Friday, 16 December 2011

Sakura Punya Cerita

MAU KE JEPANG GRATIS? YUK, NULIS ARTIKEL. DEADLINE 16 JUNI 2016. INFO LEBIH LENGKAP KLIK BANNER DI BAWAH INI.

Ikuti Present Campaign HIS Summer Trip Blogging Competition


Fic kedua yang aku buat dulu. Jadi masih acak-acakan ^^

Sakura Punya Cerita
Naruto © Masashi Kishimoto
Ada Satu © Vidi Aldiano
Warning: Rated T, a bit fluff
Pairing: Naruto dan Sakura

Sakura dan Naruto di sini sudah berumur 24 tahun.
Ok deh, Selamat membaca ^^
Song, Ada Satu by Vidi Aldiano
 Aku tak kuasa melupakan dirimu
Walau sekejap saja
Berasa terhenti nafasku tanpamu berada di sisiku.
            Hai, kasihku tahukah engkau? Kali ini aku dikelilingi oleh desiran angin malam, duduk di atas tempat tidur kita. Kupandangi Rembulan yang sedari tadi bersinar terang menerangi sisi gelap dunia. Cahayanya masuk ke dalam kamar kita yang temaram, menemani diriku yang belum terlelap.
Tempat tidur ini cukup besar untuk kau dan aku, namun mataku tak bisa jua terpejam. Kusadari malam-malam penatku-yang selalu ada kau menemaniku, menjadi selimutku di kalaku kedinginan. Tempat dimana aku menyembamkan mukaku dikala ketakutan. Namun kali ini aku sendirian.
Andai saja aku tak mempunyai kesibukkan yang berarti, aku pasti akan mengikutimu melangkah jauh ke depan. Tak ada dibenakku sebelumnya jika menjadi seorang istri Hokage akan seperti ini, sudah risiko memang. Ya, suamiku Uzumaki Naruto–Hokage Ketujuh-sedang melaksanakan tugasnya untuk perundingan kedamaian antara 5 negara besar Ninja yaitu, Suna, Iwa, Konoha, Kiri, dan Kumo. Sebenarnya aku tidak ingin ia pergi, bagi diriku sebulan itu waktu yang cukup lama untuk tidak saling bertemu. Bagaimana tidak? Baru 5 bulan kami menikah, tapi Naruto harus meninggalkanku.
Masih teringat di benakku ketika Naruto dan rombonganmya hendak pergi meninggalkan desa. Aku dan dia saling berhadapan, Naruto mengulurkan tangannya disekitar pinggangku, sedangkan aku membetulkan kerah jubahnya yang letaknya  miring, kemudian kubawa tanganku turun ke bawah menyentuh bidang dadanya.
“Hati-hatilah kau di sana, Naruto,” ucapku mesra. Kutatap dirimu dengan penuh ketulusan. “Dan jangan melakukan hal gila apa pun, kau selalu bertindak ceroboh jika aku tidak ada di sampingmu,” omelku setengah bergurau. Kau tertawa lepas mendengar ocehanku.
“Hmm.. bagaimana ya? Aku tidak bisa berjanji padamu Sakura-chan, melakukan lelucon bisa menghilangkan kestresanku.”
“Baka, bilang saja kau ingin di sampingku terus ya ‘kan?” Tanyaku sedikit menggoda. Aku memukul bahumu pelan. Kau mendelikkan mata jenakamu seolah tidak mengerti apa yang aku maksud.  
Kimi ni muchuu da , Sakura-chan! [1]” ucapmu lantang. Aku nyaris tertawa lepas karena lontaran kata-katamu, kau memang paling bisa membuatku tertawa Naruto. Kau pernah bilang kau senang melihatnya, jika begitu wajahku pasti bersinar lantaran bahagianya diriku. Dan hal yang paling membuatku terharu kau juga bilang bahwa ‘tawaku adalah hidupmu’.
Lalu kau rangkul aku ke dalam pelukanmu. Kudekapkan diriku lebih dalam, rasa-rasanya aliran darah dalam tubuhku menjadi hangat seketika. Kuletakkan kepalaku di dada bidangnmu, bisa ku rasakan suara denyut jantungmu-yang berdetak dengan ritme beraturan-layaknya instrumen tabuh genderang. Aku tak ingin lepas dari rangkulanmu, aku ingin selamanya seperti ini.
Lalu kau angkat daguku secara perlahan, kini wajahmu dan wajahku saling bertatapan. Bisa kurasakan hembusan hangat nafasmu menggelitik bibirku. Wajahku dan wajahmu hanya terpisah beberapa centi saja. Aku tahu apa yang ingin kau lakukan, Naruto, namun kubiarkan saja karena dalam diriku aku juga menginginkan hal yang sama. Kuletakkan tanganku melingkari lehermu, aku siap menerima buaian hasratmu .
“EHEM, Naruto-sama!” teriak seseorang mengganggu aktifitas kita. Kau terkejut dan melepaskan rangkulanmu. Aku pun buru-buru merapikan penampilanku..
Kuso, itu adalah kesempatan bagus!’ itu yang kau umpat dalam hatimu Naruto. Kau jengkel karena ada yang menginterupsi moment indah kita. Lagipula ini kesempatan terakhir ‘kan? Sebulan ke depan tentunya aku tidak bisa bermesraan denganmu. Sebulan saja bagimu seperti bertahun-tahun rasanya.
“Kakashi-sensei, bukankah sudah kubilang kau tunggu di luar gerbang saja? Aku harus menyelesaikan urusanku dulu,” ujarmu sambil menggerutu. Aku hanya tersenyum kecil melihat tingkahmu yang seperti anak kecil.
“Urusanmu? Hahaha, maafkan aku Naruto. Aku tak bermaksud mengganggu kalian.” Kakashi-sensei tertawa terbahak-bahak sembari meletakkan tangan di belakang kepalanya. Kau sebal melihat ekspresi-seakan tak bersalah-sensei tersayang kita.
‘Huh dasar Kakashi-sensei, bilang saja kau iri,’ umpatmu pelan. Aku tertawa geli karenanya. Bagaimana sensei bisa iri? Dia sudah memiliki Kurenai-sensei.
“Hei Naruto sudahlah,” ucapku sembari tersenyum simpul.  Kugenggam tanganmu erat. Sekali lagi kau alihkan pandanganmu kepadaku, lalu kau belai lembut wajahku, tanganmu membelai ujung alisku, terus turun hingga ke bagian dagu mengikuti lekuk wajahku yang selalu kau bilang indah. “Aku akan merindukanmu selalu, Sakura-koi,” ucapmu.
“Aku juga, Naruto-koi,” balasku sembari tertawa kecil. Kau  memang lelaki gombal tingkat kakap yang pernah kutemui, tapi aku senang mendengar kegombalanmu itu.
Kemudian kau arahkan pandanganmu ke bibirku, sesekali kau lirik mataku. “Sakura-chan, boleh ya?” Tanyamu meminta izin terlebih dahulu. Tentunya aku tertawa melihat tingkahmu itu, pasti karena ada orang yang sedang memperhatikan kita ‘kan?. Namun pada akhirnya aku mengangguk malu. Mendengar hal itu kau langsung melumat bibirku. Bisa kurasakan jari-jari di kedua tanganmu menyentuh perbatasan telinga dan rambutku, memaksaku untuk lebih mendekat kepadamu-maksudmu agar aku dapat menikmatinya juga. Kupejamkan mataku. Selang satu menit, kau lepaskan kecupanmu, dan mengambil nafas dalam-dalam. kau tersenyum lebar melihatku nyaris kehabisan oksigen, nafasku tersengal-sengal.
“Hokage-sama, saatnya kita berangkat!” teriak seseorang. Kau dan aku langsung menatap Kakashi-sensei yang tidak beranjak dari tempatnya.. Wajahya memang tertutup masker tapi aku tahu sensei tersenyum dibaliknya. Namun ternyata itu bukan suara sensei melainkan suara anak buahmu yang lain-yang bisa kutebak tidak sabar menunggu pemimpin mereka untuk segera berangkat. Semua rombongan ternyata masuk kembali ke dalam gerbang pintu Konoha. Mereka menyeringai dan bersiul-siul tidak jelas.
“E-Eh??!!” teriakmu sembari melotot. Wajahku merona malu karena aku tahu, pasti mereka melihat aktifitas kita yang baru saja terjadi beberapa detik yang lalu.
“Hei, bukankah sudah kubilang kalian tunggu saja di luar?!” teriakmu menutupi rasa malumu. ‘Dasar ini pasti kerjaan Kakashi-sensei!’.
Maa Naruto-sama, kau terlalu lama membuat kami menunggu,” ucap Kotetsu sembari tertawa.
Hai.. Hai wakatta! Ikimasho! [2], ” teriakmu jengkel, tapi mereka hanya tertawa saja melihat tingkahmu. Dalam hati aku juga ingin tertawa rasanya.
Kau menghampiriku sebelum melangkahkan kakimu. “Sakura-chan, aku akan kembali secepatnya jika urusanku selesai. Aku akan kembali di hari ulang tahunmu.” Kau kecup dahiku sembari mengatakan. “Ittekimasu.[3]
Itterasshai, ki o sukete [4], Naruto. Aku akan menunggumu.” Kuberikan senyuman terbaikku padamu belahan jiwaku. Kau langkahkan kakimu perlahan-lahan menjauhiku. Walau tak rela sepenuhnya, aku akan sabar menunggumu.
Aku tak rela, bila hari yang kulewati tanpa kau di sini
Ku tak pernah yakin di dunia ini ada yang sepertimu
Hanya satu, kamu  . . .
            Desiran angin malam yang menusuk kulit membuatku tersadar dari lamunanku. Aku akhirnya memutuskan untuk tidur. Kupejamkan mataku perlahan.
‘Cepat pulang, Naruto. Cepatlah kembali.’


            Pagi itu aku tidak mengerti, aku bangun dengan sedikit nausea di kepalaku. Mungkin akibat angin malam kemarin karena aku cukup membuka lebar jendela kamarku. Tapi kali ini perutku ikut mual, membuatku ingin muntah. Aku langsung mengambil langkah seribu menuju kamar mandi, kumuntahkan semua isi perutku padahal sarapan saja aku belum. Kubersihkan bekas muntahan tadi lalu segera bercermin di kamarku.
            “Ya Tuhan, ada apa denganku? Naruto sedang tidak ada tapi aku sakit begini,” ujarku lemas. Kulihat kalender yang terpajang di dinding kamar, 3 minggu sudah Naruto tak ada di sini. “Naruto terasa lama sekali kau pergi,” ucapku lirih. Kali ini tetesan air hangat membasahi pipiku, Aku merasa payah tanpanya di sisiku, mudah sekali aku menangis semenjak Naruto pergi.
 Ada satu di hatiku
            Ada satu dihidupku
            Ada satu dicintaku
            Ada satu kamu
Kulihat kalender sekali lagi, takut-takut aku salah lihat. Lalu mataku terbuka lebar, kulihat lingkaran merah di bulan sebelumnya. Bodohnya. Kenapa aku baru menyadari kalau aku terlambat datang bulan 2 minggu?
            “Ja-Jangan-jangan?” Aku bertanya-tanya di dalam hatiku. Aku tersenyum lebar, ini bisa jadi kejutan untuk Naruto tapi aku harus memeriksanya dulu. Aku pun langsung mengganti baju dan segera melangkahkan kaki menuju Rumah Sakit.


            Aku duduk di ruangan khusus ibu dan anak, menunggu hasil tes kehamilan yang kulakukan beberapa menit yang lalu. Berjuta pikiran menghantuiku, apakah aku siap menjadi seorang ibu? Apakah Naruto akan senang mendengar hal ini? Aku dan Naruto memang ingin sekali memiliki anak, tapi tidak kusangka akan secepat ini.
            “Sakura,” panggil Shizune-neesan dari balik tirai ruangannya. Ia menggenggam hasil tes di tangannya, dan menghampiriku.
            “Shi-Shizune-neesan, bagaimana hasilnya?” Tanyaku gagap.
            Shizune-neesan tersenyum lebar “Omedetou [5] Sakura, kau memang positif hamil.”
            “Jadi benar?” Aku ingin memastikan. “Boleh kulakukan tes sekali lagi?”
            Shizune-neesan tertawa lepas melihat ketidakpercayaanku. “Sakura, ini sudah yang kelima kalinya kau melakukan tes. Kenapa kau tidak percaya?” Dan tentunya Shizune-neesan cukup bosan mengatakan ucapan selamat kepadaku untuk kelima kalinya.
            “Bu-Bukan begitu Shizune-neesan, aku hanya…,“ aku tak bisa melanjutkan perkataanku. Shizune-neesan menggenggam tanganku yang bergetar kecil.
            “Sakura, kau siap dengan semua ini ‘kan?”
Aku menengadah, cepat-sepat kujawab pertanyaannya. “Tentu saja, nee-san! Aku hanya… aku hanya bingung bagaimana caranya memberitahukan Naruto.”
Shizune-neesan mengambil nafasnya perlahan. “Begitu ya? Aku mengerti Sakura, kau merindukan Naruto?
Aku mengangguk. “Ya. Pastinya. Tapi aku tidak tahu alamat di mana aku mengirimkan surat untuknya. Kami kehilangan kontak. Aku mengerti pasti perundingan itu sangat alot. Tapi dia akan pulang pada saat hari ulang tahunku.”
“Aku yakin dia pasti punya kejutan untukmu, Sakura.”
Aku tertawa kecil. “Tentu saja Shizune-neesan, dia itu ninja penuh kejutan nomor satu.” Aku menengadah ke bawah-melihat perutku yang masih datar-kemudian kuusap secara melingkar. Sebuah kehidupan akan tumbuh di sana. Aku bisa bayangkan bagaimana rupanya jika dia lahir nanti. Laki-laki atau perempuan tentunya dia akan memiliki sifatku dan Naruto. Aku tersenyum, dia akan menjadi pribadi yang unik pastinya.


Hari ke 28 bulan Maret, Semenjak pagi aku telah sibuk di dapur mempersiapkan sajian untuk Naruto nanti. Ya, hari ini suamiku akan pulang, aku tak sabar ingin melihat wajah tampannya. Sungguh bodoh aku baru menyadari hal itu setelah sekian lama.
Aku memandang ke arah luar jendela, arak-arakan mega beriringan saling bertabrakan satu sama lain. Membentang langit biru di atasnya-menjadi landasan mereka untuk lewat.  Lukisan fana Sang Maha Pencipta. Memang indah tak terlogikakan. Namun yang lebih membuatku terpana, langit hari itu mengingatkanku akan dia.
‘Seindah matanya,’ ungkapku. Pemandangan ini nyaris sama persis dengan hari istimewa itu, hari dimana Naruto melamarku. Hari itu aku nyaris menolakmu Naruto, tak mengerti apa alasanku tapi aku selalu memendam rasa bersalahku selama 3 tahun masa berpacaran kita. Aku selalu merasa, aku tidak pantas menerima cintamu.
Lalu kau menangis kau bilang kau tidak mau menikah dengan wanita selain aku. Rasa bersalahku semakin menjadi, lagi-lagi aku membuatmu patah Naruto. Aku tidak menyangka kau se-fragile ini. Aku mencintaimu, Naruto. Aku berjanji tidak akan membuat kau menderita lagi karena itu aku terima lamaranmu. Karena kita juga merasakan yang sama.
* * *
Aku berjalan sehabis pulang dari rumah sakit dimana aku bekerja. Aku tidak pulang terlalu larut, semenjak tahu aku hamil Shizune-neesan mengurangi jam kerjaku. Memang akhir-akhir ini aku mudah kelelahan, terkadang nausea hinggap di kepalaku. Tapi aku tak terlalu memikirkannya, di kepalaku hanya ada dia seorang. Hari ini dia berjanji akan pulang.
Sekelebat rambut abu-abu melintas ke arahku. Aku memandang dengan saksama. Itu Kakashi-sensei!
Sensei, kau sudah pulang? Dimana Naruto?” tanyaku dengan hati yang menggebu-gebu. Akhirnya dia pulang juga.
“Hai Sakura. Kau kelihatan sedikit pucat, ada apa?” jawab Kakashi-sensei tidak mengacuhkan  pertanyaanku. Aku terdiam, kenapa sensei tidak menjawab pertanyaanku?
“Aku baik-baik saja, sensei. Hanya sedikit lelah. Dimana Naruto? Aku ingin bertemu dengannya.” ungkapku nyaris menangis.
Ia menatapku kosong. “Sakura, Naruto-sama masih ada keperluan dengan Negara Kiri. Sasuke yang menemaninya, sisanya pulang ke Konoha. Mungkin baru besok dia pulang ke Konoha,” jelasnya.
Aku tak kuasa melupakan dirimu
            Walau sedetik saja  . . .
            Berasa terhenti nafasku tanpamu berada di sisiku.
Aku terkejut tidak percaya, baru kali ini Naruto tidak menepati janjinya. Dia selalu menepati janjinya ‘kan? Dia bilang dia akan pulang disaat hari ulang tahunku ‘kan?
Aku tertunduk lemas, kutahan sebisaku agar air mataku tidak jatuh.
“Maaf Sakura, aku harus ke tempat Kurenai. Dia pasti sudah menungguku. Naruto pasti pulang tenang saja, Sakura. Tapi kau harus bersabar, ini tugasnya sebagai Hokage. Daa…,” Kakashi-sensei melangkah meninggalkanku sendirian-yang termangu mendengar kabar darinya. Aku mulai blingsatan, amarahku membara sekejap. Besok akan kuhajar dia disaat langkah pertamanya memasuki gerbang Konoha! Aku jadi egois begini, tapi salah sendiri dia yang membuatku seperti ini! Aku jadi tak peduli pada jabang bayiku sendiri dan berlari sekencang-kencangnya menuju rumah.   


Tok . . . tok . . .
Suara ketukan pintu membuatku beranjak dari kamarku, Aku berdiri malas, tapi langsung berpikir jangan-jangan itu Naruto. Aku buru-buru ke arah pintu dan membukanya kasar, saking gembiranya.
“Naruto, akhirnya kau…” Aku terperangah melihat orang yang ada di depanku. Ternyata Ino, lalu kulihat sekitarnya-baru kusadari hari mulai larut. Sudah berapa lama aku tertidur?
“Yo, Sakura! Hei, kenapa wajahmu jelek begitu?” suara nyaring Ino-yang setengah meledek itu-nyaris membuatku naik pitam. Mana sudi dia panggil aku ‘cantik’?
“Ada apa Ino-buta? Aku malas keluar,” ujarku sembari menguap.
“Dasar kenapa kau jadi pemalas begini, ayo ikut aku. Hari ini hari ulang tahunmu ‘kan? Bersenang-senanglah sedikit!” teriak Ino menarik tanganku aku tak sempat melawan lagipula aku tak cukup punya tenaga untuk menggertaknya balik.
“Kau bahkan belum mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku, Ino,” tukasku sebal. Ino memandangku setengah terkejut.
Otanjoubi Omedetou Sakura-chan, bagaimana? Puas?” Ino mempercepat langkahnya. Dia menggenggam tanganku dengan kencang.
“Hei Ino! Lepaskan aku, kau terlalu kencang memegang tanganku.”
“Sudahlah Sakura, yang jelas kau sekarang ke rumahku. Titik!”
Apa-apaan Ino ini? Seenaknya memerintahku layaknya bos. Naruto saja tidak pernah memerintahku seperti ini.
Selang lima menit akhirnya kami sampai di rumah Ino.
“Akhirnya . . . Ayo Sakura kita masuk.”
“Ta-Tapi. . .” Aku belum sempat melanjutkan kalimatku tapi Ino memotongnya.
“Sudahlah ayo masuk . . . semuanya maaf terlambat!!!” teriak Ino membuka pintu rumahnya. Kenapa gelap gulita begini? Aku mencoba mencari secercah cahaya di sekitarku. Kemudian . . .
SURPRISE!!!!”
Lampu menyala tiba-tiba, pertama ku lihat kertas warna-warni berterbangan dimana-mana. Cukup membuat kepalaku pusing. Lalu aku lihat semua sosok di sekitarku. Aku tersenyum, semua mantan rookie 12 ada di sana. Termasuk para sensei. Lalu aku lihat sosok Sasuke berada di antara mereka. Tu-Tunggu.. Sasuke? Bukankah ia pergi bersama Naruto?
Otanjoubi Omedetou, Sakura no hana. [6]
Suara itu… aku mengenalnya. Aku arahkan mataku kepada sosok yang beberapa langkah berdiri di depanku. Di kedua tangannya terdapat strawberry cake yang dihias tak terlalu mencolok. Ia tersenyum dengan senyuman khasnya. Wajahnya bercahaya terkena pancaran sinar dari lilin yang menghiasi kue. Bodoh, kenapa aku baru menyadari kehadirannya? Aku tak berpikir lagi, langsung kujatuhkan diriku ke pangkuannya. Naruto tahu akan hal itu, ia buru-buru mengalihkan kue itu ke Ino sebelum menerima pelukanku.
Aku tak rela, bila hari yang kulewati tanpa kau di sini
Ku tak pernah yakin di dunia ini ada yang sepertimu
Hanya satu, kamu  . . .
“Naruto syukurlah kau pulang.” Aku menangis tersedu-sedu dipelukannya
“Tentu saja, Sakura-chan! Sejak kapan aku tidak menepati janjiku? Dan…Hei! Kenapa kau menangis sayang?” Kau buru-buru menyeka air mata di pipiku dengan tanganmu. Kau memang paling tidak senang melihatku menangis.
“Ta-Tadi sore, Kakashi-sensei bilang kau baru besok bisa pulang. Aku sangka itu benar.”
Mendengar pernyataanku kau malah tertawa. “Aku ingin memberikan kejutan padamu, Sakura-chan. Aku menyuruh rombonganku yang kemarin untuk berbohong tentangku jika bertemu denganmu. Kau masuk dalam perangkap, Koi!”
“Aku sebal pa-.” aku membuka mulutku, ingin memarahimu. Tapi kau dengan cepat menyumbat bibirku dengan bibirmu. Tak lama kau menciumku, kau letakkan dahimu di dahiku. Kau menatapku lembut.
Shiteruka, mainichi juu kimi no koto bakkari kangaeteru yo, [7] Sakura-chan,” ucapmu gombal. Kau tak pernah kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan rasa cintamu, Naruto. Kudekap dirimu lagi. Kuusap punggungmu sembari tertawa.
Semua orang yang ada di sana menyalamiku dan memberikan ucapan selamat kepadaku. Kemudian acara itu pun berlangsung sederhana, aku tahu pasti Naruto sudah merencanakannya sejak lama. Kepulangannya saja sudah cukup menjadi hadiah ulang tahun terbesar untukku.
“Sakura-chan, kemarilah,” ajakmu di tengah-tengah canda tawaku bersama Ino, Hinata, dan Tenten. Aku memperhatikanmu, kau mengangguk ke arah Ino seperti meminta izin. Ino mengangguk.
Lalu di sinilah kami berdua berdiri. Di balkon rumah Ino.
Altar kecil yang tak terlalu besar. Kusadari Bulan tak lagi sesenyap kemarin, tapi desiran angin menjadi kalap, aku meringis kedinginan karenanya.  Kau mengerti, lalu kau lepas jubah Hokagemu dan meletakkannya menutupi tubuhku.
“Terima kasih, Naruto,” ucapku tersenyum. Kau membalas senyumanku.
“Sakura-chan aku masih ada hadiah untukmu. Tutuplah matamu.”
Aku tertawa kecil. Kemudian mengangguk, kupejamkan mataku dan tak berapa lama kemudian aku bisa rasakan sesuatu melingkari leherku.
“Bukalah matamu, sayang!” perintahmu. Aku membuka mataku perlahan. Kulihat sebuah permata menggantung di leherku. Aku perhatikan dengan cermat kalung itu. Seperti sayap Angsa yang keduanya dipersatukan dengan tangkai daun. Meliuk-liuk indah dan aku tak mengerti jika kujelaskan pada kalian. Bentuknya sangat unik karena di tengah-tengah terdapat lapisan perak bunga mawar dihiasi dengan intan. Lalu kuperhatikan lagi dengan saksama, lapisan perak bunga mawar itu berkerlip dan tiba-tiba berubah menjadi bunga sakura. Aku takjub melihatnya.
“Sudah kuduga, seperti namamu,” ucapmu membuyarkan pikiranku.
“Na-Naruto, indah sekali kalung ini. Tapi aku tak mengerti kenapa dia berubah bentuk?”
Lalu kau menjelaskannya. “Itu kalung leluhur ayahku, turun-temurun diwariskan kepada perempuan atau istri-istri laki-laki di klan Namikaze. Terakhir ayahku memberikan ini pada ibuku. Bentuknya selalu berubah sesuai dengan ciri-ciri pemakainya, yang tadi kau lihat berbentuk mawar karena itu menginterpretasikan warna rambut ibuku yang merah mengkilap. Dan ya, itu kalung ajaib. Sifatnya melindungi si pemakai. Namanya Earendiru,[8] cahayanya para Malaikat.”
Aku memandang kalung itu takjub tidak percaya ada kalung seindah ini. Badanku cukup menjadi hangat setelah memakainya, benar-benar kalung bertuah. Dua tahun lalu aku sudah mengetahui sejarah tentang keluargamu. Ternyata kau adalah seorang anak dari orang hebat Naruto. Tak ayal kau mewarisi sifat kedua orangtuamu.
“Cahaya Malaikat? Nama yang indah. Aku tidak tahu harus bilang apa, Naruto. Rasanya ucapan terima kasih saja belum cukup.” Aku menundukkan kepalaku. Aku hampir lupa satu hal yang sedari kemarin ingin kukabarkan padanya. Aku rasa ini adalah waktu yang tepat..   
“Kalau begitu… nanti te-tengah malam kau ma-mau ‘kan, Sakura-chan?” Bisa kulihat bias ketegangan di raut wajahmu. Aku tersenyum mengerti apa yang kau maksud. Lalu kau teguk segelas sake yang sebelumnya kau letakkan di pagar balkon. “Kau tersenyum tandanya mau iya ‘kan?” tanyamu lagi memastikan sembari tertawa kecil.
Aku tertawa tertahan, aku bisa melihat keteganganmu. Menyentuhku saja kau selalu meminta izin terlebih dahulu. Kau memang suami yang baik Naruto.
“Sakura-chan, aku masih ingat malam pertama kita. Aku tidak menyangka kau lebih mesum daripada aku,” ujarmu sembari tertawa nyaris terpingkal. Aku memukul pelan dadamu.
Baka! Tentu saja, mana mungkin perempuan menunjukkan kemesumannya di depan banyak orang? Dia hanya menunjukkannya pada suaminya seorang,” ujarku menimpali. Lalu kau terdiam kau tatap aku dengan penuh rasa cinta, seulas senyum terukir dari bibirmu.
Hai… hai wakatteru yo! [9] Kalau begitu kenapa kau tidak minum sake Sakura-chan? Kau akan lebih ganas jika dalam keadaan mabuk hehe. Tumben sekali tadi aku tidak melihatmu minum sake.” Kau menuangkan sake ke gelasmu. Dan menawarkannya kepadaku. Kau memang tahu sekali tabiatku.
Aku menggelengkan kepalaku “Tidak Naruto. Aku tidak boleh minum sake untuk saat ini.”
“Hmm? Kenapa apa kau sedang sakit?” Kau mulai khawatir jangan-jangan selama kau tinggalkan aku ada hal-hal yang terjadi padaku.
“Ti-Tidak. Hanya saja…” sial kenapa sulit sekali aku untuk berbicara. Aku takut melihat reaksimu.
“Hanya saja kenapa?”
Aku menggigit bibirku dan kau menatapku tak sabar ingin segera tahu jawabanku. “Hanya saja kau akan jadi ayah, Naruto!” ungkapku cepat.
“Hmm?” Kau terdiam sejenak “.Apa hubungannya jadi ayah dan tidak bisa minum sake?” Aku nyaris memukul kepalamu karena olah pikirmu yang lambat. Lalu kau teguk sake di tanganmu, kemudian kau keluarkan tiba-tiba. Kau tersentak kaget.
“PUAHH. . .” Kau terbatuk-batuk. Lalu membersihakan tumpahan sake di bajumu dengan sapu tangan yang kubawa. Aku tahu kau pasti mengerti apa yang aku maksud.
“E-EH?!! Sa-Sakura-chan, ma-maksudmu kau? Kau?!” Naruto mengarahkan telunjuknya ke arah perutku.  Sesekali ia lihat wajahku dengan ekspresi bodohnya. Seakan tak percaya dengan apa yang aku ucapkan.
Aku mengelus perutku, lalu kutatap mata azure-nya yang melotot lebar. Kuanggukkan kepalaku perlahan. “Ya Naruto, aku hamil.”
“Be-Benarkah?! Jadi kau akan jadi i-ibu dan aku?” Bulir air mata perlahan tampak dari kedua matamu. Aku jadi ingin ikut menangis karenanya. “Sakura-chan, aku kehabisan kata-kata! Yeah, aku akan jadi seorang ayah !!!” teriakmu melayangkan diriku rendah di udara. Kau tertawa sekencang-kencangnya dan bergerak berputar-putar. Setelah itu kau tangkap aku dalam pelukanmu, aku sadar kau menangis hebat. Mungkin karena saking bahagianya kau juga tertawa di sela-sela tangismu. Naruto, aku sungguh terharu tak menyangka ekspresimu akan seperti itu.
“Ya sayangku, kau akan jadi ayah dari anakku. Buah hati kita Naruto. Dia akan memiliki gen kita.” Kubelai rambut kuningmu. Kau menjadi sedikit tenang sekarang.
“Sakura-chan, a-aku tidak percaya akan hal ini. Aku sangat ingin memiliki keluarga lengkap, aku lahir tanpa tahu siapa orang tuaku. Dan kini aku akan memiliki anak bersamamu, aku tidak mau dia kelak memiliki pengalaman pahit yang pernah aku dapatkan. Aku-.”
Kubungkam bibirnya dengan jari telunjukku. “Aku yakin kau akan jadi ayah yang hebat, Naruto.”
“Benarkah?” Kau tatap mataku mencari kepastian, aku tersenyum. Lalu kau turun berlutut hingga wajahmu sama tingginya dengan perutku. “Lalu dia perempuan atau laki-laki? Apakah dia sudah bisa bergerak Sakura-chan?” Kau mengelus perutku perlahan lalu kau letakkan telingamu di atasnya.
“Naruto-koi, kau belum bisa merasakan apa-apa. Dan juga kita belum tahu dia perempuan atau laki-laki. Aku baru hamil 2 minggu,” ungkapku mesra. Aku membelai rambutnya yang bercahaya karena pantulan sinar Rembulan.
Kau tertawa. “Ya, aku tahu Sakura-koi. Aku hanya merasa ajaib. Aku tak menyangka akan secepat ini.” Lalu kau berdiri lagi, kau rapatkan jubahmu yang menutupiku. Takut-takut angin malam masuk ke tubuhku. “Kau dan anak kita adalah dua orang yang paling berharga dalam hidupku, kalian akan kulindungi dengan taruhan nyawaku.” Kau sandarkan kepalaku di bahumu. “Kau yang malah memberiku hadiah, aku tahu kalung yang kuberikan tak sebanding dengan apa yang telah kau berikan untukku Sakura-chan. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi.”
Ada satu di hatiku
            Ada satu dihidupku
            Ada satu dicintaku
Ada satu kamu
“Janji?”
“Janji seumur hidup!” Pernyataan khasmu Naruto.
“Kau tahu? Hanya kamu yang ada di hatiku, Naruto. Hanya kamu satu.”
“Ya ya aku tahu hehe. Tapi Sakura-chan, malam ini tetap jadi ya?”
“Dasar, sebenarnya kau yang lebih mesum daripada aku, Naruto.”
 Dan hari itu, bagiku sulit untuk dilupakan oleh jarak waktu . Aku akan punya cerita-cerita hebat untuk anak atau cucu kita nanti. Aku tak menyesal memilihmu Naruto. Aku tak akan pernah kecewa. Karena kau satu untukku

THE END
GLOSARY
1.      Kimi ni muchuu da!          = Kau membuatku tergila-gila
2.      Hai.. Hai wakatta! Ikimasho!        = Baik… baik. Aku mengerti! Ayo berangkat!
3.      Ittekimasu             = Aku berangkat !
4.      Itterasshai, ki o sukete      = Selamat jalan, hati-hati ya!
5.      Omedetou             = Selamat!
6.      Otanjoubi Omedetou, Sakura no hana      = Selamat ulang tahun, bunga sakura.
7.      Shiteruka, mainichi juu kimi no koto bakkari kangaeteru yo = kamu tahu? Berhari-hari lamanya aku selalu memikirkanmu.
8.      Earendiru  = Saya ambil dari kata ‘Earendell’, bintangnya para suku Elf di LOTR hehe. Kalau yang sudah nonton pasti tahu bintang yang mana. Cuma saya namain di kalung Sakura. Kalau kalian bingung bagaimana bentuknya, lihat di primary pic saya.
9.      Hai… hai wakatteru yo     = artinya sama saja dengan no. 2


Langit dan Bumi: A to J Hadiah Untukmu

MAU KE JEPANG GRATIS? YUK NULIS ARTIKEL. INFO LEBIH LENGKAP KLIK BANNER DI BAWAH.

Ikuti Present Campaign HIS Summer Trip Blogging Competition



Fic tahun lalu yang baru dipublish di sini ^^. Oh ya, sekarang saya nulis novel dan salah satu naskah saya udah diterbitkan di toko buku. Penerbitnya Elex Media Komputindo judul novel Bintang dan cahayanya saya pakai nama pena nama saya sendiri, Pretty Angelia. Yuk dibeli di toko Gramedia dan Gunung Agung terdekat :D.


Langit dan Bumi: A to J Hadiah Untukmu
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: AU. NaruSaku. Family/Romance. Rated T semi M. FLUFF. Drabble A to J. Special for Uzumaki Naruto-sama birthday J.


Anggur
“Sakura-chan, kau benar-benar ingin menanam tanaman anggur di sini? Memangnya bisa?” Tanya Naruto membantu istrinya memilah-milah bibit anggur yang akan ditanam di pekarangan rumah mereka. Ia sudah menyiapkan bangunan sederhana dari bambu—tempat untuk tanaman anggur itu nanti merambat.
“Bagaimanapun juga aku ingin makan buah anggur dari kebun kita sendiri. Beli di supermarket tidak menjamin. Pasti banyak pestisidanya.”
“Tapi ‘kan panennya masih lama. Lagipula…” Naruto tidak melanjutkan kata-katanya. Ia malah memperhatikan seluruh pekarangannya yang penuh ditanami berbagai macam buah. Dari apel, nanas, jeruk, mangga, sampai persik pun ada. Ia menghembuskan nafasnya kuat-kuat.
“Apa boleh buat, Sayang. Ini permintaan bayi kita,” ucap Sakura tersenyum sembari mengelus-elus perut besarnya. Si jabang bayi kini sudah berumur lima bulan. Tapi masih saja merepotkan kedua orangtuanya.
Sebagai suami yang baik, Naruto harus bisa memaklumi. Ya, semoga saja hasil panennya bagus. Meski sepertinya Sakura lebih senang dengan bercocok tanamnya daripada hasilnya nanti. Walaupun sepertinya baru bisa dipanen saat bayi mereka sudah lahir. Kalau tidak habis juga sepertinya dia bisa membuka usaha kios buah-buahan.
Bangun
Sakura lagi-lagi terbangun dari tidurnya. Ia merasakan bayi di dalam kandungannya menendang-nendang perutnya dengan kuat. Ia tidur dengan posisi miring dengan dada Naruto yang menjadi tempat punggungnya bersandar. Walaupun Sakura sedang hamil besar, tapi itu tidak menghalangi mereka tidur dalam posisi yang berdekatan.
Naruto sendiri bilang padanya kalau ia tidak keberatan tidur dengan posisi miring.
Sakura lantas memutuskan untuk bangun sebelum ia merasakan sebuah tangan mengusap-usap perutnya dengan lembut.
“Hei, Malaikat kecilku. Ini masih malam. Lanjutkan tidurmu, ya. Kaa-san juga masih ingin tidur,” ucap suara di sebelah Sakura yang tak lain dan tak bukan adalah suara Naruto. Rupanya si blonde itu meletakkan tangan kirinya di perut Sakura sejak ia tidur tadi. Sehingga ia juga merasakan si kecil menendang-nendang perut ibunya.
“Naruto…,” ucap Sakura pelan. Ia menengok ke arah suaminya yang matanya terpejam tapi sebenarnya terjaga sejak lama.
“Sssttt…tidur saja, Sakura-chan,” bisik Naruto sembari menciumi kepala Sakura. Ia tersenyum dengan wajah lelah karena masih mengantuk. Bangun di pagi buta sudah menjadi santapan Sakura dan Naruto selama tujuh bulan terakhir ini. 
Cinta
Ada-ada saja memang permintaan wanita yang sedang hamil. Dan kebanyakan lelaki menanggapinya sama, mereka mencoba memaklumi. Itulah yang terjadi pada Uzumaki Naruto sekarang. Ia tak merasa keberatan ketika Sakura meminta liburan ke Pulau Bulan Sabit sehari semalam. Padahal besok bukanlah hari Minggu atau pun Sabtu, masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan sebagai pemimpin desa Konoha.
Tapi Naruto mempunyai sikap optimis tingkat tinggi yang semua orang tak memiliki. Untungnya ia juga menguasai jutsu ruang hampa dan waktu yang bisa membawanya kemana saja dalam waktu singkat kapanpun itu.
Jadilah ia dan Sakura sekarang berdiri di tengah-tengah dermaga yang di depannya membentang lautan jingga. Sinar cakrawala sore memantul ke airnya yang jernih. Camar-camar menari mengitari laut mencari makanan untuk anak-anak mereka.
Sakura berdiri tepat disamping Naruto. Ia meringsut masuk ke tubuh maskulin suaminya.
Satu tangan Naruto melingkar di pinggang Sakura. Ia lalu memandang wajah Sakura di bawah dagunya. ‘Cantiknya…,’ pikir Naruto. Ia sama sekali tak bosan memandangi wajah istrinya berkali-kali. Ia mengusap perlahan rambut pink Sakura yang sekarang memanjang hingga pinggulnya. “Bagaimana, Sakura-chan? Kau senang melihatnya?” ucapnya kemudian.
“Ya…terima kasih, Cinta. Terima kasih telah mengabulkan permintaanku.” Sakura mempererat dekapannya pada Naruto. Hokage Ketujuh itu membalasnya dengan senyuman.
Naruto lalu menghadapkan tubuhnya di depan Sakura. Ia memandang hangat istrinya dengan wajah jengah. Ia membelai perlahan pipi Sakura. Sampai saat ini terkadang ia masih suka tersipu-sipu sendiri ketika berhadapan dengan belahan jiwanya. Ya…namanya juga cinta.
“Untukmu…apa saja akan kulakukan.” Akhirnya kata-kata manis itulah yang Uzumaki Naruto lontarkan pada istri tersayangnya.
Sakura tersenyum menatap mata biru yang memandanginya dengan penuh rasa cinta. Lautan teduh yang bisa menjernihkan pikiran. Ia sangat menyukai mata indah itu. Mata itulah yang selalu membuat hari-harinya menjadi lebih bermakna. “Aku cinta kamu, Naruto,”
Naruto dengan cepat menyambar bibir Sakura dengan bibirnya sehingga istrinya itu tidak sempat menghardik—jatuh ke dalam buaiannya. Ia semakin memperdalam ciumannya ketika ia merasakan tangan Sakura menggerayangi dada bidangnya. Selang beberapa detik ia pun kembali menarik bibirnya dan berujar, “Aku mencintaimu lebih dari itu, Sakura-chan.”
Sakura tertawa kecil mendengarnya. Kalimat sempurna yang diuraikan tanpa ada kepalsuan di dalamnya. Apalah sebuah arti kata-kata yang hanya berlandaskan keinginan tanpa dibarengi dengan bukti perbuatan? Tapi Uzumaki Naruto…berhasil melakukannya. Ia berhasil membuktikan kalau dia adalah laki-laki yang selalu menepati janjinya.
Tiba-tiba mereka merasakan kehadiran si kecil yang menendang pelan perut Sakura—yang bersinggungan dengan Naruto. Si blonde pun menurunkan tubuhnya—berlutut—sehingga sekarang kepalanya sejajar dengan perut besar Sakura.
“Hei, Malaikat kecilku. Kau iri ya hanya ibumu saja yang kucium?” Tanya Naruto tersenyum sembari mengelus perut istrinya dengan lembut. Ia merasakan lagi tendangan si jabang bayi di telapak tangannya. Ia dan Sakura pun tertawa.
Naruto lalu menciumi perut Sakura. Istrinya itu membelai rambut kuning Naruto dengan perlahan. Ia berdiri kembali tanpa mengalihkan tangannya dari perut Sakura. “Kau dan anak kita adalah cinta yang tak ternilai bagiku. Aku akan selalu ada untuk melindungi kalian berdua.”
Uzumaki Naruto menderita karena cinta… Dan menjadi kuat juga karena cinta. 
Dedikasi
Seorang pahlawan memberikan dedikasi yang sangat tinggi untuk orang-orang yang dicintainya. Dedikasi waktu, darah, bahkan jiwa dan raga.
Pesan mulia dari Sandaime-jiji itu masih melekat kuat dalam otak Naruto. Ia duduk di kursi kebesarannya yang sejak dulu ia idam-idamkan. Sampai sekarang ia terus merenungi apa saja yang harus ia lakukan ke depan. Memang menjadi Hokage adalah impiannya sejak kecil, tapi ia tidak takabur. Karena posisi itu bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan tanpa pemikiran yang lugas tentang hari esok.
Esensi dari seorang pemimpin adalah bahwa dia harus mendedikasikan jiwa dan raganya disamping mendapat penghormatan dari banyak orang.
Tak hanya untuk Sakura dan anaknya yang akan lahir nanti. Dedikasinya ia tujukan untuk semua orang yang mendambakan perdamaian.
Epigraf
Naruto sedang bosan kali ini. Semua pekerjaannya telah selesai ia kerjakan. Ingin pulang, tapi dia harus menunggu satu jam lagi untuk bisa ke rumah. Sangat tidak disiplin kalau ia pulang cepat dari waktu yang telah ditentukan bersama-sama dengan para anak buahnya ketika rapat kemarin. Lagipula kalau ia pulang sekarang Sakura juga sedang ada waktu kerja di rumah sakit. Jadi lebih baik ia menunggu waktu pulang sekalian menjemput istrinya itu di sana.
Sembari menunggu waktu, Naruto mengeluarkan buku jurnalnya yang disampul dengan kertas krep warna hitam. Ia jadi tertular kebiasaan mendiang Jiraiya yang senang menghabiskan waktunya untuk menulis. Tapi bukan cerita mesum tentunya yang akan ia sirat di jurnalnya itu.
Sebuah epigraf, awal cerita yang masih mengambang dan penuh dengan misteri. Selanjutnya akan ia lanjutkan semua jeri payah itu ke dalam pena yang membuatnya abadi terukir di lembarannya.
Epigraf yang cocok…tentang keluarga…tentang ikatan…tentang cinta…tentang tanah tumpah darah… Jadi yang pas adalah tentang Konoha tentunya…
Fotogenik
“Naruto, kita foto ‘yuk!”
“Heeh?? Kau serius, Sakura-chan? Bukannya kau tidak senang difoto?” Apalagi dengan tubuh se-melar itu, bagi Naruto rasanya agak sulit untuk Sakura melakukan hal itu. Tentunya ia tidak berkomentar seperti itu, bisa-bisa ia kena damprat. Tapi sungguh mau langsing ataupun kurus, mulus ataupun keriput, bagi Naruto Sakura adalah wanita yang paling cantik di dunia ini.
“Kemarin aku menemukan kamera ini di laci kerjamu. Rasa-rasanya aku jadi tambah cantik ketika difoto.” Sakura menunjukan kamera tua pada Naruto dengan wajah sumringah.
Naruto memiringkan wajahnya, ia juga baru melihat kamera itu sekarang. Tampaknya kamera itu peninggalan mendiang orangtuanya.
“Ini lihat, Sayangku. Aku sudah mencetaknya lho.”
Naruto mengambil beberapa lembar foto yang telah dicetak. Ia pun memperhatikannya satu-satu dengan saksama. Kemudian ia mengigit bibirnya sendiri.
“Bagaimana, Naruto? Aku cukup fotogenik ‘kan?” Tanya Sakura sembari menggoda suaminya.
“Hahahaha!!! Iya kau sangat fotogenik, Sakura-chan! Ahahaha!” Naruto tertawa terbahak-bahak sembari memegangi perutnya.
Urat nadi di kepala Sakura muncul satu cabang. “Kalau begitu apanya yang lucu, Naruto?”
“Ah, tidak…tidak ada yang lucu kok, Sakura-chan. Hanya saja—Hahahaha!!!” Naruto membungkuk, perutnya serasa diaduk-aduk karena ia berhasil mengeluarkan tawanya hingga titik darah penghabisan. Menurutnya pose-pose yang Sakura pasang sungguh lucu, ia tidak bisa menahan tawanya. Perut besar dengan pipi gembil di wajah. Membuat Sakura jadi seperti badut jadinya. Tapi setelah ini darah Naruto pasti benar-benar habis karena dicabik-cabik. Harusnya ia tahu hal ini sejak awal kalau…
“GGRRRHHH!! Kau menyebalkan, Naruto!!!!”
BAMM!!!
Sakura melayangkan bogemnya di wajah Naruto hingga ia terpental keluar rumah. Wanita hamil memang tidak boleh diremehkan ketika ia sedang naik pitam.
Gamang
“Naruto, kalau aku melahirkan nanti kau mau menemaniku ‘kan?” Tanya Sakura sembari mengusap perut besarnya dengan penuh kasih sayang. Ia berbaring sendirian di atas ranjang besarnya.
Naruto yang sedang membaca laporan di meja tak jauh dari ranjangnya segera beranjak menuju istrinya. “Heh? Tentu saja, Sakura-chan. Tidak perlu gamang, aku akan berada di sisimu nanti. Tenang saja.” Naruto mengecup dahi Sakura. Ia lantas mengusap perut istrinya.
“Aku dengar dari Ino, melahirkan itu sangat menyakitkan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nanti—”
Naruto tiba-tiba mengecup bibir Sakura dengan bibirnya. “Kalau kau pikirkan, rasa gamangmu malah akan membuatmu stres, Sakura-chan. Lagipula kau seorang ninja medis, kau pasti bisa melewatinya dengan mudah.”
“Ta—Tapi…”
“Aku memang tidak pernah merasakan bagaimana sakitnya, tapi aku percaya sepenuhnya kepadamu, Manisku.”
Sakura jadi terharu. Emosinya memang mudah keluar selama ia mengandung. “Naruto…kau adalah yang terbaik. Terima kasih atas pengertianmu selama ini. Aku tahu aku sangat merepotkanmu.”
“Hei, itu sudah kewajibanku sebagai suamimu. Pendamping hidupmu… Kau dan anak kita adalah segalanya bagiku. Sudah kubilang berkali-kali…untukmu apapun akan kulakukan.”.
“Itulah mengapa aku sangat mencintaimu, Taiyoo.*
“Ya, aku tahu. Aku juga mencintaimu, Sakura no Hana*.”
Naruto pun merebahkan dirinya disamping Sakura. Ia sangat suka meletakan telinganya di perut Sakura. Mendengar detak jantung si kecil yang tumbuh di rahim ibunya. Hal ini ia lakukan sejak Sakura mengabarkan perihal menggemberikan ini ketika ulang tahunnya dulu.
Keluarga…adalah hal yang tak pernah Naruto pikirkan sebelumnya

Hadiah
Huru hara Konoha terdengar melapisi langit malam yang penuh dengan kepulan asap. Sepuluh Oktober…bencana 25 tahun yang lalu seperti terulang lagi hari ini. Desa Teh tiba-tiba melakukan penyerangan terhadap Konoha karena dendam kesumat yang mereka simpan sejak lama.
Dendam seperti apa Naruto masih mencari tahu. Semua rakyat sipil telah diungsikan ke rumah sakit Konoha—yang telah dipasang kekkai angin olehnya. Kekkai itu tidak bisa ditembus oleh jutsu elemental apapun termasuk jutsu katon. Konoha diserang tiba-tiba sehingga rakyat sipil tidak sempat diusingkan ke tempat yang lebih aman. Puluhan shinobi Konoha berjaga-jaga disekitarnya. Mereka tidak membiarkan shinobi musuh mendekat sejengkal pun.
Di salah satu ruangan rumah sakit tersebut. Seorang wanita sedang berjuang antara hidup dan mati demi mengantarkan sebuah kehidupan yang selama sembilan bulan ia kandung ke dunia. 
Tak ada yang diperbolehkan masuk. Hanya Tsunade dan Sakura yang ada di sana.
“Sakura, dikontraksi berikutnya, Kau harus mendorong dengan kuat! Kau siap, Sakura?” ucap Tsunade memberikan instruksi
“A—Aku…tidak bisa, Shisou. Ini sangat sa—sakit…” Sakura menangis tersedu-sedu.  Ia menyentuh perutnya. Harusnya ia sudah mengejan dari tadi tapi tak urung ia lakukan karena mengkhawatirkan nasib suaminya. “Na—Naruto…dimana Naruto?” Sebisa mungkin ia mengatur nafasnya untuk menahan rasa sakit itu, tapi hasilnya nihil. Terlebih suaminya itu sedang melawan musuh yang tiba-tiba menyerang Konoha hari ini. Ia sendiri tidak menyangka akan melahirkan sekarang, meleset jauh dari apa yang Tsunade prediksikan dulu.
Sakura lantas merasakan kontraksi rahimnya muncul kembali. Ia mendorong sekuat tenaga dibarengi dengan teriakan kesakitan yang keluar dari mulutnya. “Kyaaa…!!!” Selang beberapa detik ia merebahkan tubuhnya kembali dikasur dan mengatur nafas sebisa mungkin. Airmata tetap mengalir dari kedua mata jade-nya. Sakura terlihat sangat sangat kelelahan kali ini. “Aku t—tidak bisa, Shisou…aku tidak bisa tanpa Naruto. Di—Dia sudah janji mau menemaniku…”
Tsunade muncul dari balik selimut yang menutupi kedua kaki Sakura yang membelangah. Tak ada tanda-tanda bayi Sakura akan keluar. Ia menggurutu dalam hati. Tsunade tahu betul, Sakura pasti bisa melakukannya, tapi memang keadaan Konoha sedang diujung tanduk. Bahkan ia juga tak menyangka desa Teh—desa shinobi sekecil itu, berani melakukan penyerangan terhadap Konoha. Ia berusaha membujuk muridnya itu. “Sakura, Naruto sekarang sedang melakukan yang terbaik untukmu dan anakmu. Kau juga harus begitu. Hari ini hari ulang tahunnya ‘kan? Kalau begitu berjuanglah untuknya. Itu sangat berbahaya bagi bayimu jika ia terlalu lama berada di dalam.”
Sakura mulai merasakan kembali kontraksi menghantamnya. Sembari menahan sakit ia berpikir yang gurunya katakan adalah benar. Ia juga tidak boleh menyerah begitu saja. Kelahiran anaknya nanti bisa menjadi hadiah terindah yang sangat berharga untuk Naruto. Ia pun mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong bayinya agar keluar. Tapi sebelum itu orang yang ditunggu-tunggu kehadirannya datang juga.
“Sakura-chan!” Naruto muncul dengan sinar kuning yang mengelilinginya. Ia menggunakan jurus ruang hampa dan waktunya agar langsung sampai di ruangan itu. “Maaf aku terlambat! Kau baik-baik saja ‘kan? Y—Ya Tuhan.” Dengan ekspresi panik Naruto lekas duduk di samping kasur tempat Sakura berbaring. Ia sangat khawatir melihat wajah istrinya yang terlihat pucat pasi.
“Naruto!! Akhirnya k—kau datang…,” ucap Sakura disela-sela nafasnya. Ia menggenggam erat satu tangan Naruto, memastikan kalau itu benar-benar suaminya. Sakura bergidik ngeri, ia perhatikan keadaan Naruto yang penuh bercak darah dimana-mana. Terutama di jubah Hokagenya. “Naruto, ka—kau tidak apa-apa?”
Tsunade yang menyadari hal itu meminta Naruto untuk mengganti jubahnya dulu dengan baju rumah sakit. Tanpa pikir panjang Naruto langsung menuruti perintah Tsunade dan segera kembali mendampingi istrinya. Ia menggenggam erat tangan Sakura sedangkan tangan yang lain menyentuh punggung istrinya yang mulai mengejan lagi.
Sakura menggenggam tangan Naruto dengan kuat hingga suaminya itu terlihat ketakutan. Tapi sebenarnya bukan itu yang ia takutkan. Baru pertama kali ini ia melihat Sakura terlihat sangat kesakitan seperti itu. Padahal mereka dulu sering melakukan misi bersama. Ia sudah sering melihat Sakura menahan sakit ketika mendapat luka dari shinobi musuh. Tapi yang satu ini benar-benar membuat jantungnya nyaris keluar.
“Sakura-chan!” teriak Naruto panik. “Baa-chan apa tidak ada cara untuk mengurangi rasa sakitnya?” Tanyanya lagi dengan ekspresi takut-takut cemas..
“Tidak ada, Naruto. Tadi aku sudah memberikannya epidural*. Tapi kalau diberikan dalam dosis tinggi itu juga tidak baik.”
“Ta—Tapi…aku tidak pernah melihat Sakura-chan kesakitan seperti ini.”
“Tak usah berkecil hati, Naruto. Ini memang sudah menjadi tugas wanita.” Tsunade memperhatikan lagi bagian bawah tubuh Sakura. Tiba-tiba ia terlihat girang. “Kau melakukan hal bagus, Sakura! Aku bisa melihat kepalanya. Satu kali dorongan maka tugasmu selesai!”
Naruto kembali memperhatikan istrinya dengan gelisah yang membuncah. Ia rasanya ingin menangis juga. Ia baru tahu bahwa wanita harus berjuang sampai seperti ini untuk menghadirkan sebuah kehidupan ke dunia. Jadi seperti inikah ibunya—Uzumaki Kushina melahirkannya dulu? Benar-benar pengorbanan yang tak ternilai harganya.
Naruto kembali menggenggam erat tangan istrinya. Ia mengerti di saat-saat seperti ini, harusnya yang ia lakukan adalah memberi semangat pada Sakura. “Berjuang, Sakura-chan! Tak usah khawatir, ada aku di sini. Aku memang tak tahu bagaimana rasa sakitnya. Tapi aku yakin kau bisa melakukannya. Aku percaya kepadamu.”
Sakura tersenyum dibalik rasa sakit yang dideritanya. Sebenarnya ia tidak enak karena gara-gara genggaman tangannya, tangan Naruto nyaris remuk. Tapi suaminya itu tidak complain  sama sekali, malah lebih mengkhawatirkan keadaannya dibandingkan dengan keadaannya sendiri. Lantas ia mulai merasakan rahimnya berkontraksi lagi. Ia mengambil nafas dalam-dalam sebelum mengerahkan seluruh kekuatannya yang tersisa untuk mendorong bayinya agar keluar dari tubuhnya. “Narutoooo…..!!!!!!”
Akhirnya terdengar teriakan lain yang mengisi ruangan persalinan itu. Sakura dan Naruto tercenung melihat seorang bayi yang sedang Tsunade genggam.
“Selamat kalian berdua. Seperti yang telah diprediksi sebelumnya, bayi laki-laki yang sehat…,” ujar Tsunade sembari tersenyum.
“A—Aku jadi ayah…” Naruto tertawa riang dibalik tangis bahagianya. Ia dan Sakura lalu berpelukan. “Kau berhasil melakukannya, Sayang,” ucapnya sembari menciumi dahi istrinya.
Sementara Sakura, ia sudah lupa dengan rasa sakit yang dialaminya tadi. Tangisannya pun berganti dengan tangis kegembiraan ketika melihat malaikat kecil—yang selama kurang lebih sembilan bulan ia kandung—lahir ke dunia. Ia merentangkan kedua tangannya pada Tsunade. “Aku ingin menggendongnya, Shisou.
“Sebentar…aku mau membersihkannya dulu.” Tsunade beranjak ke ruangan kecil di sebelah, selang beberapa menit ia kembali ke ruang utama. Ia menyelimuti bayi mungil Sakura dengan kain dan memberikannya pada ibunya.
Sakura menerimanya dengan antusias, lantas ia perhatikan dengan teliti setiap bagian tubuh bayinya. Dari tangan kecilnya, rambut kuningnya yang tumbuh tipis, kakinya yang menggelepar kesana kemari. Semuanya lengkap tak ada cacat sedikit pun.   
Si kecil lalu membuka matanya sedikit. Hijau dan biru bersatu dalam sepasang kornea yang baru saja membuka lembaran baru di dunia. Ia memperhatikan dua orang yang mungkin sudah tak asing lagi baginya sembari menangis kencang.
Sakura lalu tersenyum. “Dia sempurna, Naruto. Dia sangat mirip denganmu.”
Naruto tak bisa berkata apa-apa. Ia terlalu bahagia sehingga tak tahu harus seperti apa mengekspresikan kebahagiannya itu. Ia belum berani menggendong anaknya sendiri, ia takut menjatuhkannya.
Otanjoubi omedetou gozaimasu, Naruto. Kelahiran bayi kita ini adalah hadiah yang baru bisa kuberikan padamu. Sungguh tak disangka tanggal lahirnya sama dengan tanggal kelahiranmu.”
Naruto tersenyum sembari menitikan airmata. “Ya…ini adalah hadiah teristimewa yang pernah kudapatkan selama hidupku. Arigatou na, Koi.” 
“Ngomong-ngomong…apakah kalian sudah menyiapkan nama?” Tanya Tsunade menginterupsi.
“Jiraiya…Uzumaki Jiraiya kami memberinya nama, Baa-chan.”
“Jiraiya eh?” lirih Tsunade sembari tersenyum. Ia jadi rindu dengan teman satu timnya itu. Sampai saat ini masih ada rasa sesal di hatinya yang terus menggerogoti otaknya. Rasa-rasanya ia jadi ingin segera menyusul si tua Jiraiya ke alam baka. Dia terlalu lama tinggal di dunia… Dia sudah bosan.
Insiden
“Naruto!!! Kau kurang ajar!!!” Sakura menerobos masuk ke ruangan Hokage, mengagetkan suaminya yang sedang berdiskusi dengan semua kepala divisi panita ujian Chuunin. Ujian Chuunin akan dilaksanakan kembali di Konoha jadi Naruto merencanakannya dengan sangat matang. Tapi tak disangka-sangka ada yang mengganggu…
“Heh?! Nani yattan da, Sakura-chan?!” Naruto segera berdiri dan menghampiri istrinya dengan wajah panik.
“Kau… Kau mengkhianatiku! Aku melihatmu tadi jalan bersama wanita lain! Kau benar-benar brengsek, Naruto!” umpat Sakura lagi. Seisi ruangan dibuat kaget dengan pernyataan istri Hokage itu.
Naruto tentu saja sangat terkejut. ‘Sial, aku sedang dalam rapat penting. Kenapa di saat-saat seperti ini sih?’ ucapnya dalam hati. Ia segera meminta izin pada anak buahnya untuk keluar sebentar. “Ahaha. Maaf, minna-san. Aku ada urusan sebentar. Lima menit lagi aku akan kembali. Daa.” Naruto menggunakan jikuukan no jutsu untuk langsung tiba di rumahnya sendiri. Ia menggenggam tangan Sakura sehingga istrinya itu juga berada di sana sekarang.
Maa, Sakura-chan. Tadi yang jalan bersamaku itu Shizune-neesan. Kau jangan yang berpikiran macam-macam,” ucap Naruto menjelaskan.
“Tapi kau mungkin saja selingkuh dengannya ‘kan? Kau brengsek Naruto!” Sakura memukul dada Naruto bertubi-tubi.
“Ouch! Hei, mana mungkin aku berbuat seperti itu padamu, Sakura-chan.” Naruto memegangi dadanya yang kena pukul tadi. “Kau juga mengetahuinya, aku sangat sangat mencintaimu!”
“Ta—Tapi aku gendut. Kau pasti menganggapku jelek sekarang!” tiba-tiba Sakura menutupi wajahnya dan menangis tersedu-sedu.
Dahi Naruto mengerut. Oke. Ini sudah menjadi hal yang biasa terjadi baginya. Mood istrinya itu memang seperti ini sekarang. Kadang extreme, kadang melankoli. Ia hanya bisa mengelus-elus dadanya sambil bilang ‘Sabar… Sabar…’
Insiden menyebalkan terjadi untuk keempat kalinya di Menara Hokage. Damn Moodswings
Jiraiya
            Naruto dan Sakura sedang menikmati pemandangan langit senja di atas balkon rumahnya.
Naruto sangat suka merengkuh Sakura seperti ini. Tubuh Sakura sangat pas untuk ia dekap, seakan kedua tangannya itu memang diciptakan untuk wanita itu seorang.
Sakura duduk di antara kaki Naruto yang membelangah, menyandarkan kepalanya di bahu jenjang suaminya. Sedang hamil seperti ini membuat ia malas dan cepat capai.
“Sakura-chan. Kau tidak apa-apa?”
“Aku tidak apa-apa, Sayang. Berhenti mengkhawatirkanku.”
“Ya, aku hanya ingin mendiskusikan nama buat bayi kita,” ucap Naruto sembari menggenggam tangan Sakura yang diletakan di atas perutnya. Mereka sudah mengetahui jenis kelamin bayi mereka
“Hmm,” Sakura memperhatikan wajah Naruto yang berada di atas kepalanya. “Kau ada ide?”
“Aku ingin memberinya nama dengan nama mendiang guruku.”
“Jiraiya-sama…”
“Tanpa Ero-sennin aku tidak akan sesukses sekarang. Darinya aku banyak belajar tentang ninjutsu, arti kehidupan, dan yang lebih penting adalah keluarga…”
Sakura kian erat menggenggam erat tangan Naruto yang melingkar di pinggulnya. Ia tahu betul bagaimana penderitaan hidup yang suaminya dulu alami. Ia tidak pernah tahu bagaimana sakitnya, tapi membayangkannya saja sudah cukup memilukan hati. Karena mana ada orang yang menginginkan penderitaan? Kalau pun bisa mungkin mereka lebih memilih untuk tidak dilahirkan.
Tapi kehidupan bisa menjadi anugrah yang tak ternilai bagi orang yang bisa memaknainya.
Dan Naruto sangat berlapang dada dengan apa yang terjadi dalam hidupnya kemarin-kemarin. Karena dibalik penderitaannya ia bertemu dengan orang-orang yang membuatnya dapat bertahan hingga hari ini. “Aku sudah menganggap Ero-sennin seperti kakekku sendiri. Karena itu bagaimana pendapatmu, Sakura-chan?”
Sakura mencium punggung tangan Naruto sembari tersenyum. Kemudian ia letakan tangannya di perutnya yang membesar. “Uzumaki Jiraiya…nama yang bagus.”

Glossary
Epidural                     : Bius yang membantu meredakan rasa sakit pada saat melahirkan
Taiyoo                                    : Matahari
Sakura no Hana        : Bunga Sakura
Otanjyoubi Omedetou Gozaimasu, Naruto-sama ^0^. Hope you become next Hokage and be the best ever. Then win Sakura-chan’s heart hehe. I believe in you ;D.