Saturday, 29 October 2011

Naruto Fanfiction: The Time Travel

The Time Travel
Naruto belong to Masashi Kishimoto
Warning: Semi-Canon. OOC for Sakura. Rated T. Tragedy/Hurt/Comfort. Sequel from I Failed You
Pairing: Naruto dan Sakura.
Based on the song “In Heaven by JYJ”
“For Naruto Birthday”
Summary: Haruno Sakura yang meregang nyawa, mendapat tawaran dari Kyuubi kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahannya yang telah membiarkan Naruto mati karena luka yang dideritanya. Kyuubi merasa punya hutang budi pada Naruto yang telah menjadi host-nya selama hampir enam belas tahun. Ia pun membawa Sakura ke zaman ketika akhir dari perang dunia shinobi keempat. Mencari tahu penyebab Naruto memiliki luka dalam yang serius.
.
.
Chapter 1: Kembali Ke Masa Lalu
.
.

Haruno Sakura…
Berdiri di sebuah tanah lapang. Sendiri ia tak peduli. Hanya semilir angin sejuk menemani dirinya yang sepi.
Berdiri di depan sebuah pusara megah. Yang bersemayam pahlawan istimewa di dalamnya. Hari ini sudah hampir dua tahun lamanya ia pergi keharibaan Tuhan. Namanya…
“Naruto… Apa kabar? Sudah dua tahun lamanya, tapi rasanya hari kepergianmu itu baru kemarin.”
Uzumaki Naruto…siapa yang tidak kenal shinobi yang satu ini?
“Dan sampai sekarang aku masih hidup dalam masa lalu. Jangan kau tertawa padaku. Aku tahu kau bahagia di sana…”
Bahagia karena beban itu telah hilang dari pundaknya. Penderitaan itu telah sirna, dan perasaan itu juga sudah tersampaikan…
“Akhirnya aku tahu bagaimana sakitnya. Benar-benar sangat sakit, meski berapa kali aku berusaha mengstabilkan tubuhku,,, Kau mengembannya selama hampir dua puluh tahun, sedangkan aku yang belum dua tahun saja sudah kewalahan. Aku memang payah,” ucapnya sembari tersenyum getir.
Sakit itu… Beban itu… Dan kutukan itu… Akhirnya bisa dikecap olehnya,
Haruno Sakura.
Raga yang semakin layu, dan jiwa yang ingin lepas merasakan kedamaian. Namun ia menahan kesemuanya itu dengan sekuat tenaga untuk hari ini. Hari yang sangat ia tunggu kedatangannya sejak lama. Yang hanya terjadi setahun sekali…
“Dan kau juga pasti mengetahuinya, hari ini usiamu genap 22 tahun…”
Karena hari ini adalah hari yang spesial. Alasan itu yang membuatnya ingin merayakannya sendiri. Meski di tanah lapang sunyi lagi menyeramkan. Ditemani angin yang semakin lama semakin menyengat kulit paling dalamnya. Hari ini tepat setahun sepuluh bulan orang yang dicintainya itu pergi keharibaan Tuhan.
Dan ia berdiri di depan pusara mewah yang terpahat simbol Negara Hi di atasnya. Yang paling besar, dan memiliki tempat sendiri di area makam pahlawan Konoha. Karena dia memang pahlawan yang sangat dicintai oleh desanya. Yang tak kan terganti.
 “Selamat ulang tahun, Baka.” Masih dengan senyuman yang sama. Namun sekarang ditambah dengan airmata yang mengalir pada pipinya yang pucat.
Sakura pun meletakkan sejumlah bunga krisan di atas pusara Naruto. “Aku ingin segera berjumpa denganmu…
Gelap menerjang. Lemah tubuhnya mencapai titik puncak. Tak lama Sakura pun roboh ke tanah.
***
Dan bunga itu pun semakin layu…
Tuut… Tuut... Tuut…
“Tsunade-sama! Coba anda perhatikan ke sini.”
“Ada apa, Shizune? Kepanikanmu membuatku jadi tak nyaman hati.”
“Ma-Maafkan saya, Tsunade-sama. Tapi coba anda lihat. Detak jantung Sakura perlahan-lahan mulai melemah.”
“A-Apa? Padahal kemarin stabil.”
“Apa yang harus kita lakukan, Tsunade-sama? Kita keluarkan saja Kyuubi dari tubuhnya?”
“Itu sama saja, Shizune. Sakura akan mati jika Kyuubi dikeluarkan dari tubuhnya sekarang. Bagaimanapun dia bukan keturunan langsung klan Uzumaki.”
“Jadi kita tak punya pilihan lain?”
Senju Tsunade, Hokage Kelima Konohagakure. Kemarin ia memenangkan lotere yang ia ikuti. Dan ia sudah tahu apa yang akan terjadi, tapi ia tetap takut menghadapinya. Berkali-kali ditinggalkan orang terdekat memang menyakitkan bukan?
Kemudian ia perhatikan gadis itu, salah satu muridnya yang paling hebat. Penerusnya. Terbaring lemah di atas kasur, dengan berbagai macam alat bantu untuk mempertahankan hidupnya. Dengan sekujur tubuh yang terkelupas seperti terbakar api.
 Tsunade tahu apa yang akan terjadi, namun ia berusaha keras untuk mengulur takdir waktu yang telah ditetapkan. Apakah ia harus rela?
“Sakura… Kau bisa mendengarkan aku? Jika Naruto masih hidup, ia pasti sangat terpukul melihat keadaanmu seperti ini. Mengapa kau begitu nekat?” bisiknya.
“Jangan-jangan kau…ingin bertemu sesegara mungkin dengannya hm?”
***
Sebuah tawaran…
Dalam kekosongan itu, Sakura terdampar di tempat lain. Tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Karena selama ini ia tak sudi bertemu.
“Jadi kau Haruno Sakura teman se-tim Uzumaki Naruto yang dulu menjadi host-ku? Baru sekarang kau menemuiku…”
“Kau sendiri yang memanggilku. Ada apa?” tanya Sakura dengan nada ketus.
“Kau berani sekali menjadi host-ku yang sekarang. Padahal itu hanya akan membuatmu mati. Fufufufu”
Tiba-tiba Sakura jadi naik pitam. “Diam kau, Siluman! Aku begini karena aku ingin merasakan menjadi Naruto.” Kemudian volume suaranya turun. “Aku ingin merasakan penderitaannya dulu,” bisiknya.
“Hahaha. Manis sekali. Lalu apa kau sudah merasakannya, hm? Apa semua ini membuatmu puas? Kau hanya menyakiti dirimu saja.”
“Bedebah! Aku tak peduli aku akan mati. Yang penting aku bisa bertemu dengan Naruto.”
Kyuubi makin tertawa geli. “Fufufu. Romantis sekali. Padahal seingatku, dulu kau tak peduli padanya. Yang dipikiranmu hanya ada si pendosa Uchiha itu.”
“Diam! Kau tak tahu apa-apa tentang kami.” Mendengarnya Sakura merasa ditampar berkali-kali. Siluman itu nampak tahu akan semuanya. “Memang benar aku mencintai Sasuke-kun. Tapi itu dulu. Sekarang orang yang aku cinta…sudah mati...”
“Terlambat menyadari, eh? Sayang sekali. Hahaha.”
“Tertawalah sesukamu, Kyuubi! Aku tak peduli.”
“Hahahaha. Kau sangat temperamental. Aku sungguh heran mengapa Naruto bisa mencintaimu. Karena satu tubuh dengannya, kadang aku merasakan segala yang Naruto rasakan. Kalau kau tahu, kau terlalu banyak membuatnya menderita…” Siluman yang satu ini memang paling bisa membuat frustasi.
Tapi Sakura jadi menangis. Meski ia ingin menampiknya. Menurutnya kata-kata Kyuubi tak sepenuhnya salah. Ia mengakui di dalam hatinya. Hatinya tak mampu berdusta. “Di-Diam…”
“Hahaha. Dasar bodoh! Tapi aku kasihan juga melihat Naruto yang mati di kala muda. Lebih muda dibandingkan dengan host-host ku terdahulu. Bagaimanapun aku telah lama berbagi tubuh dengannya.”
“Ma-Maksudmu?”
“Kalau kau mau aku bisa mengantarkanmu lagi ke masa lalu. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahanmu.”
Masih adakah harapan itu? “B-Benarkkah?”
“Hm, ya. Tapi aku tak menjamin kau akan hidup panjang di sini. Jiwamu akan lama berada di masa lalu. Kematianmu akan berjalan lebih cep—”
“Sudah kubilang aku tak peduli dengan semua itu! Apa kau bisa mengantarkan aku ke masa lalu sekarang?”
“Kau ini tak sabaran ya. Tapi kuperingatkan kau tidak tahu kau akan kembali ke masa lalu. Yang kau sadari, kejadian-kejadian itu seperti pernah terjadi sebelumnya. Kau harus memperbaikinya…”
Sakura pun menyeka airmatanya. “Tidak apa-apa, asalkan aku bisa bertemu dengan Naruto.”
“Huh, baiklah. Aku akan membawamu ke akhir perang dunia shinobi keempat. Pesanku kau harus tahu di mana kesalahanmu. Sekarang pergilah.”
Kemudian cahaya putih terpancar. Perjalanan meniti waktu lalu pun akan dimulai…
Bersambung…

Well, ulang tahun Naruto kapan, ngebuat ficnya kapan :D. Kemarin-kemarin sibuk dengan ini itu jadinya baru bisa publish. Dan itu pun cuma segini. Maaf chapter ini singkat sekali. Chapter depan Insya Allah lebih panjang. Di sini palingan cuma sampai 3 chapter aja.
Buat fanfic Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki sama Shinjitsu No Uta bentar dulu ya. Masih dalam proses pengerjaan. Mohon dimaklumi.
Makasih udah mau baca ^^


Monday, 17 October 2011

Langit Kedamaian

Flash Fiction ini diikutkan pada Nulisbuku.com 11 project, 11 Days (Day 6). 



Langit Kedamaian
(by Pretty Wuisan)
Terinspirasi dari lagu D’Masiv – Damai


Siang itu, saat raja siang dengan angkuh memamerkan kekuatannya pada bumi. Jelajah sinarnya siap menyengat kulit menuaikan amis keringat. Membuat orang-orang takut bermandikan peluh dan kulitnya semakin menghitam.
Namun tidak untuk dua anak lelaki yang asyik bercengkrama di atas atap sebuah rumah. Berbaring beralaskan genteng-genteng rapuh. Rumah sebuah panti asuhan, tempat tinggal mereka kini. Sembari memandangi langit yang membentang biru tanpa kapas putih yang berhamburan tak beraturan.  
“San, mengapa kalau aku nonton televisi selalu saja ada hal menyeramkan? Apa kau tahu penyebabnya?”
“Hm? Maksudmu apa, Nil?”
“Maksudku apa mereka sedang marah? Tapi apa yang menyebabkan mereka marah? Mengapa harus saling pukul dan pakai bom segala?”
“Oh, aku nggak tahu, Nil. Mereka tidak bilang mengapa mereka marah dan meledakkan bom. Mereka melakukannya diam-diam.”
Kemudian senyap itu menyelimuti. Masing-masing dari mereka terjerembab dalam pertanyaan-pertanyaan tentang kejadian kemarin. Kerusuhan di Ambon dan ledakkan bom di Solo.
Mereka masih terlalu kecil untuk melihat semua tragedi itu, namun apa boleh buat ‘tanpa sengaja’ mata suci mereka melihatnya. Dan pada akhirnya mereka digerayangi rasa penasaran dan juga kekhawatiran. Ternyata rumah mereka tak seaman yang mereka kira…
“Hei, San. Boleh aku bilang sesuatu padamu?”
Kegundahan itu ingin ia utarakan pada sahabatnya Ihsan. Kegundahan yang telah lama ia pendam. Ia tak mau menutup tirainya berlama-lama.
“Apa? Bilang saja, Nil.”
“Kamu… Apa kamu sebal jika setiap hari Minggu aku ke Gereja?”
Ihsan langsung duduk dari rebahannya. Nampak kaget dengan apa yang Danil ucapkan.
“Kok… Kok kamu bisa berpikiran seperti itu?”
Alasan sebenarnya. ‘Karena aku takut kita jadi bermusuhan. Aku takut kehilangan sahabat sekaligus saudara yang aku sayang’. Tapi Danil menjawab. “Ha-Habisnya pagi-pagi aku nggak bisa berkebun bersamamu dan teman-teman lain…”
Ihsan mematung, menatap mata hitam kecoklatan itu lekat-lekat. Lantas senyuman kecil mengembang dari bibir mungilnya.
 “Kalau aku boleh balik bertanya. Apa kamu juga kesal jika setiap hari Jum’at siang aku pergi ke Masjid? Itu jadwal kita membersihkan kamar setiap minggu ‘kan? Bahkan di waktu-waktu tertentu aku sering meninggalkanmu untuk ke Masjid.”
“Eh?” Sekarang Danil yang nampak kaget dengan pertanyaan Ihsan.
Kegelisahan yang sama rupanya…
Tanpa sengaja mereka berucap berbarengan. ”Ngg...”
Kemudian senyap sesaat.
“Kamu duluan, Nil.”
“Kamu saja, San.”
Ihsan menyenggol bahu Danil. “Kamu lah.”
Danil mulai tertawa. “Wong aku yang nanya duluan. Kamu jawab dulu pertanyaanku.”
Kemudian mereka malah tertawa bersama-sama.
“Kau tahu, Nil. Aku sama sekali nggak berpikiran seperti itu. Percaya sama aku. Aku malah sedih banget pas kamu nggak ke Gereja karena aku nggak membangunkanmu. Waktu itu kau dan aku telat bangun,” jelas Ihsan.
Danil terkesiap, ia baru tahu Ihsan beranggapan seperti itu.
“Lalu kamu, Nil?”
“Sama sepertimu, San. Aku nggak sebal jika kamu ke Masjid setiap hari Jum’at dan waktu lainnya. Lagipula kau selalu membersihkan yang sudah menjadi tugasmu. Aku malah sempat jengkel ketika kau malas ke Masjid karena ingin nonton Spongebob.”
Kegundahan itu beralih ke satu kata ‘lega’.
“Syukurlah kalau begitu,” ucap Ihsan sembari menghirup banyak-banyak udara panas di sekitarnya. 
“Tapi, San. Aku masih penasaran lho, mengapa akhir-akhir ini sering terjadi kerusuhan dan ledakan bom?”
Ihsan menjawab, “Aku pernah menanyakan hal itu pada Bu Nilam. Beliau malah menjawab kita akan menemukan jawabannya setelah dewasa nanti. Itu bukan urusan anak seumuran kita. Yang jelas yang harus kita lakukan adalah…”
“Saling menghormati satu sama lain,” ujar Danil melanjutkan kata-kata Ihsan. Ia tak akan pernah melupakan petuah dari ibu asuhnya itu. “Kalau begitu menurutmu, apa kita akan merasakan kedamaian utuh?” tanyanya kemudian.
“Dunia diisi oleh orang jahat dan orang baik. Jadi mungkin itu sedikit sulit dijangkau.” Ihsan menyentuh dagu dengan tangan tanda ragu.
“Ah, aku jadi ingat. Karena kedamaian hanya milik langit.”
“Dan tugas kita adalah mengambil kedamaian itu dari langit. Seperti kata Bu Nilam,” ucap Ihsan menambahkan.
Tiba-tiba angin yang cukup kencang menghantam tubuh kecil mereka. Namun mereka tak bergeming sama sekali. Malah terlihat senang…
“Lalu dengan apa kita mengambilnya?” tanya Danil sembari cengengesan.
“Dengan main layang-layang! Hahaha! Ayo, Nil. Kita ambil layang-layang kita.”
“Iya!” teriak Ihsan tak kalah lantangnya.
‘Dan juga dengan saling menghargai… Maka langit akan memberikan kedamaian pada kita.’
Kemudian tangan mereka saling terpaut, saling membantu untuk turun dari atas atap.
“Hei, Nil. Aku tak punya siapa-siapa lagi, selain kamu, Bu Nilam, dan teman-teman panti lainnya. Jadi aku harap kita nggak akan pernah bermusuhan sampai kita besar nanti. Kamu sudah kuanggap sebagai saudara kandungku sendiri.”
“Aku juga berharap begitu, San,” ucap Danil mantap sembari menepuk-nepuk bahu Ihsan.
“Baiklah, ayo kita pergi ke langit kedamaian!”
“Hahaha. Ayo!”
Lantas tangan mereka saling menggenggam lagi. Untuk menemukan kedamaian yang mereka cari.
Genggam tanganku bawaku ke keadaan yang lebih indah.
Ku ingin ada di sana, walau berbeda kita bersama.
Merasakan damai…



Bandung, 2011

Tuesday, 11 October 2011

Naruto Fanfiksi: I Failed You Sequel from I Lost You

MAU KE JEPANG GRATIS? YUK NULIS ARTIKEL. DEADLINE 16 JUNI 2016. INFO LEBIH LENGKAP KLIK BANNER DI BAWAH INI.

Ikuti Present Campaign HIS Summer Trip Blogging Competition  
I Failed You

Naruto © Masashi Kishimoto

Mati di Sisimu © Aku

Warning: Sequel from ‘I Lost You’. Semi-Canon. Hurt/Comfort/Angst. Oneshot.

Pairing: Naruto and Sakura

Terinspirasi dari video klip Padi “Kasih Tak Sampai.” Masih ingat video klipnya seperti apa? Hehehe.
Terima kasih yang udah baca fic I Lost You.
Selamat Membaca, Kawan ^^
.
.
Naruto sunshin ke ruangan kerjanya di Menara Hokage. Ia lalu terduduk di kursi kebanggaannya. Nafasnya memburu; tiba-tiba ada rasa sakit muncul di dada kirinya, ia pun mencengkramnya dengat kuat. “Harus diakhiri… Semuanya harus diakhiri dengan indah.”
HOEK!
Dan tiba-tiba darah segar keluar dari mulut Naruto.
Satu tahun dua bulan yang lalu…
“Naruto…”
“Sa-Sakura-chan?”
“Bagaimana keadaanmu?”
“Aku baik-baik saja, semakin hari semakin membaik. Hehehe.”
“…”
“Sakura-chan, ada apa?”
“Terima kasih, Naruto. Terima kasih karena telah membawa Sasuke-kun. Aku berhutang banyak padamu.”   
“Hehe santai saja, Sakura-chan. Akhirnya aku bisa menepati janjiku padamu.”
“Naruto…”
“Whoaa!! Jangan menangis, Sakura-chan. Hei! Hei! Kau tidak mengunjungi Sasuke?”
“Ya, aku mau mengunjunginya sekarang. Kau mau ikut? Aku bisa meminjam kursi roda ke resepsionis.”
“Ehm….sepertinya aku tidak bisa, Sakura-chan
“Kenapa?”
“Aku baru saja mengunjunginya. Kau sebaiknya mengunjungi Sasuke, Sakura-chan. Dia merindukanmu.”
“Benarkah?”
“Ya.”
“…”
“Ugh!”
“Kau kenapa?”
“Ahaha, tidak apa-apa, Sakura-chan. Ini bekas luka akibat pertarunganku melawan Madara kemarin. Baa-chan sudah memeriksanya; dia bilang luka di dada kiriku tidak perlu dikhawatirkan, tapi memang butuh waktu lama lukanya untuk tertutup sempurna.”
“Biarkan aku memeriksamu dulu, Naruto.”
“Tidak perlu, Sakura-chan.”
“Eh?”
“Tidak apa-apa, Sakura-chan. Masak kau tidak mempercayai baa-chan? Hehehe.”
“Tapi—”
“Sssttt, kau sebaiknya mengunjungi Sasuke sekarang sebelum dia tertidur.”
“Baiklah kalau begitu. Nanti aku kembali ke sini, kau ingin menitip ramen?”
“Ya, aku sangat sangat mau!”
            13 bulan yang lalu
            “Baa-chan.
            “Na-Naruto k-kau sekarat…”
            “Haa…h, tak perlu menangis, Baa-chan. Sejak awal aku sudah tahu, menggunakan kekuatan Kyuubi memiliki adalah risiko yang tinggi. Aku nekat menggunakan kekuatannya bukan karena aku tidak tahu apa akibatnya. Aku hanya ingin melindungi orang-orang yang aku sayangi. Lagipula kematian itu—”
            “Baka! Jangan bicara seperti itu! Lukamu pasti bisa disembuhkan!”
            “Kenyataannya…pertahanan tubuhku semakin lama semakin menurun. Aku sudah merasakan gejalanya, Baa-chan.”
            “…”
            “Tapi tenang saja, aku akan melaksanakan tugasku sebagai Hokage sampai akhir hayatku.”
            “Gaki…”
            “Maafkan aku, Baa-chan. Aku tidak bisa lama-lama mengemban tugas itu.”
            “Kau tidak mengatakannya pada timmu? Mereka berhak tahu.”
            “Aku tidak mau memberi tahu mereka. Kakashi-sensei sedang berbahagia dengan Yugao-nee, sedangkan Sakura-chan dan Sasuke juga—aku tidak mau mengganggu kebahagiaan mereka dengan keadaanku ini.”
            “Kau selalu saja sok kuat, Gaki!”
            “Ahahaha, aku memang kuat kok.”
            “Berhenti bersikap seperti ini adalah masalah sepele!”
            “Yah, apa boleh buat, Baa-chan. Aku juga tidak terlalu mengambil pusing Hehehe. Tapi kalau boleh jujur…”
            “…”
            “Aku juga masih ingin menikmati indahnya diberi kehidupan yang lama…”
            “Ga-Gaki…”
            “Lalu soal Kyuubi, aku meminta tolong padamu, Baa-chan.”
            “Kau ingin aku mencari jinchuuriki yang lain?”
            “Sebenarnya aku berharap, akulah jinchuuriki terakhir yang Konoha miliki. Tapi apa boleh buat, kalau aku mati jiwa Kyuubi akan tetap hidup bersarang di perutku. Dan itu berbahaya jika tidak ada yang bisa mengontrolnya…”
            “Aku akan mengusahakannya untukmu…”
            “Terima kasih, Baa-chan. Maaf selama ini selalu merepotkanmu…”
            “Jangan mengatakan hal seperti itu, Gaki. Aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri.”
            “Hehehehe…”
Setahun yang lalu…
            “Naruto! Tunggu, Naruto! Ada yang ingin aku bicarakan padamu.”
            “Hn? Maaf, Sakura. Lima menit lagi aku ada rapat dengan petinggi Konoha, lain kali saja ya.”
            “Sa-Sakura?”
            “Apa ada yang salah? Namamu Sakura ‘kan?”
            “Me-Memang benar, Naruto. Tapi—”
            “Maaf, Sakura. Aku sedang terburu-buru…”
            “Heh?”
            Back to present time…
Malam itu gemintang ramai menghiasi langit gelap yang membentang; membelahnya menjadi bertaburan di sana-sini. Menawarkan pemandangan eksotik yang jarang terlihat sepanjang hari. Mengepung menjadi miniatur tata surya yang hanya nampak saat malam tiba. Entah mengapa bintang-bintang itu terlihat berwarna-warni di mata Sasuke. Seperti warna bias planet-planet.
Sesekali ia memandang langit gelap di atasnya. Menutup kejenuhan yang dari tadi mengerumuni pikirannya selama setengah jam duduk di sini. Ia hanya bisa menatap seorang gadis di depannya dalam diam. Ia sendiri menyadari ini juga adalah kekurangannya yang tidak pandai memulai percakapan dengan seseorang.
Gadis itu, Haruno Sakura namanya. Ia sedang duduk terdiam sembari mengaduk-aduk hidangan makan malam secara perlahan, tak ada nafsu untuk menyantapnya. Tapi apa boleh buat ini adalah ajakan seseorang; ia tidak sampai hati untuk menolaknya, walaupun sebenarnya ia sedang ingin sendirian.
Sasuke yang duduk di hadapan Sakura merasakan ada kejanggalan yang berkelebat pada teman setimnya itu. Ia jadi tidak nyaman juga menelan makanan dari restoran mahal ini. Susah payah ia mengundang Sakura karena kemarin-kemarin gadis ini menolak dengan berbagai alasan yang bisa membuatnya bungkam, tak mampu membujuk lagi.
Gadis ini memang sangat berbeda dengan gadis kecil yang ia kenal delapan tahun lalu. Harus ia akui gadis ini tumbuh menjadi gadis dewasa tidak hanya secara fisik, secara psikis ia juga tumbuh sebagai gadis yang mampu berpikir secara objektif.
Karena itulah Sasuke ingin memperbaiki sesuatu hal yang dulu ia kacaukan sendiri. Ia ingin meminta kembali suatu yang ‘spesial’ yang dulu pernah Sakura tawarkan padanya. Yang dulu ditolaknya mentah-mentah.
Sejak kembali ke desa Konoha ia tak henti-hentinya mengumpati diri sendiri karena dosa masa lalunya. Tak seharusnya waktu itu ia menolak Sakura yang merelakan dirinya untuk ikut mengemban misi berbahaya bersamanya. Misi berbahaya untuk membunuh kakaknya sendiri.
Nyatanya semua hal yang telah terjadi membuat guratan menyakitkan abadi di sanubarinya. Dan luka itu tentu sulit untuk disembuhkan kalau mengandalkan waktu saja. Ia butuh seseorang yang mau merelakan bahunya untuk menjadi tempat sandaran disaat ia lelah, peluk rayuan manja di setiap hari ketika hatinya sedang gundah gulana, senyuman menawan yang bisa membangkitkan semangatnya untuk menghadapi kehidupan yang gila ini. Semua hal itu…ia mengasakannya dari Sakura. Satu-satunya harapan yang memiliki peluang besar untuk digapai.
Sasuke ingin menyembuhkan luka yang ada dengan bantuan Sakura. Karena ia berpikir hanya si ninja medis itu yang bisa mengerti apa adanya dirinya. Namun kini gadis itu malah diam seribu bahasa di depannya. Ia seperti menjelma menjadi sosok lain yang tidak pernah ia kenal. Sasuke menyesali tindak-tanduknya yang dulu kelewat egois.
Dan beginilah jadinya. Selama 30 menit berada di sini, tidak berbicara sepatah kata pun. Sasuke merasa jadi yang paling bodoh di antara orang utan di belantara rimba yang paling tidak bisa menyapa rekan-rekannya di setiap saat mereka bersua. Tapi bukan keturunan Uchiha namanya kalau ia tidak ingin berusaha.
“Apa makanannya kurang enak, Sakura?” 
Sakura menoleh pada seseorang yang mengajaknya berbicara itu. Ia tidak menyadari kalau Sasuke masih duduk di depannya. Sejujurnya ia merasa sedang sendirian. “Enak kok, Sasuke-kun. Hanya saja aku tidak lapar saat ini. Maaf ya, aku melahapnya pelan-pelan begini,” ucapnya sembari tersenyum palsu.
Sasuke menyadari senyuman itu, ia sedikit geram. ‘Lagi-lagi senyuman itu, lama-lama aku kesal kalau dibeginikan terus. Apa aku dulu terlalu kasar padanya sampai-sampai ia tak mau mengeluarkan senyuman manisnya untukku lagi?’ ucapnya dalam hati. Dan juga Sakura berbohong padanya, dari tadi dia hanya memutar-mutar sendok dan garpu di atas piringnya. Mana ada dia memakan lobster paling enak di desa Konoha itu?
“Apa yang sebenarnya terjadi, Sakura? Aku perhatikan semenjak dua hari yang lalu…kau terlihat murung sekali.” Sekali lagi Sasuke ingin mengajak Sakura membuka diri. 
“Eh? I-Itu…” Sakura tak melanjutkan ucapannya, ia tidak ingin mengingat lagi kejadian dua hari yang lalu. Tapi ia juga butuh seseorang yang ingin mendengarkan keluh kesahnya. Paling tidak bisa membuatnya tenang sedikit.
Sasuke mengangkat alisnya; sebisa mungkin ia mencoba memancing Sakura agar mau berbicara padanya. “Kenapa, Sakura?”
“Dua hari yang lalu aku bertemu dengan Naruto…,” ujar Sakura pada akhirnya.
Sasuke yang mendengarnya langsung merasa down. Entah mengapa di saat sedang berduaan dengan Sakura seperti ini, ia enggan nama Naruto disebutkan si tengah-tengah pertemuan mereka. Tapi apa boleh buat, ia harus menjadi pendengar yang baik; ia pun mencoba tersenyum dengan tulus. “Akhirnya kau bisa bertemu juga dengannya. Heh, dia selalu saja sok sibuk. Apa kalian sempat berbicara?”
Sakura terdiam sebentar, menatap piring berisi lobster yang baru ia keluarkan isinya saja. “Ya, kami membicarakan banyak hal.”
“Memangnya apa yang kalian bicarakan? Harusnya kau merasa senang bukan?”
Sakura memejamkan matanya sebentar. “Aku menyatakan perasaanku yang sebenarnya pada Naruto.”
“A-Apa?” Sasuke hampir saja menjatuhkan sendok yang sedang ia genggam. Ia terkejut dengan pernyataan Sakura barusan.
“Aku menyatakan perasaanku yang sebenarnya pada Naruto, Sasuke-kun,” ucap Sakura mengulangi kalimatnya tadi dengan nada datar.
“Lalu apa dia—”
“Tentu saja dia menolakku.”
Sasuke langsung bernafas lega, berarti ia masih memiliki kesempatan untuk memenangkan hati Sakura. Namun ia merasa aneh juga, yang ia tahu Naruto sangat mencintai Sakura. Lalu mengapa dia menyia-nyiakan kesempatan emas ini? Terlalu sibuk? Rasa-rasanya itu tidak masuk akal.
“Aku baru menyadari kalau aku tidak  pantas mendapatkan cintanya, aku terlalu naif. Aku tak tahu harus menceritakan hal ini pada siapa. Harus kuakui tanpa Naruto aku benar-benar merasa kesepian.”
“Sakura…apa kau tidak menyadari kalau kau sedang berbicara pada seseorang saat ini?” ucap Sasuke dingin.
Sakura terperanjat, ia mendongakkan kepalanya menatap Sasuke. “A-Aku…Sa-Sasuke-kun, gomenasai.”
“Lupakan saja…,” ujar Sasuke memejamkan matanya. “Aku mengerti; aku juga tidak pantas meminta apa yang telah aku tidak inginkan sebelumnya. Aku hanya ingin memperbaikinya kalau itu belum terlambat…”
Sakura tercenung mendengarnya. “Ma-Maksudnya?”
Tangan Sasuke kemudian beranjak menyentuh tangan Sakura. Si pinky itu tercenung melihatnya.
“Ku mohon berikan aku kesempatan sekali lagi. Aku paham; aku terlambat mengatakannya padamu. Aku dulu terlalu bernafsu ingin membalaskan dendamku pada Itachi-nii, sampai-sampai aku berani mengorbankan segala yang berharga bagiku. Aku dulu menyia-nyiakan persahabatanku dengan Naruto. Aku juga menyia-nyiakan dirimu…”
“Sasuke-kun…”
“Aku ingin kau sudi membuka hatimu lagi untukku…,” ucapnya sembari meremas lembut tangan Sakura.
Sakura sendiri entah mengapa tidak merasakan apa-apa ketika Sasuke melakukan itu. Ia malah merasa aneh dan biasa saja. Padahal pemuda di depannya ini adalah orang yang paling ia tunggu kepulangannya ke desa Konoha. Cinta pertama yang dulu ia harapkan membalas perasaannya. Tapi sayangnya sekarang ia sudah berpindah ke lain hati; ia menyadari hal itu…
Sakura nyaris lemas mendengarnya, pernyataan cinta Sasuke baginya malah menambah runyam persoalan. Ia tidak bisa berpikir jernih dengan keadaan yang sedang carut marut seperti ini. Ia perlu ketenangan. Sebagai seorang wanita, ia punya hak untuk memilih, namun tidak dalam keadaan seperti ini.
“Aku ingin kau menjadi teman hidupku—”
“Sasuke-kun…aku mohon beri aku waktu untuk berpikir,” potong Sakura tiba-tiba.
Sasuke menatapnya dengan airmuka penuh pengharapan. Nampaknya saat ini Sakura belum bisa berpikir jernih, karenanya ia menyanggupi untuk memberinya waktu. “Baiklah kalau begitu, aku bisa menunggu…”
Sakura lekas menyantap makanan yang sedari tadi ia porak-parikan saja bentuknya. Mubazir kalau dibiarkan saja. Namun seenak apapun, masakan itu tetap terasa hambar di indera pengecapnya.
Sementara Sasuke berpikir, besok pagi ia akan bicara empat mata pada Naruto. Ia harus mengatakan hal yang terjadi saat ini pada sahabatnya itu. Ia tidak akan main kucing-kucingan untuk ihwal ini. Sekalian memastikan jika pernyataan Sakura barusan benar atau tidak.
.
0o0o0o0
.
Pagi itu, Uzumaki Naruto kembali ke rutinitas sehari-harinya. Berkutat dengan dokumen-dokumen yang harus ia tandatangani, menanggapi ocehan dari anak buahnya, mengadakan rapat dengan pejabat ini dan itu, semua kegiatan yang paling tidak dapat melupakannya tentang kejadian kemarin. Seperti itulah kegiatannya minggu-minggu terakhir ini. Repot dan menjenuhkan.
Baru ia tahu, menjadi Hokage bakal merepotkan seperti ini. Lama-lama ia jadi seperti Shikamaru. Di umurnya yang telah menginjak kepala dua ini seharusnya ia masih perlu bermain.
Ah, tapi ia tidak menyesal berjuang sampai mati untuk mendapat gelar Hokage di Konohagakure no sato. Karena nilai dari menjadi seorang Hokage adalah melindungi dengan segenap jiwa dan raga tanah tercintanya. Ia sangat ikhlas melakukan semua pekerjaan rumit lagi membosankan ini.
Naruto membenarkan posisi duduknya sebentar. Sebenarnya ia sudah sarapan empat sehat lima sempurna satu jam yang lalu, namun tetap saja ia merasa lesu. Lari-lari kecil pun tadi ia sudah lakukan sebelum berangkat ke ruangan kerjanya di Menara Hokage.
Mungkin ini adalah pertanda. Ia mafhum hari itu sebentar lagi akan tiba…
Naruto mengambil satu lembar surat perintah melaksanakan misi yang hendak ia tandatangani. Tak lupa ia melihat jadwal untuk hari ini yang telah Moegi susun. Ya, ia memilih teman setim Konohamaru itu untuk menjadi asistennya. Berkali-kali ia mengganti posisi asisten itu, dan hanya Moegi-lah yang lolos kriterianya. Siapa yang tidak risih memperkerjakan fangirl yang saban hari kerjanya menggodanya dengan centil? Tentulah ia mempekerjakan asisten yang dapat ia percaya sekaligus memiliki etos kerja tinggi. Bukan seorang fangirl yang bekerja padanya hanya untuk mencari perhatian.  
Naruto juga melihat jadwal di hari esok-esoknya. Ia baru menyadari ada perayaan penting di tiga hari yang akan datang.
“Lho? Tiga hari lagi akan diadakan pesta setahun aku menjabat Hokage ya? Aku baru menyadarinya…” Tiba-tiba
Tes! Tes!
Darah segar mengotori lembaran jadwal yang sedang Naruto genggam. Darah itu keluar dari lubang hidungnya. “Tsk, padahal ini masih pagi,” keluh Naruto. Ia pun mengambil sapu tangan di kantung jubah Hokagenya. “Apa aku mengunjungi baa-chan lagi ya? Tapi obat kemarin belum habis. Dari kemarin aku mimisan terus.” Ia segera menuju ke wastafel yang berada di sebelah ruangan utama kantornya.
Tok! Tok!
Naruto menoleh ke arah pintu, ia buru-buru mengelap atap bibirnya yang sedikit berlumeran darah dan kembali lagi ke meja kerjanya. “Siapa ya pagi-pagi begini? Masuk!” teriaknya sembari menaruh sapu tangan itu ke dalam laci.
“Hokage-sama…”
“Sasuke, eh? Ada apa?” Naruto terkejut dengan kunjungan sahabatnya itu yang menurutnya terlalu pagi.
“Bisa kita bicara sebentar? Kau ada waktu?”
Naruto terdiam dulu. Lalu, “Douzo (Silahkan).”
“Tidak di sini, aku ingin berbicara denganmu  di tempat lain,” ujar Sasuke tanpa ada ekspresi jelas di wajahnya.
Dahi Naruto kemudian mengerut. Ia bisa menerka ada sesuatu hal penting yang ingin Sasuke bicarakan, mudah-mudahan bukan soal Sakura.
“Agar tidak ada orang lain yang mendengar,” jelas Sasuke lagi.
Naruto pun mafhum akan kemauan Sasuke. Ia pun menurutinya. “Baiklah kalau itu maumu. Di atas ukiran wajahku saja ya.”
Ukiran wajah Hokage—yang terpahat di tebing besar—yang mengitari desa Konoha. Dari wajah Senju Hashirama sampai ke wajah Uzumaki Naruto sendiri… Mereka adalah perisai bagi desa makmur ini.
Ukiran wajah Naruto baru selesai dua bulan kemarin, namun kini telah menjadi tempat favoritnya untuk melihat keindahan panaroma Konohagakure no sato. Desa yang banyak memberikannya pelajaran akan sebuah kehidupan yang sangat berarti.
Sasuke meresponnya dengan anggukan kepala. Ia pun segera melesat ke sana dengan sunshin, sedangkan Naruto memakai sunshin jikuukan no jutsu untuk ke sana. Jadi Sasuke kalah cepat darinya.
Sesampainya di sana…
“Apa yang ingin kau bicarakan padaku, Sasuke?”
Sasuke memejamkan matanya sebentar, ia menatap Naruto yang berdiri di sampingnya. Ia memutuskan untuk langsung ke inti permasalahan saja. “Aku ingin menikahi Sakura.”
Deg!
Jantung Naruto nyaris keluar mendengar ucapan Sasuke. Sontak ia menatap keturunan Uchiha terakhir itu dengan emosi membara yang tersembunyi. “Oh, omedetou (selamat)…,” ujarnya pelan.
“Tapi dia belum memutuskan untuk menerimaku atau tidak.”
Naruto mengambil nafasnya perlahan, jantungnya tiba-tiba nyeri lagi tapi ia tidak menunjukkan rasa sakitnya pada Sasuke. “Lalu…apa hubungannya denganku? Aku kira itu hak Sakura—”
“Dia mencintaimu tahu!”
Naruto lagi-lagi tercenung mendengarnya. Ugh, Sasuke mengucapkan kata-kata yang sebenarnya tidak ingin ia dengar.
“Kau menolaknya, apa itu benar?”
Naruto tetap diam membisu.
“Aku tahu kau sangat mencintai Sakura, Naruto. Tapi mengapa kau—”
“Sasuke…” Akhirnya Naruto memutuskan meluruskan semuanya. “Perasaanku yang dulu dan sekarang pada Sakura itu berbeda.”
“Kau berkata jujur, Naruto? Sebagai seorang yang banyak hutang budi padamu, aku hanya tidak mau dikatai sebagai perusak kebahagiaan orang. Aku wajib memastikan kalau kau benar-benar merelakan Sakura padaku.”
Naruto lantas menatap Sasuke dengan cengiran khasnya. “Sejak dulu juga aku sudah merelakan Sakura untukmu.” Ia terdiam sebentar. “Tanpa kau meminta izin pun aku sudah merelakannya…,” ucapnya lirih. Ia menelan ludahnya sendiri, ada sedikit aroma darah yang masuk ke kerongkongannya. Naruto tak membiarkan darah dari dalam tubuhnya berhambur keluar di saat-saat seperti ini.
Wajah Sasuke terlihat cerah mendengar pernyataan Hokage Keenam itu, “Kau yakin, Naruto?”
Naruto memandangi Sasuke sembari tersenyum lebar. “Aku tidak yakin kalau Sakura mencintaiku sepenuh hatinya. Dulu di hatinya itu hanya ada kau, Sasuke…”
Sasuke termangu mendengar ucapan Naruto. “Naruto kau tidak seharusnya—”
“Aku juga sangat sibuk, Sasuke. Tidak ada waktu berkasih-kasihan dengan seorang wanita. Tampaknya aku tidak akan menikah selama hidupku. Hehehe,” ujar Naruto lagi. ‘Tapi juga karena waktuku di dunia ini tinggal sedikit…’
Dahi Sasuke mengisut, ia tidak paham dengan maksud sahabatnya; terdengar nadir di telinganya sendiri. Namun ia mencoba untuk mafhum dengan keputusan Naruto. Terlebih dalam satu tahun terakhir ini, Konoha sedang dalam masa pembangunan setelah perang dunia ninja keempat terjadi.
“Kau akan merestui hubunganku dengan Sakura?” tanya Sasuke lagi.
“Yayaya, selamat menempuh hidup baru,” jawab Naruto sembari nyengir kuda. Cengiran yang sangat dipaksakan sebenarnya. Tiba-tiba rasa nyeri itu menyerang dada kirinya lagi. Naruto memejamkan matanya menahan sakit.
“Kau kenapa?” tanya Sasuke setengah kaget. Takut ada apa-apa dengan Naruto.
Untunglah rasa sakit itu hanya terasa sebentar saja, Naruto bisa bernafas normal lagi. “Tidak apa-apa, hanya saja hari ini aku belum makan semangkuk ramen. Hehehe,” ujarnya asal bunyi.
Ada sesuatu yang janggal, Sasuke merasakannya, namun ia mengacuhkannya. Barangkali yang dikatakan Naruto itu memang benar. “Dasar! Kau ini hanya memikirkan ramen, pantas saja Sakura kau lupakan. Oh ya, maaf aku mengganggumu pagi-pagi.”
Sebenarnya bukan karena ramen Uzmaki Naruto menolak Haruno Sakura.
“Yah, tidak apa-apa,” jawab Naruto. Namun dalam hati ia berkata, ‘Dasar Uchiha, kebiasaan! Harusnya dia meminta maaf diawal-awal.’
“Kalau jadi nanti, kau wajib datang ke pesta pernikahan kami, Naruto. Kau akan kujadikan tamu istimewa.”
Naruto menatap Sasuke dengan wajah serius. “Hm, kapan rencananya?”
Angin semilir berhembus kencang mengitari mereka. Rambut biru Sasuke berterbangan kesana kemari, ia jadi risih dan menahannya agar tidak menutupi penglihatannya. Aneh, anginnya terasa dingin di kulit padahal ini masih musim kemarau. “Yah, belum bisa dipastikan tapi aku ingin secepatnya.”
Naruto menghirup angin segar yang berhembus di depannya. “Aku juga belum bisa memastikan untuk datang atau tidak, Sasuke…” Naruto memikirkan hari besar yang lain yang bisa saja merenggut jiwanya sewaktu-waktu.
“Hn?”
“Pokoknya kau tidak boleh membuat Sakura menangis. Kalau itu kau lakukan, akulah orang yang pertama menghajarmu habis-habisan, Teme!” umpat Naruto tiba-tiba. Sengaja mengalihkan pembicaraan.
“Heh, banyak omong kau, Dobe!”
Teme!”
Dobe!”
Dan begitulah seterusnya mereka, saling mencaci maki hingga sang fajar merangkak naik di atas kepala mereka. Tak sadar siang datang tanpa memberikan sinyal terlebih dahulu. Naruto pun kembali ke ruangan kerjanya. Sementara Sasuke pergi entah kemana.
Walaupun sudah berada dalam ruangan, Naruto masih bisa merasakan angin di luar sana berhembus kencang. Sembari menatap langit, ia pun berpikir; ia tidak ingin datang ke pernikahaan Sakura dan Sasuke nanti apabila hal itu terjadi.
“Aku ingin ajal menjemputku sebelum pesta pernikahan mereka digelar. Aku…tak sanggup untuk melihat mereka bermesraan di depanku,” tukasnya pada angin yang membawa kabur kata-katanya ke lain tempat. Kalau saja kata-katanya tetap tegar terbawa angin, mungkin seluruh penduduk Konoha akan tahu apa yang ia isakkan. Sayangnya hanya angin yang mengetahuinya…
.
0o0o0o0
.
Sorenya, Naruto melatih Konohamaru jutsu baru. Kali ini ia memakai metode berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Ia menghajarnya habis-habisan sampai Konohamaru lari terbirit-birit kesana kemari menghindari serangannya yang brutal.
Konohamaru pun terhempas ke dahan pohon yang lumayan besar. “Ouch! Tunggu sebentar, Naruto-nii!” teriaknya sembari mengusap pinggang belakang yang tulangnya nyaris remuk.
“Kenapa, Konohamaru? Apa segini saja kemampuanmu?” tanya Naruto dingin. Ia mulai memasang kuda-kuda untuk melawan muridnya lagi.
“Whoaa, Naruto-nii. Kau terlalu berlebihan hari ini!”
“Heh, kita tidak punya waktu, Konohamaru. Kau harus bisa mengalahkanku saat ini juga!” teriak Naruto yang melesat cepat ke arah Konohamaru.
Na-Nani!”
“Maju, Konohamaru!”
Konohamaru pun akhirnya mengarahkan tendangan sembarang ke arah Naruto. Saking tegangnya, ia tidak tahu kemana arah kakinya menyerang.
Kemarin Naruto telah mengajarkannya cara menghadapi kecepatan jikuukan no jutsu, namun memang masih sulit untuk dipraktekkan. Ia berusaha konsenstrasi dan menebak dari mana arah Naruto akan menyerang. Semua inderanya pun ia fungsikan. Konohamaru lantas bisa merasakan sentuhan angin dari arah belakangnya.
‘Dia datang dari sini…’ Konohamaru pun melayangkan tendangan supernya ke arah yang ia tuju. Dan…
Duak!
Brughhh!
Naruto terpelanting ke dahan besar yang berdiri 20 meter dari Konohamaru. Ia membuka matanya perlahan dan tersenyum puas. “Bagus, Konohamaru akhirnya kau bisa juga menyerangku ba—hoeekkk!!” Tapi tiba-tiba ia memuntahkan darah segar dari mulutnya.
“Naruto-nii!” teriak Konohamaru panik melihat sensei-nya ambruk. Ia segera menghampiri Naruto. “Naruto-nii! Kau kenapa?! Aku tadi tidak memukul organ vitalmu, kenapa tiba-tiba jadi begini?!”
Naruto ingin berbicara, namun nafasnya tersengal-sengal. Ia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Meringis kesakitan seakan seribu jarum menusuk jantungnya bertubi-tubi. Jubah Hokagenya menjadi merah karena cipratan darah yang keluar dari mulutnya tadi.
“Aku akan membawamu ke Sakura-nee-chan!”
Naruto menggelengkan kepalanya. “B-Baa-cha…n.” Lantas ia pun tak sadarkan diri di dekapan Konohamaru.
“Naruto-niichan! Naruto-niichan!”
Hanya suara itu yang dapat Naruto dengar, setelahnya hanya suara lamat-lamat yang bertandang di daun telinganya.
Time skip di kediaman Tsunade.
Konohamaru meringkuk lemas di tempat duduknya, hari sudah malam namun ia enggan pulang ke rumah. Tadi sore terjadi kejadian mengerikan yang nyaris saja merenggut nyawa Naruto, seseorang yang telah ia anggap sebagai kakaknya sendiri.
“Itu bukan salahmu, Konohamaru. Naruto memang sudah lama dalam kondisi seperti ini, hanya saja ia berusaha menutupinya ke semua orang. Tadi mungkin dia terlalu berlebihan mengeluarkan tenaganya…”
“Kalau begitu kenapa kau tidak memberitahuku, Tsunade-sama?” tanyanya lirih. Hampir-hampir ia menangis karenanya.
Mata hazel Tsunade kemudian mengecil. “Gomen ne, aku hanya menuruti permintaan Naruto, meski kadang aku juga tidak mau menurutinya…”
 “Sebenarnya apa penyebab Naruto-niichan menjadi seperti ini? Aku belum paham sepenuhnya.”
Tsunade menarik nafas dalam-dalam, ia kemudian menyelimuti Naruto yang sedang tertidur nyenyak di ruangan tidur tamunya. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, ia pun memasang alat bantu pernafasan pada Naruto. “Itu sudah lama sekali, ia terlalu sering memakai kekuatan Kyuubi sehingga berakibat fatal pada organ-organ vitalnya. Terakhir ia menggunakan kekuatan itu untuk melawan Madara melebihi kemampuan tubuhnya untuk menampung semua kekuatan itu. Setelah selesai, aku menemukan organ jantungnya tidak berfungsi dengan baik. Banyak terdapat lubang di arterinya…”
“Jadi Naruto-nii sudah lama…” Konohamaru tak sanggup lagi, airmatanya pun jatuh mengalir di wajahnya yang terlihat lelah.
Tsunade hanya bisa mengangguk pasrah. “Ya, ini sudah hampir setahun lebih…”
Sesekali ia menatap Naruto yang terlihat tenang dalam lelapnya. “Tadi Naruto-niichan melatihku dengan agak kasar, aku jadi paham sekarang maksudnya apa…” Itu berarti Naruto ingin menjadikan Konohamaru sebagai penerusnya sesegera mungkin. “Naruto-niichan masih bisa sembuh ‘kan, Tsunade-sama?”
Tsunade menatap Konohamaru dengan tatapan sendu. “Aku tidak yakin, Konohamaru. Tapi selama kita punya waktu, mungkin kita masih punya kesempatan.”
Konohamaru lantas tersenyum, ia cepat-cepat menyeka airmatanya. “Aku akan membantumu sebisaku, Tsunade-sama. Oh ya, tiga hari lagi akan diadakan pesta setahun Naruto-niichan menjadi Hokage. Bagaimana ini?” Konohamaru mulai khawatir lagi, masalah sepertinya akan bertambah runyam.
“Dengan terpaksa Konoha akan aku ambil untuk sementara waktu sampai Naruto pulih kembali. Aku akan memberi pengumuman besok.”
“Ah benar juga. Aku memang masih belum layak jadi Hokage, aku masih harus belajar banyak lagi dari Naruto-niichan. Terlalu dini baginya untuk meninggalkan kita semua.”
“Aku sepandapat denganmu, Konohamaru. Sekarang kau pulang saja, kau nampak kelelahan. Biar aku yang menjaga Naruto,” ujar Tsunade sembari tersenyum.
Hai!” Konohamaru pun segera pulang.
Seperginya Konohamaru dari rumahnya, Tsunade masih tetap terjaga di ruangan Naruto. Ia menatap penerus generasinya itu dalam ratapan bimbang. Ia mengambil tangan Naruto yang semakin lama semakin dingin diraba. “Naruto…kau juga harus punya semangat untuk mempertahankan hidup. Kalau tidak, sampai kapan pun kau akan sulit untuk sembuh. Apa yang bisa membuatmu bersemangat kembali, eh?” tanya Tsunade sembari meremas lembut tangan Naruto, tanpa terasa ia meneteskan airmata dari mata hazel-nya yang terlihat lelah.
.
0o0o0o0
.
Bangun pagi-pagi begini—entah mendapat wangsit dari mana—Sakura ingin sekali mengunjungi Naruto di Menara Hokage. Perasaannya tiba-tiba menjadi tidak enak semenjak ia terjaga dua jam yang lalu.
Padahal malamnya Sakura pergi tidur dalam keadaan nyaman. Ia menepis firasat buruk jika Naruto menolak kedatangannya, ia memutuskan untuk meyakinkan lagi pada Naruto bahwa ia benar-benar mencintainya.
Sampai di depan pintu, Sakura mengetuknya terlebih dahulu. Terdengar suara mengatakan ‘masuk’, ia tercenung seketika. “I-Ini…suara shisou.” Tanpa pikir panjang lagi, Sakura segera membuka pintu masuk ke dalam.
Shisou? Mengapa pagi-pagi sudah kemari? Dan dimana Naruto?” tanya Sakura panjang lebar.
Tsunade hanya tersenyum kecil melihat kedatangan muridnya itu. “Kebetulan sekali Sakura kau datang kemari. Ada yang aku ingin tunjukan padamu. Kita ke rumahku sekarang,” ajak Tsunade.
Sakura pun linglung dibuatnya. “Ada apa, Shisou? Tapi aku ingin bertemu dengan Naruto.”
“Sudahlah, Sakura. Ikut aku saja.” Tsunade menarik paksa Sakura agar mau mengikutinya.
Sementara Sakura tak berani melawan, cengkraman Tsunade di tangannya begitu kuat sampai-sampai terasa sakit. Ia hanya bisa menatap Tsunade dengan perasaan tak menentu.
Mereka berjalan menuju rumah Tsunade yang tidak terlalu jauh. Sampai di dalam, ia langsung mengajak Sakura ke sebuah ruangan yang tertutup oleh pintu. Susananya begitu senyap, ia menggigil seketika.
Tsunade tiba-tiba memberikannya arahan. “Orang yang kau cari, sedang berada di dalam, Sakura. Masuklah…,” ajaknya.
 Sakura ragu, namun ia pun menuruti permintaan gurunya. Diputarnya knop pintu secara perlahan sampai terlihat pemandangan hijau yang menempel di dinding-dinding ruangannya. ‘Seperti di rumah sakit saja,’ pikirnya. Ia memberanikan diri melenggangkan kakinya masuk ke dalam.
Sakura melihat seseorang terbaring dengan alat bantu pernafasan di mulut dan hidungnya. Ia masih belum bisa melihatnya dengan jelas, karena itu ia pun mendekat.
Sakura langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Badannya seketika gemetaran tak keruan menahan keterkejutan yang tiba-tiba menerjang. Ia tak percaya sosok yang dua hari kemarin ditemuinya itu sekarang terkapar tak berdaya dengan keadaan yang berbeda 180 derajat dari yang sebelumnya. “Na-Naruto!” teriaknya.
Sakura menerjang tubuh kaku Naruto yang sama sekali tak bergeming, ia masih terlelap dalam tidurnya. “Kenapa…Kenapa kau jadi begini?” ia menggerakkan tubuh Naruto kesana kemari. Namun  si blonde itu tidak merespon sama sekali. Tubuhnya begitu dingin seperti habis dibekukan di dalam freezer, wajahnya terlihat pucat layaknya mayat, bibirnya membiru bak diracuni. Sakura pun menyerah, ia kadung kalap. Dengan tertatih-tatih ia menghampiri Tsunade. “Sh-Shisou…Naruto…apa yang terjadi padanya?”
“Sssttt, kau tenang dulu, Sakura. Nanti Naruto terbangun, ia kecapaian butuh istirahat. Ayo kita bicara sebentar di ruang tamuku.”
“Tapi Naruto—”
“Selesai kita berbicara, kau boleh mengunjunginya lagi.”
Sakura memalingkan wajahnya pada Naruto lagi, akhirnya ia pun menuruti perintah gurunya.
Time skip di kediaman Haruno.
Sakura sedang memasukkan beberapa baju dan barangnya ke tas ransel yang telah ia siapkan. Selama Naruto dalam keadaan seperti itu, ia memutuskan untuk menginap di kediaman Tsunade.
Seharian tadi Tsunade telah menceritakan semuanya padanya. Kini Sakura pun mengerti mengapa Naruto menjauhinya dan menolak pernyataan cintanya. Lagi-lagi ia akan melakukan pengorbanan besar lagi.
Padahal setahun yang lalu, ia sempat melihat Naruto mengerang kesakitan. Namun memang dasarnya Naruto yang selalu bisa menutupi kebohongannya, Sakura pun tidak tahu bahwa temannya itu sedang dalam keadaan sekarat. Kurang lebih setahun… Setahun lamanya Naruto dalam keadaan di ujung tanduk, dan ia tidak menyadarinya.
Terlebih Tsunade mengatakan kondisi Naruto sejak kemarin tiba-tiba menurun drastis. Kemarin sore si ninja kejutan nomor satu itu terlalu memaksakan diri untuk melatih Konohamaru. Ia juga mewanti-wanti apabila Naruto meninggal, desa Konoha membutuhkan seseorang yang lain untuk menggantikannya menjadi host Kyuubi. Pernyataan gurunya itu seakan-akan menunjukkan jika Naruto tak punya harapan lagi.
Sakura mengambil kaleng berisi minuman bersoda; mencengkramnya dengan kuat sampai isinya berhamburan keluar. “Aku terlalu lalai dengan masalah yang ada di sekitarku sendiri.” Ia menangis. Tapi ia mengerti, menangis saja tidak akan menyelesaikan permasalahan.
Sekarang ia tidak mau tahu, kalau pun Naruto nanti menyuruhnya pergi ia akan terus menemaninya. Ia akan merawat si blonde itu semampunya. Ia pun segera mempercepat pekerjaannya. Setelah itu pergi ke rumah Tsunade. Tapi sebelum itu ia ingin mengajak seseorang untuk mengunjungi Naruto.
.
0o0o0o0
.
Naruto merasakan ada dorongan dari dalam dirinya untuk membuka kelopak matanya, meski itu hanyalah sebentar. Sebenarnya ia benar-benar kelelahan untuk bertahan di raga yang sudah tah berdaya ini. Ia hanya ingin melihat indahnya dunia sekali lagi meski waktunya tinggal sedikit. Tapi ini bukan akhir dari segalanya bukan?
Kata orang mati itu menyeramkan.
Tapi bagiku itu hanya peralihan waktu…
“Ugh, ini di mana?” tanya Naruto lirih, matanya mengerjap, menyesuaikan diri untuk melihat semua yang ada di sekitarnya secara nyata dan jelas.
“Naruto…”
Suara seorang perempuan. Suara ini sepertinya sudah tidak asing lagi di telinganya. Suara bak bidadari, yang dulu selalu membuatnya kuat dan bertahan dalam keadaan sulit apa pun. Suara-suara yang berdendang merdu di telinganya. Mau dia marah, menangis, atau pun senang, bagi Naruto suara-suara itu begitu hidup… Namun ia tahu, seharusnya ia panik ketika mendengar suara itu pada saat ini. Dilihatnya kelopak bunga Sakura bertebaran kesana kemari, menari-nari seolah mengajaknya untuk lebih berusaha membuka mata. Perempuan itu… “Sa-Sakura…,” ucap Naruto setengah berbisik.
“Syukurlah, Naruto!” teriak Sakura sembari memeluk Naruto yang belum sepenuhnya siuman. Ia terlihat bingung, seolah masih mempelajari sosok siapa saja yang sekarang berada di ruangan ini. Sepertinya ramai sekali.
“Akhirnya kau bangun juga, syukurlah,” ucap orang lain—yang ada di ruangan itu—yang Naruto tahu, bukan suara milik Sakura.
Naruto pun memperhatikan orang-orang yang berdiri di sekitarnya. “Ka-Kalian…” Ia tak mampu melanjutkan kata-katanya. Dari Sasuke, Sai, Kakashi, Konohamaru dan anggota rookie sembilan semuanya berada di sana.
Mereka memberi Naruto semangat agar tetap sehat dan bertahan hidup. Ada yang sampai menangis tersedu-sedu.
Naruto terheran-heran melihatnya, ia hanya bisa berujar dalam hati, ‘Pasti ini ulah baa-chan.’ Namun sayangnya suara-suara yang ramai itu tidak sampai dengan jelas di telinga Naruto. Pandangannya masih kabur dan stimulinya menjadi sangat lamban. Yang ia sadari suara-suara itu lama-lama terdengar rendah lalu tidak terdengar sama sekali. Yang tersisa hanya suara satu atau dua orang yang berbisik satu sama lain. Tanpa Naruto mengerti apa yang mereka bicarakan.
Jeratan takdir mana bisa aku melawan
Aku sadar kini telah terbelenggu
Menunggu mati menjerat urat-urat nadiku.
Tetap termangu tanpa ada satu orang pun yang tahu.
Bagaimana sakitnya itu…
“Naruto…ini aku, Sakura. Kau dapat mengenaliku?”
Tapi aku ingin berada di sampingmu, Sayang.
Naruto berusaha berbicara semampunya pada seorang gadis yang sejujurnya sudah lama ia nantikan kehadirannya. “Sa-Sakura—uhuk!” Ia tiba-tiba memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Sakura tidak tinggal diam, dengan cekatan ia melepas sebentar alat bantu pernafasan di hidung Naruto. Mengelap darah yang tumpah di sekitar mulutnya sampai bersih, lalu memasangnya lagi dengan rapi. Semua itu ia lakukan dalam keadaan bersimbah airmata, namun ia tidak meratap, karena ia rasa ia harus tegar untuk menyenangkan hati Naruto.
Mata Naruto masih terlihat sayu, ia tidak mampu untuk membuka seluruh kelopak matanya. Tapi ia masih bisa membayangkan wajah cantik cinta matinya itu. Ia sebenarnya sangat senang di saat-saat seperti ini pujaan hatinya itu menemaninya.
 Karena tak ada waktu lagi untuk menuai rindu.
Bersenda gurau bersamamu, sampai suaraku habis tertelan di tenggorokan.
Aku hanya bisa berdendang di dalam hatiku.
Tertawa senang melihatmu jatuh dalam hangatnya dekapan.
Aku jadi ingin mati di sisimu, Sayang.
“Sa-Saku…”
“Ssst…Naruto, simpan suaramu untuk esok hari. Lusa akan ada hari perayaan setahun kau jadi Hokage, tidakkah kau senang?”
Naruto hanya bisa menatap Sakura dengan ekspresi yang tidak mudah ditebak.
Sakura jadi berpikir macam-macam, apa Naruto mengerti apa yang sedang ia bicarakan?
“Sa-Sakur-ra…k-kenapa ka-kau a-ada di s-sini…?” suara Naruto sangat parau terdengar di telinga Sakura.
Sakura lantas melepas sepatunya dan naik ke tempat tidur Naruto yang lumayan besar itu. “Aku ingin bersamamu malam ini, boleh ‘kan?” tanyanya sembari membaringkan diri secara menyamping. Sekarang wajahnya berhadapan dengan wajah Naruto yang sedang menatap langit-langit.
“B-Bukannya…k-kau i-ingin menikah-h de-dengan S-Sasuke?”
Pertanyaan Naruto terdengar ngaur, tapi Sakura menjelaskan dengan penuh kesabaran. Walau rasanya ingin ia menumpahkan seluruh emosinya dengan meratap sejadi-jadinya.
“Tidak, Naruto. Aku tidak akan pernah menikah dengan Sasuke-kun. Memangnya siapa yang bilang aku akan menikah dengannya?” Sakura bertanya balik.
 “Kemarin—”
“Sstt, sekarang kau tidur saja, Naruto. Malam masih panjang.” Sakura tidak mau berlama-lama mendengar suara Naruto. Hatinya menjadi pilu mendengarnya.
“K-Kau ti-tidur di s-sini?”
Sakura mengangguk pelan. “Boleh ‘kan?”
Naruto mencoba menggerakkan kepalanya ke arah Sakura. Susah payah ia melakukannya. “K-Kau y-yakin? A-Aku be-belum mandi…da-dari kemari-rin…”
Sakura nyaris terpingkal mendengarnya. Di saat sedang sekarat seperti ini, Naruto masih saja bisa membuatnya tertawa. 
“K-Kau yaki-kin, Sa-Sakura? A-Aku ha-hanya t-tida-ak ingi-in membu-buatmu m-menangis…”
Si pinky itu tiba-tiba mendekap Naruto sembari meletakkan kepalanya di bawah kepala si blonde. “Kau kemarin sudah membuatku menangis tiga hari dua malam, Naruto…”
Nafas Naruto semakin memburu, Sakura bisa merasakan ketika ia meletakkan tangan kanannya di dada lelaki blonde itu.
Go-Gomen…”
“Tak perlu minta maaf, Naruto…yang lalu biar saja berlalu,” ujar Sakura sembari mengusap lembut wajah Naruto yang semakin lama semakin terlihat memutih.
“Sa-Sakur-ra…a-aku l-lelah, i-ingi-in t-tidur,” ucap Naruto sembari terbatuk-batuk.
Sakura mengerti akan maksudnya itu, ia tak sanggup lagi, airmatanya pun turun deras seketika.
Tertidur dalam pelukanmu yang manja lagi menghanyutkan.
Serasa aku dibawa ke naunganmu yang sejak dulu ingin aku gapai.
Langit-langit malam yang dihiasi lampu dari gugusan bintang terang.
 Kini aku akan tinggal di tempatmu, Sayang.
“Ya, tidurlah, Naruto. Tidur dengan nyenyak…” Sakura memperhatikan kelopak mata Naruto yang lambat laun mengatup. Ia semakin mendekatkan kepala Naruto ke kepalanya sendiri sembari menangis tersedu-sedu.
            “T-Tapi, Sa-Sakur-ra…a-aku m-mungkin ti-tidak akan ba-bangun lagi.”
            Sakura tidak menjawab, ia malah tambah terisak-isak.
            Sementara Tsunade dan lainnya hanya bisa mendengar percakapan dua sejoli itu dari luar. Mereka tak ada niat untuk menginterupsi. Mereka hanya bisa menangis mendengar detik-detik terakhir Naruto meregang nyawa.
            Terutama Sasuke, walau ia adalah seorang laki-laki, nyatanya ia yang paling banyak mengeluarkan airmata. Padahal kemarin siang mereka sempat bercakap-cakap. Tapi siapa yang bisa menebak nasib seseorang? Jawabannya sudah pasti, tidak ada yang bisa melakukannya secara jeli. Ia sendiri jadi tidak tega untuk mempersunting Sakura.
            “K-Kau ta-tahu, Sa-Sakur-ra…k-kau a-adalah wa-wanita y-yang p-paling…c-cantik d-di du-dunia ini…te-terima k-kasih…s-sudah ma-mau m-menemaniku ma-malam-malam b-begini…”
Kadung lama aku terpuruk dalam perihnya hati yang patah.
Dan indah rupamu berhasil menyembuhkan luka yang meradang.
            “Ya…y-ya, Naruto…”
            Yang tidak Sakura lihat, Naruto tersenyum sebelum pergi ke alam lelapnya. “A-Aku c-cint-ta k-kamu, S-Sakur-ra-chan…”
            Ini adalah terakhir kalinya Naruto memanggil nama Sakura dengan memakai –chan. Setelah itu tidak ada lagi yang tersisa…
            “Aku juga…aku juga mencintaimu, Naruto.”
            Suara nyaring mesin EKG pun terdengar monoton di telinga Sakura. Suaranya begitu lurus, tak ada dinamika naik turun yang menunjukkan irama detak jantung Naruto.
            Lalu suara tangisan Sakura menggema ke seluruh ruangan. Seseorang yang ia impikan jadi teman hidupnya itu malah lebih dulu meninggalkannya, padahal mereka baru saja saling menyatakan cinta.
Tapi maaf,
Aku tidak bisa lama-lama berada di sisimu, Sayang.
Jiwaku telah melayang tanpa bisa kau bawa pulang.
            Esok lusanya, upacara setahun Naruto menjadi Hokage pun berubah menjadi upacara kematian yang disambut oleh isak tangis seluruh penduduk desa Konoha. Mereka semua memenuhi taman makam desa Konoha yang terlihat menghitam, penuh dengan para pelayat dari dalam dan dari luar desa.
            Kecuali Sakura dan Tsunade yang masih berdiri di atas tebing ukiran wajah Naruto. Mereka sedang membicarakan persoalan yang menjadi rahasia mereka berdua saja. Mereka nampaknya akan datang ke upacara pemakaman pada saat acara itu akan selesai.
            “Sebenarnya aku masih tidak percaya kalau Naruto sudah lama sakit, Shisou. Ia masih terlihat baik-baik saja sepengelihatanku…”
            Ya, sepengelihatannya saja karena selama hampir setahun Naruto menjauhinya karena alasan itu. Jadi mana bisa ia tahu?
            “Apa yang kau rencanakan sebenarnya, Sakura?”
            Sakura menarik nafas dalam-dalam. Sejak kemarin ia telah memikirkannya matang-matang. “Kalau itu belum terlambat, aku ingin kau menyegel Kyuubi di dalam tubuhku.”
            Tsunade terkejut mendengar ucapan muridnya itu. “Sakura, itu tidak mungkin! Kau akan—”
            “Aku ingin sekali merasakan penderitaan yang dialami Naruto, Shisou. Walau aku tidak bisa bertahan lama, tapi setidaknya aku bisa menjadikan desa aman untuk sementara waktu.”
            “Sakura—”
            “Tidak ada orang yang sudi menjadi host Kyuubi ‘kan, Shisou? Karena itu aku menawarkan dengan cuma-cuma.”
            Tsunade hanya bisa menatap miris muridnya itu. Ia sebenarnya tahu maksud Sakura melakukan hal itu, dia ingin secepat mungkin menyusul Naruto yang telah pergi ke alam baka sana. Dan mana mampu ia mengelaknya?
            “Aku hanya ingin bertemu dengannya kembali…meski itu berarti di neraka sekali pun.”
~The End?~