Tuesday, 19 March 2013

Pengumuman ... Pengumuman! :D


Dear, Readers.
Insya Allah saya mau update fanfic The Time Travel pas tanggal 11 April 2013, bertepatan dengan NaruSaku Day :D.
Buat yang nunggu lanjutan Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki harap bersabar ya.
Skripsi saya belum selesai J
Terus buat yang bertanya-tanya kapan I’m Your Angel dilanjutin, saya berencana tidak melanjutkannya di lagi di FFN, draft-nya mau saya jadiin cerita di novel saya nanti yang belum rampung.
Oke, sekian dulu.
Thanks before J

Saturday, 16 March 2013

AsterAlina: Catatan Kecil dari Alina


            Mereka bilang adik gue gila. Mereka bilang adik gue nakalnya minta ampun. Mereka bilang adik gue bodoh. Mereka bilang ibu gue banyak dosa, maka dari itu Tuhan menghukumnya. Mata mereka bergerak penasaran, namun mulut mereka menyungging cibiran, entah kasihan atau melontar sumpah serapah. Lalu kotak pikiran gue jadi penasaran, mengapa seseorang begitu mudahnya menilai dan memberikan komentar macam-macam tanpa memosisikan diri sebagai gue terlebih dahulu?
Akhirnya gue pun jadi bertanya lagi … jika mereka ada di posisi gue, apakah mereka mampu menjalani kerasnya kehidupan yang gue arungi? Kehidupan yang nggak gue inginkan, tapi harus gue terima dengan ikhlas. –Alina.

Friday, 15 March 2013

Prolog AsterAlina (Bintang dan Cahayanya)


Prolog
            Semua di sini serba hijau sehijau permata zamrud yang diterawangi sinar mentari.
            Duduk di atas batang beringin raksasa yang terbaring di tanah. Menghirup udara panorama alam yang hanya bisa dinikmati di pinggir desa, di kota mana ada pohon-pohon sebesar dinosaurus seperti ini.
            Hijau … sunyi … damai ….
            “Ah, indahnya gue selalu suka sama hutan, lo selalu tahu apa selera gue, Yov. Gue pasti bakal merindukan masa-masa ini—sama lo.
            Dia seorang cewek, menunggu jawaban dari sang cowok, namun hanya diam yang didapatkan. Padahal tanggapan verbal yang sangat dibutuhkannya, bukannya kehampaan seperti ini.
            “Ada apa, Yov? Apa lo kedinginan?” cewek itu menawarkan kehangatan serupa jaket. Tapi tetap tak diindahkan oleh si cowok. Seketika si cewek menangkap sinyal aneh dari gerak-gerik sosok yang duduk di sebelahnya itu..., “A-apa yang sedang lo pikirkan?”
            “Alin, rasa-rasanya kita cukup sampai di sini saja,” ujar Yovie kemudian.
            Mata Alin pun melebar jadi nyaris sebesar telur ayam kampung. “E-eh?” ia terdiam dalam waktu satu menit. “Hahaha, bercandaan lo memang oke punya, Yop. Sebenarnya lo mau memberikan gue kejutan, kan? Ayolah, yang kayak gini sih sudah ketinggalan zaman!” seru cewek itu cekikikan. Tetap berusaha memikirkan segala kemungkinan, meski tampang si cowok lebih serius dibanding dengan potret Hitler sekali pun.
            “Gue sungguh-sungguh, Lin.”
            “Eh?”
Lo pernah bilang kalau lo sangat menjunjung tinggi kejujuran, kan? Walaupun itu bakal menyakitkan. Maafkan gue, Lin. Gue hanya nggak mau menyembunyikan ketidaknyamanan ini,” ujar cowok tampan itu, ia memandangi hamparan hijau yang mengambang di depan dirinya. Enggan menatap Alin yang hatinya mulai kusut.
Tak ada jawaban dari si cewek ia pun melanjutkan kalimatnya yang sempat terputus. Dengan tergagap ia berujar, “Le-lebih baik kita putus, Lin karena gue nggak bisa menerima kenyataan kalau cewek gue ini memiliki adik…”
Dan segalanya menjadi kelam sejak saat itu….

Bab 1 Novel W: Pencinta Air



           
            “Fuah! Hahaha!” cowok itu mengayunkan tangannya ke kolam sampai air yang warnanya setali tiga uang dengan setan kolor ijo itu terhantar pada sosok cewek yang duduk di pinggiran kolam.
            “Duh, Upil! Jangan cipratin airnya ke gue dong! Gue udah mandi, tahu! Kalau lo sih nggak apa-apa kan belom mandi!” gerutu Ute seraya menjauh dari pinggir kolam itu, kolam butek di depan rumah pacarnya yang tidak terawat.
            “Mandi untuk kedua kalinya nggak masalah, kan?” tanya Upi seraya cekikikan. Dirinya sudah basah kuyup, sekaligus berbau sengit yang sudah tak terelakkan. Kaus oblong putih dan celana pendek putih yang ia kenakan pun berubah dekil. Padahal di pekarangan belakang rumahnya terdapat kolam renang yang terawat sekali, namun ia lebih senang bersenda gurau dengan kolam yang menurutnya lebih alami dibandingkan dengan kolam renang tersebut.
            Membuat Ute menjauh lima langkah tak tanggung-tanggung. “Enak aja! Gue bukan waterholic kayak lo lagi! Sana gih mandi!”
            Diomeli begitu bukannya berhenti, Upi malah keterusan. Ia jadi seperti balita yang baru mengenali air.
            “Dasar Upil gila!” teriak Ute menunjukkan tampang masam.
            Baiklah, siang ini sepertinya Ute harus kembali mandi di rumah Upi—cowoknya si Pencinta Air. Kalau dihitung-hitung, sepertinya ini sudah yang ke seratus kalinya. Well, buat apa juga Ute rajin menghitungnya? Ini cuma perkiraan asal si penulis.
            Saking demennya sama air, Upi tak keberatan jika ia nantinya bakal terkena flu berat berminggu-minggu. Toh nanti tinggal mandi air hangat saja dijamin esoknya sudah sembuh sedia kala.
            Kalau masalah kena penyakit kulit gara-gara keseringan main air di kolam butek itu dijamin bisa diatasi. Upi sudah menyiapkan salep kulit yang ampuh menyembuhkan ruam-ruam-nyaris-berevolusi-menjadi-koreng dikulitnya.
            Dan karena Upi cinta banget sama air, dia juga pastinya rajin mandi dong.
            Namun Ute adalah cewek yang paling menjunjung tinggi kebersihan, ia paling tidak tahan berlama-lama dalam keadaan kotor seperti ini. Maka dari itu ia berniat beranjak dari kolam terkutuk itu dan masuk ke rumah Upi untuk mandi, untungnya ia selalu membawa persiapan baju.
            “Mau ke mana lo?” tanya Upi yang seketika menghentikan aksinya.
            Ute menoleh ke belakang. “Mau mandilah! Gara-gara lo gue jadi menjijikan kayak gini,” ucapnya seraya menciumi bau bajunya sendiri. “Yuck!” namun ia akhirnya malah merasakan mual gara-gara bau comberan kolam butek itu. Salah sendiri pakai dicium-cium segala.
            “Mandi di sini aja sama gue, Sayang,” tak disangka Upi melompat keluar dari kolam dan menarik tangan Ute.
            “Eh? Mau ngapain lo—”
            Belum sempat Ute menyelesaikan kalimatnya, Upi sudah keburu menarik tangannya dengan kuat. Dan….
            BYUR!
            “Upil nyebelin!” Ute pun terjun di kolam butek itu dengan sukses.
            Upi tentu tertawa terbahak-bahak atas kemenangannya.
            Ute memang membenci orang yang senang berkotor-kotoran, tapi sepertinya untuk Upi itu pengecualian. Akhirnya mereka malah saling mencipratkan air sampai tidak keruan bau badan mereka.
            Karena si Pencinta Air itu adalah pacar Ute yang selama dua tahun ini selalu menghiasi suka-duka harinya. Ute selalu bisa menerima hal-hal tak lazim yang dilakukan Upi, cowok yang sering membuatnya tertawa. Karena baginya, cowok yang baik adalah cowok yang bisa membuat ceweknya ketawa-ketiwi setiap hari.
v   
            Malam ini menyeruak wangi yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Malam ini bukanlah waktu khusus yang punya arti sedalam palung. Hanya ini adalah malam yang tak biasa. Ketenangan terserap ke seluruh sendi-sendi badannya. Buat Mutiara Lingga Karolina, merasakan tenang nan damai yang teramat kentara seperti ini adalah sebuah anugerah.
            Karena selama menjalani hari-harinya, ia terlalu sering dikelilingi kegelisahan.
            Mungkin salah satu penyebabnya karena rinai kecil hujan yang menghentak pelan di atap kosnya membuat irama yang cukup nyaman didengar. Entah mengapa instrumen dari alam tersebut lebih bisa membuat Ute tenteram.
            Tapi yang membuat malam ini lebih terasa damai adalah karena Ute kembali melihat rupa mendiang ibunya yang paling cantik di dunia ini. Meski hanya dalam bentuk benda mati mungil hasil output dari sebuah kamera yang biasa disebut foto.
            Ute sedang memandangi foto itu, yang ada seorang wanita anggun di sana. Dari sudut pandang datangnya kamera ia tersenyum ke arahnya. Rambutnya bergelombang hitam pekat, tubuhnya memang tak terlalu tinggi jika tak memakai high heels, namun tetap proporsional, lalu bibir tipisnya yang tetap merekah dengan lipstick warna peach, warna kulitnya coklat eksotis asli Indonesia.
             “Nggak salah kenapa banyak yang bilang gue cantik, ternyata gue adalah keturunan wanita yang paling cantik di dunia ini,” ungkap Ute terkikih bernasis ria. Ia memang bagai pinang dibelah dua dengan ibunya, tapi kulit coklat Ute lebih tampak terang. Dan ia lebih tomboy ketimbang mendiang ibunya itu. Cantik-cantik begitu ia lebih suka mengenakan jeans yang dipadukan dengan kemeja.
            Tubuh Ute yang tengkurap lantas membalik sehingga kini ia menghadap langit-langit kamarnya. Rambutnya yang bergelombang—yang panjangnya mencapai dada terberai di atas kasur. “Heran gue sama Papa yang seenak jidatnya ngebakar semua foto Mama, untung masih ada yang bisa gue selamatkan,” gerutunya.
            Ah, kalau mengingat ayahnya, amarah Ute jadi menguap. Padahal ia sedang ingin mengenang masa-masa bahagia dengan ibunya yang tak akan lekang oleh waktu. Tapi pikirannya malah bergelayar pada satu sosok yang sangat dibenci namun dibutuhkannya itu, yaitu ayahnya sendiri. Bagaimana ia bisa memiliki dua rasa berbeda dalam satu waktu? Kalau dilihat, ini bisa saja terjadi untuk orang-orang terdekat.
            Kesal, Ute mencampakkan album foto yang memuat beberapa foto ibunya itu ke lantai. Kemudian matanya beralih pada bingkai foto yang terpampang di meja dekat tempat tidurnya.
            Fotonya bersama dengan Lutfi Zain Hekmansyar, atau yang biasa dipanggilnya dengan Upi. Di foto itu ia dan Upi tersenyum seraya menunjukkan gigi mereka yang bagian tengahnya hitam-hitam persis mak dan pak lampir—yang giginya keropos. Ute mengingat mereka habis makan coklat saat itu.
            “Dasar Upil. Selalu aja buat gue bisa ketawa,” ujar Ute menyulam senyum. Ute selalu memanggil Upi dengan Upil apabila ia sedang kesal atau lagi happy-happy-nya.
            Sewaktu kecil dulu, Mama selalu bercerita tentang kisah cinta abadi antara raja pemimpin Kerajaan Gondor, Aragorn dan putri dari suku abadi Elf, Arwen—di sebuah pelataran bukit yang sekarang sudah tak diingatnya. Sampai sekarang ia masih berusaha mencari tempat itu, namun sayang ia tak pernah menemukannya. Mama meninggal saat Ute masih berumur enam tahun. Dan Ute kecil langsung jatuh hati dengan kisah percintaan manis yang diarungi Arwen dan Aragorn. Kisah cinta dengan penerimaan menyeluruh tanpa pandang bulu. Ia pun bercita-cita ingin memiliki kisah cinta yang sama.
            Ute selalu bermimpi memiliki kekasih seorang cowok yang memperlakukannya bak ratu kerajaan. Meski harus malang-melintang menghadapi kerasnya dunia, ia ingin memiliki kekasih yang sudi membagi beban dunia berdua di pundak. Ute ingin memiliki cinta pertama yang seperti itu. Cinta yang dapat ia banggakan ke semua orang. Cinta yang memang patut ia perjuangkan.
            In reality memang tidak ada cowok sesempurna itu di dunia ini. Sekarang yang menjadi cinta pertama Ute adalah seorang cowok bengal lagi berisik yang sifatnya absurd sekali.  
            “Kenapa ya gue bisa nerima cinta Upi?” Ute hanyut dalam renungannya. “Oh ya, karena kita banyak memiliki kesamaan.”
            Bagi kebanyakan orang, perbedaan di antara pasangan yang menjalin kasih adalah bahtera tantangan yang patut untuk diarungi. Perbedaan yang ada membuahkan hubungan yang lebih terikat karena penerimaan yang begitu besar. Namun bagi Ute persamaan tetaplah yang utama.
            Melihat sosok Upi, Ute selalu berpikir melihat bayangannya sendiri di cermin. Bersama dengan Upi, Ute selalu tak ragu untuk menyampaikan keluh kesahnya yang tidak mudah ia curahkan kepada orang lain, apalagi ke keluarganya sendiri. Semenjak ibunya meninggal, Ute merasa tidak punya posisi di dalam keluarganya, meski sekarang ia memiliki ibu tiri dan ayah kandung yang masih hidup, namun mereka seperti tak eksis di dunia ini.
            Perkenalannya dengan Upi terjadi di dunia maya. Di sebuah forum yang di dalamnya berkumpul para pecinta film ber-genre fantasi. Ya, Ute adalah penggila film terutama film fantasi, hal ini ia dapatkan dari ibunya yang juga penggila film fantasi. Lihat saja di salah satu sudut kamar kosnya yang berdiri sebuah lemari yang berdiri macam-macam action figure dari berbagai macam film fantasi. Lemari itu memiliki lima ruang, dan seluruh ruangannya penuh oleh miniatur karakter tokoh dari film fantasi kesukaan Ute. Action-action figure koleksinya itu adalah pemberian ibunya.
            Saat berbagi cerita tentang kesukaan mereka akan film fantasi, entah mengapa percakapan antara Ute dan Upi mengalir begitu saja. Berawal dari saling berbagi opini tentang film fantasi yang paling mereka sukai, yaitu The Lord of The Rings, sampai ke masalah yang lebih pribadi, yaitu masalah keluarga.
            Pada saat itu, Ute menyadari bahwa ia dan Upi sama-sama memiliki problem pelik dengan keluarganya masing-masing. Sejak ibunya meninggal, Ute tidak tahu lagi posisinya di dalam keluarganya sendiri, sedangkan Upi berasal dari keluarga broken home.
            Maka persamaan yang menyakitkan itu membuat mereka saling berbagi dan saling memahami dalam waktu yang cukup singkat.
            “I love you, Upil. Forever and ever,” bisik Ute seraya membelai figur Upi dalam foto yang sedang digenggamnya. Untuk ke sekian kalinya ia jatuh cinta dengan cowok penggila air itu.
            Lantas Ute mengembalikan foto itu ke posisinya semula. Dan tanpa disengaja matanya tertuju pada lemari yang terdapat koleksi action figure-nya. Ia memandangi miniatur Aragorn dari The Lord of The Rings yang berdiri sendiri di sekat lemari paling atas.
            Ute ingat betul dulu sang raja dari Kerajaan Gondor itu tidak sendirian, ia dulu bersanding dengan istrinya yang merupakan keturunan Elf terakhir yang ada di Middle Earth yaitu, Arwen Evenstar.
            “Action figure Arwen gue ke mana, ya? Gue nggak ingat pinjemin ke siapa,” ujarnya mendengus kesal. “Mungkin ketinggalan pas pindahan dulu,” padahal action figure itu adalah benda kesayangannya.
            Ute pun menyampingkan tubuhnya, lantas menutupi kepalanya dengan bantal. Ia pergi ke alam mimpi. Mengharapkan bunga tidur yang sangat indah karena esok hari sepertinya akan melelahkan dirasa.

Thursday, 14 March 2013

Di Bawah Kaki Langit Shizuoka


Di Bawah Kaki Langit Shizuoka

Disclaimer: Haruno Sakura dan Uzumaki Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: Rate T, Drama/Romance, Alternate Universe. OOC
            Sebenarnya ini fanfic udah lama dibuatnya sekitar bulan Juli 2011. Lolos seleksi di salah satu kompetisi, tapi karena saya rencana nggak jual bukunya, saya mau publish di sini ya ^^.
            Terinspirasi dari kisah adik kelas saya, sekaligus teman satu kampus saya Nabila Nurjanida (www.nabilanurjanida.tumblr.com)
            Happy reading, Guys
.
.

            Bagiku yang payah ini, mungkin tidak ada lagi yang tersisa. Hanya bisa duduk memandangi pohon plum di dekat jendela kamar. Musim semi memang telah tiba, tapi ceria itu tak lagi ada. Ingin bermain; bersenda gurau bersama teman-teman sebaya, jalan-jalan ke Shibuya untuk belanja, atau ke Akihabara untuk ber-cosplay ria.
Aku merasa terasing; dianaktirikan oleh Tuhan. Padahal selama 19 tahun lamanya hidupku sangat sempurna tanpa ada cobaan yang berarti, namun kini Tuhan menamparku sekeras-sekerasnya. Aku pasrah, mungkinkah ini akibat dari kepongahanku yang dulu bisa dibilang merajalela? Atau apakah aku terlalu bangga dengan apa yang aku miliki?
Sekarang aku jadi paham bagaimana rasanya tak memiliki lengan dan kaki. Aku jadi tahu sulitnya untuk berbicara ketika rusaknya pita suara. Aku jadi paham bagaimana rasanya satu tarikan napas yang menghilang dalam sedetik akan membuat nyawa melayang. Itulah yang kurasakan saat ini. Cita-citaku, rencana masa depan yang sudah kupikirkan secara matang. Bak debu yang tertiup angin….
Aku masih bertanya-tanya, mengapa penyakit langka ini menyerang tiba-tiba? Dia datang tanpa diundang, dia mampir di tubuh ini tanpa aku inginkan. Satu dari seratus ribu orang…dan salah satunya adalah aku. Mengapa harus aku Tuhan? Mengapa?
o0o
Masih ditemani cahaya matahari yang merembes masuk melalui jendela kamarku yang setengah terbuka. Anginnya buatku dengki, dulu dengan angin seperti ini bukan main senangnya diriku menikmati terpaannya yang sejuk. Ramah ia membelai-belai rambut merah jambuku yang panjangnya sepinggang. Lalu karena itu ada seorang lelaki yang mengagumi keindahan rambut ini. Dia bilang, dia sangat senang melihat rambutku yang indah ketika diterpa angin. Dia … Uchiha Sasuke…
Kutatap pigura yang isinya adalah kelompok pencinta alam kampusku, Aozora. Foto itu diambil saat kami mendaki Gunung Fuji dua tahun yang lalu. Ada Sasuke-kun, Naruto, Hinata, Neji-san, dan Kiba. Betapa aku merindukan masa-masa itu, masa di mana kaki ini begitu kuat untuk mendaki sampai ke kaki langit Shizuoka. Langitnya luas, birunya dibiaskan dari sinar mentari yang terpancar di sekitarnya, melukis dirinya sendiri dengan segala rupa warna yang ia pantulkan ke bumi. Berbeda-beda di tiap pagi, siang, sore, dan malam.
Aku memalingkan wajahku lagi di pigura sebelahnya. Berdiri dengan indah fotoku berdua dengan Sasuke-kun. Melihat parasnya yang dingin itu tetap saja bikin rindu. Hati ini lagi-lagi meringis, gara-gara penyakit ini aku juga kehilangan belahan jiwaku. Padahal hampir tiga tahun lamanya kami menjalin cinta, berasyik-masyuk serasa dunia hanya milik kami berdua. Tapi…
“Maaf, Sakura. Kalau boleh jujur, aku ini hanya manusia biasa. Aku tak pernah ragu tentang perasaanmu padaku, tapi kalau seperti ini aku takut di antara kita ada yang terluka. Karena itu jalan ini akan lebih baik … aku tak pantas untukmu…”
Sebenarnya aku yang tak pantas untukmu, kan, Sasuke-kun? Aku paham mana ada lelaki yang menginginkan perempuan cacat seperti aku. Padahal aku sudah membayangkan sisa hidupku nanti kulewatkan bersamamu. Kuguratkan semua impianku bersamamu dalam buku harian yang sudah berpuluh-puluh jumlahnya ini. Yang isinya cuma ada kau dan aku. Apa cintamu dulu padaku hanya isapan jempol belaka?
Sial! Sungguh sial penyakit ini merenggut semuanya dariku, termasuk orang yang kuharap menjadi teman hidupku nanti. Dia malah pergi meninggalkanku dan melanjutkan kuliah kedokteran di Belanda.
Kugenggam keras pinggiran kayu yang mempercantik pigura itu. Tersadar tangan ini membuatnya retak, kuremukkan saja sampai rasa sakit ini terbalaskan dengan seimbang. Ah, mana bisa diserupakan, rasa sakitnya benar-benar tak ada yang bisa menyamakan. Tapi aku tak ingin menyalahkan penyakit ini, artinya kau yang tidak sepenuhnya mencintaiku, Sasuke-kun. Kau tak mau menerima apa adanya diriku!
Kutarik nafas sepanjang-panjangnya. Fase depresi ini terlalu berat kulewati. Aku sudah cukup merepotkan orangtua dan kerabat terdekat. Sifatku yang tidak suka merepotkan orang malah kini menjadi sebaliknya. Haah, kalau sudah begini yang kulakukan hanya menumpahkan segala kalut malutku melalui blog-ku. Blog ini jadi ramai seketika sejak aku mem-publish tentang penyakitku ini. Meski jari-jari ini juga tidak bisa dengan cepat menekan tombol huruf seperti dulu. Tapi aku merasa lega, setidaknya ia masih bisa digerakkan.
Sayang seribu sayang, emosiku masih naik hinggap di ubun-ubun. Kalau saja Naruto ada di sini mungkin dia dapat menghiburku sejenak, menenangkan pikiranku yang sering kalap. Tapi sahabat kecilku itu pasti masih berada di Kyoto sekarang. Entah mengapa tiba-tiba jadi rindu…
Aku selalu merasa kesepian. Semua teman-temanku kuliahku di Todai rata-rata sudah lulus. Termasuk Naruto yang kini melanjutkan usaha ayahnya di Kyoto. Sedangkan aku…yang aku kerjakan hanyalah terapi di rumah sakit dan menulis. Untuk melanjutkan kuliah, aku tak mampu melakukannya. Lebih tepatnya, tubuhku ini yang tak mampu melakukannya.
“Sakura, Sayang. Buka pintumu, Nak. Ada Naruto.”
Mendengar teriakan Ibu, aku langsung menoleh ke arah pintu. ‘Ma-Masa?’ tanyaku dalam hati. Aku buru-buru menjalankan kursi rodaku ke arah pintu, ingin membuka kuncinya. Tapi tiba-tiba ada suara ketukan jendela.
Ohayou (Selamat pagi), Sakura-chan!”
“Sakura, tak usah membuka pintu! Naruto bilang dia lewat jendela saja biar kamu tidak repot membuka kunci,” teriak ibuku lagi.
            Aku pun segera berbalik ke arah jendela, ternyata benar Naruto yang berada di sana.
“Aku boleh masuk, ya?” tanya Naruto.
Aku hanya menganggukkan kepala. Lantas kulihat ia sedang melepaskan tali kernmantel dari tubuhnya dan pelan-pelan melewati daun jendela yang sedikit sempit.
Tali untuk climbing yang selalu kusangkutkan di luar jendelaku, kupasang untuk meminimalisir waktu. Bagiku naik turun tangga ke lantai dua itu sangat melelahkan, alhasil itulah solusi yang kupakai kemudian. Terlihat konyol memang, seperti orang jahil yang niatnya ingin mengintip aktivitas tetangga. Walau aku tak dapat menggunakannya lagi, tak ada niat untukku melepaskannya dari jendela. Dulu juga Sasuke-kun sering menggunakannya untuk datang mengunjungiku.
“Apa kabar?” ucapnya sembari tersenyum lebar.
Aku menghela nafas panjang, berbicara saja aku butuh udara yang cukup banyak. “S-Sepert-ti y-yang kau l-lihat, k-kau se-sendiri? K-Kapan p-pulang?”
Mata azure-nya menatapku dengan lembut. Naruto pun menjawab, “Aku baik-baik saja, Sakura-chan. Baru sampai di Tokyo tadi malam.” Ia lalu menurunkan ranselnya, membuka resleting dan mengeluarkan sesuatu dari sana. “Oh ya, aku membawakan oleh-oleh untukmu. Tara!”
Aku memicingkan mata melihat kotak apa yang sedang digenggamnya. Dari aroma ini aku langsung tahu apa yang Naruto bawa. Aku pun tersenyum kecil. Itu dango, makanan kesukaanku.
“Aaa…pasti aromanya tercium, ya? Ekspresimu itu gampang ditebak hehehe. Kau pasti masih lapar, kan? Aku suapi, ya, Sakura-chan?” ujarnya antusias.
Aku hendak menolak karena takut merepotkan, tapi tanpa kupinta terlebih dahulu kepala ini tiba-tiba saja mengangguk pelan.
            Kemudian Naruto menuntun kursi rodaku ke pinggiran tempat tidur. Ia duduk di atasnya, sedangkan aku tetap di atas kursi rodaku. Ia memposisikan tubuhku bersebelahan dengannya. Naruto hendak memisahkan satu dango dari tangkai, tapi tiba-tiba saja ia mengurungkan niatnya. “Wah, hampir saja lupa, tanganku tidak bersih. Sebentar, ya.”
            Kulihat Naruto mengeluarkan handcleaner dari ranselnya. Walau terlihat urakan, Naruto sebenarnya sangat memperhatikan kebersihan.
            “Nah, buka mulutmu, Sakura-chan,” ujar Naruto dengan tatapan lembut.
            Aku menuruti, tapi aku tak bisa membuka mulutku lebar-lebar. Ia mengerti, lalu membelah kecil-kecil dango itu sampai ia rasa cukup masuk ke dalam rongga mulutku. Aku pun melahapnya pelan-pelan, rasanya sangat enak. Sudah cukup lama aku tak menyantap makanan favoritku ini.
            “Bagaimana? Enak, kan?”
            “Y-Ya, a-arig-gatou (terima kasih) N-Naruto.”
            “Hei, kita sudah lama bersahabat, jadi tak perlu sungkan, Sakura-chan. Dango ini juga ibuku yang memilihkannya,” ujarnya.
            Air mukaku seketika berubah. Sahabat? Jadi, sekarang Naruto menganggapku seperti itu… Aneh, aku jadi galau sendiri. Padahal enam huruf itu yang selalu kujadikan alasan untuk menolak cintanya padaku dulu. Kutatap diam-diam dia yang dimulutnya dipenuhi dengan kue dango. Aku tersenyum kecil, ekspresi uniknya selalu saja bisa membuatku tertawa. Tidak hanya itu sebenarnya. Satu alasan dulu mengapa aku selalu menumpahkan keluh kesahku padanya ketika aku sedang ada masalah dengan Sasuke-kun. Sifatnya yang alami itu, dapat menentramkan hati orang-orang terdekatnya. Sifatnya yang hangat terhadap sesama.
Mungkin dulu aku terlalu sempit menilai sifat seorang lelaki. Dibandingkan dengan Sasuke-kun, sosok Naruto sebenarnya lebih terbuka. Ia punya banyak teman, mudah bergaul, meski otaknya tidak sepintar Sasuke-kun. Dan penampilannya juga dari tahun ke tahun semakin tampan. Bukan hanya hal itu yang kukagumi dari dirinya. Selama dua tahun lamanya penyakit ini menyerangku, ia tetap meluangkan waktu untuk mengunjungiku minimal seminggu sekali. Padahal jarak antara Kyoto dan Tokyo itu tidaklah dekat.
Dan aku lagi-lagi hanya bisa menyesali tentang diriku yang selalu menolaknya dulu. Atau selalu memanfaatkan kebaikannya untuk urusan pribadiku. Bukankah penyesalan memang selalu datang belakangan?
            “Hei, Sakura-chan. Kenapa merenung?” sahut Naruto tiba-tiba, membuyarkan pikiranku yang sedang kalut.
“A-Ah, t-tidak a-pa. H-hanya a-ada y-yang sed-dang a-aku pikirkan.”
            “Begitu?” Naruto menatapku lekat-lekat, mencoba mencari sebuah kejujuran dari pancaran sinar mata hijauku.
Takut-takut, aku langsung saja menunduk. Kupikir ia bakal tahu ada yang aneh dari diriku. Ternyata dia tidak menelaah lagi dengan bertanya kembali atau memaksaku bercerita tentang apa yang sedang aku pikirkan. Tapi dia malah tersenyum kecil dan memalingkan wajahnya ke luar jendela.
            “Aku tahu pasti banyak yang sedang kau pikirkan, Sakura-chan.” Ia lalu menatapku kembali. “Tapi tenang saja, aku selalu di sampingmu, jadi kapan saja kau mau bercerita aku bersedia mendengarkan.” Kali ini ditambah dengan remasan lembut di tangan kananku.
Sontak wajahku merona merah bak warna bunga delima. Ingin melepaskannya tapi ada daya diri ini menjadi lena.
Kata orang cinta bisa tumbuh dalam waktu sesingkat tujuh menit. Dan setiap tujuh menit bersua dengan Naruto, aku memang bisa merasakan suasana hati yang menggelitik. Jantung dibuatnya dag dig dug seperti suara genderang di pembukaan festival pasar malam Tokyo. Tapi semakin kuat perasaan itu melabuh, semakin kuat juga aku ingin menghempasnya. Aku hanya tak ingin berharap banyak. Aku pun tak mau hiprokit, mana ada seorang lelaki mau menerima gadis cacat seperti aku?
            Motor Neuron Disease. Penyakit ini telah merenggut segalanya, termasuk orang yang dulu aku cinta. Dia merusak sistem saraf motorik di tubuhku, sehingga aku tak bisa lagi berjalan, tanganku tak bisa digerakkan dengan leluasa, pita suaraku rusak—berbicara jadi terbata-bata. Karena itu aku berusaha tahu diri, tidak mengharapkan lebih pada seseorang di depanku yang dulu memiliki rasa khusus kepadaku. Suatu saat dia pasti meninggalkan aku juga, seperti yang lain. Lagipula aku pun tak merasa yakin apa perasaan Naruto kepadaku masih seperti dulu.
            “Eh ya, Sakura-chan. Apa kau masih ingin ke Gunung Fuji?”
            Aku seketika tersentak, “E-Eh?”
            “Terakhir kemarin klub pencinta alam Aozora berpetualang ke Gunung Fuji, hanya di kakinya saja, sih. Tapi jujur saja kami sangat kehilangan kau, Sakura-chan.”
Kulihat Naruto terdiam sejenak sembari menatap lantai kamar tidurku. Rasa sedih, itu yang bisa kuterjemahkan dari tatapan matanya yang sendu. Satu hal lagi yang tak kusuka dari keadaanku ini, aku jadi sering membuat orang-orang di sekitarku menjadi sedih bahkan menangis terisak-isak. Padahal aku selalu berusaha terlihat kuat di depan mereka. Semua itu hanya bisa membuatku tambah terpuruk, semangat tidak sama sekali.
Naruto lalu beranjak dari tempat duduknya, ia memperhatikan laptopku yang sedari tadi kubiarkan menyala. “Kau sering meng-update blog-mu ya, Sakura-chan? Aku sering membacanya lho, yang paling aku suka itu yang judulnya ‘Aku Ingin Terbang’.”
Aku jadi malu sendiri, tulisan yang berjudul ‘Aku Ingin Terbang’ itu adalah hasil goresan tanganku yang paling konyol di sana karena terlihat ngeyel dan mustahil; isinya pun standar. Delusiku yang tingkat tinggi itu benar-benar terlihat gila. Entah setan apa yang merasuki Naruto hingga ia terpukau dengan tulisanku yang aneh bin ajaib itu. Belum lagi personifikasi dan metaforanya yang sangat hiperbolis. Aku saja yang membuatnya ketika membaca sering terpingkal-pingkal sendiri.
Kemudian Naruto berada di depanku sembari berlutut, “Aku bisa membawamu terbang, Sakura-chan!”
“E-Eh?” Aku tercenung seketika. Apa yang ia maksud?
“Aku memang tak memiliki sayap, tapi aku bisa membawamu terbang tanpa sayap hehehe.”
Seperti biasa Naruto selalu bergurau padaku. Apalagi dibarengi dengan senyuman ala kudanya, mana bisa dipercayai kata-kata itu.
“Aku ingin mengajak kau ke suatu tempat, Sakura-chan. Aku sudah minta izin pada ibumu dan beliau mengizinkan. Tapi aku masih merahasiakan tempatnya padamu.”
Aku jadi tambah penasaran. Memang selama sakit kerjaanku hanya berada di sekitar rumah, rumah sakit, lalu pusat perbelanjaan. Untuk ke tempat lain bukannya aku enggan, tapi juga harus disesuaikan dengan kondisiku.
“Tenang saja, Sakura-chan. Kujamin kau tidak akan kelelahan, karena ada Uzumaki Naruto di sini!” teriaknya lantang penuh semangat sembari menepuk dadanya. “Kau pasti sangat merindukan alam, kan, Sakura-chan? Sekali ini saja, kumohon penuhilah permintaanku.
Alam dan segala yang ada di dalamnya. Angin berhembus dari dinding-dinding kokoh, lalu dibelokkan ke dalam lereng. Dahan pohon-pohon rindang lagi lebat dibuat menari-nari olehnya. Gumpalan awan putih tipis-tipis turun dari tempat asalnya yang tinggi. Mengepung orang-orang yang berdiri dalam ratapan dan mencari keajaiban Tuhan. Sungguh perasaan syukur itu masih terekam dengan jelas dalam otakku. Ketika aku masih bisa menikam segala resah dan gelisah dengan memandangi lukisan asli Tuhan di depan mata.
Dan kini seseorang telah menawarkan seberkas sinar yang sejak dulu aku cari sumbermya. Tujuannya agar sinar itu bisa menerangi hari-hariku yang selama ini gelap gulita. Dan sinar itu adalah pemadangan alam yang asli lagi asri. Seperti warna mata ini…
Aku paham, Naruto sangat berharap agar aku mengatakan ‘ya’. Tak ada ragu, aku pun mengangguk pelan.
“YEAH! Arigatou na, Sakura-chan!” teriak Naruto sembari lompat kegirangan. Ia lantas menggenggam tanganku lagi dengan erat. “Kujamin kau tidak akan menyesal menerima ajakanku! Hehe.”
“Y-Ya.”
“Baiklah, Sakura-chan. Aku pulang dulu ya, jam sembilan pagi besok aku jemput.” Naruto kemudian membereskan barang bawaannya, namun kotak dango dan isinya ia tinggalkan di kamarku. “Tetap semangat, Sakura-chan. Ja matta ashita (Sampai jumpa besok).”
Aku geriap, Naruto dengan cepat mendaratkan ciumannya di dahiku. Ia tersenyum, wajahnya menjadi semerah rambutku. Dan aku tentunya tidak bisa mengutarakan apa-apa. Ingin mengumpat pun niat itu kuurungkan karena menurutku apa yang ia lakukan tidaklah kurang ajar.
Ingin kukatakan padanya jangan pergi dulu, tapi apa daya suara ini tidak dapat keluar sebagaimana mestinya. Lelaki berambut kuning cerah itu pun pergi dari pandanganku. Gerakannya memang sangat cekatan, aku lupa kalau Naruto adalah pemanjat tebing terbaik di klub pencinta alam kami.
Tapi tidak apa-apa, pipiku jadi merona merah lagi. Penasaran…akan Naruto bawa ke mana aku yang setengah tak bertenaga ini. Kalau itu adalah alam, semoga saja ia bisa membawaku ke tempat yang sangat aku ingin kunjungi sejak penyakit ini menyerangku. Yang dulu tak sempat aku ke sana karena begitu banyak kendala. Yang kekhasan aromanya masih kuingat hingga sekarang. Sekali saja aku ingin pergi ke sana, mengulang rentetan memori-memori indah yang masih terekam jelas dalam benakku. Walau bukan dengan orang yang sama.
o0o
Aku sungguh terkejut. Di luar rumah sudah ada dua mobil gunung berwarna merah terang yang menungguku. Sebelumnya ibuku langsung mengantarkanku ke pekarangan saat mobil itu berhenti di depan rumah. Tapi sebenarnya bukan itu yang mengejutkanku, melainkan orang lain selain Naruto yang berada di dalam mobil. Aku tak menyangka ayah dan ibu Naruto juga ikut dalam perjalanan nanti.
Kuperhatikan ibu dan ayahku menyapa Minato-san dan Kushina-san. Sepasang suami istri itu memakai baju safari yang umumnya dipakai untuk berpetualang. Mereka begitu terlihat muda jika dilihat dari umurnya yang sudah kepala empat. Aku jadi dag dig dug sendiri, pasalnya untuk apa Minato-san dan Kushina-san ikut juga? Kupikir hanya aku dan Naruto yang akan pergi.
Ohayou, Sakura-chan. Apa kabarmu hari ini? Sehat, kan?” Kushina-san berdiri di depanku sembari tersenyum.
O­-Ohayou, Kushi-shina-san.” Lalu kubalas dengan anggukkan yang dibarengi senyuman.
“Oh ya, tunggu sebentar, ya.” Wanita berambut merah lebat itu kemudian berbicara pada Naruto. “Naru-chan, sudah selesai? Kita berangkat sekarang!” teriaknya. Lalu ia kembali berbicara padaku. “Sudah siap, kan, Sakura-chan?”
Aku tersenyum sembari mengangguk. Kulihat Naruto berjalan ke arahku.
“Hai, Sakura-chan. Aku bantu masuk ke mobil, ya?” Lantas ia mengangkat tubuhku dari kursi roda dengan hati-hati sekali. Kemudian dengan pelan-pelan pula ia memasukkan tubuhku ke dalam mobil. Aku ditaruhnya di jok sebelah pengendara, dan sudah kuduga yang mengendarai mobil ini adalah dirinya. Minato-san dan Kushina-san menaiki mobil yang satunya lagi.
Aku perhatikan Naruto, Minato-san dan Kushina-san berpamitan pada ayah dan ibuku. Kemudian mereka mulai berjalan memasuki mobil masing-masing. Kusadari ayah dan ibu menatapku dengan wajah sumringah.
Ki o tsukete (Hati-hati), Sakura-chan,” ucap ibu sembari melambaikan tangan padaku. Melihat matanya yang berkaca-kaca aku jadi merasa ada yang aneh. Padahal aku hanya pergi dari rumah sebentar, tapi ini seperti akan lama saja. Yang kulakukan akhirnya membalasnya dengan lambaian tangan pula. Dan tak kugubris airmuka sedih tapi senang itu.
o0o
Hijau, seperti warna korneaku yang selalu kusyukuri karena memilikinya. Akhirnya—setelah kurang lebih dua jam perjalanan—hanya warna itu yang nampak sejauh mata memandang. Dan sedikit demi sedikit aku memiliki bayangan ke mana Naruto membawaku pergi. Dari jauh terlihat permukaan tanah menjorok ke langit. Warnanya biru tua, kontras dengan warna langit Shizuoka yang terlihat cerah. Ya, kami telah sampai di Shizuoka.
Aku menggermang, tak kusangka Naruto mengajak ke tempat yang sangat aku rindukan ini. Tempat di mana dulu pernah kudaki sampai ke puncaknya. Lalu melihat fajar menyingsing di sana, sebuah momen yang tidak akan pernah kulihat di kota besar macam Tokyo yang semrawut. Tempat elok itu nirwananya dunia…Gunung Fuji.
“I-Ini…”
“Ya, selamat datang di kaki langit Shizuoka, Sakura-chan. Selamat datang di Gunung Fuji.”
Getaran di tubuh ini tiba-tiba menjadi hebat. “K-Kit-ta a-akan men-ndak-ki?”
“Tidak, Sakura-chan. Masih ingat pepatah ini? ‘There are two kinds of fool: those who have never climbed Mount Fuji, and those who have climbed it more than once’. Hehehe. Dulu Aozora juga datang ke sini hanya bertamasya di Bukit Hoshi. Dan mengingat keadaanmu juga, aku tak mau mengambil risiko.” jelasnya. Sepertinya Bahasa Inggris Naruto makin bagus saja. Memang sebagai pengusaha, sepertinya ia dituntut untuk bisa bicara dalam Bahasa Inggris oleh ayahnya.
Ada benarnya juga yang Naruto katakan, selain itu aku juga tak mau lebih jauh merepotkan. Untuk diajak ke sini saja aku sudah sangat senang.
Tak berapa lama semakin tinggi jalan yang kami lewati, penuh dengan bebatuan. Jalannya memang tak terlalu ramai di hari biasa. Kemudian mobil masuk ke jalan setapak yang dikelilingi pohon yang rindang lagi lebat. Aku langsung kenal hutan ini, ini adalah Hutan Aokigahara. Hutan yang nyatanya paling sering dijadikan warga sekitar untuk bunuh diri. Namun bagiku hutan ini sangat indah. Berarti kita sudah berada tepat di lereng Gunung Fuji.
Setibanya di tempat tinggi—yang sepertinya adalah Bukit Hoshi—Naruto mematikan mobil, lalu memalingkan wajahnya kepadaku. “Kita keluar sekarang ya, Sakura-chan.” Ia keluar dari mobil dan menggendongku keluar juga dari arah pintu jok tempatku duduk.
Hanya berjalan sebentar ke pinggiran bukit, Naruto menurunkan tubuhku ke rumput hijau di bawah. Aku memintanya untuk tak perlu mengeluarkan kursi rodaku, aku ingin duduk di permadani alam yang selama dua tahun ini tak pernah kulihat. Ia kemudian meminta izin untuk ke mobil sebentar yang diletakkan tak jauh dari tempatku duduk. Katanya ada yang ingin ia bawa ke sini.
Aku menyedarkan pandangan ke daerah sekitarku. Panoramanya menyegarkan mata, di bawah sana terlihat barisan rapi pepohonan Hutan Aokigahara yang membentang melingkari Gunung Fuji. Tapi hanya bagian atas pohonnya saja yang terlihat, kalau untuk melihat lebih dalam ke sana, aku harus duduk ke tepian bukit. Sembari menunggu Naruto, terdengar suara mobil lain datang. Aku pun menoleh ke belakang, ternyata itu adalah Minato-san dan Kushina-san. Mereka langsung berjalan ke arah Naruto sekeluarnya dari mobil. Mereka bertiga terlihat bercakap-cakap, tapi itu pun tak lama. Naruto segera menghampiriku lagi dengan membawa alat semacam seat harness (semacam pelindung tubuh dan seatbelt untuk panjat tebing dan parasailling), helmet, dan tas besar yang biasanya ia gunakan pada saat mendaki. Lalu ia duduk di sebelahku sembari meluruskan kakinya.
“Sakura-chan, kita terbang bersama, yuk!”
Aku menatapnya termangu. Lagi-lagi ia melontarkan sendaannya padaku. Baiklah, aku pun akan mengikuti permainannya kali ini. “B-Bol-leh, i-itu p-pun ka-kalau k-kau m-mampu,” ujarku sembari menjulurkan lidah.
Naruto tertawa terpingkal-pingkal, mungkin karena tak menyangka balasanku bakal seperti itu. Rasanya sudah lama tak bersenda gurau dengannya. “Kalau aku mampu, kau akan memberiku apa? Kita taruhan, ya? Hehe.” Ah, inilah yang kutunggu-tunggu.
“A-Aku a-akan m-menik-kah d-denganmu,” ucapku dibarengi dengan cengiran kecil.
Mendengarnya Naruto mematung seketika seperti orang yang mati berdiri. Tapi itu tak lama, ia malah tertawa terbahak-bahak setelahnya. Artinya dia menganggap ucapanku hanya candaan saja. “Kalau aku tidak bisa membawamu terbang bagaimana?” tanyanya lagi.
Aku memutar otak mencari jawaban yang tepat. “K-Kau h-harus m-meng-ngurusiku s-selama sebul-lan pe-penuh.”
“Maksudmu menjadi pembantumu selama sebulan?”
Aku menahawan tawaku, kalau kulepaskan  aku takut sakit perut. Ekspresi Naruto benar-benar lucu. Alisnya terangkat, mulutnya terbuka lebar, pasti dia tak menyangka aku bisa berbicara seperti itu padanya. Lagi-lagi yang ia lakukan hanyalah tertawa menanggapi omonganku.
“Baiklah kalau itu maumu.” Ia mencubit pelan kedua pipiku. “Oh ya, sekarang kau pakai baju ini ya biar tidak kedinginan, lalu sepatu ini, helmet ini, dan seat harness. Kubantu mengenakannya ya?”
Aku terperangah ketika ia menyebutkan alat-alat itu satu per satu. “I-Ini k-kan—”
“Kemarin sudah kubilang, kan? Aku memang tak punya sayap, tapi aku bisa membawamu terbang, Sakura-chan. Karena itu kita akan terbang dengan itu…,” ucapnya sembari menunjuk ke belakang. Ternyata di sana sudah terbentang parasut yang biasa di pakai untuk parasailing. Minato-san dan Kushina-san yang menyiapkannya.
Lagi-lagi aku takjub dengan kejutan yang Naruto berikan. Belum melayang di udara saja jantungku berdegup kencang bukan main.
“Tenang saja, Sakura-chan. Aku akan menjagamu, kujamin kita akan selamat mendarat.”
Rupanya perasaan cemasku terbaca oleh Naruto. Tapi aku bungkam, entah mengapa setelah mendengar ucapannya aku jadi merasa lega, malah makin menggebu-gebu ingin mencoba olahraga ekstrim ini. Lalu dengan cepat ia memakaikan semua peralatan parasailing di tubuhku. Ia pun memeriksanya beberapa kali untuk memastikan apa seat harness, helm, sepatu sudah terpasang dengan betul. Lantas tali dari parasut pun disambungkan dengan seat harness­-nya.
Kulihat Naruto sedang memperhatikan suatu alat yang ada di tangannya. Sepertinya itu adalah windmeter, alat untuk mengukur kecepatan angin. Ia lalu menggantung alat itu di ikat pinggang seat harness. Rupanya di sana juga ia menggantungkan beberapa alat seperti handy talky, GPS, handycam dan variometer.
“Sip, kecepatan anginnya pas,” ujar Naruto. Ia kemudian menyambungkan rantai yang ada di seat harness kami masing-masing karena kami akan terbang bersama dengan satu parasut. Ia kemudian menggendong tubuhku dan berjalan ke pinggiran bukit yang langsung mengarah ke dalam lereng Gunung Fuji. Lalu aku diletakkan berdiri, ia menggenggam dan menopang tubuhku bersender di tubuhnya agar aku tak terjatuh. Kami berdiri benar-benar di tepi bukit, tinggal berjalan selangkah sudah pasti langsung jatuh ke sana.
Aku memperhatikan pemandangan di lereng, benar-benar indah, aku tak sabar untuk menjelajahinya dari langit sana.
“Siap, Sakura-chan?”
Aku mengangguk cepat, lalu berdoa dalam hati pada Tuhan semoga ini bisa berjalan dengan lancar.
Kemudian Naruto menoleh ke belakang. Memberikan aba-aba pada ayah dan ibunya. “Siap, Otou-san!” teriaknya sembari mengangkat tangan kanannya. Kemudian Minato-san dan Kushina-san membentangkan parasut—yang tadinya diletakkan di tanah—ke udara. Angin yang cukup kuat pun membuat parasut itu mengembang. Dan…
WUUUSSSHHH…!
Parasut mengembang, terbang terbawa angin. Kami pun mulai terbang melayang di atas lereng Gunung Fuji.
Aku ingin berteriak kencang ketika terpaan angin Gunung Fuji menghantam wajahku dengan keras. Asik rasanya. Sama sekali tak kututup mata ini walau begitu tingginya aku dan Naruto melayang di langit Shizuoka. Karena aku tak takut dengan ketinggian, semakin tinggi aku melayang rasanya senang bukan kepalang.
Hutan Aokigahara yang begitu terlihat hijau bak permata zamrud. Angin membawa kami semakin mendekat padanya. Terlihat kelinci-kelinci liar—yang tak kalah lucunya dengan peliharaanku di rumah—berlari-lari dengan teman-temannya, seperti sedang bermain.
Say hi, Sakura-chan!” teriak Naruto sembari menyodorkan ­handycam di depan mataku. Ya ampun, dia masih sempat-sempatnya merekam momen mengasyikkan ini. Tapi sudahlah, aku malah bergaya di depan handycam dengan centilnya. Naruto hanya tertawa melihat aksiku.
Lantas Naruto memutar ke kanan tali parasut bagian kiri sehingga kami pun berbelok ke arah kanan. Dan ternyata di bagian kanan lereng, pemandangannya lebih elok lagi. Tampak danau Yamanaka dan Kawaguchi yang dikelilingi oleh ilalang raksasa berwarna emas. Mereka meliuk-liuk indah di terpa angin lereng. Di sebelah baratnya tampak perkebunan teh penduduk sekitar. Aku benar-benar tergugah dengan panoramanya.
“Yuhuuuuu…!!! Bagaimana Sakura-chan? Aku bisa membawamu terbang, kan?” teriak Naruto bangga.
Ya, tak ada sayap, parasailing pun jadi. Naruto juga terlihat mampu dan mengenal seluk beluk lereng ini karena sepanjang aku memandang ke bawah, pemandangannya selalu indah. Dia pintar memilih direksi, dan mengarahkan parasut dengan teliti. Sepertinya bukan pertama kalinya ia melakukan olahraga esktrim ini. Tak semua kelompok pencinta alam Aozora dapat melakukannya, aku tahu itu.
“Sebentar lagi kita mendarat di sana, Sakura-chan!” teriaknya sembari menunjuk ke bawah. Naruto buru-buru menyangkutkan handycam­ di belt seat harness-nya. Ah, rasanya terlalu cepat untuk mengakhiri bahagia ini, aku ingin terbang lebih lama lagi. Hanya sekitar sepuluh menit kami mengudara.
Kuperhatikan di sana ada lingkaran merah berdiameter besar. Ada beberapa orang di sana yang melambaikan tangannya ke arah kami. Semakin dekat jaraknya semakin aku bisa melihat dengan jelas. Ternyata mereka…
“Kita mendarat, Sakura-­chan. Lima…empat…tiga…dua…satu!”
Sontak aku menutup mataku saat hamparan tanah berada di depanku. Naruto cepat-cepat menjatuhkan tubuhnya ke tanah lebih dulu dariku sehingga aku berada tepat di atas tubuhnya. Kami tersungkur keluar dua meter dari dalam lingkaran. Aku pun membuka mataku perlahan, dan saat itu pun aku menyadari aku memeluk tubuh Naruto dengan erat. Kepalaku bersandar di atas dadanya.
“Hei, kau tidak apa-apa, Sakura-chan?” Naruto mencoba bangkit dari tanah. Orang-orang yang ada di sana membantu melepas seat harness dari tali parasut yang terpasang ditubuhku dan Naruto. Aku memperhatikan orang-orang itu sembari mencoba duduk dan kembali bersandar di tubuh Naruto. Ternyata benar, orang-orang itu adalah teman-teman yang sudah lama tak aku jumpai. Ada Hinata, Kiba, Neji-san, dan Sasuke-kun! Tak kusangka Sasuke-kun ada di sini juga.
“Hei, Sakura-chan, masih ingat dengan taruhan kita, kan?” tanya Naruto sembari mengangkat daguku perlahan, cengengesan seperti orang gila. Tiba-tiba ia mengangkat tangan kanannnya. Ada suatu benda yang sedang ia genggam di sana, warnanya perak melingkar dengan permata zamrud menghiasi bagian atasnya. Aku tercenung menatapnya
Will you marry me?”
Sejurus kutatap lekat-lekat mata azure yang menatapku dengan pancaran sejuta cinta yang sulit diuraikan satu per satu dengan kata. Kini aku tak bisa memungkirinya lagi, aku ingin lebih sering bersama dengan sahabat kecilku itu setiap waktu. Dan aku benar-benar tak menyangka Naruto akan melamarku dengan cara seperti ini. Amazing!
Aku tertawa sembari menangis tersedu-sedu. Kurapatkan wajahku ke dadanya karena malu.
“Jadi, jawabannya, Sakura-chan?” tanyanya tak sabaran.
Aku menatap wajahnya sebentar kemudian menaruh kepalaku lagi di dadanya. “T-Tentu s-saja a-aku ma-mau, B-Baka (Bodoh)!” teriakku sembari memukul dadanya, manja. Lalu kudengar suara riuh teman-temanku yang bertepuk tangan. Aku memandang mereka satu per satu dengan mengembangkan senyumanku.
Semuanya terasa begitu indah sampai aku merasakan tetesan air mengenai dahiku. Kupikir itu hujan. Maka aku perhatikan langit Shizuoka yang tak ada mendung-mendungnya. Terheran-heran sendiri, kutatap lelaki yang sedari tadi menjadi sandaran tubuh lemah ini. Ternyata air itu jatuh dari mata seorang lelaki yang akan segera menjadi suamiku itu. Entah haru biru, atau tangis bahagia, kubawa saja tangan kiriku untuk menghapus airmata di kedua pipinya. Lantas dia mencium keningku.
“Yang kuat, Sakura-chan. Aishiteru yo, boku ga soba ni iru kara (Aku cinta kamu, maka dari itu aku akan selalu berada di sampingmu),” ucap Naruto terisak-isak. Ia mempererat dekapannya padaku.
“A-Aku j-juga m-mencintai-imu, N-Nar-ruto.” Aku ikut menangis pula, hanyut dalam kehangatannya yang telah menguatkan diri ini. Ya, sekarang aku punya alasan untuk hidup. Aku memiliki alasan untuk berjuang melawan penyakit ini. Karena ada seseorang yang bisa menerimaku apa adanya, memperlakukanku seperti wanita yang paling sempurna di dunia. Terlebih Naruto bersedia menanggung beban ini di pundaknya juga.
Tak akan kubiarkan Naruto pergi, sahabat kecilku … teman hidupku…
Di bawah kaki langit Shizuoka, kami mengikat janji, bahwa hanya kematian yang bisa memisahkan kami….
.
.
SELESAI
.
.
Oh ya, mohon maaf update fanfic saya yang lain lagi-lagi terbengkalai. Saya lagi fokus sama pembuatan novel pertama saya ^^v, doakan saja cepat selesai jadi saya bisa lanjutin fanfic2 saya hehehe. Kalau ada yang mau tahu apa novel yang sedang saya buat bisa lihat di blog saya yang ada di profil ^^.
Btw, saya bukan anak pecinta alam. Untuk parasailing-nya saya melakukan riset kecil-kecilan dan terlihat ngasal ^^a.
Untuk kalian yang ingin mengenal Nabila dan ingin mengetahui apa itu Motor Neuron Disease, kunjungi saja blog-nya di www.nabilanurjanida.tumblr.com. Dia adalah motivator saya ^^.