimu. Itu hanya mimpi,” ujarnya menghibur diri sendiri. Ia menyentuh dahinya.
Matanya kembali tertuju pada kertas report yang masih digenggamnya. “Kenapa aku baru menyadarinya? Tapi, ini sungguh mustahil. Harusnya dengan komplikasi yang seperti ini ia sudah….” Cepat-cepat Sakura mengigit bibirnya. Ia tak sanggup mengucapkan kata yang sangat ditakutinya itu. Ia sedang berdiri bersandar di tembok, tapi pertahanannya luruh. Kedua kakinya goyah, dan ia pun lunglai ke lantai.
Sakura lalu mengambil napas dalam-dalam. “Apa yang harus aku lakukan?”
 Meski di sekelilingnya serba putih, ia malah menjadi ngeri sendiri. Karena putih bukan saja lambang ketentraman hati nan suci, tetapi juga … kematian.
Sedangkan di tempat lain, tanpa diketahui oleh Sakura, Naruto sudah kembali siuman. Matanya membuka perlahan, wajahnya pucat bak mayat hidup. Ia memandangi ke sekitarnya dan ketika menyadari bahwa di pergelangan tangannya tertanam jarum infus kesadarannya kembali seketika. “Si-sial, kenapa aku bisa ada di sini?”
Tentu saja itu karena kau sekarat, Bocah! Beruntung gadis berambut merah jambu itu menyelamatkanmu.” Tiba-tiba Kyuubi mendumel karena kebodohan Naruto yang sok kuat.
“Heh, aku tak peduli. Aku akan keluar dari sini. Kau harus meregenerasikan kembali sel-selku yang rusak. Ada rapat yang tidak boleh aku lewatkan. Aku belum boleh mati sebelum menandatangani perjanjian antar desa.” Buru-buru Naruto melepaskan jarum infusnya dengan paksa sampai darahnya berceceran di lantai. Susah payah ia berdiri sampai hampir terjatuh berkali-kali.
“Grrr…. Dasar bodoh! Sudah kubilang berhenti bersikap kekanak-kanakan seperti itu! Kau hanya ingin menghindarinya saja, kan? Dewasalah, Naruto! Kau juga berhak bahagia!”
Naruto terdiam sebentar. Ia tampak memikirkan ucapan Kyuubi, tapi kemudian ia menyadari akan satu hal. Suara paraunya menyeruak keluar. “Bahagia atau pun tidak … aku tetap saja akan mati….”
Kyuubi seketika tercenung mendengar kalimat pasrah Naruto. Dan tanpa melawan lagi ia memberikan chakra-nya agar stamina Naruto kembali, walaupun itu hanya membuatnya baik untuk sementara.
Naruto pun hendak merapalkan jurus hiraishin-nya, tapi…. “Ugh!”
“Jangan sok kuat begitu, Bocah! Lagi pula hari sudah malam, lebih baik kau menginap di sini saja! Grrr…. Aku benar-benar muak melihat sikap kekanak-kanakanmu!”
“Diamlah, Kyuubi,” ujar Naruto sembari berjalan tertatih-tatih sembari menyentuh keningnya yang pening. Ia pun membuka pintu kamarnya.
Sementara itu Sakura yang masih berada di lab, mendengar bunyi alarm dari ruang monitor pasien yang tidak jauh berada di sebelah ruangan tersebut. Ia pun segera berlari ke sana dan mencek jejeran kontak berlampu yang terpampang di dinding ruangan. Hanya sebentar saja Sakura memperhatikannya, ia langsung menyadari lampu itu menyala di ruangan mana. Berarti ada sesuatu yang terjadi di sana. “Naruto!” pekiknya.
Sakura pun segera berlari menuju ruang inap Naruto. Ia menelusuri lorong rumah sakit yang cukup ramai dengan lalu-lalang orang. Sekarang tepat jam besuk sudah habis, karena itu banyak orang yang berhambur keluar rumah sakit  Saat ia membelok ke kanan; ia berpapasan dengan Naruto yang berjalan ke arahnya dengan lunglai dan masih menggunakan pakaian rumah sakit.
“Eh?” ujar Naruto yang sedikit tercengang ketika menyadari Sakura telah berdiri di depannya.   
“Apa yang kau lakukan di sini, Naruto?! Kau dilarang keluar dari kamarmu!” Sakura serta merta menarik lengan baju Naruto dan menggiringnya kembali ke ruang inapnya. Dari wajahnya tampak ekspresi khawatir yang berbalut amarah. Ia menarik lengan baju Naruto dengan kuat, tak peduli Hokage Keenam itu bakal jatuh.
“Tu-tunggu, Sakura. Aku tidak apa-apa. Ada rapat dengan para Kage yang harus aku—”
“Aku tak peduli!” potong Sakura tanpa melihat ke arah Naruto yang sedang digiringnya. “Aku akan meminta Shikamaru untuk menggantikanmu.”
“Tidak bisa! Itu adalah tugasku!” Naruto mulai berontak dengan menepis tangan Sakura yang sedang menarik tangannya.
Tapi Sakura tidak kehabisan akal. Ia sekarang malah menarik kerah Naruto sehingga jarak antara wajah mereka terpisah hanya beberapa centi saja. “Jangan bercanda, Naruto. Kau tidak akan bisa menyelesaikan urusan desa kalau kau sakit seperti ini!”
“Sudah kubilang aku tak apa-apa. Aku—”
“Berhenti mengatakan jika kau baik-baik saja!” Sakura tiba-tiba membanting tubuh Naruto ke dinding lorong.
Naruto tercengang melihat Sakura, bukan karena sifat temperamennya yang kadang ia takuti itu. Namun, ia baru menyadari bahwa bulir-bulir air telah berkumpul memenuhi pipi Sakura. “A-apa yang kautangisi?”
Sakura menangis tersedu-sedu. Ada yang ingin ia ucapkan, namun tersendat di tenggorokannya. Tapi ia harus mengenyahkan rasa khawatirnya sekarang. Ia telah menyadari sesuatu. Bahwa saat ini ia sedang menghadapi masalah yang cukup serius. “Kau sekarat, Naruto. Dan aku tidak pernah menemukan satu orang pun yang memiliki komplikasi penyakit dalam yang serumit itu…,” lirihnya. Ia pun menunduk.
“Aku pikir itu bukan urusanmu, Sakura—”
“Itu adalah urusanku! Karena kau sekarang adalah pasienku!” teriak Sakura dengan mata membesar. “Berhenti … berhenti menjauhiku, Naruto. Jangan berpikir kalau aku tidak mempedulikanmu lagi!” tangisannya pun makin menjadi.
Dahi Naruto mengerut. Ia memandangi Sakura dengan tatapan pilu. Tapi semuanya sudah terlambat….
“Apa—apa yang terjadi pada saat aku pingsan waktu itu? Siapa yang membuatmu jadi seperti ini, Naruto?” Sakura menanyakan tentang kejadian di Perang Dunia Ninja Keempat lalu.
“Kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Sasuke—”
“Berhenti mengalihkan pembicaraan, Naruto!” cengkraman Sakura di kerah Naruto semakin kuat. “Sepertinya untuk saat ini aku tidak perlu berbicara dulu denganmu.” Ia pun kembali menggiring Naruto memasuki kamarnya.
“Sudah kubilang ada kewajiban yang harus kutuntaskan, Sakura!” bentak Naruto yang melepaskan tangannya secara paksa. Akibatnya ia limbung karena terlalu memaksakan tubuhnya untuk bergerak. Namun dengan sigap Sakura menahan tubuh host Kyuubi itu agar tidak terpelanting ke dinding.
Sakura sudah tidak tahan lagi dengan sifat Naruto yang keras kepala itu. Ia pun mengeluarkan jarum suntik yang tersimpan di kantong bajunya, dan menyuntikkannya di leher Naruto.
Naruto pun memekik karena rasa ngilu tiba-tiba menerjang sekujur tubuhnya. “A-Apa yang kau—” belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, ia malah semaput. Sakura pun segera memapah tubuh Naruto dan membawanya kembali ke ruang inapnya, meski harus berjalan tertatih-tatih. Dengan perlahan Sakura membaringkan Naruto ke tempat tidur. Tak lupa ia menggelarkan selimut agar angin dingin tidak masuk ke tubuh Naruto.
Beberapa saat kemudian, Sakura masih berada di sana; memperhatikan Naruto dengan hati yang tak menentu. Ia lalu membawa tangannya membelai lekuk wajah Naruto yang pucat seperti hantu. Tak bisa ia bayangkan jika nantinya wajah itu tak bisa ia lihat setiap hari. Ia pun mengatupkan matanya rapat-rapat. Dalam hati ia telah membuat keputusan.
“Aku akan meminta bantuan Ino.”
.
o0o
.
“Kau bisa membaca memori Naruto kan, Ino? Aku sangat ingin mengetahuinya.”
“Bisa saja. Asalkan Naruto masih memikirkannya. Masalahnya adalah itu terjadi sudah sekitar setahun yang lalu. Memori tidak akan tersimpan jika pemiliknya melupakannya”
“Kalau begitu tak salah kan jika mencoba?”
Ino mengangguk. “Kita mulai saja kalau begitu.” Ia memperhatikan Naruto sejenak sebelum memasuki alam bawah sadar Hokage Keenam. Ia sendiri tidak menyangka bahwa keadaan Naruto yang sebenarnya adalah seperti ini.
Beberapa saat kemudian Ino telah memasuki pikiran Naruto. Ia berada di sebuah tempat yang tidak terlalu terang; dibalut dengan cahaya kemerah-merahan. Seketika Ino diterkam dingin yang tidak biasa. Dingin ini menciptakan sensasi aneh buat dirinya. Dingin ini membuat ia merasa dibalut kesepian yang membuatnya ketakutan.
Ino pun memeluk dirinya sendiri. Ia kemudian melangkahkan kakinya perlahan. Timbul suara percikan air yang cukup membuatnya terkejut. Seketika ia melihat ke bawah. “Air dari mana ini?” Matanya lalu memicing. Samar-samar ia menangkap keadaan di sekitarnya. Ia menyadari ia sedang berdiri di sebuah lorong dengan pipa-pipa air di sisi-sisinya. Tiba-tiba ia mendengar sebuah geraman.
“A-apa itu?” Ino pun bergidik. Matanya membulat dua kali lipat. “Aneh. Seharusnya aku berada di dalam otak Naruto. Bukan pemandangan seperti ini.” Tubuhnya tergegar-gegar, tapi ia harus menyelesaikan tugasnya. Ia harus membantu Sakura dan Naruto. Ino pun kembali melangkahkan kakinya tanpa tujuan, berharap ada pantulan memori Naruto yang muncul dalam perjalanannya dalam lorong gelap ini.
Beberapa saat kemudian Ino kembali mendengar suara geraman. Yang ini lebih terdengar dibandingkan yang tadi. Artinya sumber suara cukup dekat dengan dirinya. Tubuh Ino tiba-tiba menggigil, ia melihat sebuah cahaya lebih terang di sisi kanan lorong; lima langkah ke depan. “Apa aku harus memeriksanya?” ia pun mengeluarkan kunai dan memasang mata waspada. Ia melangkah perlahan hingga menyadari ia sudah tiba di sebuah ruangan besar yang terdapat kerangkeng raksasa di dalamnya.
Ragu-ragu Ino mendekati kerangkeng itu. Tiba-tiba muncul sepasang mata merah yang tengah memandanginya. “Si-siapa kau?!” teriak Ino seraya mundur beberapa langkah.
Haah, ada tamu rupanya. Mengganggu tidurku saja,” sahut suara itu yang diikuti dengan sebuah geraman.
Sosok bersuara mengerikan itu lalu mendekati kerangkeng. Ino pun dapat melihat dengan jelas sosok apa itu. “K-Kyuubi….” Ia memandangi Kyuubi dengan wajah ngeri, tapi kemudian ia menyadari akan suatu hal. Wajah Kyuubi memahatkan kelelahan yang begitu kentara.
Apa yang kau inginkan, heh, Bocah?”
“A-aku … Na-Naruto…”
Haah, tak perlu gugup begitu. Lihat keadaanku. Aku tidak mungkin bisa memakanmu, walaupun rasanya ingin sekali. Kerangkeng ini tersegel dengan baik. Lagi pula keadaan tubuhku sedang tidak memungkinkan untuk menyerangmu.
Ino menyadari bahwa Kyuubi tidak berbohong. Ia melihat bijuu itu nampak kesulitan bernapas. Ia terlihat lemah sekali. “A-apa yang terjadi padamu?” tanya Ino.
Ini gara si Sialan Naruto yang tak mau mendengar kata-kataku. Akibatnya aku jadi seperti ini. Heh, kalau bukan karena aku dia pasti sudah mati sejak setahun yang lalu.
 “Hah?” Ino cukup kaget mendengarnya, tapi ia tahu ini kesempatan. Berarti Kyuubi tahu apa yang terjadi pada Naruto setelah Perang Dunia Shinobi Keempat. “Apa yang terjadi pada Naruto setelah Perang Dunia Shinobi Keempat?”
Hm? Kau ingin tahu, Bocah?” tanya Kyuubi dengan nada menakut-nakuti.
“A-aku harus mengetahuinya untuk membantu Sakura menyelamatkan Naruto.”
Bilang pada gadis berambut merah jambu itu, apapun yang ia lakukan, ia tak akan bisa menyelamatkan Naruto.
“A-apa? Kenapa bisa begitu?”
Kau memang ingin tahu ternyata. Apa boleh buat, meski ini sia-sia aku akan menunjukkannya padamu. Tapi setelah itu kau harus segera pergi dari sini. Aku masih ingin tidur.
Tanpa Ino menjawab Kyuubi telah membawanya ke sebuah tempat yang sama sekali tidak ia kenal. Ia memperhatikan ke sekitarnya dengan saksama, pada akhirnya ia pun mengetahui di mana ia berada sekarang. “I-ini tempat pertempuran Perang Dunia Shinobi Keempat….”
Di mana-mana diselimuti kabut, Ino pun mengibas-ibaskan tangannya agar bisa melihat dengan jelas keadaan di sekitarnya. Matanya menyipit. Ia menangkap dua sosok yang ada tak jauh di depannya. “Si-siapa?” Ia pun berlari mendekati kedua sosok itu. Yang satu tengah berdiri, sedangkan yang lainnya berbaring.
Setelah mendekat, barulah Ino menyadari siapa mereka. “Sasuke-kun, Naruto.” Ia terkejut melihat Naruto dan Sasuke berada di atas sebuah tanda segitiga aneh yang bercahaya dengan misterius. Matanya membulat sebesar telur puyuh saat menyadari keadaan Sasuke yang terluka parah. “A-ada apa ini?”
Lalu adegan demi adegan itu dilhat Ino dengan jelas sampai-sampai membuatnya berderai air mata. Ino menutup mulutnya untuk meredamkan suara isakannya yang begitu keras. Ia kemudian mendengar suara Naruto berucap, “Kalau kau mati, aku tidak bisa menepati janjiku pada Sakura-chan, aku tidak bisa menyatakan bahwa aku mencintainya”.
Setelah itu segalanya menjadi kabur dan serba putih.
“Ino! Ino!”
Ino pun tersadar ketika mendengar suara itu. Ia melihat Sakura berada di sampingnya sembari memegang kedua bahunya. Ia mematung melihat Sakura.
“Apa yang terjadi, Ino? Kau menangis,” ucap Sakura yang khawatir.
“Eh?” Ino lalu menyentuh kedua pipinya. Ia malah kembali menangis dan memeluk Sakura.
Sakura tentu saja terkejut dengan sikap Ino ini. “Ino, beri tahu padaku apa yang kau lihat.”
Sembari tersedu-sedu Ino menjawab. “Ki-kita terlambat Sakura, kita terlambat.”
Ino pun menceritakan apa yang dilihatnya pada Sakura tanpa melewatkan satu adegan pun. Dan Sakura mendengarnya dengan baik-baik sampai tidak menyadari bahwa jeram-jeram kecil telah melewati pipinya yang kian mendingin.
“Jadi begitu? Seharusnya yang mati adalah Sasuke, tapi Naruto….” Sakura kemudian memandangi Naruto yang sedang tertidur pulas. Ia lalu berdiri dan mendekati Hokage Keenam itu. “Kau selalu saja egois, Naruto. Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi, tahu.”
.
o0o
.
            Malam itu gemintang ramai menghiasi langit gelap yang membentang; membelahnya menjadi bertaburan di sana-sini. Menawarkan pemandangan eksotik yang jarang terlihat sepanjang hari. Mengepung menjadi miniatur tata surya yang hanya nampak saat malam tiba. Entah mengapa bintang-bintang itu terlihat berwarna-warni di mata Sasuke. Seperti warna bias planet-planet.
            Sesekali ia memandang langit gelap di atasnya. Menutup kejenuhan yang dari tadi mengerumuni pikirannya selama setengah jam duduk di sini. Ia hanya bisa menatap seorang gadis di depannya dalam diam. Ia sendiri menyadari ini juga adalah kekurangannya yang tidak pandai memulai percakapan dengan seseorang.
            Gadis itu, Haruno Sakura namanya. Ia sedang duduk terdiam sembari mengaduk-aduk hidangan makan malam secara perlahan, tak ada nafsu untuk menyantapnya. Tapi apa boleh buat ini adalah ajakan seseorang; ia tidak sampai hati untuk menolaknya. Lagi pula memang ada sesuatu yang ingin ia bicarakan pada Sasuke.
            Sasuke yang duduk di hadapan Sakura merasakan ada kejanggalan yang berkelebat pada teman setimnya itu. Ia jadi tidak nyaman juga menelan makanan dari restoran mahal ini. Susah payah ia mengundang Sakura karena kemarin-kemarin gadis ini menolak dengan berbagai alasan yang bisa membuatnya bungkam, tak mampu membujuk lagi.
            Gadis ini memang sangat berbeda dengan gadis kecil yang ia kenal delapan tahun lalu. Harus ia akui gadis ini tumbuh menjadi gadis dewasa tidak hanya secara fisik, secara psikis ia juga tumbuh sebagai gadis yang mampu berpikir secara objektif.
            Karena itulah Sasuke ingin memperbaiki sesuatu hal yang dulu ia kacaukan sendiri. Ia ingin meminta kembali suatu yang ‘spesial’ yang dulu pernah Sakura tawarkan padanya. Yang dulu ditolaknya mentah-mentah.
            Sejak kembali ke Desa Konoha ia tak henti-hentinya mengumpati diri sendiri karena dosa masa lalunya. Tak seharusnya waktu itu ia menolak Sakura yang merelakan dirinya untuk ikut mengemban misi berbahaya bersamanya. Misi berbahaya untuk membunuh kakaknya sendiri.
            Nyatanya semua hal yang telah terjadi membuat guratan menyakitkan abadi di sanubarinya. Dan luka itu tentu sulit untuk disembuhkan kalau mengandalkan waktu saja. Ia butuh seseorang yang mau merelakan bahunya untuk menjadi tempat sandaran disaat ia lelah, peluk rayuan manja di setiap hari ketika hatinya sedang gundah gulana, senyuman menawan yang bisa membangkitkan semangatnya untuk menghadapi kehidupan yang gila ini. Semua hal itu … ia mengasakannya dari Sakura. Satu-satunya harapan yang memiliki peluang besar untuk digapai.
            Sasuke ingin menyembuhkan luka yang ada dengan bantuan Sakura. Karena ia berpikir hanya si ninja medis itu yang bisa mengerti apa adanya dirinya. Namun kini gadis itu malah diam seribu bahasa di depannya. Ia seperti menjelma menjadi sosok lain yang tidak pernah ia kenal. Sasuke menyesali tindak-tanduknya yang dulu kelewat egois.
            Dan beginilah jadinya. Selama 30 menit berada di sini, tidak berbicara sepatah kata pun. Sasuke merasa jadi yang paling bodoh di antara orang utan di belantara rimba yang paling tidak bisa menyapa rekan-rekannya di setiap saat mereka bersua. Tapi bukan keturunan Uchiha namanya kalau ia tidak ingin berusaha.
            “Apa makanannya kurang enak, Sakura?” 
            Sakura menoleh pada seseorang yang mengajaknya berbicara itu. “Enak kok, Sasuke-kun. Hanya saja aku tidak lapar saat ini. Maaf ya, aku melahapnya pelan-pelan begini,” ucapnya sembari tersenyum palsu.
            Sasuke menyadari senyuman itu, ia sedikit geram. ‘Lagi-lagi senyuman itu, lama-lama aku kesal kalau dibeginikan terus. Apa aku dulu terlalu kasar padanya sampai-sampai ia tak mau mengeluarkan senyuman manisnya untukku lagi?’ ucapnya dalam hati. Dan juga Sakura berbohong padanya, dari tadi dia hanya memutar-mutar sendok dan garpu di atas piringnya. Mana ada dia memakan lobster paling enak di Desa Konoha itu?
            “Apa yang sebenarnya terjadi, Sakura? Aku perhatikan semenjak dua hari yang lalu … kau terlihat murung sekali.” Sekali lagi Sasuke ingin mengajak Sakura membuka diri. 
            “Eh? I-Itu….” Sakura tak melanjutkan ucapannya, ia tidak ingin mengingat lagi kejadian dua hari yang lalu. Tapi ia juga butuh seseorang yang ingin mendengarkan keluh kesahnya. Paling tidak bisa membuatnya tenang sedikit.
            Sasuke mengangkat alisnya; sebisa mungkin ia mencoba memancing Sakura agar mau berbicara padanya. “Kenapa, Sakura?”
            “Dua hari yang lalu aku bertemu dengan Naruto…,” ujar Sakura pada akhirnya.
            Sasuke yang mendengarnya langsung merasa down. Entah mengapa di saat sedang berduaan dengan Sakura seperti ini, ia enggan nama Naruto disebutkan si tengah-tengah pertemuan mereka. Tapi apa boleh buat, ia harus menjadi pendengar yang baik; ia pun mencoba tersenyum dengan tulus. “Akhirnya kau bisa bertemu juga dengannya. Heh, dia selalu saja sok sibuk. Apa kalian sempat berbicara?”
            Sakura terdiam sebentar, menatap piring berisi lobster yang baru ia keluarkan isinya saja. “Ya, kami membicarakan banyak hal.”
            “Memangnya apa yang kalian bicarakan? Harusnya kau merasa senang bukan?”
            Sakura memejamkan matanya sebentar. “Aku menyatakan perasaanku yang sebenarnya pada Naruto.”
            “A-Apa?” Sasuke hampir saja menjatuhkan sendok yang sedang ia genggam. Ia terkejut dengan pernyataan Sakura barusan.
            “Aku menyatakan perasaanku yang sebenarnya pada Naruto, Sasuke-kun,” ucap Sakura mengulangi kalimatnya tadi dengan nada datar.
            “Lalu apa dia—”
            “Dia menolakku.”
            Sasuke langsung bernapas lega, berarti ia masih memiliki kesempatan untuk memenangkan hati Sakura. Namun ia merasa aneh juga, yang ia tahu Naruto sangat mencintai Sakura. Lalu mengapa dia menyia-nyiakan kesempatan emas ini? Terlalu sibuk? Rasa-rasanya itu tidak masuk akal.
            “Aku baru menyadari kalau aku tidak  pantas mendapatkan cintanya, aku terlalu naif. Aku tak tahu harus menceritakan hal ini pada siapa. Harus kuakui tanpa Naruto aku benar-benar merasa kesepian.”
            “Sakura … apa kau tidak menyadari kalau kau sedang berbicara pada seseorang saat ini?” ucap Sasuke dingin.
            Sakura terperanjat, ia mendongakkan kepalanya menatap Sasuke. “A-Aku … Sa-Sasuke-kun, gomenasai….”
            “Lupakan saja…,” ujar Sasuke memejamkan matanya. “Aku mengerti; aku juga tidak pantas meminta apa yang telah aku tidak inginkan sebelumnya. Aku hanya ingin memperbaikinya kalau itu belum terlambat….”
            Sakura tercenung mendengarnya. “Ma-Maksudnya?”
            Tangan Sasuke kemudian beranjak menyentuh tangan Sakura. Si pinky itu tercenung melihatnya.
            “Ku mohon berikan aku kesempatan sekali lagi. Aku paham; aku terlambat mengatakannya padamu. Aku dulu terlalu bernafsu ingin membalaskan dendamku pada Itachi-nii, sampai-sampai aku berani mengorbankan segala yang berharga bagiku. Aku dulu menyia-nyiakan persahabatanku dengan Naruto. Aku juga menyia-nyiakan dirimu….”
            “Sasuke-kun….”
            “Aku ingin kau sudi membuka hatimu lagi untukku…,” ucapnya sembari meremas lembut tangan Sakura.
            Sakura sendiri entah mengapa tidak merasakan apa-apa ketika Sasuke melakukan itu. Ia malah merasa aneh dan biasa saja. Padahal pemuda di depannya ini adalah orang yang paling ia tunggu kepulangannya ke desa Konoha. Cinta pertama yang dulu ia harapkan membalas perasaannya. Tapi sayangnya sekarang ia sudah berpindah ke lain hati; ia menyadari hal itu…
            Sakura nyaris lemas mendengarnya, pernyataan cinta Sasuke baginya malah menambah runyam persoalan. Ia tidak bisa berpikir jernih dengan keadaan yang sedang carut marut seperti ini. Ia perlu ketenangan. Sebagai seorang wanita, ia punya hak untuk memilih, namun tidak dalam keadaan seperti ini.
            “Aku ingin kau menjadi teman hidupku—”
            “Sasuke-kun … ada yang ingin kutunjukkan padamu,” potong Sakura tiba-tiba. Ia berdiri, lalu menuju ke arah kasir. Membayar sendiri santapan yang jadi mubazir itu.
            “Mau ke mana kau, Sakura?” tanya Sasuke yang terheran-heran. Ia lalu mengikuti Sakura dengan membayar sendiri santapannya.
            “Ke rumah sakit,” jawab Sakura singkat.
            “Siapa yang sedang sakit?” tanya Sasuke lagi yang langsung penasaran.
            “Nanti kau akan mengetahuinya.”
            Mereka pun keluar restoran tersebut dengan langkah tergesa-gesa.
            Setibanya di rumah sakit Sakura mempercepat langkahnya, diikuti Sasuke yang berusaha mensejajarkan diri dengan langkah Sakura.
            “Kenapa harus terburu-buru?”
            “Jam besuk sudah mau habis, kita tidak memiliki waktu banyak,” jawab Sakura tanpa menoleh pada Sasuke.
            Akhirnya mereka pun sampai ke sebuah kamar. Sakura membuka pintunya perlahan. Ia menoleh ke dalam kamar sebentar. Ia cukup lega mendapati Naruto masih tertidur di sana. Kemarin ia cukup banyak kehilangan darah, sepertinya ia masih kelelahan padahal sudah dilakukan transfuse tadi pagi.
            “Silakan masuk, Sasuke-kun.”
            Sasuke pun menuruti. Ia begitu tercengang ketika menyadari siapa yang tebaring di tempat tidur. “Na-Naruto?” Ia lalu menatap Sakura dengan raut penuh tanda tanya.
            Sakura hanya melihat Sasuke sekilas dan mendekat ke Naruto. Ia melakukan cek ke dalam tubuh internal Naruto. Tidak ada perkembangan yang signifikan. Ia menghebuskan napas perlahan.
            Sasuke lalu berdiri di sampingnya, menatap Naruto tanpa berkedip. “Apa yang terjadi pada Naruto, Sakura?”
            Sakura membenarkan selimut yang menutup tubuh Naruto. “Ia seperti ini karena menyelamatkanmu.”
            “Hah?” Sasuke terang saja terperanjat, pasalnya ia tidak ingat apa pun setelah mendapat serangan dari Uchiha Madara.
            “Tentu saja kau tidak ingat, Sasuke-kun. Waktu itu kau pingsan, sama sepertiku.”
            “Lalu bagaimana kau bisa tahu?”
            “Aku meminta bantuan Ino untuk masuk ke dalam memori Naruto dan kejadian di perang Dunia Shinobi Keempat itu tampak begitu jelas.”
            Sasuke kembali memperhatikan Naruto dengan wajah penuh kaget. “Mengapa ia lakukan itu? Seharusnya ia tak perlu melakukannya.”
            “Itu karena kau sudah dianggap saudaranya sendiri, Sasuke-kun. Dan juga….” Suara Sakura tertahan ditenggorokkan, ia merasa agak aneh meneruskan kalimat itu.
            “Dan juga apa?”
            Sakura lalu memandangi Sasuke dengan linangan air mata di pipinya. Cepat sekali ia menangis. “Dan juga karena Naruto tahu bahwa aku dulu sangat mencintaimu.”
            “Hn?” Sasuke menatap Sakura dengan penuh emosi. Dulu?
            “Naruto selalu egois. Mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Dan kini ia membayarnya dengan mahal. Ia membayarnya dengan nyawanya sendiri.”
            “Ma-maksudmu?”
            Sakura lalu berjalan menuju jendela. Ia butuh udara segar, meski malam itu cukup dingin. “Naruto mengalami luka dalam yang cukup parah. Beberapa organ vitalnya tidak berfungsi dengan baik.”
            “Apa dia bisa diselamatkan?”
            “Kemungkinannya adalah tidak.”
            Angin berdesir, masuk ke dalam kamar Naruto. Sakura buru-buru menutupnya karena takut mengganggu tidur Hokage Keenam itu.
            Sasuke hampir tidak percaya mendengarnya. Secepat itukah Naruto akan pergi? Dia masih terlalu muda. Kalau Naruto tidak menyelamatkannya pasti ia yang akan sekarat saat ini.
            “Apa yang Naruto lakukan? Bagaimana ia bisa menyelamatkanku?”
            “Naruto menggunakan jurus terlarang klannya. Aku juga tidak tahu bagaimana dia bisa mengetahuinya,” jawab Sakura seraya menyeka air matanya.
            “Lalu apa yang akan kau lakukan, Sakura? Aku tahu kau tidak akan diam begitu saja.” Sasuke menatapnya dengan datar.
            “Ya. Meski Naruto tidak akan membalas perasaanku, aku akan tetap menyelamatkannya. Bagaimanapun caranya aku tidak akan menyerah. Aku akan memperbaiki kesalahanku,” jawab Sakura dengan menatap tajam pada Sasuke.
            Saat itu Sasuke tahu, bahwa Sakura tidak main-main dengan ucapannya.
.
o0o
.
“Jadi kau akan membawa Naruto ke Myoubokuzan?” tanya Tsunade dengan dahi mengerut.
Sakura mengangguk. “Naruto butuh ketenangan. Aku akan melakukan pengobatan khusus padanya, dan ini memerlukan waktu lama dan konsentrasi tinggi. Aku tidak mau ada yang mengunjungi kami.”
“Lalu bagaimana dengan Naruto? Apa dia sudah tahu?”
“Belum, Shisou. Karena itu aku akan meminta Gamakichi mengeluarkan kuchiyose no jutsu untuk memindahkan Naruto ke Myoubokuzan pada saat ia sedang tidur.”
“Kau tahu Naruto tidak akan setuju.”
Sakura kembali mengangguk. “Karena itu aku meminta bantuanmu, Shisou. Gantikan Naruto untuk sementara waktu.”
“Aku mengerti apa yang harus aku lakukan. Semoga rencanamu ini berhasil, Sakura. Aku tahu metode pengobatan apa yang ingin kaulakukan. Meski aku tidak yakin hasil dari metode itu, tapi sepertinya kau punya rencana lain.”
Sakura hanya menatap Tsunade dengan datar. Ia pun beranjak dari sana tanpa menjawab pernyataan gurunya itu. “Aku permisi dulu, Shisou. Aku ingin mempersiapkan baju untuk Naruto nanti.”
Tsunade menatap Sakura dengan dahi mengerut. “Baiklah kalau begitu. Kau boleh pergi.”
Sakura membungkuk, lalu melangkah menuju pintu.
“Sakura….”
Sebelum Sakura membuka pintu, Tsunade memanggilnya. “Jangan melakukan hal yang diluar kemampuanmu.”
Sakura hanya memberikan senyuman palsu pada Tsunade.
.
o0o
.
Naruto merasa wajahnya sedikit panas, ia pun membuka matanya perlahan. Dibawanya tangannya sendiri menutupi mata. Sepertinya ia bangun agak siang. Mataharinya cukup menyengat. Matanya pun berhasil membuka utuh meski agak sayu karena ia memang sedang tidak sehat. Ia melihat langit-langit di atasnya, dan menyadari jika ia tidak lagi berada di rumah sakit Konoha. Ia langsung mengetahui di mana ia berada sekarang.
“Ini kamarku di Myoubokuzan. Siapa yang membawaku ke sini? Gamakichi?”
“Kau sudah bangun rupanya.”
“Eh?” Naruto menoleh ke arah sumber suara. Ia pun terperangah. “Sakura? Apa yang kaulakukan di sini?”
Sakura kemudian berdiri dari tempat duduknya dan meletakkan buku yang sedang ia baca di meja. “Mulai besok kita akan mulai melakukan pengobatan. Kau harus mau melakukannya. Aku tidak peduli kalau nanti kau akan mencoba kabur. Aku akan mengejarmu dan menghajarmu sampai babak belur supaya kau tidak bisa lari. Kau mengerti?” ancam Sakura dengan berkacak pinggang.

Naruto menelan ludahnya. Ia menatap mata Sakura yang berapi-api. Seram. Sepertinya ia harus menuruti kata-kata si ninja medis itu.