Thursday, 27 September 2012

Behind The Story: Draft Novel Kedua :D


Hai, Guys.
Dah lama nggak curcol di sini. Seperti biasa, saya mau curcol kegiatan saya.
Saya sedang fokus ke sripsi dan draft novel kedua saya. Sembari menunggu konfirmasi dari penerbit itu, saya memutuskan untuk menulis novel lagi. Mumpung semester ini saya kuliah cuma tiga mata kuliah, sisanya diisi sama les 2 x seminggu. Jadi waktu kosong ini saya isi sama skripsi dan draft novel kedua.
Untuk novel kedua in genrenya Romance, Family, adan Friendship.
Kalau yang Asteralina lebih fokus ke Family. Novel kedua saya ini lebih fokus ke Romance. Ceritanya bukan drama lagi, tapi mengandung Angst tingkat akut hehehe.
Judulnya W (Double-U)
Ini cuplikannya

            Tirai merah meminggir di kedua sisi dinding. Menampakkan sebuah layar putih polos yang membentang di belakangnya. Di ruangan seluas 6 x 5 meter itu, 20 orang duduk di dalam.
            Sekumpulan mata-mata memandangi layar putih polos itu dengan khusyuk saat sebuah gambar mulai muncul dari sana. Pita film pun mulai bergulir dari satu menit… Dua menit… Sepuluh menit… Sampai menit ke 20, adegan sengit mulai muncul.
            “Ngapain kamu tiba-tiba hadir dihidup aku, hah?! Kamu mau balas dendam sama Upi? Nggak akan berhasil! Aku udah tahu rahasia busuk apa yang kamu punya! Jadi nggak usah pura-pura bersikap manis di depan aku!” seorang cewek mengeluarkan segala emosinya pada seorang cowok di depannya yang tingginya lebih menjulang daripada dirinya.
            Cowok itu mengernyit. “Aku nggak ngerti maksud kamu apa, Te. Aku ke mari mau pamit pergi ke Jakarta sama kamu. Nggak ada maksud macam-macam,”
            “Ayah kamu kan yang membuat keluarga Upi hancur berantakan? Tunggu… Kamu mau ke Jakarta? Bukannya tangan kamu luka?!”
            “Tahu dari mana kamu tangan aku luka? Padahal aku tutupi biar kamu nggak tahu.”
            “Ya iya dong aku tahu! Aku dan Upi yang bayar orang-orang itu buat babak belurin kamu! Biar kamu tahu rasa!”
            Sang cowok terhenyak. Sebuah kotak manis berwarna merah jambu yang ada di tangannya terlepas dari genggaman. “J-jadi kamu dan Upi yang—k-kenapa?” nada kepedihan membuncah dari bibirnya. Matanya membentuk serpihan kaca berair.
Cukup bikin penasaran?
Ditunggu saja ya, Guys.


Saturday, 15 September 2012

Naruto Fanfiksi: Aku Mengerti


Aku Mengerti
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: Canon. Alternate Reality. Romance/Drama. T. Drabble.
Characters: Sakura dan Naruto.
Major spoiler Manga & Road To Ninja Movie
            Buat fic ini dalam rangka apa ya? Dalam rangka iseng-iseng :D. Saya lagi mumet sama laporan magang saya, jadinya saya nulis nih. Oh ya, fic ini sebagian terinspirasi dari Road To Ninja Movie.
            Selamat Membaca ^^
.
.
            Pada awalnya aku tidak mengerti, dan memang tidak berniat untuk mengerti. Meski aku sering bertanya-tanya dalam hatiku, mengapa kamu begitu nakalnya sampai membuat repot seisi Konohagakure. Tapi aku tidak terlalu peduli, aku harus menjauhimu karena kamu selalu membuat kacau mood-ku dengan guyonanmu yang jauh dari kata lucu.
Berandal! Ibuku pun mengataimu begitu.
Aku malah menyimpulkan dengan persepsiku sendiri. Mungkin saja kenakalanmu itu disebabkan karena dirimu yatim piatu. Sehingga tidak ada yang mengajarimu sopan santun, dan bersikap manis sepertiku. Tapi apakah itu membuatku mengasihanimu? Tidak sama sekali! Itu karena sikapmu yang nakal dan sering mengganggu Sasuke-kun.
Aku mencibirmu seperti itu di depan Sasuke-kun. Dan kau tahu apa yang Pangeranku itu lakukan? Ia langsung menghardikku dengan sengit.
 “Kamu menyebalkan!
Pada saat itu rasa bersalah pun menguap dari hatiku. Apakah ini yang kamu kecap setiap saat aku mencemoohmu? Apakah sesakit ini? Aku pun memutuskan untuk mulai mengerti.
.
.
Dia telah pergi, Naruto.
Dan kamu tahu? Tak hanya jiwa, namun ragaku pun dibuatnya remuk. Aku sekarang ibarat berjalan dijalan yang bercabang-cabang, tak tahu jalan mana yang harus kujelajahi. Hampa itu sampai merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupanku. Aku tidak yakin bisa hidup tanpa dirinya di sisiku. Aku membutuhkan Sasuke-kun lebih dari apa yang diketahuinya. Aku membutuhkan seberkas cahaya yang memberiku petunjuk untuk meraih bintang.
Dan seberkas cahaya itu kupercayai adalah kamu, Naruto. Aku memohon kepadamu untuk membawanya kembali ke Konoha karena aku tidak bisa meyakinkan Sasuke-kun untuk tetap berada di desa. 
“Ini adalah janji seumur hidupku,” kamu bilang.
Aku tidak tahu jika janji itu nantinya akan membebanimu. Ibarat ditugaskan untuk membelah bulan. Dan aku juga tidak mengerti betapa kamu sangat ingin menepati janjimu itu.
.
.
Sai telah mengutarakan semuanya padaku, Naruto. Tentang cinta tak berujungmu padaku. Tentang kutukan itu yang membuat berat beban di pundakmu. Janji seumur hidupmu. Dan aku yang membuatmu berjanji kepadaku.
Terlebih Sasuke-kun yang telah masuk menjadi anggota Akatsuki. Semua ini memporak-porandakan akal sehatku.
Aku belum mengerti pada saat itu.
Karenanya aku ingin memperbaikinya. Aku ingin melepaskan kutukan itu dari hidupmu. Aku ingin kita berbagi beban—bukan, aku ingin beban itu beralih ke pundakku. Aku ingin menunjukkan pada dunia bahwa aku bukan gadis selemah dulu. Maka dari itu aku mencoba untuk mencintaimu dan mengutarakannya padamu. Meski aku tidak yakin dengan perasaanku sendiri karena hati ini masih menjadi milik-nya. Aku mencoba mengerti akan kesulitan yang kamu hadapi.
Dan aku memutuskan untuk menghabisi-nya.
Tapi apa yang kamu lakukan? Aku tidak menyangka kamu menolakku, Naruto. Kamu bilang aku berbohong, padahal sudah kutanggalkan semua masa lalu indahku untukmu seorang. Untuk menyelamatkanmu dari lubang neraka. Menawarkan sebuah kotak kebahagiaan yang kamu impi-impikan. Kamu sangat menginginkan aku membalas cintamu, kan?
Semua ini aku lakukan untukmu. Tapi kamu mengenyahkan tawaran dariku. Aku tidak sepenuhnya berbohong; aku ingin belajar mencintaimu! Karenanya aku berani berhadapan dengan Sasuke-kun untuk menyelesaikan akar dari semua masalah ini. Namun ternyata aku tak mampu…tak mampu untuk membunuhnya, cinta pertamaku. Sulit rasanya berdiri di antara dua pilar. Ternyata aku masih selemah daun putri malu yang mengatup jika terkena sentuhan.
Dan yang tak kusangka Sasuke-kun berniat sekali ingin membunuhku. Matanya pekat mengandung amarah dan kebencian. Tubuh ini menjadi lemah, tak tahu mengapa menjadi rela untuk dihancurkan. Namun lagi-lagi kamu menyelamatkan aku, Naruto.
Aku tidak mengerti mengapa lagi-lagi kamu menetapkannya sendiri, bahwa kamu akan mengubur dirimu sendiri bersama dengan kebencian Sasuke-kun. Aku tahu Sasuke-kun sangat berharga bagimu, ia telah kamu anggap sebagai saudaramu sendiri. Hanya saja aku merasa ada yang belum aku bisa mengerti.
Tapi aku percaya padamu, Naruto. Aku tahu aku tidak bisa merubah Sasuke-kun, mungkin karena aku tidak mengenalnya dengan baik. Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi padanya.
Dan kamu sepertinya mengerti, Naruto. Kalau begitu kuserahkan padamu.
Namun aku pasti akan menjadi lebih kuat dan membantumu. Kamu tidak sendirian. Itu yang harus kamu tahu.
.
.
Aku berada di dunia yang tidak aku mengerti. Setiap jalan yang kutapaki terasa berada. Dan aku pun bersedih karena suatu hal. Aku jadi mengharapkanmu berada di sisiku, Naruto. Tapi aku tahu ada yang lebih menarik perhatianmu sekarang dari pada menghadapi seorang gadis yang memerlukan kata-kata penyemangat diri.
Yang yang tidak kusangka malah Sasuke-kun yang datang ke rumahku. Memberiku bunga mawar merah yang elok sekali.  Menanyakan mengapa air  mukaku terlihat muram, dan menawarkan diri bahwa aku bisa bercerita padanya tentang masalahku kapan saja. Namun ternyata yang kutemukan bahwa ia bergelayut mesra dengan penggemarnya yang lain. Dan mengatakan hal serupa itu pada penggemarnya.
Mengapa di dunia nyata dan ilusi pun Sasuke-kun mengkhianatiku? Aku tidak mengerti.
.
.
Rasanya tidak memiliki orangtua itu menyakitkan bukan, Naruto? Kini aku tak lagi merasa simpati. Kali ini aku benar-benar mengalaminya. Aku tidak menyangka bisa masuk ke dunia ilusi ini dan menemukan bahwa orangtuaku meninggal karena insiden penyerangan Kyuubi 16 tahun yang lalu. Aku sendirian, Naruto. Sama seperti yang kamu rasakan.
Tapi kamu…kamu bertemu dengan kedua orangtuamu di sini. Aku bisa melihat raut bahagia—yang belum pernah kulihat sebelumnya—yang terpahat di wajahmu. Bersenda gurau dengan kedua orangtuamu dalam suasana tak terduga. Merayakan hari istimewa yang biasa kamu rayakan seorang diri.
Betapa bodohnya aku yang pernah mengatakan bahwa orangtuaku sangat menjengkelkan, ternyata aku memang sangat membutuhkan mereka. Dan di dunia ini mereka tidak ada. Aku meratap pada langit, mengapa aku mengalami hal menyakitkan seperti ini?
Dan aku benar-benar mengerti bagaimana sakitnya, Naruto. Jadi seperti inikah hidup yang kamu alami selama ini? Bangun tidur tanpa suara orangtua yang mengomel agar kamu beranjak dari kasur. Makan sendiri tanpa harus berbagi. Semuanya dilakukan sendiri dengan kedua tangan dan kakimu. Memang kebebasan itu memihak padamu, tapi aku yakin tidak ada seorang pun yang menginginkan kebebasan yang seperti ini. Aku yang dulu pernah mencemoohmu karena tidak memiliki orangtua, akhirnya terkena getahnya.
Aku ingin mengajakmu mencari cara agar bisa kembali ke dunia kita, Naruto. Tapi aku tidak tega, kamu tampak senang berada di sini. Karena aku memang ingin kamu merasakan bahagia. Kebahagiaan yang sebelumnya tidak pernah mampir ke dalam kehidupanmu. Aku pun mencari cara seorang diri tanpa melibatkan dirimu. Aku tidak mau menjadi perenggut kebahagiaanmu. Cukup sudah aku selalu menjadi beban bagimu.
Sampai seorang musuh menyerang desa kita. Aku menyerangnya seorang diri tanpa kamu ketahui. Hanya saja penyeranganku tak berhasil, aku malah disandra olehnya untuk memancing keluar dari desa—menyelamatkanku.
Orangtuamu memintamu untuk tetap tinggal di desa. Tidak perlu mengindahkan apa yang musuh itu katakan karena itu lah yang ia inginkan untuk menghancurkanmu. Ia mencari titik lemahmu dan menyerang tanpa pandang bulu. Dan yang kamu lakukan adalah harus menerima kenyataan bahwa seperti inilah kehidupan di dunia shinobi. Bahwa ada yang harus dikorbankan demi meraih apa yang diasakan. Kamu pasti mengerti, kan, Naruto?
Namun aku tidak menyangka bahwa kamu lebih memilih menyelamatkanku dibandingkan menuruti kata-kata orangtuamu. Apakah karena kamu tahu dunia ini hanyalah ilusi? Ah, aku tahu, bukan hanya itu. Aku mengerti, Naruto. Aku mengerti ternyata kamu….
.
.
Kita kembali ke tempat yang memang seharusnya menjadi pijakan kita selama ini. Kita telah kembali ke dunia yang kita miliki. Tanpa harus merasa asing di dunia sendiri. Tanpa harus merasa khawatir bahwa kita masing terperangkap di sangkar ilusi. Karena kita telah terbang bebas.
Namun rasa pedih itu tetap menghantuiku. Memutarbalikkan pikiranku sampai kepalaku bak dihantam palu berkali-kali. Aku tidak percaya bisa mengalami takdir yang sangat mengerikan itu.
Kamu pun menyadarinya dan mencoba menghiburku.
“Mau kencan denganku? tanyamu.
Kujawab, bukankah kita sudah kencan dalam waktu yang cukup lama.
Itu bukan kencan, Sakura-chan. Itu adalah petuala—eh?
Aku pun memotong kata-katamu dengan mencumbu cepat bibirmu.
“Aku mengerti, Naruto. Aku mengerti bagaimana rasanya hidup sendirian di dunia ini. Mulai sekarang aku akan selalu berada di sisimu.” Air mata menjeram di kedua pipiku.
Dengan wajah merah padam, aku berbalik arah . Cepat-cepat beranjak dari sana, namun langkahku terhenti ketika aku merasakan tangan yang melingkar di pinggangku. Lalu bisikan hangat yang tertangkap indera pendengaranku.
“Terima kasih karena telah mengerti, Sakura-chan.”
Aku pun berbalik arah. Memberikanmu pelukan serupa, namun yang lebih erat.
“Dan aku mengerti ternyata kamu sangat mencintaiku.”
.
.
Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya…hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya (Harper Lee in To Kill a Mockingbird)
THE END


Saturday, 8 September 2012

Naruto Fanfiksi: I'm Your Angel Chapter 2 (Discontinued, mau dibikin novel)


I’m Your Angel
Naruto © Masashi Kishimoto
Angel Duster © Susugi Sakurai
Warning: AU. Rated T. OOC. Multichapters. Angst/Romance/Fantasy.
Main Characters: Sasuke and Hinata.
And some NaruSaku, ItaIno.
         
            Selamat membaca ya ^^

            Summary: Hinata, malaikat yang dijuluki sebagai Evening Star karena merupakan malaikat terakhir yang sampai sekarang belum selesai mengerjakan tugasnya. Tugas para malaikat adalah membuat semua manusia di muka bumi bahagia sebelum pergantian tahun baru. Namun Hinata gagal sebelum itu. Akhirnya Kami memberikan tugas terakhir yang lumayan berat padanya. Yaitu menghilangkan kepedihan yang sedang dirasakan seorang pemuda bernama Uchiha Sasuke. Pertama yang ia lakukan tentunya mencari tahu apa yang membuat Sasuke mengalami lara berkepanjangan. Tapi harus sebelum hari pergantian tahun yang akan datang seminggu lagi. Kalau tidak Hinata akan…
.
.
Oh my soul is dying,
It's crying
I'm trying to understand 
Please help me           
(How Could An Angel Break My Heart – Tony Braxton)
.
Chapter 2
Bunga Tidur
.
.
            Malam melipur, dan pagi menjelang. Namun langit masih dikuasai warna kelabu yang membaur dengan jingga yang remang-remang. Bekas malam masih belum mau beranjak berganti singgasana dengan pagi.
Meski jam kerja masih lama untuk dimulai, Haruno Sakura selalu menyempatkan diri untuk bangun pukul 5 pagi. Duduk di atas kasurnya seraya memandangi daun jendelanya yang masih tertutup tirai. Menunggu bagi kebanyakan orang adalah hal yang membosankan, tapi untuk hal ini, Sakura tak pernah mempermasalahkannya. Karena ia sedang menunggu matahari merangkak naik, menunjukkan kuasanya pada pagi di belahan langit timur. Ia sedang menunggu dirinya.
Dirinya yang seperti matahari terbit.
            Seberkas cahaya tipis pun masuk melalui sela-sela jendelanya. Sakura tak ragu lagi untuk membuka jendela.
            “Ohayou, Naruto,” lirihnya. Kemudian Sakura membawa tangannya untuk mengelus perutnya yang membesar itu. “Berikan salam sama Otou-san, Nak,” ucapnya mengembangkan senyum. Tak berapa lama ia merasakan gerakan lembut dari dalam perutnya. Sakura pun tersentak kaget.
            Ini adalah pertama kalinya janin di dalam perutnya bergerak. Senyuman Sakura pun semakin melebar diiringi buliran air mata yang mengalir dari matanya yang sehijau wilayah Khatulistiwa. 
            “Harusnya kau juga bisa merasakan gerakan pertama anak kita ini, Naruto.”
            Sakura meratap.
            “Apakah matahari akan menyampaikan pesanku untukmu? Kau berada di langit belahan mana?”
            Sebuah pertanyaan yang tidak pernah dijawab oleh siapa pun.

.
o0o
.
            Teluk Odaiba…
            Dan seorang perempuan berwajah pucat pasi yang berdiri di tepiannya.
            “Sasuke…maafkan aku. Biarkan aku pergi. Aku tak pantas untukmu.”
            Peluh membasahi kening Sasuke. Jiwanya berada di tempat lain, namun raganya masih tergolek di tempat tidurnya.
            “Ada apa ya?” Hinata yang masih berada di sana, memperhatikan Sasuke dengan raut cemas.
            “Jangan gegabah! Cepat turun!”
            Tubuh Sasuke menggelepar seperti ikan yang tergeletak di daratan—lepas dari habitat airnya.
            “Aku mencintaimu, Sasuke. Kau harus ingat itu.”
            “Bohong! Kalau kau mencintaiku, kau tidak akan pernah mau meninggalkan aku!”
            Tubuh Sasuke menyamping, kini ia rasakan sesak di nafasnya.
            “Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa membangunkannya. Aku tidak bisa menyentuhnya,” ujar Hinata yang menggigit bibirnya sendiri.
            “Aku mencintaimu, Sasuke.”
            Wanita itu tersenyum.
            Kemudian terjun bebas ke dalam teluk.
            Tak pernah kembali.
            DRRTT! DRRRT!
            “Hah?” mata hitam itu pun sepenuhnya membuka.
            DRRT! DRRTT!
            Hinata menoleh ke arah sumber suara getaran itu.
            Sasuke menoleh ke samping kanannya. Ia menarik nafas dalam-dalam untuk mengatur nafasnya yang tadi sempat tersengal-sengal. Ia pun mengambil ponselnya itu yang berbunyi. Tertera di layarnya nama seseorang.
            Sasuke memandangi langit-langit kamarnya. Berpikir, apakah ia harus menerima panggilan telepon itu atau tidak.
            “Kenapa tidak diangkat?” tanya Hinata. Meski ia tahu suaranya tidak akan didengar oleh Sasuke.
            Akhirnya Sasuke menerima panggilan telepon itu. “Halo.”
            “Sasuke? Kenapa lama sekali? Kau mimpi buruk lagi?”
            Nafas Sasuke meletup perlahan. “Ya, Nii-san. Terima kasih sudah membangunkanku.”
            “Hm…sepertinya mimpi burukmu semakin sering saja, Sasuke.”
            “Kemarin-kemarin tidak seperti ini, Nii-san. Tidak seperti sebelum…Naruto meninggal,” suara Sasuke mengecil saat menyebutkan nama sahabatnya itu. Bagaimanapun Sasuke tidak akan bisa melupakannya, senja yang penuh darah itu…
            “Apa aku perlu membawamu ke Tsunade-san lagi?”
            “Ah, tidak perlu, Nii-san.
            “…”  Orang di seberang terdiam sesaat. Jika Sasuke menyadari, sebenarnya ada yang sedang orang ini pikirkan. Selang beberapa detik, ia mulai berkata lagi, “Ngomong-ngomong, Sasuke. Aku ingin mengunjungimu sekarang.”
            “Sekarang? Bukankah ini masih pagi sekali, Nii-san?”
            “Dasar tukang tidur, sudah siang, tahu! Coba kau singkap tirai kamarmu!” seru suara dari seberang.
            Sasuke berdecak kesal. Ia masih malas untuk beranjak dari tempat tidurnya. Ia pun membuka tirai jendela, dan langsung mengatupkan mata ketika cahaya matahari menghantam ke wajahnya. “Yang benar saja.”
            “Sasuke… Sasuke…! Kau masih ada di sana?”
            Sasuke kembali meletakkan ponselnya ke daun telinganya. “Ya, Nii-san.”
            “Tolong bukakan pintu apartemenmu.”
            “Eh?” Sasuke berharap ia salah dengar.
            “Tolong bukakan pintu apartemenmu. Aku datang bersama dengan Ino dan Naoki.”
            Sasuke mendesah. Kalau seperti ini ia tidak bisa berbohong lagi. “Baiklah…” Ia pun segera beranjak ke pintu.
            “Mau ke mana?” mata Hinata mengikuti ke mana Sasuke pergi.
            Ketika Sasuke membukakan pintu, ternyata memang benar kakaknya sudah berada di sana bersama dengan istri dan anaknya.
            “Ohayou, Sasuke-kun,” ujar Ino seraya membetulkan posisi Naoki—anaknya yang berumur satu setengah tahun—yang sedang digendongnya.
            “Oci…!” seru si kecil Naoki yang langsung riang melihat wajah pamannya.
            Sasuke terdiam sejenak.
            “Ne, Sasuke. Kau tidak akan terus membiarkan kami di sini, kan?” tanya Itachi setengah bercanda, setengah serius. Masalahnya ia memang sudah menunggu sekitar sepuluh menit untuk membangunkan Sasuke tadi.
            Bibir pucat Sasuke segera mengembangkan senyum. “Hai, Jagoan!” Ia pun merentangkan tangannya ke arah Naoki—berniat ingin menggendongnya.
            Si kecil Naoki memajukan tubuhnya ke depan; Ino pun mengerti, lalu memberikan Naoki kepada Sasuke.
            “Aku baru bangun. Jadi, harap maklum jika apartemenku tampak berantakan. Aku belum sempat membereskannya.” Sasuke memberikan sinyal agar Itachi dan Ino masuk ke dalam. Lalu ketika sampai di ruang tamu, mempersilakan keduanya duduk. Ia sendiri duduk di seberang meja bundar yang memisahkan posisi mereka.
            Naoki menarik lengan baju Sasuke, agar pamannya itu mendirikannya. Kaki kecilnya berjinjit di kedua paha pamannya. Ia kemudian menepuk-nepuk pipi Sasuke seraya mengoceh tidak jelas. Ia ingin bermain rupanya.
            Sasuke tertawa pelan melihat tingkah keponakannya itu. Naoki memang sangat menggemaskan. Ia sangat mirip dengan ayahnya, Itachi, kecuali pada bagian matanya yang berwarna biru muda yang ia dapat dari ibunya.
            “Tolong berikan ini, Sasuke,” Ino menyodorkan botol susu yang masih penuh terisi kepada Sasuke.
            Baru saja Sasuke mengambilnya, Naoki buru-buru meraih botol susu itu. “Kau sangat kehausan, ya?” tanyanya seraya memperhatikan Naoki meminum susunya dengan lahap. “Ah ya, kalian ingin minum apa? Tapi di sini hanya ada air putih.” Sasuke hendak memberikan Naoki pada ibunya kembali, namun Naoki langsung merengek tidak ingin berpindah posisi.
            “Biarkan aku saja, Sasuke-kun,” ujar Ino menawarkan diri. Ia kemudian bergegas menuju dapur.
            “Kau ini, Sasuke. Kalau tidak ada minuman lain, harusnya kau tidak perlu menawar,” omel Itachi.
            “Apa boleh buat, aku belum belanja bulanan,” jawab Sasuke enteng. Ia menciumi ubun-ubun Naoki yang duduk anteng di pangkuannya.
            Ino kembali dari dapur dengan tiga mug yang berisi air putih. Ia kembali duduk di sebelah suaminya.
            “Sasuke, kau masih sering bermimpi buruk ya? Aku tidak keberatan jika harus mengantarmu ke Tsunade-san,” tanya Itachi sembari menegak air dari mug. “Dan berarti aku harus kembali meneleponmu setiap pagi agar kau terbangun.”
            “Aku tidak mau ke sana lagi, Nii-san. Setiap selesai terapi di sana, aku selalu merasa ada yang hilang dari diriku, tapi aku tak bisa memastikan apa yang hilang itu.”
            Dahi Itachi mengerut. Ia memandangi Ino sebentar.
            “Aku tidak gila, kan, Nii-san?” tanya Sasuke yang jaring pandangannya menikam tepat ke mata hitam Itachi.
            Hinata yang sedari tadi memperhatikan percakapan mereka tercenung mendengar pertanyaan Sasuke. “Sepertinya Sasuke terlihat depresi. ”
            Itachi tertawa pelan, “Ada-ada saja kau, Sasuke. Kalau kau benar-benar gila, kau tidak akan bisa bercanda dengan Naoki.”
            Sasuke menyadari keponakannya itu tertidur di pangkuannya. Susunya baru seperempat botol diminum. Ia lalu meletakkan botol susunya di atas meja. “Sehabis minum susu, ia selalu mudah tertidur.”
            “Persis waktu kau kecil dulu, Sasuke.”  
            Sasuke hanya tersenyum tipis memperhatikan keponakannya. “Oh ya, Nii-san, ada yang ingin aku tanyakan lagi.”
            “Ada apa?”
            “Aku tidak mengerti, aku masih berkabung karena Naruto telah tewas. Tapi semalam ini baru saja terjadi, mimpiku aneh sekali.”
            “Memangnya kau bermimpi apa?” Itachi jadi penasaran.
            “Aku bermimpi seorang wanita bunuh diri di Teluk Odaiba.”
            Mata Itachi melebar seketika. Sebelum Sasuke memandanginya kembali, ia memasang air muka datar. “Lalu? Apa kau mengenalnya?”
            “Aku tidak terlalu ingat. Yang jelas wanita itu wajahnya pucat sekali. Ia berkali-kali bilang bahwa ia mencintaiku. Padahal aku sedang stres memikirkan kematian Naruto. Dan rasa bersalahku juga terhadap Sakura. Gara-gara aku ia ditinggalkan suaminya saat sedang hamil muda. Tapi kenapa tiba-tiba aku memimpikan wanita yang sama sekali tidak kukenal?”
            “Apa maksudnya ya?” Hinata meletakkan tangannya di dagu. Menerka-nerka apa yang terjadi pada Sasuke.
            “Terkadang kita juga mengalami mimpi di tempat yang tidak kita tahu di mana, Sasuke. Menurutku itu hanya kebetulan. Bisa saja akibat dari keadaanmu sekarang ini.”
            “Masuk akal juga.”
            Itachi lalu memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan. “Oh ya, Sasuke, bagaimana kuliahmu? Kau rajin masuk, kan?”
            Sasuke mendesah, tidak terlalu suka dengan topik ini. “Ya,” jawabnya singkat.
.
o0o
.
            Hinata duduk di pinggiran tempat tidur Sasuke, memperhatikan lelaki itu bermain wii seorang diri. Ia sedang memikirkan cara untuk membantu Sasuke menemukan kebahagiaannya, tapi ia merasakan bahwa ada banyak hal yang ia tidak tahu tentang Sasuke. Wajar memang karena ia baru dua hari melaksanakan misi ini.
            Menerawang ke masa lalu Sasuke pun tidak bisa seluruhnya bisa Hinata lakukan. Kekuatannya tidak lebih dari itu.
            Tiba-tiba ia teringat kejadian tadi malam dimana ia kira Sasuke bisa melihatnya. Setelahnya Sasuke hanya mengatakan: Halusinasiku semakin parah saja. Namun Hinata berpikir, mungkin saja Sasuke bisa melihatnya, hanya saja ia terlalu kelelahan sehingga menganggap itu hanya delusi belaka.
            “Apa aku menyamar saja jadi manusia ya? Tapi sebagai siapa?” Hinata berpikir keras. Selama sepuluh menit otaknya berputar, akhirnya ia mendapatkan ide.
.
o0o
.
            “Itachi, apa ini menurutmu baik untuk Sasuke-kun?”
            Itachi dan Ino baru saja pulang dari rumah Sasuke. Mereka kini berniat kembali ke rumah. Setelah berada di dalam mobil pun Sasuke masih menjadi topik yang mereka bahas.
            “Tidak ada cara lain. Aku tidak ingin melihat Sasuke ingin bunuh diri untuk kedua kalinya,” ujar Itachi yang tetap fokus memandang ke depan jalan. Ia memang selalu mengendarai mobilnya dengan hati-hati. 
            “Tapi apakah bakal lebih baik jika ia mengetahui tubuh Naruto belum ditemukan? Dari pada harus mengatakan bahwa Naruto telah tewas.” Ino memperhatikan Naoki yang masih tidur di dekapannya.
            “Lebih baik skenario ini tetap harus dijalankan. Kalau Sasuke tahu apa yang sebenarnya terjadi itu malah lebih buruk.”
            “Sasuke-kun adalah pemuda yang pintar dan diprediksi memiliki masa depan cerah. Dosennya sendiri yakin ia akan menjadi dokter yang tangguh nantinya. Aku tak menyangka ia akan seperti ini,” Ino menatap Itachi dengan air muka sedih.
            “Aku juga tidak menyangka, Sayang.”
Ino membelai dahi Naoki.
“Kalau saja Sasuke tidak pernah mencintai gadis itu…mungkin ia tidak akan seperti ini. Yang harus aku lakukan sebagai kakak adalah membantunya keluar dari lubang Neraka.”
.
o0o
.

            Pagi hari ini Sasuke mendapatkan mimpi buruk yang lagi-lagi sama seperti kemarin malam. Untungnya saja Itachi membangunkannya dengan cara meneleponnya jam 6 pagi. Ia buru-buru beranjak dari kasur dan mandi. Hari ini ia harus kembali ke kampus.
            Sasuke segera menyambar roti tawar di meja makannya. Baru saja ia hendak membuka pintu, terdengar bel berbunyi. “Siapa sih pagi-pagi begini?” gerutunya. Kemudian ia membuka pintu dengan kasar, berniat untuk menghardik tamunya, tapi ia terdiam ketika melihat siapa tamunya.
            “A-Ano, maafkan saya mengganggu pagi-pagi.” Ia seorang wanita; membungkukkan badannya pada Sasuke. “Saya Ueno Hinata, penghuni baru di kamar sebelah,” lanjutnya lagi.
            Sasuke ingin membalas sapaannya, namun entah mengapa bibirnya menjadi kelu. Ia memperhatikan wanita itu.
            Wanita itu berambut panjang biru tua yang dikuncir kuda. Wajahnya putih bersih. Suaranya selembut gemeresik air.
            “Cantik,” ujar Sasuke dalam hatinya.
            Bersambung…