Saturday, 14 April 2012

Aku dan Film


Aih, lagi-lagi tulisan ini temanya curcol :p.
Kali ini tema yang saya bahas adalah tentang kegiatan yang sangat sangat saya suka yaitu film. Untuk urusan nonton jangan diragukan lagi, kalau kalian mengajak saya nonton di bioskop, jika saya ada waktu dan punya uang lebih pasti saya langsung mengatakan ‘saya ikut!’
Tapi, eits, tunggu dulu, saya juga pilih-pilih film dulu kalau menonton. Saya nggak terlalu kuat nonton film gore akut kayak Final Destination sama  Saw. Lalu untuk film horror juga jangan harap saya ikut kalau ada yang ngajak, jujur saja, saya orangnya kagetan hehehe. Kemudian romance yang pure romance, saya juga nggak suka soalnya pasti bikin saya ngantuk. (Satu-satunya film romance yang saya suka itu cuma TITANIC).
Kalau dikatakan saya ini penggemar film sejati, sepertinya itu agak berlebihan, karena saya selalu kelewat nonton film-film yang sedang update, yep saya nggak terlalu update juga untuk masalah film. Yang saya tahu hanyalah film-film yang layak ditonton saja di tahun yang sedang berlangsung hehehe.
Tadinya saya juga nggak terlalu tertarik sama bikin film, tapi gara-gara dosen saya yang luar biasa (He’s great lecture :3), Pak Iman, menugaskan kepada kelas saya untuk membuat film saya jadi menyukainya. Lalu belajar lagi mata kuliah Teknik Penyutradaraan, di mana saya diajari proses pembuatan film dari Pra Produksi, Produksi, dan Pasca Produksi. Ribet banget, tapi jujur saja saya sangat menikmatinya :D. Walaupun hasil eksekusi masih jelek pisan hehehe. Di proyek film saya yang baru selesai beberapa bulan lalu saya jadi belajar, kalau untuk membuat film itu butuh kesabaran ekstra dan niat yang kuat, dan nggak hanya membutuhkan orang-orang yang kompeten di dalamnya, tapi mereka juga harus solid, kalau nggak solid ya sudah, sudah dipastikan proyeknya bakal gagal total ^^a.
Belajar teknik penyutradaraan membuat saya menilai suatu film nggak hanya dari segi ceritanya aja, tapi dari teknik pengambilan gambar, scriptnya, editingnya, lightingnya, artististiknya, efek-efeknya yang dipakai. Saya selalu terkagum-kagum dengan film yang memakai sudut pandang nggak terduga untuk filmnya, misalnya yang diambil dari bayangan mata seseorang, aih itu mantap sekali lah pokoknya hehehe.
Tadinya juga saya nggak terlalu tertarik sama yang namanya Film Indonesia karena tertutup sama kesan genre humor, horror, dan sexnya yang kental beberapa tahun lalu. Namun akhirnya saya bersyukur Indonesia memiliki sutradara-sutradara yang kompeten seperti, Mas Riri Riza (Sutradara Petualangan Sherina, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi), Bang Joko Anwar (Sutradara Janji Joni), Teh Nia Dinata (Sutradara Arisan, Perempuan Punya Cerita), Mas Gareth Evans (Merantau, The Raid), Mas Rudi Soedjarwo (Ada Apa Dengan Cinta?, Mengejar Matahari), Pak Garin Nugroho (Mata tertutup, Opera Jawa), Mas Putramatuta (Sutradara Catatan Harian Si Boy) dan sebagainya (banyak sekali sutradara professional kita sampai saya nggak inget >.<).
Nah, akhir-akhir saya sering datang ke acara pemutaran film. Ada yang film indie, ada yang film asli bioskop Indonesia. Tapi sungguh, di luar sana banyak film Indonesia yang bagus yang terjegal Lembaga Sensor Film atau terjegal oleh suatu kelompok karena dianggap menyalahi syari’at (yeah, you know who lah ya :D). Mereka banyak berprestasi di dunia Internasional, salah satunya itu Film “Lovely Man” yang diperankan sama Mas Donny Damara. Bercerita tentang seorang anak perempuan yang mencari ayah kandungnya, ketika bertemu iya tak menyangkan kalau bapaknya itu banci, tapi naluri seorang anaknya begitu kuat sehingga ia terus mengikuti kemana ayahnya pergi, nggak peduli rupa dan sikap ayahnya itu bagaimana.
Lovely Man by Teddy Soeriaatmadja 

Dari film tersebut, Mas Donny Damara mengalahkan aktor Andy Lau lho di Asian Film Award dengan menyabet penghargaan sebagai The Best Actor (Congratulation Mas Donny :D). Saya benar-benar menunggu film ini dapat diputar di Indonesia.
Oh ya, gara-gara mulai cinta sama film, saya pun jadi keranjingan ikutan talkshow film, promosi film, dsb hehe. Saya masuk jadi anggota Forum Komunitas Film Bandung, dan well, banyak banget memiliki kesempatan untuk nonton premiere film gratis, tapi tiketnya nggak pernah saya ambil karena saya adalah anggota pasif, jadinya nggak enak hati heuhehe. Hanya saja kalau ada open public untuk sebuah promosi film, pasti saya langsung comot hehe. Salah satunya waktu screening film ‘Sang Penari’ di Ciwalk XXI ini. Dapat kesempatan foto bareng sama pemainnya :3.
With Mbak Prisia Nasution


With Mas Teuku Rifnu Wikana

Kemarin juga waktu di GEEKFEST, saya datang ke talkshow film terbarunya Mas Joko Anwar (Sutradara Janji Joni), judulnya Modus Anomali. Ayo nonton filmnya di bioskop 26 April 2012 ini :D.

Add caption

With Mas Joko Anwar

Terus yang ini sama Kak Sunny Soon, pemeran Cina dalam film Cin(T)a, yang skenarionya mantap itu >.<
With Kak Sunny Soon :3

Aih, saya jadi keranjingan begini sama film.
Sedang mencari passion di dunia film, mudah-mudahan saya bisa menemukannya. Beruntung memiliki banyak teman yang punya hobi sama, jadi kita sering bertukar pikiran hehehehe.
Dan yang terakhir, saya mengharapkan masa depan perfilman Indonesia yang semakin cerah.
Maju terus Perfilman Indonesia \^^/

Tuesday, 10 April 2012

Fanfiksi Naruto: The Time Travel Chapter 2


Naruto belong to Masashi Kishimoto
Warning: AU. OOC for Sakura. Rated T. Tragedy/Hurt/Comfort. Sequel from I Failed You
Pairing: Naruto dan Sakura.
Based on the song “In Heaven by JYJ”

Oke, selamat membaca ^^
Summary : Haruno Sakura yang meregang nyawa, mendapat tawaran dari Kyuubi kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahannya yang telah membiarkan Naruto mati karena luka yang dideritanya. Kyuubi merasa punya hutang budi pada Naruto yang telah menjadi host-nya selama hampir 20 tahun. Ia pun membawa Sakura ke zaman Perang Dunia Shinobi Keempat. Mencari tahu penyebab Naruto memiliki luka dalam yang serius yang sampai membuatnya mati.
.
.
Putih…itu kabut. Yang menyelimuti dalam ruang kelabu. Dan sosok yang kasat mata; serba kekuningan—warna matahari pucat…ia meminta izin untuk pergi.
“Sakura-chan…aku akan pergi…”
Untuk sementara atau selamanya?
“Jangan pergi!”
Karena ada yang tidak rela…
“Jangan khawatir, aku akan kembali pada—”
Dia paling takut dengan penderitaan bernama kehilangan.
“Bohong! Bohong!”
Maka merah jambu berlari mengajar sosok warna matahari pucat—lelaki yang kian lama kian menjauhi direksinya.
“Aku tidak berbohong, Sakura-chan. Kau tahu kan betapa dalamnya cintaku padamu?”
Dan ia pun mencari cara agar lelaki itu tidak pergi.
“Kalau begitu buktikan kalau kau benar-benar mencintaiku?”
“Aku mencintaimu…”
“Aku juga—
Belum sempat membalasnya, lelaki itu menghilang dimakan api…seraya memberikan senyuman terakhir.
“Naruto!”
.
.
The Time Travel
 Chapter 2
.
.
“Naruto!” Lengkingan Sakura menggema di dinding-dinding putih yang mengitarinya. “Aduh, lenganku!” Ia meringis seraya menggerayangi lengannya yang baru ia sadari terlilit perban. Ia pun mengedarkan mata zamrudnya ke seluruh ruangan, dan langsung menyadari di mana ia kini.
“Di sini lagi?” Sakura membuka-tutup telapak tangannya yang terasa kaku, memperhatikannya dengan hati yang membeku. “Shisou pasti menyelamatkanku lagi, padahal membiarkan aku mati akan lebih mudah baginya.”
            Karena aku ingin segera menyusulnya…
            “Tempat ini membosankan, lebih baik aku pulang.” Tanpa ragu ia melepaskan jeratan jarum yang berada di nadinya, kemudian menyembuhkan bekas lukanya dengan shousen no jutsu. “Aku jadi benci rumah sakit.” Ia pun keluar dari sana dengan langkah tertatih-tatih.
            Sakura terus berjalan menyusuri jalan utama Konohagakure yang begitu ramai; banyak orang terluka yang berlalu-lalang di sekitar sana—seperti habis masa perang, namun ia tidak menyadari hiruk-pikuk itu di depan matanya karena ia terus menatap ke tanah di bawah. Tak peduli keluar dengan baju rumah sakit lusuh yang entah berapa hari menempel di kulitnya. Ia ingin cepat-cepat pulang ke rumah sebelum gurunya tahu lagi-lagi ia keluar dari rumah sakit tanpa izin.
            Dunia kini hanya delusi bagi Sakura. Ya, sejak kematian orang yang paling dikasihinya ia beranggapan bahwa ini adalah delusi, mimpi dalam mimpi. Ia terkungkung di dalamnya dan mencari berbagai cara untuk keluar. Hidup segan, mati adalah tujuannya sekarang.
            Karena mati adalah jalan yang terbaik.
            Sesampainya di rumah, Sakura tak ragu untuk masuk, meski debu bertebaran mengelilinginya. Menempel di mana-mana seperti sudah ditinggal sangat lana.Dengan mata seperti mayat hidup—layu lagi tak berpendar—ia berjalan mengunci pintu. Kemudian duduk di meja makan di dapurnya yang menghadap lurus ke jendela. Sakura berdiri dan melenggang pergi menuju ke jendela untuk membuka daunnya, membiarkan semilir angin segar masuk ke dalam, setelahnya ia kembali lagi ke posisi semula.
Selama sepuluh menit ia berada di posisi yang sama, menatap ke arah luar jendela yang diselimuti sebaran pelita lembayung.
Warna dirinya.
            “Mudahnya menemukanmu, Naruto. Kau ada di mana-mana ya,” lirih Sakura tersenyum getir. Dengan gerakan payah, ia memandangi sekujur tubuhnya yang nyaris diperban. “Aku ingin mandi, tapi sepertinya belum bisa ya.” Ia terdiam sebentar sebelum berujar kembali. “Lebih baik aku membereskan rumahku ini, lama-lama jadi sesak.”
            TOK! TOK!
            Kunoichi medis itu seketika menghentikan langkah kakinya ketika mendengar ketukan dari pintu depan. Kedua alisnya terangkat penuh rasa heran. “Siapa, ya? Kok ada yang tahu aku sudah kembali ke rumah? Apa ada yang mengikutiku?”
            TOK! TOK!
            TOK! TOK!
            Sebenarnya Sakura enggan membukakan pintu, namun suara ketukan itu berisik sekali, ia yang tadinya selemah daun musim gugur kini mendadak berubah menjadi banteng yang mulai naik pitam ketika melihat kain merah berkibar di depannya. “Grr…tidak menyerah juga, ya. Akan aku berikan pelajaran!” serunya seraya berjalan menuju pintu depan; menggulungi kedua baju lengannya hingga ke bahu. Ia lantas membuka pintu secara kasar. “Di sini tidak ada orang!”
            “Hai, Sakura-chan! Sudah kuduga kau berada di sini!”
“Hah?” mata serupa warna hutan Sakura membelalak. Nafasnya pun terhenti sepuluh detik, bibir tipisnya membentuk lingkaran, ia membatu bak patung; menatap tak percaya seseorang yang saat ini berdiri di hadapannya.
            Sekelebat bayangan masa lalu pun kembali berputar bak kaset usang di memorinya.
“K-Kau ta-tahu, Sa-Sakur-ra…k-kau a-adalah wa-wanita y-yang p-paling…c-cantik d-di du-dunia ini…te-terima k-kasih…s-sudah ma-mau m-menemaniku ma-malam-malam b-begini…”
Masih diingatnya wajah pias dengan mulut yang berlumuran darah itu, terbaring lemah di atas kasur bersamanya.
Dan juga…nafas tersengal-sengal yang berjuang untuk hidup.
“A-Aku c-cint-ta k-kamu, S-Sakur-ra-chan…”
Layar EKG yang memampangkan satu garis hijau dibarengi dengan satu jenis suara monoton. Ratapan laranya saat itu kembali menghampiri daun telinga…
“Aku juga…aku juga mencintaimu, Naruto.”
Dan sekarang, suara melengking itu… Cengiran selebar bibir kuda itu… Mata biru langit itu… dan wajah lugu itu…
            “A-Ada apa, Sakura-chan? Mengapa menatapku seperti itu, kau seperti melihat hantu saja.”
            “KYAAA!!!” Sakura kaget, kaget setengah mampus, emosinya pun naik sepuluh level, ia lampiaskan amarahnya dengan membanting pintu sekuat tenaga sampai tertutup.
            “WADAU!” Naruto pun memegangi hidungnya yang seketika memerah. “Kau kenapa, Sakura-chan?!” teriaknya seraya menggedor-gedor pintu.
            “Mustahil, ini mustahil! Apa aku sudah jadi gila?” Sakura mondar-mandir di ruang tamu rumahnya. Keringat dingin mengucur tanpa ada halangan di pelipisnya. Ia mengacak-acak rambut merah jambunya sampai bentuknya sudah tak keruan. “Naruto… Naruto sudah mati—”
            “Haah, aku masuk saja ya, Sakura-chan. Sudah kuduga kau tidak akan mengizinkanku masuk.”
            Sakura lantas berhenti di tengah ruang tamunya saat melihat Naruto melintasinya; matanya mengikuti langkah kaki si ninja hiperaktif itu—yang kini berhenti di dekat meja makan.
            Dilihatnya Naruto memandanginya dengan dahi mengerut. “Heh, tenang saja, Sakura-chan, aku tidak akan memberitahukan baa-chan kalau kau kabur dari rumah sakit.” Ia lantas tersenyum.
            Dengan raut panik, Sakura menuju ke kalender yang berada tidak jauh di ruang makan. Melihat dengan saksama bulan apa sekarang. “A-April?”
            Naruto mendongakkan kepalanya ke arah Sakura, ia kemudian melenggangkan kakinya sampai berdiri di samping kunoichi medis itu. “Sekarang sudah bulan Mei, Sakura-chan.” Merobek sehelai kalender yang menunjukkan deretan tanggal di bulan April.
            “Eh?” ‘Bukankah seharusnya sekarang Oktober?’ Sakura bertanya-tanya dalam hatinya.   
            “Tadi aku menjengukmu di rumah sakit, dan kau tidak ada di kamar. Lalu aku melihatmu dari kejauhan, walaupun samar-samar, akhirnya aku memutuskan untuk mengejarmu. Dan aku senang instingku tidak salah mengatakan agar terus mengikutimu.” Naruto malah mengalihkan pembicaraan.
            Mata Sakura tak bisa beralih dari sosok yang mengenakan kaos hijau dan celana jingga itu. Sekarang tubuhnya mulai tergegar-gegar… “Jadi yang kemarin itu hanya mimpi? Hanya mimpi?” bisiknya.
            Naruto mengeluarkan semua isi kantong plastik yang dibawanya. “Nah! Aku membawakan dango kesukaanmu, Sakura-chan. Kau pasti belum makan, kan? Kita makan sama-sama, yuk!” Ia lantas kembali menatap Sakura. “Eh, kok diam saja?” tanya Naruto seraya melebarkan matanya, wajah lugunya ia keluarkan secara maksimal.
Tanpa disadari, Sakura membawa kedua telapak tangannya menutupi mulutnya. Sekuat tenaga ia menahan tangisannya agar tidak pecah. Dengan sigap ia memeluk Naruto yang berada dua meter di depannya. “Syukurlah! Syukurlah itu hanya mimpi!”
            “Waa!” Naruto yang kaget, sampai tidak sempat menyiapkan diri menghadapi pelukan erat Sakura—yang datang tiba-tiba itu. Kalau tidak ada meja di belakangnya, sudah pasti mereka akan tersungkur ke lantai. “Apa yang kau bicarakan, Sakura-chan?” tanyanya penuh rasa heran.
            “Aku kira…aku kira kau sudah…mati!” jawab Sakura yang terisak-isak di dada Naruto, membuat bagian depan bajunya basah.
            “Eh?” seketika itu jua Naruto menunjukkan reaksi terperangah di wajahnya, tapi itu tidak diketahui oleh Sakura. Sejenak kemudian ekspresi itu pun berubah ceria kembali. Ia mengusap pelan punggung Sakura—berulang-ulang. “Jangan berbicara menyeramkan seperti itu, Sakura-chan. Aku tidak akan mati sebelum menjadi Hokage, tahu.”
            Sakura mendongak; menatap Naruto dengan wajah yang masih penuh dengan rasa kejut. “K-Kau belum menjadi Hokage?”
            “Kau kok jadi ngelindur begini? Untuk sekarang itu belum pasti, Sakura-chan. Tapi baa-chan sudah memberikanku promosi, dan aku harus melewati beberapa tahap tes. Para dewan petinggi Konoha mempertimbangkanku karena berhasil mengalahkan Uchiha Madara.”
            “Ja-Jadi…”
            Dengan perlahan Naruto melepaskan rengkuhan Sakura di tubuhnya, ia lantas berkata, “Ya, kita berhasil menang, Sakura-chan. Madara telah mati. Dan tugas kita sekarang membangun Konoha agar bisa bangkit seperti dulu kala. Beberapa bangunan telah didirikan dalam waktu singkat, salah satunya rumah sakit Konoha. Berterima kasihlah pada Yamato-taichou, hehehe.”
            Ya, Sakura menarik kesimpulan rupanya kemarin ia sedang bermimpi buruk, mimpi buruk yang lama sekali…buktinya sekarang ia berada di masa Perang Dunia Shinobi Keempat. Tapi sungguh ia jadi bingung sendiri, ia tidak ingat apa yang terjadi padanya sampai harus berada di rumah sakit.
            Seraya membuka bungkus dango, Naruto berujar, “Apa lukamu masih sakit, Sakura-chan? Aku panik setengah mati ketika kau melindungiku dari serangan api Madara. Sekujur tubuhmu nyaris hangus terbakar kalau-kalau baa-chan tidak langsung mengobatimu pada saat itu juga. Ia sampai berubah menjadi wujud aslinya—si nenek-nenek keriput karena kehabisan chakra.”
            Ternyata seperti itu…
            “Oh ya, kau juga pasti belum tahu… Sasuke sekarang berada di rumah sakit Konoha.”
            “Eh?”
Tiba-tiba sekelebat bayangan kembali bergelayar di pikiran Sakura…
“Kumohon berikan aku kesempatan sekali lagi. Aku paham; aku terlambat mengatakannya padamu. Aku dulu terlalu bernafsu ingin membalaskan dendamku pada Itachi-nii, sampai-sampai aku berani mengorbankan segala yang berharga bagiku. Aku dulu menyia-nyiakan persahabatanku dengan Naruto. Aku juga menyia-nyiakan dirimu…”
“Sasuke-kun…”
“Aku ingin kau sudi membuka hatimu lagi untukku…,” ucapnya sembari meremas lembut tangan Sakura.
            “Akhirnya aku berhasil menepati janjiku padamu, Sakura-chan!”
            Perasaan dingin tiba-tiba menggelungi seluruh tubuh Sakura ketika mendengar kata ‘janji’. Ia pun memeluk dirinya sendiri.
            “Ada apa, Sakura-chan?”
            Sakura berusaha untuk tidak goyah, ia menapakkan tangannya ke meja sebagai penyanggah. Dengan gejolak yang bergelora di dadanya ia berusaha bertahan. Ia lalu tersenyum, senyuman pelipur lara…yang tersimpan kebahagiaan abadi.
            “Terima kasih…terima kasih telah berhasil meyakinkan Sasuke-kun untuk kembali, Naruto. Aku berutang banyak kepadamu,” ujarnya kemudian; kembali membawa Naruto ke dalam dekapannya.
            Naruto mematung bak arca. Ia sudah bisa memprediksi bahwa reaksi Sakura akan seperti ini. Pelukan lalu dibalas dengan pelukan, “Tidak perlu berterima kasih kepadaku. Sudah sepantasnya aku meyakinkan Sasuke bahwa Konoha adalah rumahnya. Tanah kelahirannya. Tempat baginya untuk pulang.” Ia menatap ke luar jendela seraya menghembuskan nafas perlahan.
            “Oh ya, Naruto. Aku ingin meminta tolong padamu sekali lagi, apa kau bersedia membantuku?”
            “Minta tolong apa, Sakura-chan?”
            “Aku ingin menjenguk, Sasuke-kun. Kau mau mengantarku?”
            Dalam diri Naruto ada perasaan ingin berontak, tapi terhadap Sakura…apa yang ia sanggup lakukan untuk menolaknya? “Baiklah, sepertinya Sasuke juga membutuhkan perawatanmu,” tukasnya dengan senyuman manis yang bersembunyi getir di dalamnya.
            ‘Akhirnya…akhirnya aku bisa bertemu dengan Sasuke-kun…aku sangat merindukannya,’ ujar Sakura dalam hati; mengikuti Naruto yang berjalan di depannya. Wajahnya mengukir bahagia. Bahagia itu adalah dia yang ditunggu akhirnya pulang jua. Bahagia itu karena sekelebat bayangan mimpi menunjukkan padanya bahwa Sasuke melamarnya. Namun yang Sakura heran mengapa di alam mimpi itu ia menolak cinta pertamanya itu?
            “Jangan sampai jatuh di lubang yang sama, Haruno Sakura.”
            Sakura yang sedang menatap ke bawah seketika menatap lurus ke depan ketika mendengar suara geraman asing berbisik kepadanya. “Siapa?” lirihnya dengan paras layaknya orang yang tidak sengaja mendengar suara iblis.
.
o0o
.
            Naruto berdiri di daun pintu kamar Sasuke, merasa akan mengganggu apabila ia ikut berada di dalam. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Menghembuskan nafas hangat berkali-kali, sebagai tanda bahwa ia lega akhirnya beban itu tanggal juga dari bahunya. Sudah terlalu lama ia menanggungnya, walaupun dikatakan bersama-sama, namun ia selalu merasa hanya ia sendiri, tak ada yang pantas berbagi beban itu dengannya.
            Melihat dua orang sahabatnya bersukacita, menumpahkan emosi yang menguap ke udara, sampai Naruto bisa merasakan desiran kebahagiaan itu di kulit jangatnya juga.
Yang ia sangat syukuri, akhirnya senyuman itu telah kembali ke tempat semula… Klan yang berharga itu telah kembali ke tanah leluhurnya...
Apa lagi yang terasa kurang dari pertemuan yang diharapkan selama hampir 4 tahun lamanya?
Sayangnya kebahagiaan itu adalah milik Sakura seorang, tidak ia bagi kepada seseorang yang bersandar di daun pintu ini.
            “Sudah kuduga aku bisa menyelamatkan dua nyawa sekaligus, kubayar sangat mahal lho,” ujarnya sembari tersenyum tipis.
            Sesuatu yang hangat seketika mengalir ke bawah hidung Naruto. Ia langsung membalikkan diri, menyeka sesuatu yang hangat itu sebelum menggapai bibirnya.
            Sesuatu yang hangat itu berwarna merah. Merah yang menunjukkan dia darah…
            “Ah, sial. Mengapa harus di saat seperti ini.” Naruto merasakan kepalanya mulai perih ibarat ditusuk-tusuk dengan seribu paku. “Aku harus mengunjungi baa-chan sebelum terlambat.” Ia lalu melirik ke dalam sebentar, dilihatnya Sakura yang sedang menyuapkan irisan buah tomat ke mulut Sasuke. “Sepertinya aku tak perlu meminta izin dulu.” Ia pun memakai jikuukan no jutsu agar cepat sampai di tempat Tsunade; ia tahu betul di mana Hokage Kelima itu berada sekarang.
            Dan di sana, Naruto tidak menyadari bahwa ada sepasang mata berwarna ungu berpadu putih salju yang memperhatikan semua peristiwa itu.
.
o0o
.
Baa-chan.
            “Na-Naruto k-kau sekarat…” Tsunade memperhatikan hasil tes darah di tangannya dengan paras lara, hingga tangannya tergegar-gegar.
“Haa…h, tak perlu menangis, Baa-chan. Sejak awal aku sudah tahu, menggunakan kekuatan Kyuubi adalah risiko yang tinggi. Aku nekat menggunakan kekuatannya bukan karena aku tidak tahu apa akibatnya. Aku hanya ingin melindungi orang-orang yang aku sayangi. Lagipula kematian itu—”
“Sialan kau, Naruto! Kau menjadikanku tumbal!” teriak suara lain yang hanya bisa didengar oleh Naruto.
“Diam dulu kau monster jelek! Aku lagi ada urusan,jawab Naruto dalam hatinya.
            “Baka! Jangan bicara seperti itu! Lukamu pasti bisa disembuhkan!” balas Tsunade dengan nada tidak rela. Sebagai ninja medis ia memang sering berhadapan dengan kematian. Ia juga sudah tiga kali mengalami hal yang memilukan tentang kematian, yaitu kehilangan Nawaki, Dan, dan Jiraiya. Tapi sepertinya yang ini akan lebih menyakitkan…
            Naruto menarik nafas dalam-dalam. “Kenyataannya…pertahanan tubuhku semakin lama semakin menurun. Aku sudah merasakan gejalanya, Baa-chan.”
            “Beberapa organ vitalmu rusak Naruto, dari jantung, paru-paru, hati, bahkan ginjal. Aku tidak mengerti; seharusnya dengan kemampuan Klan Uzumaki yang mengalir dalam dirimu efek kekuatan Kyuubi bisa nol sama sekali. Ada yang harus aku selidiki. Apa yang Madara lakukan sampai kau memakai kekuatan Kyuubi dalam jumlah besar? Apa yang kau lakukan, Naruto? Kau selalu saja sembrono!” seru Tsunade yang di kedua pipinya mengalir air mata yang sama sekali tidak ada niat untuk ditahannya.
“Tenang saja, aku akan melaksanakan tugasku sebagai Hokage sampai akhir hayatku,” ujar Naruto setenang air yang mengalir. Seperti biasa ia selalu percaya diri, padahal keputusan belum turun dari Dewan Petinggi Konoha.
“Kau jangan mengalihkan pembicaraan!”
Naruto mengusap-usap belakang lehernya. “Yah, bagaimana, Baa-chan. Aku juga tidak mengerti mengapa tubuhku menjadi seperti ini. Aku tidak tahu harus menjawab apa,” jawabnya santai.
Tsunade menyeka air matanya yang kadung keluar dan terlihat berpikir, ia lantas kembali menatap Naruto yang masih duduk di pinggir tempat tidur rumah sakit. “Aku menemukan chakra Kyuubi yang mengalir kuat di tubuhmu, apakah diagnosisku benar adanya?”
“Aku meyakini diagnosismu, Baa-chan. Karena kau adalah ninja medis terbaik di seluruh jagad raya.”
“Grr…itu aku lakukan untuk menyembuhkan lukamu bocah sialan! Kau membuatnya seolah-olah ini salahku!” teriak suara yang tak asing bagi Naruto itu.
“Diam, Kyuubi!”
            “Gaki…,” bisik Tsunade; berusaha menerima kenyataan yang berada di depannya. Mengapa orang-orang yang berharga baginya pergi dulu keharibaan Tuhan? Padahal ia sudah cukup tua, mengapa tidak ia saja? Mengapa yang muda yang harus mendahuluinya?
            Dilihatnya Naruto yang menatap ke ubin. “Maafkan aku, Baa-chan. Mungkin aku tidak bisa lama-lama menjadi Hokage.”
            “Kau tidak mengatakannya pada timmu? Mereka berhak tahu.”
            Kini Naruto berdiri seraya mengenakan baju atasnya kembali. “Aku tidak mau memberi tahu mereka. Kakashi-sensei sedang berbahagia dengan Yugao-nee, sedangkan Sakura-chan dan Sasuke juga—aku tidak mau mengganggu kebahagiaan mereka dengan keadaanku ini.”
            “Kau selalu saja sok kuat, Gaki!”
            “Ahahaha, aku memang kuat kok.”
            Rasa-rasanya Tsunade ingin meninju Naruto sampai terpental ke ujung dunia. Mengapa bocah ini selalu bersikap positif? Padahal ia sudah diprediksi akan mati diumur yang masih belia. “Berhenti bersikap seperti ini adalah masalah sepele!”
            “Yah, apa boleh buat, Baa-chan. Aku juga tidak terlalu mengambil pusing Hehehe.” Cengiran itu berubah menjadi senyuman getir. “Tapi kalau boleh jujur…”
            “…”
            “Aku juga masih ingin menikmati indahnya diberi kehidupan yang lama…”
            “Ga-Gaki…”
            “Lalu soal Kyuubi, aku meminta tolong padamu, Baa-chan.”
            Mata coklat Tsunade menatap Naruto dengan penuh tanya. “Kau ingin aku mencari jinchuuriki yang lain?”
            “Sebenarnya aku berharap, akulah jinchuuriki terakhir yang Konoha miliki. Tapi apa boleh buat, kalau aku mati jiwa Kyuubi akan tetap hidup bersarang di perutku. Dan itu berbahaya jika tidak ada yang bisa mengontrolnya…”
            “Aku akan mengusahakannya untukmu…” Tampaknya ini akan menjadi tugas yang berat.
            “Terima kasih, Baa-chan. Maaf selama ini selalu merepotkanmu…”
            “Jangan mengatakan hal seperti itu, Gaki. Aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri.” Mengutarakan kalimat ini rasa-rasanya membuat Tsunade ingin menangis semalaman.
            Senyuman tulus mengembang di bibir Naruto. Berjalan ia dengan perlahan untuk memberikan Tsunade hangat rengkuhannya. “Gomen ne, Baa-chan…,” bisiknya.
            Tsunade membalasnya dengan pelukan yang lebih rapat. Agar ia tidak tenggelam terlalu dalam di palung duka nestapa. Ia ingin memberi tahu bahwa calon Hokage Keenam ini tidak menghadapi takdirnya sendirian. “Jangan menyerah dulu, Naruto…jangan menyerah,” lirihnya terisak-isak seraya membelai kepala Naruto.
            Naruto hanya mengangguk lemah; mengatupkan kedua matanya rapat-rapat. Ia jadi rindu mendiang ibunya.
Dan sepasang mata berwarna ungu berpadu putih salju yang mengikuti Naruto itu—yang bersembunyi di balik dinding—bergegas pergi dari sana. Tak sanggup memperhatikan adegan yang baginya tak masuk akal ini. Ia tak terima…tak rela jika harus berpisah secepat itu dengan seseorang yang sangat dikasihinya. “Naruto-kun…”


            Bersambung…
            Oke, sekian dulu untuk chapter ini. Oh ya, saya baru publish oneshot NaruSaku terbaru. Kalau ada yang mau baca silakan kunjungi profile saya ^^. Sekadar kabar, saya juga ada rencana masuk ke fandom Fullmetal Alchemist, ditunggu saja ya nanti fic-nya hehehe.

Monday, 9 April 2012

Naruto Fanfiction: Saigo No Kisu


Ah, saya buat fanfiksi baru :D.
Selamat membaca, ya ^^.
Disclaimer: Uzumaki Naruto and Haruno Sakura belong to Masashi Kishimoto
Warning: Angst/Romance/Tragedy. Rated T. AU. OOC.
.
.
            Aku akan menunggumu, tanpa payung yang menaungiku dari hujan, tanpa topi yang menangkup kepalaku dari ganasnya si raja siang. Karena aku tahu…sangat tahu, kau adalah lelaki yang pasti akan menepati janjimu. Meski ribuan kali kau hampir mengingkarinya pula…
.
            Sakura-chan, kau adalah perempuan yang paling sabar di jagad raya. Itu yang membuat hati ini enggan berpindah. Maaf membuatmu selalu menunggu, terima kasih, dan…
.
            Aku bersumpah, demi bintang yang benderang di kala malam, demi matahari yang merajai siang, demi rembulan yang pijarnya menerangi kegelapan, aku mencintaimu dengan seluruh nafasku…
.
.
Saigo No Kisu
.
.
            Kilatan api membumbung tinggi; menjilat-jilat langit hitam yang tak berawan. Menghalangi peredaran bintang yang sesungguhnya akan terlihat jelas oleh orang-orang yang sedang berada di Shibuya saat itu. Namun tak semua keindahan bisa dilihat mata. Ada kalanya kita dihadapkan pada masalah bahwa hanya Tuhan yang memiliki kendali.
            Dan kini yang sedang terjadi…di tempat perbelanjaan yang paling ramai di Shibuya, semua orang di sekitar sana: dari pejalan kaki, orang yang hendak berbelanja, petugas keamanan, dan petugas pemadam kebakaran—sedang bergotong royong untuk memadamkan api yang mengamuk tak terkendali.
            Entah berapa orang yang menjadi korban; sayangnya tidak ada yang menyadari…bahwa masih ada seorang pemadam kebakaran yang terjebak di dalam sana.
            Suara parau terdengar di suatu ruangan yang sebentar lagi hancur dilalap si jago merah.
            “To-Tolong...apa ada orang di sini?”
            Ia ingin melenguh kencang, tapi ia sendiri tidak bisa mencerna apa yang ia ucapkan. Yang berbicara adalah hatinya.
            “Tou-san, Kaa-san, a-apakah takdirku s-sama seperti kalian? I-Inikah balasan kare-rena aku t-tak me-menuruti kata-kata kalian?”
            Di akhir cerita, orang selalu saja menapaki tilas kenangan.
            “A-Aku tidak bermain api l-lagi kok, a-aku adalah m-musuhnya…pemadamnya. Se-Sebagai penebus do-dosaku yang t-telah menyebabkan k-kalian tewas, Tou-san, dan Kaa-san.”
            “Sial! A-Aku sudah berjanji p-pada Sakura-chan u-untuk tidak mati d-dengan cara seperti ini.”
            Api menghasilkan asap. Asap yang semakin lama semakin menggelapkan matanya. Gelap sungguh, meski sekuat tenaga ia mencari sebuah pelita.
            “Padahal aku ingin memberikan kejutan padanya.”
            Kalau saja ia tahu malam tadi mungkin adalah kesempatan terakhirnya…
            “S-Siapa s-saja t-tolong, t-tolong bantu aku menyerahkan ini padanya, aku ingin menikahinya, ia menungguku untuk melamarnya.”
            Air mata yang jatuh pun lindap sekejap dimakan api yang menari liar.
            “To-Tolong be-berikan aku kesempatan s-sekali saja…”
            Suaranya pun hilang bersamaan dengan ledakan yang melahirkan api yang lebih ganas lagi.
.
o0o
.
            Dia perempuan yang duduk di pinggir sebuah taman…
Dari lekuk parasnya yang cantik tanpa goresan kedut, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sepertinya ia berumur sekitar kepala dua. Rambut merah jambu bunga sakura yang bersemi di musim semi melekat di kepalanya, entah asli atau diwarnai, yang jelas nampak alami. Cocok dipadukan dengan warna kulitnya yang putih serupa warna susu.
Pantulan cahaya rembulan menyeruakkan kegelisahan yang bersembunyi dibalik wajah yang selalu berusaha tabah itu. Agak kusut ibarat kertas sehabis kena pilin. Hampir dua jam hujan tumpah di tanah Kota Tokyo yang kian malam terlihat kian ramai. Begitulah, rata-rata dari mereka berharap untuk cepat-cepat sampai di rumah, demi yang menunggu dengan sukacita di sana, keluarga.
Berbeda dengan perempuan berambut merah jambu itu. Ia tetap bertahan meski dingin menghantam sengit tubuh semampainya. Sampai ada tanda-tanda yang ditunggunya akan tiba di depan mata, ia tak peduli meski harus melawan ganasnya angin malam hingga pagi menjelang.
Karena dia tahu…sangat tahu, orang yang ditunggunya itu pasti akan menepati janji. Meski ribuan kali dia hampir mengingkarinya pula…
Kali ini perempuan itu mulai kebosanan dan mengambil puntung rokok terakhirnya sembari menggerutu, “Lama sekali dia. Aku hampir menghabiskan satu bungkus rokok yang baru kubeli tiga jam yang lalu. Sialan!”
            Ia menyulut api dari korek api gas miliknya yang bergambar makhluk imut yang di seluruh dunia dikenal dengan nama Hello Kitty. Lantas membawanya ke sekitar ujung puntung rokok. Api itu menari-nari diterpa semilir angin yang berhembus, namun sebelum berhasil membakar ujungnya, puntung rokok itu tiba-tiba lepas dari genggaman jarinya.
            Pijar api di rokoknya mati.
            Api di koreknya mati.
            Api…
            “Aku membenci api, karena itu aku selalu ingin memadamkannya…”
            “Brengsek! Semua ini salahnya…salahnya!”
            Kepalanya bersandar di tangan yang nyaris membeku itu. Ia sama sekali tidak berinisiatif untuk memakai sarung tangannya. Bukankah itu solusi yang mudah?
Mata air, atau lebih tepatnya air mata? Menjadi sungai mengalir yang membasahi setiap sudut paras setengah hidup itu. Menunggu adalah hal yang paling menjengkelkan di dunia, kan? Dan ia nyaris mati…mati kebosanan.
“Aku menyukai api, dan aku membenci dirimu.”
Bahu jenjang itu selayu bunga yang tak mendapat air seminggu. Wajah tabahnya kini terpahat garang. Matanya memantulkan kisah kasih yang tak kesampaian.
Sendiri itu neraka. Dan neraka melahirkan rasa takut. Dunia kini adalah neraka baginya. Bagi perempuan yang duduk di sebuah taman itu…yang bernama Haruno Sakura…
Tak bisakah kau saja yang menghangatkan tangan beku ini?
Seketika bau gosong pekat melesat datang dari arah kanannya. Bau yang sangat ia kenal, maka ia pun tak ragu memutar tubuhnya. Dan benar saja…dia yang ditunggunya selama satu jam berdiri di sana dengan dada kembang-kempis; mengincar oksigen di sekitarnya. Yang lebih mencengangkan ia begitu hitam nyaris menjadi arang.  
Buru-buru Sakura menyeka air mata yang kadung membasahi bagian bawah wajahnya. Tak sudi membuat lelaki itu beranggapan bahwa ia adalah perempuan cengeng. Enggan memberikan kesan bahwa tangisan ini adalah tangisan yang disebabkan olehnya. Enak saja! Bisa-bisa lelaki itu senang bukan kepalang.
 Sakura lalu membawa tubuhnya berdiri tegak; menampakkan raut wajah singa betina yang kapan saja siap menerkam.
“Sakura-chan!”
Lagi-lagi lelaki itu mengeluarkan jurus pamungkasnya, raut bayi yang baru lahir, cengiran selebar bibir kuda, dan suara lantang yang menyulutkan semangat. Tapi sayangnya bagi Sakura trik itu sudah ketinggalan zaman. Sekali ini saja ia akan membuat si tengik itu bertekuk lutut.
“Grr… Lagi-lagi penampilanmu seperti itu, Naruto! Tak bisakah kau berpenampilan keren sedikit? Minimal seperti Ikuta Toma, atau kalau bisa yang lebih tampan lagi, seperti Brad Pitt!” omel Sakura; mengambil kuda-kuda untuk menghajarnya sampai melayang ke negeri China.
Lelaki itu bernama Uzumaki Naruto, berumur genap 25 tahun. Memiliki sifat pantang menyerah yang berlebihan, humor yang berlebihan, dan rasa peduli berlebihan terhadap sesama. Semuanya serba berlebihan. Inilah yang Sakura tidak suka dari kekasihnya itu, masalahnya dia adalah seorang…
Pikiran Sakura berhenti berputar ketika ia lihat bercak merah pekat yang tersembul di bagian bahu kanan Naruto. Bersama dengan kilatan air yang mengucur deras di wajah dan sebagian tangannya yang tidak tertutup baju anti apinya. Tunggu…itu bukan sekadar bercak saja, tetapi nyaris menyebar di seluruh tangan kanannya.
Dengan mengusap-usap belakang lehernya, Naruto berkata, “Maaf, Sakura-chan. Tadi ada panggilan mendadak di sekitar komplek perumahan di Shinjuku. Kasihan nenek itu hampir saja terpanggang—”
Kenapa pemandangan yang sama muncul bak kaset rusak yang memutar lagu secara berulang-ulang?
Baka!”
“Aduh! Apa-apaan kau, Sakura-chan?! Sakit, tahu!” ringis Naruto seraya menggenggam dahinya yang agak ke kiri. Ia memalingkan matanya ke belakang, melihat sekilas barang yang dilempar Sakura barusan. Itu korek api kesayangan Sakura. Dan ia tahu betul Sakura hanya membawa korek itu ketika ia…, “Kau merokok lagi, Sakura-chan?” kini parasnya menjadi datar, seperti tak ada kehidupan di sana.
“Diam! Biarkan aku yang bicara padamu dulu! Kau yang membuatku menghisap barang yang bagimu sudah layaknya narkoba itu. Jadi, jangan salahkan aku! Kau pikir kau itu keren mengunjungiku dengan…,” Sakura terdiam sejenak.
“Dengan apa?” tanya Naruto dengan nada tak jauh beda dari sebelumnya. Nada yang mengandung amarah yang susah payah ditahannya agar tidak meledak seumpama bom waktu.
Entah mengapa Sakura menjadi gelagapan; berusaha sebisa mungkin tidak mengatakan hal ini. Namun emosi terlanjur memukul telak logikanya. “Dengan…dengan keadaan hampir mati begitu—!”
“Demi Tuhan, Sakura-chan. Kaulihat sendiri aku tidak kenapa-kenapa, kan?!”
Sakura lantas menunjukkan jarinya tepat ke arah lelaki berambut matahari terbit itu. “Aku benci ekspresi itu, ekspresi yang seolah-olah berkata ini adalah masalah sepele! Kaupikir aku tak mengkhawatirkanmu? Meski kau terlihat sehat-sehat saja, namun bagaimana suatu saat api itu akan melalapmu? Bagaimana…bagaimana kalau suatu saat yang datang kepadaku adalah Naruto yang telah—”
“Cukup, Sakura-chan. Kau kelewatan,” ujar Naruto pelan, tapi begitu menohok. Apalagi dengan tatapan setajam elang yang menusuk langsung ke mata Sakura.
Dan Sakura benci dengan mata biru itu. Mata biru yang saban hari selalu memberikan kehangatan ke jiwa dan raganya, seketika menancap garang ke indera penglihatannya. Kemanakah tatapan selembut langit biru di kala musim salju itu? Tapi kalau boleh jujur Sakura sudah kehilangan bentengnya, ia tak sanggup lagi terkungkung di tempat yang sama. Ia ingin segera keluar dari sangkarnya.
Maka keteguhannya sudah tak bisa dipatahkan lagi, inilah yang ia inginkan. Sakura lantas membalikkan tubuhnya memunggungi kekasihnya. “Lebih baik untuk sementara waktu, kita tidak usah bertemu dulu, Naruto.”
“A-Apa—tunggu dulu, Sakura-chan.”
Tidak, ia tidak ingin menatap mata biru yang berkabut keputusasaan. Bisa-bisa hatinya akan meleleh ibarat es Kutub Utara yang terkena serangan badai matahari.
“Untuk mendinginkan pikiranmu, Naruto.”
“Sakura-chan, kau tidak mengerti, menjadi pemadam kebakaran adalah cita-citaku sejak kecil, jadi…”
“Bukan! Kau hanya tidak bisa keluar dari jeratan masa lalumu!”
Mata Naruto melebar dua kali lebih besar. Mendengarnya ia serasa ditampar bolak-balik.  
“Sebegitu sulitnyakah membuat jalan hidup kita menjadi sempurna, Naruto? Tanpa rasa takut yang menghantuiku setiap saat. Sebegitu sulitnyakah melepas beban itu dari pundakmu?”
“Tidak ada yang sempurna di dunia ini, Sakura,” geram Naruto.
Tubuh Sakura bergidik. Naruto menghilangkan sufiks yang menunjukkan kecintaannya terhadap perempuan berambut merah jambu itu. Padahal selama ini ia tidak pernah memanggilnya seperti itu.
Naruto menghembuskan nafasnya kuat-kuat, sampai tersembul sisanya di udara. “Harusnya sejak dulu aku paham kau tidak akan pernah mau mengerti.”
“Naru—”
“Sudahlah, Sakura-chan. Aku akan mengabulkan permintaanmu. Mau seminggu, sebulan, setahun, aku akan menyanggupinya asal bukan untuk selamanya. Maafkan aku, terima kasih, dan…,” Dengan berat hati Naruto melangkahkan kakinya menjauhi taman.
Sakura memberanikan diri memutar tubuhnya menghadap Naruto. Logika telah mencuatkan luka, ia tahu betul inilah akibatnya. Punggung kokoh yang ada tiga meter di depannya itu terus menjauh dengan beban kepedihan yang ia tahu tak akan hilang hanya dalam waktu sehari. Tapi boleh kan sekali saja ia lelah menghadapi semua ini? Boleh kan sekali saja egonya yang memenangkan peperangan prinsip ini? “Pekerjaanmu sebagai pemadam kebakaran itu risikonya lebih besar dibandingkan aku yang menghisap rokok, apakah kau menyadarinya, Naruto? Sekali saja lihatlah ke depan…,” ujarnya kepada angin.
“Dan selamat tinggal, Sakura-chan,” bisik Naruto. Kata-kata itu terselip saja tanpa ia olah dulu di otaknya, entah mengapa, ia tidak mengerti, yang jelas kali ini ia sudah kecewa setengah mati. Ia terus berjalan menjauh, dan menjauh dari cinta tiada akhirnya. Ketika itu ia memberanikan diri merogoh kantong celana, dan mengambil sesuatu dari sana.
Sebuah lingkaran berlubang, ditempa dari emas, tergurat akar yang menyambung jadi satu membentuk ukiran kelopak bunga sakura di tengahnya. Ia memperhatikannya dengan luka yang menggerung di dada. “Aku ingin melakukannya di saat yang tepat, tapi waktu yang tepat itu kapan aku juga tidak tahu.”
Drip! Drip!
Naruto mengambil ponselnya yang bergetar di kantong celananya.
“Naruto-san, gawat! Pusat perbelanjaan Shibuya mengalami kebakaran besar. Kami menunggu Anda di kantor untuk memberikan komando.”
“Apa? Baiklah aku akan ke sana.”
Naruto lantas mematikan panggilan. “Kenapa harus di saat seperti ini sih?” Ia lantas memandangi langit. “Sepertinya akan ada hujan susulan ya. Semoga pekerjaan kami jadi cepat selesai.” 
.
o0o
.
5 Jam Kemudian
“Hei, kau seperti orang mati.”
“Aku memang mau mati, Ino.”
“Eh, serius? Tak kusangka putus dari Naruto malah membuatmu jadi seperti ini, seharusnya kau berpikir seribu kali untuk melakukannya kalau hatimu berkata ‘aku masih ingin bersamanya!’.”
“Aku hanya putus untuk sementara, menenangkan pikiran masing-masing. Ini jalan yang terbaik.”
“Memangnya ada apa sih?” Ino duduk di sebelah Sakura yang sedang memandang langit kelam di atasnya, ia tahu betul pikiran sahabatnya itu bukan berada di sana melainkan tertuju pada seorang lelaki berambut kuning yang sekarang entah berada di mana. Syukurlah hari ini ia datang mengunjungi Sakura, firasatnya mengatakan untuk datang.
“Lagi-lagi tadi dia terlambat, Ino.”
Bullshit, pasti ada yang lebih membuatmu kesal, kan?”
Nafas Sakura tersentak keluar dalam satu hembusan kuat. “Dia datang kepadaku dengan lengan berlumuran darah. Kau bisa membayangkan bagaimana perasaanku saat itu? Bau terbakar sudah biasa aku hirup, tapi untuk yang tadi aku merasa ketakutan sekali. Belum pernah aku takut sampai marah seperti itu.”
Akhirnya Ino pun paham. “Jadi begitu?”
“Naruto juga menghilangkan sufiks –chan, tanda cintanya padaku. Rasa-rasanya ini pertama kalinya aku membuatnya kecewa sampai ia seperti itu. Ia bilang aku tidak pernah mengerti apa yang ia mau.”
Ino membatu bak arca, hanya sejenak; kemudian mengembang senyuman bulan sabit di bibir tipisnya. “Haah, kalian itu. Memang deh.”
“Huh, apa maksudmu, Ino?”
“Menurutku banyak perbedaan yang sangat signifikan di antara kalian. Salah satunya kau ini calon dokter, sedangkan Naruto pemadam kebakaran. Tapi kalian selalu berusaha untuk tetap bertahan, kan? Hei, Sakura aku tahu kau bisa kuat lebih dari ini, jangan pernah menyia-nyiakan yang sudah ada di depan matamu. Karena kita tidak pernah tahu satu jam kemudian akan seperti apa jadinya.”
“Ah, lagi-lagi kau berbicara tentang takdir. Jangan menakutiku seperti itu, Ino,” decak Sakura kesal.
“Ahaha, gomen ne. Kau juga pasti paham mengapa Naruto melarangmu merokok, kau sendiri yang bilang padaku jika Naruto sangat membenci api, kan? Karena membencinya, ia ingin menjadi seseorang yang dapat memadamkannya. Dan kau…kau adalah seorang dokter, tidak lucu jika kau mati duluan ketimbang pasien-pasienmu. Rokok bisa mematikanmu perlahan-lahan.”
Sakura berdiri, ia sedang tidak ingin dinasihati. “Tapi Naruto, pasti ia akan langsung mati ketika api melahapnya tanpa tanggung-tanggung.”
‘Keras kepala, seperti biasa,’ ujar Ino dalam hati. “Oh ya, kalau Naruto menghubungimu tolong dengarkan apa yang akan ia bicarakan padamu. Aku pulang dulu ya, hari sudah semakin malam.”
“Ya,” ujar Sakura tanpa memperhatikan Ino yang turun melalui tangga di balkon apartemennya. Apartemen itu memang unik; memiliki jalan pintas yang sangat praktis. Lagipula kamar Sakura berada di lantai dua apartemen itu, dan tangga di luar balkon adalah bonus untuk ia yang cepat menyewa.
Sakura menuju ke dapur, hendak mematikan lampu. Ia melirik ke meja makan sebentar, dan menemukan sebuah ponsel berwarna ungu di atasnya. “Dasar, Ino memang suka ceroboh. Padahal aku berniat akan tidur. Jangan salahkan aku jika nanti kau datang dan aku tidak membukakan pintu,” gerutunya. Ia lantas menggenggam ponsel itu.
Tidur sepertinya jalan terbaik untuk menghempaskan segala persoalan hidup yang hari ini kepenatannya mencapai puncak.
Namun sebelum melangkahkan kakinya ke dalam kamar, Sakura mendengar ketukan dari pintu masuk apartemennya. “Untung saja tepat waktu ya, Ino.” Secepat kilat Sakura membuka pintu sampai hampir terbanting ke orang yang mengetuk pintu.
“Waaa! Hampir saja.”
Mata hijau Sakura membelalak. “Na-Naruto…”
“Kau kasar sekali, Sakura-chan. Hampir saja kepalaku benjol.”
Sakura memperhatikan Naruto dengan saksama. Lelaki itu menggunakan kemeja merah yang ditangkup dengan jaket jas hitam. Lengannya digulung hingga ke siku, menanggalkan kesan tua. Parasnya cemerlang. Ia laksana matahari yang terbit di malam hari dengan rambut landaknya yang terlihat dioleskan gel.
Diam mengurung mereka selama hampir satu menit. Saling menatap, berbicara lewat mata. Begitu banyak rasa yang bisa diterjemahkan dari hijau yang bertemu biru itu. Penyesalan, keputusasaan, kepedihan, dan tentu saja rasa cinta…
“Kau tidak akan membiarkanku semalaman berdiri di sini, kan, Sakura-chan?” tanyanya memecah kesunyian.
Sakura entah mengapa jadi salah tingkah dan langsung melebarkan daun pintu agar Naruto leluasa masuk ke dalam. “Ada apa malam-malam begini, Naruto? Besok masih ada waktu, kan?”
“Kau tidak mempersilakan aku untuk duduk dulu?” tanya Naruto seraya nyengir.
“Huh, sejak kapan kau meminta izin begitu?”
“Aku anggap kau mengizinkanku untuk duduk.”
“Terserah kau.” Tanpa melihat ke arah Naruto, Sakura berjalan menyebrangi ruang keluarga; dan berdiri di balkon. Malam ini memang tidak seterang malam-malam biasanya. Terlebih ketika ia melihat di kejauhan asap hitam mengepul; membentuk pola-pola abstrak di angkasa sana. Seketika ia menyadari sesuatu. “Apa ada kebakaran, Naruto?”
Naruto berjalan ke arah Sakura dan berhenti di sampingnya. “Ya, aku barusan ada di sana.”
Dahi Sakura mengerut. “Benarkah? Ini tidak sepertimu. Apa kau benar-benar, Naruto?” Karena biasanya Naruto selalu terlibat dalam pemadaman api yang terjadi di seluruh penjuru Tokyo. Tidak mungkin ia mangkir, karena ia adalah salah satu komandan.
“Kaupikir aku siapa, Sakura-chan? Hantu? Hahaha.”
“Kau tahu aku sedang tidak bergurau, Naruto.”
“Ah ya, ya, aku mengaku kalah.” Kemudian tangan Naruto menggenggam erat tangan Sakura. “Aku ingin sekali bertemu denganmu, Sakura-chan.”
‘Dinginnya,’ ujar Sakura dalam hati sembari melihat ke arah dua tangan yang saling menggenggam itu. “Bukankah besok bisa? Kau ingat kan kita sudah memutuskan untuk tidak berhubungan dulu.”
Mata Naruto mendelik ke atas. “Ah, benar juga.” Ia kemudian memandangi Sakura lagi, kini tersenyum tipis. “Karena besok aku tidak bisa kemari.”
Sakura menangkap keanehan dari senyuman itu. Ia mengatupkan matanya rapat-rapat. “Baiklah, apa yang kau ingin bicara—”
Mata Sakura seketika melebar dua kali lipat. Ia tak menyadarinya; Naruto merengkuhnya, dan meletakkan bibirnya di bibir Sakura. Sebenarnya Sakura ingin sekali berontak, namun gerakan hatinya berkata lain. Ia malah membawa kedua tangannya melingkari leher Naruto.
Diberikan sinyal seperti itu, Naruto lantas mengeratkan dekapannya pada punggung Sakura. Ia mengunci penuh bibir ranum Sakura dengan bibirnya. Menyalurkan kehangatan yang mengalir bak sengatan listrik ke seluruh nadinya.
Sudah lama Sakura tak merasakannya. Gairah yang berbalut cinta ini selalu bisa mengubah suasana. Ia sempat kecewa ketika Naruto menjauhkan bibirnya; kini berganti meletakkan dahinya ke dahi Sakura. Hidung mereka pun saling bersinggungan.
“Aku mencintaimu…,” ujar lelaki pemilik mata biru langit itu terengah-engah.
Sakura menatapnya sejenak, mencari ketulusan ucapan itu dari matanya, menelisik cinta tanpa dusta yang sering dielu-elukan dari bahasa tubuhnya. Dan ia tidak tahu harus berkata apa.
“Menikahlah denganku, Sakura-chan. Selamanya berada di sisiku…”
“Eh?” Sakura menegakkan kepalanya. Tidak percaya dengan apa yang Naruto utarakan. Ia lantas menyadari Naruto sedang menggenggam sebuah cincin emas di tangan kirinya.
“Maaf, aku tak bisa memberikan kehidupan yang sempurna untukmu. Tetapi bukankah itu yang menjadikannya begitu indah, bukan? Dengan ketidaksempurnaan itu kita bisa menerima satu sama lain.”
Sakura berusaha keras menahan air matanya yang sebentar lagi akan jatuh dengan menggigit bibirnya sendiri. Niatnya ia ingin berpegang teguh pada pendirian yang telah ia tetapkan. Tapi mata itu, ucapan semanis madu itu, perlahan-lahan melumerkan gunung esnya yang kokoh. “Naruto, aku…”
“Tolong jangan katakan tidak, Sakura-chan. Karena besok rasanya akan terlihat sulit. Aku tidak bisa hidup tanpamu…”
Setetes air mengalir di pipi kanan Sakura, menimbulkan jejak basah. Seketika hatinya runtuh, lelah mempertahankan egonya. Ia pun mengangguk seraya menatap Naruto lekat-lekat, senyuman manis melengkung dari bibir tipisnya. Air mata itu kini mengalir deras membentuk sungai-sungai kecil di pipi mulusnya. “Aku bersumpah, demi bintang yang benderang di kala malam, demi matahari yang merajai siang, demi rembulan yang pijarnya menerangi kegelapan, aku mencintaimu dengan seluruh nafasku…”
Mendengarnya, Naruto senang bukan kepalang. Ia juga jadi terbawa suasana, air matanya tumpah, meski tidak sederas Sakura. Dengan leluasa ia menyematkan cincin itu di jari manis tangan kiri calon istrinya. Ia kecup kening Sakura. “Sakura-chan, kau adalah perempuan yang paling sabar di jagad raya. Itu yang membuat hati ini enggan berpindah. Maaf membuatmu selalu menunggu.”
 “Tidak ada kata terlambat untuk itu kan sekarang?” ujar Sakura seraya tersenyum. Ia membawa kedua tangannya membetulkan kerah jas Naruto yang letaknya agak miring.
Naruto membalasnya dengan senyuman yang tak kalah manis. “Ya, terima kasih, Sakura-chan, dan selamat tinggal…”
“Huh?” kedua alis Sakura terangkat.
KRING!
Sakura nyaris lompat dari pijakannya mendengar bunyi dering telepon apartemennya. Ia sebenarnya cukup jelas mendengar apa yang Naruto ucapkan barusan, tapi ia memutuskan untuk tidak menggubrisnya. “Aku mengangkat telepon sebentar, Naruto.”
“Silakan,” ujar Naruto dengan senyuman secerah bunga matahari.
Telepon itu menempel di dinding dekat pintu balkon, sehingga tidak jauh dari balkon. “Halo, selamat malam,” ujar Sakura yang membelakangi Naruto.
“Sakura-chan, ma-maaf mengganggumu malam-malam.”
Dan Sakura pun mengenali suara dari seberang.“Ah, Jiraiya-san. Ada apa, ya?”
“K-Kau belum tidur? Apakah kau akan tidur?”
“Tidak, soalnya ada Na—”
“Baguslah kalau begitu,” potong suara di seberang. “Tadinya aku ingin memberitahumu besok saja karena kupikir kau sudah tertidur. Sekarang dengarkan aku baik-baik, Sakura-chan. Aku tak sanggup mengatakannya dua kali.”
Perasaan Sakura langsung diselimuti kabut. Suara Jiraiya, ayah angkat Naruto di seberang terdengar gelisah. “A-Ada apa, Jiraiya-san?” menjadikannya ikut tergagap-gagap pula.
“Naruto tewas…”
“Apa?”
“Hah, sudah kubilang aku tak sanggup mengulanginya, Sakura-chan!”
“Tunggu dulu, Jiraiya-san, gurauan Anda sama sekali tidak lucu,” seketika emosi memenuhi ubun-ubunnya.
“Kau pikir aku bercanda? Demi Tuhan! Naruto tewas ketika sedang bertugas, Sakura-chan! Jasadnya baru saja ditemukan di antara puing-puing bekas kobaran api yang sejam yang lalu berhasil dijinakkan,” suara Jiraiya terdengar frustasi di seberang.
Sakura sendiri seketika menggigil. “Tidak…tidak mungkin, Jiraiya-san. Anda pasti salah kira, Naruto sedang berada bersamaku sekarang!”
“A-Apa? Itu tidak mungkin, Sakura-chan. Jasadnya ada di depanku sekarang, dan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri wajah Naruto yang nyaris terpanggang. Meski harus divisum ulang, tapi dari barang bukti miliknya menunjukkan bahwa itu dia, Sakura-chan.”
Sakura menggelengkan kepalanya dengan kuat sampai terasa pusing. “Berhenti membual, Jiraiya-san! Naruto ada bersamaku! Barusan ia melamarku! Kalau mau kau bisa berbicara dengannya seka—” Ia membalikkan badan ke arah balkon, dan menemukan kehampaan di sana. Hanya menemukan tirai yang melambai-lambai diterpa angin. Mata hijaunya melebar membentuk lingkaran besar. “Bo-Bohong…”
PRAK!
“Sakura-chan…! Sakura-chan…! Mengapa teleponmu kau banting? Ada apa?!” tanya suara di seberang, panik.
Sakura segera berlari ke arah balkon. “Naruto!” teriaknya sembari berputar. Menyedarkan pandangannya ke segala arah, ia telusuri jalan raya di bawah apartemennya dari atas balkon, dan tidak ada tanda kehidupan di sana. Ia telusuri ujung satu dan ujung lain balkonnya, bolak-balik berkali-kali, tapi seseorang yang dicarinya menghilang tanpa ada jejak. “Ti-Tidak mungkin…tidak mungkin…barusan ia berada di sini.”
Nafasnya memburu, mencari oksigen sebanyak-banyaknya karena ia merasa sesak mencekik leher. Kakinya tiba-tiba terasa lemah, ia berlutut di lantai. Kini air mata bahagia berganti dengan lara. Pandangannya kosong, suhu tubuhnya menyaingi salju abadi yang turun di puncak Gunung Fuji. Ia memegangi kepalanya yang serasa akan pecah.
Sakura melihatnya dengan tatapan terluka, cincin tanda janji suci mereka masih tersemat di jari manisnya. “M-Mustahil…” Ratapannya menyayat angin membumbung menggarang di dada. Ia lepaskan rasa pedihnya ke udara, biar langit tahu seberapa sengsaranya ia. “NARUTO!!!”
.
o0o
.
 “Tubuh Naruto-san nyaris menjadi abu; hanya bagian atas kepala hingga dada yang tersisa, lainnya tulang. Aku sangat bersyukur jasadnya dikenali.”
“Ya, untung saja. Setidaknya itu akan membuat keluarganya tenang. Bagaimanapun nama tanpa tubuh yang sudah tak berdaya seperti tidak pernah eksis di dunia ini. Calon istrinya juga sempat gila dengan mengatakan bahwa Naruto-san datang kepadanya menyerahkan cincin lamarannya tadi malam.”
“Eh? Oh ya, kau tahu? Sempat ditemukan juga kotak kecil berbentuk bunga mawar yang hangus terbakar, diperkirakan kotak kecil itu tempat cincin. Tapi tidak ada cincin di dalamnya.”
“Ah, palingan cincinnya hangus terbakar.”
“Setidaknya akan ada jejak emas yang terbakar di sekitar jasad Naruto-san. Tapi setelah diperiksa sama sekali tidak ada.”
“Masa?”
“Apakah mungkin tertiup angin? Tapi ruangan itu tertutup. Itu kan yang membuat Naruto-san tak bisa keluar bersama orang yang diselamatkannya?”
“Mungkin saja, karena tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.”
“Sayang sekali, ya. Nasib manusia memang hanya Tuhan yang tahu.”
.
            Hanya ini.
            Tak bisa kuberikan lebih.
            Jangan menangis.
            Kau tahu aku membenci rupa sengsara itu.
            Karena kau harus paham, hati ini lebih menggarang.
            Larilah! Kau masih memiliki kaki yang menjadi penyokong diri.
            Pergi…pergi! Tinggalkan aku di dalam album waktu lalumu.
            Apa yang kau asakan dari kesempurnaan?
            Tak ada yang sempurna di dunia ini, itulah yang membuatnya indah, bukan?
            Kau menyadarinya kan, Sayang?
Bahwa keindahan itu adalah kamu.
            Maaf membuatmu selalu menunggu, terima kasih, dan selamat tinggal…
THE END
.
.
This Fanfiction Based on the song  ‘Kiss Shita Mama Sayonara (As We Kiss Goodbye)’ By DBSK
.
.
            Ah, saya memang penggemar DBSK dan JYJ. Sekarang kebanyakan fic saya terinspirasi dari lagu-lagu mereka hehehe ^^.
Oh ya, Insya Allah saya bakal balik dengan chapter kedua The Time Travel di bulan ini. Untuk Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki dan Shinjitsu no Uta, mohon maaf sekali saya belum bisa memastikan kapan akan di update ^^. Tapi sehabis Time Travel waktunya saya mempublish Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki, jadi harap bersabar ^^. Sekadar kabar juga, saya mau masuk ke fandom Fullmetal Alchemist, untuk pertama masih oneshot dulu, multichap masih belum kepikiran hehehe. Have a nice day, All.