Sunday, 18 March 2012

Ayam Betutu di Pinggir Kali Cikapundung

Ayam Betutu di Pinggir Sungai Cikapundung
Dayeuhkolot, kalau diartikan ke bahasa Indonesia artinya kota tua. Memikirkannya kadang dahiku sering mengisut. Seingatku—selama menjelajahi kota ini walau hanya di jantungnya saja—aku tahu betul tak ada yang terkesan tua di setiap sudut kotanya. Dibanding tua, kawasan ini lebih cocok disebut sebagai kawasan industri.
Tapi aku tak peduli dengan segala keanehan dari sinkronisasi penamaan dengan tata kota yang menurutku seperti puzzle. Yang sekarang menjadi masalah bagiku adalah selama kurang lebih tiga tahun, bayangkan tiga tahun, Kawan, aku akan menetap di sini! Aku selalu teringat akan cerita teman-temanku yang lebih dulu menetap di kota kecil namun padat itu. Cerita-cerita menyeramkan bak kesengsaraan yang dialami saudara-saudari kita di Nusa Tenggara. Dari kesulitan mendapat air bersih akibat buangan pabrik yang membuat keruh air tanahnya; dataran rendah nan gersang, panasnya menyaingi Jakarta, Man! Dan yang paling aku sesalkan, tempatnya yang sedikit jauh dari peradaban, jauh dari gemerlap eksotisnya kota Bandung yang—katanya—tersohor hingga ke Prancis.
Lanjut ke persoalan pertama. Perlu diketahui, Dayeuhkolot berada di bagian selatan kota Bandung. Yang jelas pemerintahan kota Bandung dipindahkan dari sana karena satu alasan yang kuat. Satu alasan yang bisa mengganggu jalannya pemerintahan dari masa ke masa tentunya. Yaitu, banjir!
Aku diam saja, tepekur di dalam angkutan umum nan sumpek ini. Padahal hari ini panasnya membara-bara, matahari bak sejengkal dari kepala. Inilah fenomena sebenarnya kota Bandung yang katanya sejuk lagi asri. Belum lagi si supir angkot yang seenaknya saja menghisap rokok, asapnya ngacir sana-sini sampai ke bagian belakang. Mentang-mentang penumpangnya semua perempuan tak mau tahu dia.
“Bentar, Neng. Satu hisap lagi,” tukas sopir angkot itu dengan enteng menanggapi omelan temanku, Anna—yang sangat alergi dengan bau asap rokok.
Anna hanya bisa menggerutu dalam hati. Ingin turun, tapi niatan itu kami urungkan karena angkutan umum seperti ini hanya ada di persimpangan jalan satu jam sekali.
Lihat, Kawan! Salah satu contoh orang yang pendapatnya tak didengar. Undang-undang anti asap rokok yang dibuat pemerintah daerah pun hanya dibuang sayang. Yah, begitulah fenomena lucu di Negeri kaya lagi miskin ini, undang-undang yang dibuat bak menjadi sampah dibuang sayang. Didaur ulang sampai siklus yang bisa membuatnya menjadi berlaku lagi.
“Ngel, geseran dong. Di ujung udah panas banget.” Temanku Kiki yang dari tadi diam saja akhirnya buka mulut juga. Aku menoleh ke arah samping. Ada ibu-ibu hamil tua sedang menggendong anaknya yang kira-kira berumur satu tahun. Aku enggan meminta geser walau tempat duduk bagian ibu itu sedikit lapang.
“Yaudah, kita tukeran posisi aja,” jawabku.
“Kamu nggak takut kepanasan?”
“Santai,” ucapku meyakinkan. Sampai di jalan Soekarno-Hatta, angkutan umum itu terpaksa berhenti karena macet. Aku pun buru-buru berganti posisi duduk dengan Kiki yang kian lama wajahnya kian berpeluh. Ditambah lagi jalannya angkutan umum ini yang terseok-seok seperti kehabisan bensin. Padahal jalan Soekarno-Hatta, Bandung ini sangat luas dan beraspal. Lampu lalu lintas pun berjalan dengan baik di setiap perempatan yang ada di jalan ini. Entahlah, aku juga kadang sangat lelah mencari-cari kesalahan sistem transportasi kota ini. Karena pihak yang berwenang saja dibuat bingung, apalagi orang yang awam ihwal transportasi macam aku?
Tapi lama-lama hal itu tak aku hiraukan lagi. Biarlah terkaman sinar matahari menggigit kulitku yang semakin hari semakin legam. Aku masih bersyukur dapat duduk di tempat ini, karena di luar sana banyak yang dengan terpaksa berjalan kaki padahal keletihannya tak sebanding denganku. Aku masih beruntung… Ya, masih beruntung…
Akhirnya setelah satu jam perjalanan, sampai juga di depan komplek kampus yang sangat megah ini. Entah mengapa perasaanku yang kacau-balau dari kemarin-kemarin, sedikit terobati dengan pemandangan meyakinkan ini. Nyatanya, tak seburuk yang aku kira.
“Bangunannya sudah jadi,” celetuk Anna datar.
“Yah, lebih besar dibandingkan dengan yang di kota,” ujar Kiki menimpali.
Anna membuka payung yang dia ambil dari tas. “Makan dulu, yuk! Nanti baru kita cari kostan.” Ia lantas buru-buru menyebrangi jalan yang menjadi jalan utama kampus.
Aku dan Kiki lintang-pukang mengejarnya. Lekas aku merapat ke trotoar karena ada truk yang tiba-tiba meluncur dengan cepat. Mentang-mentang jalannya luas, sopirnya pikir aku dan Kiki ini bak semut kecil buta yang main nyebrang saja. Terlalu. Ingin kulontarkan repetan panjangku pada truk tersebut. Tapi niatku itu aku urungkan karena suatu pemandangan yang membuatku jijik seketika.
Sebuah hamparan sungai kecil. Hitam… Sampah... Orang membuang hajat… Dan semua itu mengalir tak jauh dari kampus nan megah itu. Aku bolak-balik memandangi kampusku dan pemandangan sungai yang sangat ‘eksotis’ itu. Ibaratnya seperti langit dan bumi yang enggan menyatu kecuali saat kiamat datang menerjang.
Naon ieu2?” tanyaku sembari melotot.
“Hahaha, baru liat ya? Tenang aja nanti juga terbiasa,” celetuk Anna asal.
“Ini sungai apa? Kok bentuknya beda ya sama yang di kota?” tanyaku pada kedua temanku yang berjalan paling depan.
“Katanya sih bagian hilir sungai Cikapundung. Jadi jangan heran kalau sampah banyak bertebaran di sini. Jangan kira Bandung itu bersih, masyarakatnya saja buang sampah sembarangan,” gerutu Kiki. Ia baru setahun tinggal di Bandung, namun gaya bicaranya seperti penduduk asli di kota metropolitan ini. Persoalan sampah itu sangat membuat pusing tujuh keliling pemerintah di kota-kota besar. Selain penduduknya yang padat, lahan yang semakin sempit karena bisnis sana-sini membuat tempat pembuangan sampah akhir makin berkurang saja.
“Ah, sudahlah. Lagi pula ini bukan bagian hilir. Masih jauh sampai di Baleendah, jadi nggak usah khawatir kena banjir. Palingan meluap di pinggirannya aja. Di sini sih waktu hujan dua hari dua malam nggak berhenti saja, banjirnya datang.”
Aku melongo seketika, bayangan seram akibat banjir yang membuat kulitku gatal tiba-tiba kembali menghampiri.
“Eh, ngomong-ngomong, Ngel, pernah ke Bali?”
Lamunanku langsung buyar. “Nggak, memangnya kenapa?” tanyaku penasaran.
“Meski di pinggir sungai. Tapi aku jamin kamu bakal ngerasa lagi ada di Bali. Hehehe.”
Dahiku mengisut, tidak mengerti arti dari kalimatnya yang menurutku agak ngaur. “Maksudnya?”
“Pokoknya ikut aku deh,” ujar Anna lagi meyakinkan.
Aku dan Kiki mengikuti jalan Anna yang sangat cepat. Dia memiliki tubuh yang sangat ramping dibandingkan kami.
“Kemarin ada temanku yang nemu kedai masakan Bali di sini. Pada lapar ‘kan?”
“Sangat! Tapi yang lebih penting minum dulu!” teriak Kiki tiba-tiba. Ia seperti orang kelaparan yang tidak dikasih makan selama seminggu.
Tanpa pikir panjang Kiki langsung menyerbu warung kecil yang pertama kali kami jumpai saat masuk jembatan menuju daerah tempat kostan. Jembatan itu adalah salah satu jembatan yang menghubungkan daerah kostan dengan komplek kampus. Di bawahnya tentulah sungai yang sangat ‘eksotis’ itu.
Aku menyedarkan pandanganku ke pinggiran kali yang berdiri rumah-rumah kostan. Setidaknya dengan itu aku mulai bisa memutuskan bahwa aku tak akan pernah memilih rumah-rumah itu untuk kutinggali nanti. Jaraknya terlalu dekat dengan sungai.
Lantas Anna membawaku masuk ke sebuah gang di pinggir kali yang pada akhirnya mengantarkan kami pada sebuah kedai kecil yang terlihat lengang. “Baguslah lagi nggak ramai. Kemarin aku makan sampai ngantri. Mungkin karena lagi pada Shalat Jum’at. Masuk yuk!” ucap Anna. Ia memang kemarin sempat ke daerah ini sekali, dan sekarang kembali lagi karena belum menemukan kostan yang sesuai dengan hatinya.
Aku memicingkan mata ke dalam kedai, kuperhatikan keadaan kedai yang sangat sederhana. Di luarnya hanya ada spanduk  kecil bertuliskan ‘Warung Ibunda’ dan daftar menu masakan Bali yang disediakan. Jujur saja, aku sangat asing dengan nama-namanya karena malang betul aku tidak pernah berlibur ke Bali walau umur sudah kepala dua. Aku kembali berspekulasi sendiri; malah tak yakin jika ini kedai masakan Bali, apalagi tadi Anna mengatakan kalau makan di sini serasa makan di Bali. Padahal letaknya saja di pinggir sungai yang nyaris seperti pembuangan limbah khusus.
“Kenapa buka warungnya di pinggir sungai begini ya?”
“Anggap saja sungai ini pantai Tanah Lot, Ngel,” canda Anna. “Permisi, Bu.” Ia pun yang berjalan duluan masuk ke dalam.
“Silakan, Neng. Makan di sini?”
Anna menoleh sebentar padaku dan Kiki. Kami hanya diam saja, tapi hanya dengan melihat mata kami Anna bisa mengerti. Ia pun mengangguk. “Iya, Bu.”
“Oke, siapa dulu yang mau pesan? Ini ada ayam betutu, pelecing kangkung, tempe goreng…” Ibu pemilik kedai mulai menyebutkan satu-satu masakan yang telah disediakannya. Memang tak terlalu banyak, tapi entahlah, baru melihatnya saja aku sudah ngiler. Namun sejurus airmukaku berubah, aku baru ingat kalau lidahku tidak tahan dengan makanan pedas.
Aku jadi ragu-ragu untuk menyantapnya. “Pedas semua ya, Bu?” tanyaku pada akhirnya. Seenak apa pun masakan itu, jika pedasnya bukan main pasti bakal menyiksa perutku tujuh hari tujuh malam. Untuk itu aku tak mau nekat.
“Jangan khawatir, bumbunya nggak pedas kok. Kalau pakai sambal baru pedasnya kerasa.”
Jawaban yang meyakinkan, semoga saja ibu itu tidak berbohong. Si Ibu itu pun tidak menaruh sambal pada piringku. Sementara Kiki dengan liar menatap hidangan-hidangan yang baginya sangat menggiurkan itu. Masalahnya baunya pun sangat khas dan menggugah selera. Aku malah keasyikkan menatap muka lucu Kiki yang sangat natural itu, benar-benar apa adanya dan terlihat lugu.
“Mau pesan apa lagi, Neng?” tanya Ibu itu.
“Oh ya, ayam betutu sama pelecing kangkung. Itu saja, Bu.”
Ibu itu pun memberikan makanan pesanan padaku. “Kelihatannya kalian orang baru di sini ya? Ini Ibu kasih bonus ayam suir.”
“Wah, Bu. Tidak—”
“Nggak apa-apa, gratis kok.”
Aku terima saja rezeki yang datang, kata ayah juga tidak baik menolak pemberian orang lain. Apa lagi kalau niat orang itu tulus.
“Yang ayam hitam ini, apa, Bu? Menu baru?” Anna bertanya pada Ibu pemilik kedai, rupanya ia tak melihat menu itu sewaktu makan kemarin.
“Oh, itu Ayam Biadab.”
“Biadab?” tanyaku berbarengan dengan Kiki. Ia juga pasti sama kagetnya denganku karena nama hidangan itu terdengar sangat menakutkan.
“Iya, Neng. Ayamnya pedes, dijamin badan jadi anget delapan hari delapan malam. Hehe.”
 “Saya mau ayam biadab saja, Bu,” ucap Kiki tiba-tiba. Aku memperhatikannya sembari melotot.
“Saya juga.” Makin besar saja mataku terbuka kala Anna mengikuti jejak Kiki. Namun aku biarkan saja mereka memesannya, lantaran mereka memang gemar dengan masakan pedas-pedas.
Beberapa lama kemudian, kami pun menikmati masakan khas Bali yang—aku tahu dari televisi—sangat digandrungi oleh turis-turis mancanegara. Duduk di sebuah bilik terbuat dari papan yang luasnya tak seberapa. Kusantap setiap potongan ayam betutu dan pelencing kangkungnya dengan perlahan. Santan dan bumbu-bumbu yang aku tak tahu apa itu, teresap sempurna sekali di indera pengecapku. Lalu pelecing kangkungnya yang asam-asin, menggelitik lidahku untuk berani cepat-cepat menelannya masuk ke kerongkongan. Fantastis!
Dan Ibu kedai itu memang tak bohong, masakannya tak terlalu pedas. Aku jadi tambah semangat menyantapnya. Entah mengapa Balinya terasa sekali, padahal ke pulau Dewata saja belum pernah. Aku benar-benar lupa jika sekarang kami sedang berada di pinggir kali comberan yang sama sekali tak ada bagus-bagusnya. Tapi pesona masakan kedai sederhana ini mengubah semua pikiran jelek itu.
Aku memperhatikan Anna dan Kiki yang sedari tadi tak henti-hentinya menegak air putih dingin. Aku terkekeh-kekeh sendiri, mereka terlihat sangat kepedasan. Bibir Kiki juga nampak memerah dan maju satu centi karena pedasnya yang aku kira sangat dahsyat. Sedangkan Anna, dia sedikit jaga image, tapi aku yakin dia sama dengan Kiki. Matanya sedikit memerah umpama orang habis menangis. Walau mereka terlihat kepedasan, namun tetap saja aku yang terakhir menghabiskan santapanku. Mungkin karena saking pedasnya mereka juga tak tahan berlama-lama mengunyah ayam biadab itu dilidah.
“Enaknya…,” ucap Kiki sembari menegak air minum terakhirnya.
“Kamu mau nambah?” tanyaku padanya usil.
“Oh, tidak, sudah cukup,” jawabnya buru-buru. Perutnya sudah kembung lantaran kebanyakan minum air.
Setelah selesai, kami pun memutuskan keluar dari kedai itu karena sehabis Shalat Jum’at, banyak sekali mahasiswa yang berdatangan ke kedai. Aku langsung mafhum; walau kecil, masakan kedai ini banyak penggemarnya. Harus kuakui harganya juga sangat pas untuk anak kostan seperti kami. Aku keluar dari kedai duluan; celingak-celinguk sana sini lalu terlihat sepi, aku tak malu mengeluarkan sendawaku yang lumayan keras.
“Kenyang ni!”
Aku menoleh ke belakang, ternyata Anna. Aku tertawa tanda malu.
“Gimana menurut kamu? Nggak seburuk yang kita kira ‘kan?”
Aku memperhatikannya sejenak dan mengalihkan pandanganku pada riak sungai Cikapundung yang tenang siang itu. Senyuman manis melengkung dari bibir tipisku. “Ya, tampaknya aku bakal betah di sini. Gara-gara ayam betutu. Hehehe.”
Anna tertawa geli.
Ayam betutu di pinggir sungai Cikapundung yang sangat ‘eksotis’ ini. Memberikan paradigma tersendiri yang lain untukku. Paranoia kembali menyerangku, gara-gara ayam betutu, sungai yang berada di depanku sekarang tiba-tiba berubah menjadi pantai Tanah Lot. Tebing-tebing tinggi, suara ombak yang berdeburan pada tebing-tebing itu, dan angin sepoi-sepoi yang menerbangkan kain kudungku. Hm, pemandangan yang sangat indah, Kawan.

Glossary
1.       Kolot        : Tua
2.       Naon ieu? : Apa ini?
Ini cerpen yang sudah lama banget dibuat, salah satu cerpenku yang gagal menang suatu kompetisi hehehe. Well, sepertinya aku bakal post lagi karya-karya aku yang gagal di sini :D. Terinspirasi dari warung makanan Bali langgananku di daerah PGA, Yayasan Pendidikan Telkom, Warung Bu Fatimah. Ayam Betutunya mantap sekali ^0^.

Asteralena 2: Cerita Tentang Bintang


            Hai, lama nggak update blog ini dengan goresan saya sendiri ^^. Sekarang saya akan melanjutkan cerita saya tentang novel saya ini.
Sebenarnya sudah banyak novel yang bercerita tentang bintang, lalu mengapa saya juga mengambil bintang sebagai salah satu isi dari novel saya ini? Jawabannya karena saya adalah pecinta bintang hehe. Dengan bangga saya menyebutkan bahwa saya adalah ‘Perempuan Pemburu Bintang’. Bintang apa yang akan saya tuliskan di sini? Sepertinya akan menjadi rahasia sampai nanti kalian bisa membacanya sendiri ^^.
            Pada dasarnya saya adalah orang yang tidak suka mengumbar kehidupan pribadi, terutama tentang keluarga saya kepada publik. Soalnya saya paling nggak suka ada yang kasihan sama saya ^^. Ya, kali ini saya akan bercerita sedikit. Setiap orang, setenang apa pun muka dia, pasti dia memiliki masalah yang orang lain nggak tahu seberapa berat masalahnya itu. Tapi setiap orang juga memiliki kekuatan untuk menghadapi masalahnya sendiri, well, itulah kehidupan.
Mungkin suatu saat nanti akan ada bagian dari novel saya ini yang mengejutkan kalian. Ya, novel ini terinspirasi dari kisah nyata, kisah nyata siapa? Kisah nyata keluarga saya sendiri. Tapi karena saya juga adalah si pengkhayal tingkat tinggi, bukan tidak mungkin novel ini bakal mengandung banyak unsur fiksi dan dramatisasi hehehehe.
Daddy, Mommy, Annissa, dan Saya :D

            Novel ini saya persembahkan khusus untuk Mama dan adik bungsu saya, Sherly Wuisan. 

     
Sherly umur 4 tahun





Saya tiga bersaudara dan semuanya perempuan.  Yang tengah namanya Annissa Wuisan.

Saya dan Adik Saya Yang Pertama, Annissa Wuisan

 Yang paling jelek itu saya, yang paling cantik ya si bungsu :D. Tapi Mama nggak pernah tahu novel ini saya persembahkan untuk beliau dan adik saya. Yang Mama tahu, saya akan membuat novel tentang adik saya ini. Yeah, I love my mom. Beliau adalah seorang wanita mandiri yang paling sabar sedunia ^^. Kemandirian beliau terbentuk karena Papa saya jarang berada di rumah karena profesinya sebagai pelaut, meski sekarang Papa sudah tidak melaut lagi dan bekerja di perusahaan pertambangan di Pontianak, tetap saja Papa jarang berada di rumah. Karenanya saya berhati-hati sekali dalam membuat novel ini, detail-nya benar-benar saya perhatikan dengan cermat.

Saya dan Mama

            Dan Sherly…Sherly adalah pengidap autis. Bagaimana rasanya memiliki seorang adik yang mengidap autis? Saya menjawabnya, Subhanallah :D, detailnya saya sulit untuk mengatakannya. Pokoknya suka dan duka itu tetaplah Subhanallah sekali hehehe.
            Saya masih stuck di bab 9, tugas kuliah saya mulai menggila di awal semester 6 kemarin. Dari persiapan bazar entrepreneurship, pembuatan program radio, pembuatan program tv, pentas budaya (yang ini belum pasti; mudah-mudahan saja nggak ada. Amin :D), dan juga mempersiapkan berkas untuk magang nanti.
            Untuk sementara saya menyelesaikan kewajiban-kewajiban saya dulu. Saya juga mencuri-curi waktu untuk mengerjakannya. Tunggu cerita saya selanjutnya ya :D.

Sunday, 11 March 2012

Info: Buku Baru Yang Akan Terbit. Kumpulan 100 Besar Puisi Kompetisi Tingkat Nasional KMRS Lombok Timur


Alhamdulillah setelah kemarin gagal total di lebih dari 4 kompetisi menulis yang saya ikuti, akhirnya ada juga tulisan saya yang masuk ke dalam daftar puisi yang akan dibukukan oleh Komunitas Rumah Sungai Lombok Timur.
Kompetisi ini sekitar 400 lebih naskah yang masuk. Dan masih dalam tahap penjurian lagi untuk menentukan 5 besar. Well, saya hanya bisa berdoa semoga saja bisa masuk hehe.
Saya masih pemula dalam membuat puisi, selama ini yang saya tahu membuat puisi itu sesuka hati. Dan Alhamdulillah dapat pencerahan sedikit tentang teori menulis puisi. Puisi yang saya buat di sini menceritakan tentang Islam. Entah mengapa saya memang nggak ahli untuk membuat puisi genre lain, lain kali saya akan mencobanya dengan melakukan riset kecil-kecilan.
Dan ini adalah 100 besar puisi yang akan dibukukan oleh KMRS Lombok Timur. Congratulation ya ^0^
1)      A Ashly Nugraha M - Mencari Nada yang Hilang
2)      A.Ganjar Sudibyo – Oratorium
3)      A’yat Khalili - Sketsa Bukit Sajadah
4)      AF Kurniawan - Sepanjang Hidup Yang Mengahadap Matamu
5)      Ahmad Ijazi H - Pelayaran Gerhana
6)      Anisa Juniarti - Hitam dan Putih
7)      Andi Magadhon - Fragmen Pelaut Muda
8)      Arlin Widya Safitri – Jendela Melewati Dua Musim
9)      Arther Panther Olii - Puisi-Puisi yang Kubaca di Beberapa Bagian Tubuhmu
10)  Arther Panther Olii – Semesta Nama Bunda
11)  Anisa Purwa Ningrum – Haus Kasih-Mu
12)  Avinda Aminatun - Tanyaku Mengapa
13)  Baiq Westi Rahmi - Bukan Benalu
14)  Baqiyatussolihat – Kembaliku Padamu
15)  Budhi Setyawan - Metafora (1)
16)  Darihan Mubarak – Di Bawah Atap Gereja
17)  Dalasari Pera - Di Kotamu, Kurekam Gambar-Gambar
18)  Dianna Firefly – Sajak Kita Yang Tak Ada
19)  Dika Agusta - Perempuan Hujan
20)  Diyas Rifka Annisa - Hembusan Angin Januari
21)  Dimas Indianto S - Fragmen doa dalam hujan
22)  Drygin Dayaningrum - Tentang Rerumputan
23)  Deri Hudaya – Cerita Anjing Pada Blues
24)  En Kurliadi Nf – Seorang Perempuan di Kolam Sorban; Ibu
25)  Emingga Sartiana -  Syair Adam Hawa
26)  Fadhila Eka Ratnasari - Tentang Puisi Cinta Yang Terselip Di Antara Debu
27)  Fanni Supenda – Pak ‘Maling’ Yang Terhormat
28)  Fanny Ys - Rindu, Bromo
29)  Febri mira rizki - Sejoli terjerat di ruang mimpi
30)  Fida’ Husain - Cerita di Pagi Hari
31)  Fina Lanahdiana - Cerutu Yang Terus Menerus Melubangi Paru-Paru
32)  Fitri Masruroh - Alpa Pada Asa
33)  Gilang Kencana - Aku dan Bintang Masa Laluku Adalah Kosong
34)  Hadi Kurniawan AR – Introvertebrata
35)  H.C Luthfie - Diksi Kematian
36)  Irfan Fauzi - Di Bawah Naungan Gubug Reot
37)  Ibnu Ardhy – Perempuan Bisu
38)  Indra Prasetyo - Menanti Datangnya Hujan
39)  Iin Munawaroh - Pemudaku dalam Ekor Anak Angsa
40)  Ika Pasca Himawati – Kau Tahu Kawan ?!
41)  Ima Santika Jayati - Bicara pada Tuhan yang Sama
42)  Istianah Qudsi Falkhi - Do’a Sebatang Mangrove
43)  Jun Nizami -  Kepada Perempuan Laut
44)  Kemas Ferri Rahman - Sepucuk Surat buatmu, dan Beberapa Do’a Sederhana yang Terselip di dalamnya
45)  Khairunnisa - Aku Melihatmu ( Lebih Dari Disepanjang Kau Menoleh Aku: Sedetik Saja)
46)  Khilmatushofa - Sepucuk Surat Untukmu Ayah :
47)  Kirom Semburat Cahaya – Caleg Muda
48)  Lailatul Kiptiyah - Kepada yang Jauh
49)  Lauh Sutan Kusnandar - Gedoran Mutakhir
50)  Lina Kelana - Tentang Perbincangan  Yang Tak Lekas Memberi Kesepakatan Setelah Denting Ke Sembilan Mengetuk – Ngetuk  Pintu Rumah Dan Jendela Kaca
51)  La Ode Gusman Nasiru - Yang Aku Ingat
52)  Marsus Ala Utsman - Lecutan Suara Burung
53)  Mar’atun Solihah – Pertemuan Kali ini
54)  Muhammad Irwan Aprialdy - Rumah Hujan
55)  Muhammad Khoirul Atqiya’ – Maaf
56)  Mario F Lawi – Retina
57)  Muhammad Madun Anwar – Ibuku
58)  Muhammad Anugerah Firdaus – Ternyata Gugur
59)  Maria Heni Krisnasari – SRI
60)  Muhammad Ramli – Tinta Kotor Tinta
61)  Majenis Panggar Besi - Sepanjang Taba Terunjam hingga Liku Sembilan
62)  Malam gerimis - Menuju Rumah Kekasih
63)  Maulana Satrya Sinaga - Cerita Singkat Tentang Keluargaku Sebelum Pasang Gelombang
64)  Meidi Chandra - Hanya Manusia
65)  Meylan Lolita - Jika Kau Merasa Kehilangan, Pastikan Semua Akan Baik-Baik Saja
66)  Niken Larasati - Bukan Petaka, Namun Pengorbanan
67)  Nenni Makmun - Sebuah Perjalanan
68)  Nida Faradillah – Tuhan
69)  Nasibatul Mahmudah – Gadis Kecil Itu
70)  Novia Rispawati – Nasib Seorang Pengemis
71)  Nurlaelan Puji Jagad - Ikrar Pagi
72)  Pretty AW - Figur Syahadah
73)  Rizky Muhammad Alfajar – Perempuan Biru
74)  Reni Nurhasanah – Aku Berpijak di atas Bebanmu
75)  Rahmat Hidayat – Manusia dan Tuhan
76)  Rahman Bustami Hidayat – Rona Merah
77)  Rassela Malinda – Perempuan Tua Yang Berpeluh Air Mata dan Darah Ini Adalah Ibumu
78)  Reza Anindita - Testimoni  Pengungsi
79)  Rian Ibayana - Sabung Patana
80)  Sami’an – Pesan Untukmu
81)  Sandza - Lukisan Gurat Urat Ayah
82)  Sadheva D (Zahid Panji Sadewo) - Dansa Purnama
83)  Septantya Chandra – Parfum
84)  Sinar Yunita Purba - Kharispia, Teduh Di Antara Penat...
85)  Sujud Arismana - T r i
86)  Suci Nurani wulandari - Ada dan semudah itu
87)  Siti Khumairah – Dongakkan Khayal
88)  Shofiana Amini Rizki – Untuk Selamanya
89)  Saniatul Husna – Siput Tak Bercangkang
90)  Siti Aisyah Juliana – Sahabatku
91)  Taufiqoh Rahma – Terjatuh
92)  Udin Sape Bima - Bima Kembali Berduka
93)  Umi Lutfiah - Untukmu, Ibu
94)  Uswatun Hasanah – Kisah Siswa Gadungan
95)  Wahyu Ardhiana Anggraini - Aku Memanggilnya Ibu
96)  Widya Ajeng Pemila - Tak Perlu Lagi
97)  Wicha Spicca Breeze - Palung Keimanan
98)  Wulan (Luna Sancaka) - Anak Bangsa Hari Ini 17082010
99)  Winarni Lestari - Jangan Ketuk Jendela Kamarku
100)    Yori Kayama - Tentang Dini Hari