Friday, 15 July 2011

Fanfic Naruto : Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki Chapter 6

Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from ‘HEART’. Semi-Crossover with The Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. AU. OOC. Typos
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure.
.
.
 “Ya, dia adalah Rikudou Sennin, Naruto. Kau pasti sudah mendengar tentang legendanya sedikit ‘kan?”
            Naruto menggaruk pipinya. “Lalu dia bertarung dengan siapa? Aku tidak pernah melihat shinobi yang berpakaian hitam menyeramkan seperti itu.”
            “Mereka bukan shinobi, Naruto…”
            “Eh?”
            “Mereka adalah sembilan iblis berjubah hitam…”
            “I-Iblis…?”

.
.
Chapter 6
Rikudou Sennin
.
.
            Tubuh Naruto tiba-tiba merinding. Pasalnya selama ia menjadi ninja, tak pernah sekalipun ia bertarung dengan iblis yang benar-benar asli. Barangkali Orochimaru, dan Sasuke yang memiliki jurus dengan wajah dan bentuk menyeramkan. Namun mereka adalah manusia. Hati mereka sendirilah yang membuat mereka tampak seperti iblis.
Dan di sini, ada suasana yang begitu kentara berbeda. Naruto begitu takut—walaupun sebenarnya ia penakut tingkat kakap—tapi rasa takut itu tidaklah sama dengan rasa takut yang ia pernah cicipi sebelum-sebelumnya. Dingin… Mencekam, dan seperti berada di alam baka…
Untung saja wajah iblis-iblis itu tertutup jubah hitam, Naruto tak mau membayangkan bagaimana wajahnya, pasti sangat menyeramkan.
            Naruto melihat pertarungan dahsyat itu dengan saksama. Dia sangat kagum sekali dengan keberanian Rikudou Sennin yang sendirian berhadapan dengan kesembilan iblis lalim lagi tangguh itu. Padahal mungkin ini hanya pertunjukkan ilusi, tapi entah mengapa Naruto merasakan seperti benar-benar berada di tempat itu.
Tiba-tiba iblis-iblis tersebut memanggil hewan panggilannya masing-masing dengan kuchiyose no jutsu.
Lantas mata Naruto benar-benar terbuka lebar, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “I-Ini… T-Tidak mungkin…”
Kushina menatap Naruto dengan datar, kemudian ia tersenyum. “Mungkin kau baru mengetahuinya, Naruto. Ini adalah awal dari bentuk kesembilan bijuu yang asli, namanya Jyuubi.”
“J-Jadi ini…”
Ya, di depan mereka sekarang muncul bijuu legenda yang Naruto pernah dengar ceritanya. Tubuhnya begitu besar, bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan Kyuubi. Bentuknya pun tidak jelas, kepalanya berbentuk rubah, di punggung belakang ada cangkang kura-kura, kedua tangannya seperti tangan kucing, ia juga memiliki buntut yang berbentuk ular, tapi memiliki kaki banteng. Asap hitam mengepul di sekitar tubuh raksasanya. Ia serupa siluman kejam yang tanpa tanggung-tanggung menghabisi lawannya dengan keji. Matanya yang berwarna merah bak api menyala menambah lagi deskripsi kalau ia benar-benar sangat ganas.
Jyuubi mengaum keras, suaranya menggelegar hingga pohon-pohon yang ada di sekitarnya terbang ibarat debu tertiup angin.
Naruto dan Kushina tetap berada di tempatnya. Mereka tak terpengaruh dengan auman dahsyat itu karena mereka dari dimensi lain.
Aura jahat semakin bisa dirasakan oleh Naruto, ia menatap Rikudou Sennin sesaat, pendeta tangguh itu tampak tak gentar sekalipun.  Ia menelan ludahnya, menerka-nerka apa yang Rikudou Sennin akan lakukan melihat kekuatan lalim lawannya. Rupanya Rikudou Sennin mengeluarkan rupanya kuchiyose no jutsu juga. Dan…
WUSSSS!!!
Sekarang muncul hewan buas lain yang tak kalah besarnya dengan Jyuubi. Hewan-hewan itu nyaris sama dengan Jyuubi. Liar dan terlihat ganas. Namun yang membedakannya bentuk mereka sangat indah sekali. Rikudou Sennin memanggil empat hewan buas, masing-masing berbentuk harimau putih, kura-kura hitam, phoenix merah, dan naga biru. Mereka seperti hewan-hewan agung titisan dari kayangan.
Naruto sampai-sampai ternganga melihatnya. “Hewan apa yang Rikudou Sennin panggil?” tanyanya memecah kesunyian yang sedari tadi menganmbang di antara anak dan ibu yang baru bertemu itu. Dari caranya bicara, Naruto masih enggan memangil Kushina dengan sebutan ‘ibu’.
Tapi Kushina menjawabnya dengan penuh senyuman kesabaran. “Mereka… Shi no Ujigami (empat dewa pelindung). Yang selama ini menjaga Uzumakigakure di empat arah mata angin pintu masuk desa. Hanya beberapa orang dari klan Uzumaki yang bisa mengendalikannya. Salah satunya adalah Rikudou Sennin. Baiklah Naruto, kita pindah ke waktu berikutnya.”
            “Eh? Tapi aku masih ingin melihat akhir dari pertarungan ini,” ucap Naruto protes.
            “Tenang saja. Pertarungan ini dimenangkan oleh Rikudou Sennin kok,” jelas Kushina.
            Naruto pun hanya memutar matanya. Kushina membalas ekspresi anaknya itu lagi-lagi hanya dengan senyuman kecil. Tak apa toh ini baru pertama kali, mungkin di satu waktu Naruto benar-benar mau menganggapnya sebagai ibu.
            “Oh ya, kau tahu? Rikudou Sennin menyegel Jyuubi ke dalam tubuhnya sendiri. sedangkan kesembilan iblis tadi ia segel di sekitar pegunungan Tetsuyuki (salju besi). Pegunungan itu ada di sekitar negeri para samurai, di negeri besi.”
“Ma-Masa?” Naruto tampak kaget dengan ucapan Kushina.
“Benar kok, kau pernah mengunjungi desa itu?”
Naruto mengangguk cepat, ia jadi ingat tempat di mana dirinya pertama kali bertemu dengan Uchiha Madara. Rupanya tempat itu memiliki sejarah yang menyeramkan.
Suasananya pun berganti ke tempat yang lebih terang. Panoramanya pun berbeda dari yang sebelumnya. Di sini lebih terlihat damai dan menenangkan, mereka sekarang berada di pinggiran sebuah sungai kecil yang di seberangnya terdapat istana besar berupa kuil terbuat dari emas yang sangat elok. Memanjang di depan sungai yang tak berujung. Naruto lagi-lagi takjub dibuatnya. Ia memutarkan tubuhnya untuk melihat keadaan sekitar. Mencari sebuah keindahan lagi yang ditawarkan oleh tempat ini. Tapi ternyata ada sesuatu yang lebih menarik pandangannya.
Dari kejauhan muncul seorang wanita—yang sepertinya adalah yousei—berlari ke arahnya. Dia memakai baju pendeta wanita yang anggun, seperti seorang putri. Rambut merah jambunya dibiarkan tergerai hingga sepunggung. Terbang disapu angin karena larinya yang sangat cepat. Dan ia tentunya sangat cantik, meski dengan mata hijau yang tak memiliki kornea, dan daun telinga yang menurutnya seperti kelinci. Entah mengapa Naruto jadi teringat seseorang ketika melihat penampilan anggun nan rupawan itu.
            Naruto hendak menghindar, memberikan jalan pada wanita itu. Namun tangannya ditahan oleh Kushina. “Eh?”
            “Tenang saja, Naruto. Kita akan ditembusnya.” Dan benar saja apa yang dibilang wanita Kushina.
Naruto pun mengikuti arah ke mana wanita misterius tadi berlari. Rupanya di sana telah ada Rikudou Sennin berdiri dengan penampilan yang sangat berantakan. Banyak luka dan noda darah di tubuhnya. Sepertinya akibat pertarungan sengit yang baru Naruto lihat tadi.
            “Hiro!” teriak wanita berambut merah jambu sembari menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan Rikudou Sennin. Rikudou Sennin membalas pelukan itu dengan sama eratnya. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang telah lama berpisah, dan dapat bertemu kembali setelah bertahun-tahun lamanya.
            “Itu istri Rikudou Sennin. Yousei wanita yang sangat tangguh di antara semua wanita di sini. Dia sangat pintar dalam mengobati. Namanya Uzumaki Sakura.”
            “Heh?” Naruto langsung melotot menatap Kushina.
            “Kenapa? Apa ada yang salah?” tanya Kushina menaikkan alisnya.
            “A-Ah, tidak. Hanya kagum saja melihat wanita itu, benar-benar cantik dan hebat,” jelas Naruto sembari tertawa paksa.
Ah namanya sama persis dengan seseorang yang tiba-tiba berkelebat di pikirannya tadi. Warna rambut dan nama yang sama… Sayang sekali hanya nama depannya saja yang berbeda.
            Kushina tahu anaknya itu berbohong. Diam-diam tadi dia menelisik ke dalam pikiran Naruto. Terlihat gambaran seseorang gadis yang Kushina tak kenal itu siapa. ‘Pasti ia sedang memikirkan pacarnya ya?’ ucapnya dalam hati sembari tertawa kecil. Ia buru-buru mendatarkan ekspresinya ketika Naruto menoleh kepadanya.
            Tiba-tiba terdengar suara yang sangat ramai sekali, ternyata itu berasal dari arah seberang sungai yang telah ramai oleh para penduduk Uzumakigakure.
            “Eh? Ramai sekali. Mengapa mereka berkumpul di sini?” Tanya Naruto sembari melotot. Ia pikir tadi di sana tak ada orang.
            “Mereka penduduk Uzumakigakure. Tentu saja untuk menyambut kedatangan Rikudou Sennin. Dia adalah pahlawan kami pada waktu ini. Dan tempat ini adalah kampung halamannya.”
            Naruto manggut-manggut tanda paham. Dia juga pernah mengalami kejadian ini sebelumnya.
            “Ada… (ayah…) Ada… (ayah…).” Terdengar teriakan anak kecil dari belakang. Naruto pun menoleh ke sumber suara. Dua anak kecil berlari ke arah Rikudou Sennin dan istrinya. Mereka tampak girang sekali.
            Rikudou Sennin melepaskan pelukannya pada istrinya dan segera menghampiri dua anak kecilnya yang berumur sekitar empat tahun. Ia segera menggendong dua anaknya itu, memeluknya erat sembari tertawa terbahk-bahak.
            “Mereka adalah keluarga bahagia, Naruto…”
            “Hm… Iya, sepertinya begitu.” Ada sedikit perasaan tak enak ketika ia mengucapkan kata-kata itu pada Kushina. Semoga saja tak dikiranya sindiran.
          “Oh ya, kau belum tahu. Penduduk Uzumakigakure itu terbagi dua, yang satu dari Minkan-jin (masyarakat biasa), satu lagi dari Ìshitsu no kakei (keturunan kerajaan). Rikudou Sennin adalah keturunan dari masyarakat biasa, sedangkan istrinya adalah keturunan kerajaan. Pernikahan mereka tadinya ditentang, tapi pada akhirnya mereka berhasil menunjukkan pada pihak kerajaan kalau mereka saling mencintai. Ya, mereka adalah contoh keluarga yang harmonis. Tapi…hal ini tak berlangsung lama…” Jelas Kushina panjang lebar.
            “Eh? Mengapa?”
            Kushina lantas mengayunkan tangannya ke atas lagi. Mereka pun kini berganti ke tempat lain.
            “Nanti kau akan segera mengetahuinya, Naruto. Baiklah sekarang kita berada di waktu beberapa tahun kemudian setelah kejadian yang baru kita lihat. Perjalanan masih panjang. Kau masih sanggup ‘kan?”
            “Ya, siapa takut. Lagipula semua ini membuatku jadi tambah penasaran,” ujar Naruto menyilangkan tangan di dadanya. Ia biarkan wanita yang mengaku sebagai ibunya itu menunjukkan asal-usulnya perlahan-lahan. Meski masih tampak samar-samar di hatinya, ia masih belum bisa percaya pada wanita berambut merah darah itu. Tapi Naruto memberikan kesempatan kepadanya untuk membeberkan semua teka-teki yang ada dalam leluhurnya.
0o0o0o0
            Tsunade menatap bosan kertas-kertas yang ada di depannya. Malam ini, dia harus selesai menandatangani dokumen-dokumen penting yang selang beberapa waktu tak sempat ia selesaikan. Ini karena ulah para tetua Konoha yang sering mengganggunya. Terlebih banyak masalah lain yang lebih besar yang harus ia selesaikan. Benar-benar bikin capai.
            Tsunade pun menghembuskan nafas kuat-kuat, ia akan memulai pekerjaannya sekarang. Semoga saja tak ada yang mengganggunya malam ini.
Tapi baru saja ia mau menggoreskan tinta pada dokumen-dokumen itu, ada suara ketukan pintu ruangannya.
            “Sial! Baru saja aku mau mengerjakan pekerjaan menjengkelkan ini!” gerutunya. “Grrr…Masuk!” Ia sudah siap dengan pukulan mautnya. Tak peduli siapa yang mengunjunginya kali ini akan ia beri pelajaran.
            “Konbanwa, Godaime-sama. Maaf saya baru bisa mengunjungi anda.”
            Tsunade mengerutkan dahinya, seseorang yang kini ada di depan tampak asing di matanya. Ia jadi tak jadi melayangkan pukulannya pada tamunya malam itu. Masalahnya penampilannya itu tak pernah ia lihat sebelumnya. Tapi setelah diperhatikan baik-baik ia pun mengenal siapa orang itu. “K-Kakashi?”
            Kakashi langsung menatap aneh Tsunade. “Ya, Godaime-sama. Mengapa anda menatap saya seperti itu?” Tanya Kakashi terheran-heran sembari masuk ke dalam ruangan.
            “A-Ah, tidak. Aku baru sekali ini melihat kau membuka maskermu,” jawab Tsunade dengan jujur. Langsung ke inti tanpa tanggung-tanggung.
            “E-Eh?” Kakashi buru-buru menelengkan wajahnya ke sembarang arah. Mencari-cari siapa tahu ada cermin di salah satu dindingnya. Setelah ia temukan cermin tersebut, barulah ia melotot sebesar-besarnya dikarenakan ketololannya sendiri. Ia pun merutuki diri, sebelumnya ia tak pernah seceroboh ini.
            “M-maaf, Godaime-sama. Saya mau keluar sebentar, lima menit lagi saya akan kembali!” Kakashi pun lari tunggang langgang meninggalkan ruangan Hokage.
            Tsunade hanya bisa memperhatikannya tanpa mengedipkan mata. “Reaksi yang cepat,” ujarnya sembari menahan tawa. “Baru kali ini aku melihat wajah asli Kakashi, ternyata dia tampan juga ya.” Ia malah senyum-senyum sendiri. “Heh? Apa yang aku pikirkan?! Sial! Aku harus ingat-ingat umur meski terlihat muda begini!” Tsunade pun tergesa-gesa melanjutkan pekerjaannya. Wajahnya memerah seperti warna bunga delima. Tak seharusnya ia memikirkan hal itu saat ini. Bagaimana pun ia adalah Hokage yang memiliki wibawa tinggi.
            Ia baru saja ingin duduk di tempatnya, tapi rampung ia lakukan karena sepertinya ada tamu lagi yang datang.
            “Kedatanganku tak mengganggumu ‘kan, Tsunade? Karena ada hal penting yang harus kita bicarakan.”
            Sejurus Tsunade menatap orang yang berdiri di depannya. “K-Kau…! Seharusnya kamu mengetuk pintu terlebih dahulu! Aku bahkan tak mengizinkanmu untuk masuk!”
            “Salah sendiri pintunya dibiarkan terbuka,” jawab orang itu ketus. “Kau pasti tahu ‘kan apa maksud tujuanku mengunjungimu sekarang.”
            Tampak Tsunade ingin mengajaknya duduk di ruang penerimaan tamu untuk menenangkan suasana. Ia tahu orang yang merasa sok penting itu akan datang mengunjunginya cepat atau lambat setelah insiden di penjara kemarin.
            “Di sini saja Tsunade, aku hanya sebentar kok. Aku sangat menyayangkan tindakan terburu-burumu kemarin di penjara istanaku. Aku tak menyangka kau akan berbuat seperti itu. Ganjarannya aku akan mempercepat pengumuman kematian Naruto.”
            Tsunade menatap garang pemimpin Negara Hi yang ada di depannya. “Apa maksudmu?”
            “Aku ingin besok kau mengumumkan kematian Naruto. Dan membuat acara pemakaman lusanya. Setelah itu aku akan membuat perhitungan pada Uchiha Sasuke, hari eksekusinya memang belum ditentukan. Tapi akan segera…,” ujarnya sembari melebarkan mata kisutnya. Ia mengancam Tsunade dengan kekuasaan mutlaknya.
            Tsunade pun dibuat terhenyak mendengarnya. Tak ia sangka pemimpin kolot ini bertindak semaunya seperti anak manja yang keinginannya harus dilaksanakan. Datang sendirian, sementara pengawalnya berada di luar, dengan lagak orang yang paling berani di dunia.
Sekarang apa benar ia harus menuruti kata-kata Daimyou? Ia sendiri tidak tahu. Laki-laki tua kurus kering itu langsung pergi dari ruangannya tanpa permisi terlebih dahulu. Ia tahu sikapnya kemarin itu agak lancang, tapi itu ia lakukan semata-mata hanya untuk melindungi anak buahnya sendiri. Toh misteri dibalik pembantaian klan Uchiha masih diselidiki oleh yang lain dan belum rampung.
            Lagi-lagi Tsunade tak ada niat untuk menandatangani dokumen-dokumen di mejanya, ia keluar mencari Shizune yang meminta izin padanya untuk ke rumah sakit sebentar. Ia harus mengadakan pertemuan mendadak dengan anak buahnya untuk menyelesaikan kasus ini. Sementara itu orang yang ia harapkan kembali secepatnya ke ruangannya malah tak menepati janji. Dasar kebiasaan.
            “Di mana KAKASHI?!” teriaknya sembari menggebrak pintu. Pintu itu pun hancur berkeping-keping. 
0o0o0o0
            Sakura berjalan perlahan di bawah sinar temaram koridor monumen investigasi Konoha. Pembicaraannya dengan Sai pagi tadi membuatnya ingin menjenguk Sasuke malam itu juga. Dua minggu lebih ia tak pernah menjenguk seseorang yang ia anggap sebagai cinta tiada akhirnya itu. Karena ia merasa segan dan dalam keadaan bimbang. Ia juga masih syok dengan hilangnya Naruto dua minggu yang lalu.
Sakura tahu ia tak bisa selamanya begini. Ia harus bisa menengok ke depan, bukan termangu dalam kesedihan yang berlarut-larut ia pendam.
            Kembalinya Sasuke ke Konoha harusnya bisa membuat Sakura senang. Tapi kenyataanya tidak begitu. Ia begitu lara, karena di saat yang diinginkan kembali, yang dulu sering menemani malah pergi. Parahnya tak ada kabar sama sekali tentang Naruto sampai saat ini. Ia sakit, ia terluka. Namun yang penting saat ini adalah ia harus menjenguk Sasuke. Memastikan apakah keturunan Uchiha itu baik-baik saja. Tadi siang Sakura sudah memberitahu pada Tsunade bahwa ia sudah siap menemui Sasuke.
            Sakura pun sampai di depan pintu ruangan tempat di mana Sasuke dirawat. Ia menghirup nafas dalam-dalam, mempersiapkan segala emosinya agar tak membuncah keluar ketika bertemu dengan Sasuke. Ruangan itu masih menyala, artinya Sasuke belum tidur.
            Sakura lantas mengetuk pintu secara perlahan.
            Sementara itu Sasuke yang sedang duduk meringkuk di depan jendela, menoleh ke arah pintu. “Siapa yang mengunjungiku malam-malam begini?” tanyanya pada diri sendiri. “Siapa?” ujarnya kemudian pada seseorang yang sedang berdiri di balik pintu kamarnya.
            Sakura mendengarnya, ia pun menyadari kalau Sasuke memang tidak mengetahui kedatangannya. Mudah-mudahan saja Sasuke berkenan untuk bercakap-cakap dengannya di malam buta begini.
            “Ini aku, Sasuke-kun. Sakura…”
            Sasuke tercengang mendengarnya, karena itu ia tidak bereaksi apa-apa dalam beberapa detik. Orang yang kemarin-kemarin ia tanyakan keabsenannya akhirnya datang juga.
            “Ada yang ingin aku bicarakan, Sasuke-kun. Apa aku boleh masuk?” Tanya Sakura untuk memastikan.
            Sasuke kemudian berusaha beranjak dari tempat tidurnya, dia sudah bisa berjalan perlahan meski masih tertatih-tatih. “Sebentar, Sakura,” ujarnya datar.
            Lalu terdengar suara kunci pintu diputar, Sasuke pun membuka pintu. Di sana Sakura berdiri dengan airmuka yang sulit ditebak. Pada dasarnya Sasuke bukanlah orang yang pintar menerka-nerka emosi seseorang dari ekspresinya, namun untuk Sakura kali ini sangat berbeda. Terlihat dengan jelas bahwa ekspresi gadis berambut merah jambu itu campur aduk. Ia mafhum jika Sakura sedang mengalami hari-hari yang berat.
            “Konbanwa, Sasuke-kun. Apa aku mengganggumu?” ujar Sakura kemudian sembari menunjukkan senyuman palsunya.
            Sasuke menggelengkan kepalanya perlahan. “Tidak, silakan masuk,” ujarnya datar.
            “Bagaimana kabarmu, Sasuke-kun? Lukamu sudah baikan ‘kan? Maaf aku baru bisa menjengukmu sekarang.”
            “Begitulah, seperti yang kau lihat sekarang.” Sasuke pun mempersilakan Sakura duduk di tempat tidur juga, karena tak tersedia kursi di ruangan itu. “Kudengar dari Hokage, kau yang kemarin menyembuhkan lukaku. Terima kasih, Sakura.”
            Sakura menatap Sasuke di sebelahnya sekilas. Ia kemudian menelengkan kepalanya  ke jendela. Di seberang tempat tidur tersebut ada jendela yang terbuka dengan lebar. Meski ada teralisnya, namun pemandangan di langit malam sana tetap terlihat dengan jelas. Bulan tak malu-malu membagi sinarnya untuk kegelapan saat itu. Bulat penuh tanpa awan hitam yang menggores keindahannya, begitu terang sebagai pelita malam.
            Kalau saja pancaran cahayanya dapat menerangi hati Sakura yang sedang suram juga…
            “Ah, kebetulan saja aku menemukan tanaman ajaib yang bisa menyembuhkan luka parahmu, Sasuke-kun. Tadinya obat dari tanaman itu ingin kuberikan pada Naruto juga…”
            Dahi Sasuke mengerut.
            “Tapi sayangnya dia keburu diculik oleh Uchiha Madara,” ujar Sakura lagi.
            ‘Jadi ternyata ucapan gadis Hyuuga itu benar,’ ucap Sasuke dalam hatinya. Ia tak tahu dengan pasti kronologi penculikan Naruto yang dilakukan oleh Madara. Karena itu ia perlu mengetahuinya dengan jelas.
            “Aku tak berada di Konoha pada saat itu, Sasuke-kun. Jadi aku tak mengetahui kejadiannya dengan pasti. Yang aku tahu Naruto berhasil diculik olehnya,” ucap Sakura kemudian.
            Seperti tahu apa yang ada di pikiran Sasuke. Sayang sekali, padahal Sasuke ingin mengetahuinya secara mendetail.
            “Begitu?” balas Sasuke singkat. Ia bisa menebak, Sakura cukup terpukul dengan kejadian itu, tapi mengapa ia bisa sebegitunya terpukul? Sampai-sampai yang ia dengar selama dua minggu mengurung diri di dalam rumah. Keluar pun hanya ke rumah sakit untuk bekerja. Menjenguknya sekali saja pada waktu itu tidak pernah.
            “Kemarin Tsunade-shishou sempat mengirimkan tim untuk menyelamatkan Naruto. Namun itu pun gagal, kami tidak menemukannya.” Sakura terus berbicara tanpa harus ditanyakan oleh Sasuke, karena itu Sasuke pun membiarkannya seperti itu.
            “Lalu apa Madara menyembunyikannya?”
            Sakura menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu, itu masih misteri.” Ia menghirup nafas dalam-dalam. “Karena Kakashi-sensei dan Shikamaru memperkirakan sebelum kami tiba di markas, ada orang lain yang menyerang markas Akatsuki. Tempatnya sangat berantakan, seperti habis terjadi peperangan sengit di sana.”
            Sasuke menerka-nerka kejadian berikutnya. “Jadi maksudmu ada orang lain yang membawa Naruto pergi?”
            Sakura menggelengkan kepalanya lagi. “Hal itu masih diselidiki, Sasuke-kun. Aku pun tak mengetahuinya dengan pasti.” Kemudian ia memiringkan tubuhnya berhadapan dengan Sasuke. “Oh ya, aku mau memeriksa lukamu, Sasuke-kun. Kau keberaratan?”
            Sasuke hanya mengatakan tidak, lalu ia membuka baju atasnya saja. Tubuhnya sebagian besar masih tertutup perban. Dibantu Sakura, ia membuka perbannya perlahan-lahan.
            “Kuganti perbannya ya, Sasuke-kun? Aku membawa yang baru.” Kemudian Sakura membentuk segel tangan dan mengeluarkan shousen no jutsu. Cahaya kehijauan muncul di tangan kanannya, lalu Sakura pun meletakkan tangannya di atas dada kiri Sasuke. Di mana pada waktu dulu serangan Madara menyerang bagian itu.
            Sasuke diam-diam memandangi Sakura dengan tatapan lembut. Dalam hati ia berujar gadis berambut merah jambu penggemarnya ini dulu begitu naĂŻf dan polos. Sering membuatnya kesal karena sifatnya itu. Tapi kalau boleh jujur pendapatnya tentang Sakura sekarang berbeda, gadis ini telah berubah menjadi gadis dewasa yang dibutuhkan oleh banyak orang.
            “Kau belajar dari mana ilmu pengobatan, Sakura?” Tanya Sasuke kemudian.
            Sakura tetap fokus pada tangannya. “Tsunade-sama. Setelah kau meninggalkan Konoha aku memutuskan untuk berguru padanya. Itu setelah melihat keadaan Naruto yang pulang dengan keadaan parah. Aku terlalu sering merepotkannya.”
            Sasuke sedikit tercengang. Ia pun membuka memorinya pada waktu dulu yang bertarung dengan Naruto. Dan seingatnya memang ia menghajar Naruto habis-habisan. Ia jadi serasa ditampar berkali-kali di kedua pipinya gara-gara ucapan Sakura itu.
            Ya, gadis ini benar-benar telah berubah 180 derajat. Apa dia masih mencintainya? Sasuke pun tak tahu. Ia mafhum dulu telah menyia-nyiakan gadis ini karena lebih memilih dendam kesumatnya dibanding dengan bingkisan kebahagiaan yang ditawarkan Sakura. Sebenarnya ia merasa senang ada orang yang begitu perhatian padanya. Tapi ia lebih memilih jalan kegelapan untuk ditempuhnya.
Menyesal? Sudah pasti. Namun bolehkah ia memperbaiki diri? Untuk membentuk diri yang baru, dan memulai semuanya dari awal. Semoga saja gadis ini sudi menerimanya kembali.
            “Ya, selesai.”
            “Terima kasih, Sakura,” ujar Sasuke  memakai bajunya atasannya kembali.
            Sakura pun kembali ke posisinya menghadap jendela, memandangi bulan purnama yang masih terang di langit sana. Sebenarmya kedatangannya ke sini bukan untuk memeriksa luka Sasuke saja. Ada hal lain yang lebih penting yang harus ia sampaikan pada keturunan Uchiha terakhir itu. Ia pun menghirup nafas dalam-dalam, menguatkan diri untuk mengucapkan obrolan yang sangat sensitif ini.
            “Sebenarnya, kalau aku tak menemukan mawar ajaib itu…aku tak bisa menyelamatkanmu, Sasuke-kun.”
            “Hn?”
            Sakura tampak bergeming, namun ia berusaha menguatkan diri. “Luka di jantungmu itu, tadinya sama sekali tak bisa disembuhkan. Diperlukan donor untuk menyembuhkannya. Aku dan pihak medis lain sudah mencari ke mana-mana, tapi tak satu pun orang yang mau mendonorkan jantungnya padamu, Sasuke-kun.”
            Kata-katanya lumayan menohok. Sasuke mengerti ia telah dianggap kriminal oleh kebanyakan orang di dunia shinobi. Jadi ia tak terlalu heran mengapa kebanyakan orang memperlakukannya seperti itu. Wajar saja. Bahkan para petinggi Konoha pun begitu tethadapnya. Orang yang masih memberinya harapan mungkin hanya anggota Tim 7 saja.
            “Sebetulnya aku sangat putus asa pada waktu itu, aku sempat berpikir untuk mendonorkan jantungku padamu, Sasuke-kun. Tapi sayangnya tidak cocok… Aku pun pasrah dan akhirnya membiarkanmu begitu saja…” Sakura menutup matanya rapat-rapat.
            Sasuke menelan ludahnya sendiri, ia tahu waktu itu ia benar-benar nyaris meregang nyawa. Untuk dapat selamat saja saat ini adalah keajaiban untuknya. Dan lagi-lagi ia tak ada niat untuk merespon Sakura dengan kata-kata.
            “Kau tahu, Sasuke-kun? Aku tak memberitahu Naruto tentang keadaanmu pada waktu itu, aku tak mau membebaninya. Pada saat itu ia juga mengalami luka parah di bagian kakinya akibat serangan amaterasu Madara. Sudah dipastikan Naruto tak bisa menjadi ninja lagi seumur hidup, ia lumpuh total.”
            “M-Masa?” Sebagai seseorang yang memiliki kekuatan amaterasu juga, Sasuke tahu betul sebesar apa efek yang akan mendera seseorang yang terkena api hitam tersebut. Bisa terbakar sampai ke tulang dalam waktu singkat tanpa sisa. Dia tak tahu akan hal itu, berarti Madara sempat menyerang Naruto setelah ia tak sadarkan diri.
            “Aku takut jika Naruto tahu tentang keadaanmu dia malah semakin stress dan terpukul.” Sakura kemudian mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. “Tapi semakin besar usahaku untuk menyembunyikannya, semakin besar pula keinginan Naruto untuk mencari tahu. Akhirnya ia pun tahu keadaanmu yang sebenarnya, Sasuke-kun, entah bagaimana caranya.”
            Tanpa Sakura dan Sasuke ketahui, ada seseorang yang tengah berdiri di balik pintu ruangan Sasuke menginap. Rencananya ia ingin membawakan Sasuke makan malam, tapi ia mengurungkan niatnya ketika melihat ada orang berada di dalam.
            Hinata tak bermaksud menguping, tapi karena tak sengaja mendengar percakapan itu di tengah jalan ia pun jadi penasaran. Ia tahu Sakura sangat mencintai Sasuke, dan kali ini yang mereka sedang bicarakan adalah Naruto. Hinata hanya ingin mengetahui, dengan segala macam usaha Naruto selama ini, apa memang Sasuke sudah berubah? Atau apa masih seperti saat meninggalkan Konoha? Karena jika Sasuke masih seperti dulu, Hinata yang akan memberinya perhitungan pertama kali. Toh kebaikannya selama ini dikarenakan Naruto yang memintanya. Meski semua itu ia lakukan dengan ikhlas, ia juga tak terima jika semua usaha Naruto jadi sia-sia.
Kemudian Sakura melanjutkan kata-katanya. “Pada saat itu aku sudah benar-benar mengikhlaskan kau pergi, tinggal menghitung hari. Aku pun pergi ke desa yang berada di pinggiran Konoha, mencari obat untuk Naruto.” Sakura kini nampak terisak-isak. “Hhh…harusnya aku tahu kalau Naruto itu adalah orang yang nekat dan keras kepala. Aku lupa akan hal itu.”
‘Ja-Jangan-jangan?’ ujar Sasuke dalam hati. Entah mengapa ia bisa menebak apa yang ingin Sakura utarakan selanjutnya.
Sakura lalu membawa tangannya menyentuh dada kiri Sasuke. “Kalau Madara tak menculik Naruto, pastinya di sini akan tertanam jantungnya, Sasuke-kun!” Sakura pun tak bisa menahan emosinya lagi, ia genggam kuat kain baju Sasuke di bagian jantungnya, ia jatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan pewaris sharingan itu.
Mata Sasuke berputar, mencoba mencerna apa yang Sakura maksud. Tiba-tiba ia merasa kepalanya pusing tanpa sebab. Sungguh pernyataan Sakura tersebut merobek-robek hatinya. Ia tak menyangka Naruto berniat seperti itu…teman setimnya itu memang paling bodoh di antara yang bodoh di dunia ini.
“Dia benar-benar egois, tak mau memikirkan dirinya sendiri, Sasuke-kun. Sekarang dia hilang, bahkan jasadnya saja tak ditemukan. Aku tak sempat  mengatakan perasaanku yang sebenarnya pada Naruto,” ratap Sakura. Tangisannya benar-benar menggelegar di dalam ruangan Sasuke.
‘Sudah kuduga kau sudah berganti hati, Sakura,’ ujar Sasuke dalam hatinya. Ia pun memeluk erat Sakura yang menangis tersedu-sedu di dadanya. Dan tanpa sadar ia pun ikut hanyut dalam suasana, menangis dalam diam.
Sedangkan Hinata, matanya terbuka selebar-lebarnya. Ia pun tak menyangka akan pernyataan Sakura itu, baginya sangat mengejutkan. Hinata cukup mengetahui seberapa besar cinta Naruto pada Sakura. Lelaki yang dicintainya itu begitu mencintai Sakura, hingga rela melakukan apa saja asal ia bahagia. Lelaki yang dicintainya itu juga begitu menyayangi Sasuke, hingga rela melakukan apa saja untuk membawanya pulang ke Konoha. Biar itu artinya kehilangan nyawa…
Entah mengapa semuanya seakan-akan seperti nasi yang kadung menjadi bubur. Tak terasa airmata mengalir di pipinya yang pucat. Ia berharap masalah ini cepat terselesaikan, karena baginya ini adalah saat-saat yang sulit juga. Saat di mana Hinata harus rela melepas pergi orang yang sangat berarti di kehidupannya. Ia hanya mengharapkan yang terbaik untuk Naruto. “Aku harap kau kembali secepatnya ke Konoha, Naruto-kun. Sakura-san dan Sasuke-kun sangat membutuhkanmu. Kami semua membutuhkanmu,” ucap Hinata yang berdoa pada bulan. Semoga saja bulan menyampaikannya pada Tuhan.
Hinata pun membiarkan dua orang di dalam ruangan itu menumpahkan segala emosinya, karena kehilangan orang yang sangat penting dalam kehidupan memang sangat memilukan. Ia pun beranjak dari sana, dan menaruh rantang makanan yang dibawanya di ujung pintu. Besok dia akan mengunjungi Sasuke lagi, ia akan lakukan permintaan terakhir Naruto padanya.

Bersambung…
A/N
Oke di chapter berikutnya nanti bakal aku jelasin tentang klan Uzumaki versi aku. Jadi seperti semacam glossary. Oia jangan samakan peri di sini penampilannya sama persis dengan peri di LOTR. Emang serupa sih, tapi peri versiku ini pakaiannya kayak pendeta-pendeta ala Jepang. Ah, aku ga bisa gambar sih. Jadi bayangkan saja sesuka hati kalian. Okay? Makasih udah baca chapter ini. See you next time


             
           

Tuesday, 12 July 2011

Fanfic Naruto : Shinjitsu no Uta Chapter 2


Shinjitsu no Uta
Naruto © Masashi Kishimoto
Thousand Night Love Song © Chieko Hara
Warning: AU. Rated T. OOC. Typos. Multichapters. Adventure/Romance.
Pairing: Sasuke dan Hinata.
.
Ah, tapi ia tidak perlu berpikiran seperti itu lagi. Hinata menyadari kalau kini ia telah dibuang oleh ayahnya sendiri. Berharap mendapat kehidupan yang layak di sini, Hinata tidak tahu apa itu akan bisa terwujud. Semoga saja hari ini adalah hari terakhir ia diperlakukan kasar seperti ini oleh orang yang akan ia layani itu.
Sasuke begitu kelewat kasar pada ibunya, pasti telah terjadi suatu konflik di kerajaan yang megah ini.
Dan Hinata tidak mau terlibat dalam masalah mereka…
.
.
Chapter 2
Rahasia Kerajaan
.
.
Pagi yang indah. Kawanan burung bersahut-sahutan menyambutnya. Bergerombol mencari makan atau sekadar bernyanyi bersama-sama di tangan-tangan kecil pohon plum. Mensyukuri hari yang sayang untuk dilewatkan dengan hanya berdiam diri. Mereka bernyanyi sesuka hati tanpa ada pemangsa yang mengganggu aktivitas mereka. Siapa takut. Tak ada yang bisa menghalangi mereka bersukaria.
Setidaknya kawanan burung itu memiliki kebebasan mutlak yang tidak dimiliki oleh Hinata.
Hinata sudah bangun dari pagi sekali. Tapi ia enggan keluar kamar sampai suatu saat nanti ada yang memintanya untuk keluar. Di rumahnya saja kadang ia merasa terasing, apalagi di rumah orang lain?
Dia takut akan dijadikan apa nanti ia di istana megah milik Uchiha ini. Kabarnya masih simpang siur ternyata.
Menjadi istri Pangeran Sasuke? Jujur saja ia takut, karena sikap Sasuke tampak kasar. Menjadi pelayannya? Bukankah dia adalah seorang putri? Malang sekali nasibnya jika langsung banting setir seperti itu. Terlebih kedua pilihan itu tak ada yang baik. Dan ia hanya dihadapkan dengan dua pilihan itu.
Kalau saja ibunya masih hidup, mungkin saja bisa menahannya agar tak pergi dari rumah. Sebagai seorang putri yang terbuang, ia merasa kosong, tak memiliki apa-apa. Ingin sekali ia seperti burung-burung di luar, terbang bebas dan bisa memilih jalan hidupnya sendiri dengan leluasa.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu.
“Hinata-sama, apakah Anda sudah bangun?”
‘Dari suaranya ini pasti Genma,’ tukas Hinata dalam hati. Ia pun segera beranjak menuju pintu dan membukanya.
“Selamat pagi, Hinata-sama. Mikoto-sama meminta Anda untuk sarapan pagi bersama. Beliau telah menunggu di ruang makan.”
“B-Baiklah. Terima k-kasih, Genma. Sebentar l-lagi aku akan ke s-sana.”
“Saya akan mengantar Anda ke ruang makan, pasti Anda belum tahu jalannya.”
Hinata hanya mengangguk sembari tersenyum kecil. Dia bersyukur pelayan kerajaan itu sangat ramah padanya. Setidaknya ia menemukan satu lagi orang kerajaan yang ramah padanya selain Ratu Mikoto.
“Lewat sini, Putri.”
Sesampainya di ruang makan…
Terlihat Mikoto sedang duduk di ruang makan, beberapa pelayan sedang menyiapkan santapan pagi dengan hati-hati. Takut-takut membuat kesalahan dan kena semprot majikannya. Itulah yang dapat Hinata tangkap dari wajah-wajah cemas para pesuruh kerajaan, sepertinya Ratu Mikoto sangat disegani oleh penghuni kerajaan Uchiha ini.
Mata onyx sang ratu akhirnya tertuju pada seorang putri yang baru saja tiba di tempat itu. “Ah, Hinata. Ohayou gozamaisu,” ujarnya tersenyum.
Hinata menundukkan kepalanya. “O-Ohayou gozaimasu. M-Maaf saya sedikit terlambat.”
“Tidak apa-apa, Hinata. Aku juga belum sarapan, hidangannya masih disiapkan. Silakan duduk.”
Hinata—dengan tampak malu-malu—pun duduk di meja makan yang sangat luas sekali ukurannya, cukup untuk sepuluh orang. Sayang, yang makan pada saat itu mungkin hanya ia dan ratu kerajaan Uchiha saja. Hinata memilih tempat duduk di sebelah kiri ratu yang sangat cantik itu, tak berani duduk di depannya persis karena dia telah diajarkan oleh ayahnya, hal itu tidaklah sopan. Sementara Mikoto duduk di kursi utama yang biasa dipakai oleh raja, apa boleh buat raja sedang tak ada di istana.
“Oh ya, Genma. Mana Sasuke?” tanya Mikoto pada pelayannya itu yang berdiri di belakang Hinata. Sudah jadi tradisi kerajaan Uchiha, jika para pelayan harus menunggui tuannya makan hingga selesai.
Airmuka Genma seketika berubah. “Tuan Muda tadi saya lihat keluar istana pagi-pagi sekali, Mikoto-sama. Tapi saya tidak tahu beliau pergi kemana, saya tanya beliau malah membentak saya.”
Mikoto menghembuskan nafas kuat-kuat. “Anak itu semakin lama, semakin tak punya sopan santun saja. Ya, sudahlah, kita makan duluan saja, Hinata. Sasuke nanti bisa menyusul.”
Hinata hanya menjawabnya dengan anggukan. Dia pun menyantap hidangan yang telah tersedia. Namun di otaknya kini sedang mereka-reka apa yang sedang dilakukan Sasuke pagi-pagi meninggalkan istananya.
“Bagaimana Hinata menurutmu, masakannya enak?” tiba-tiba Mikoto mengajaknya ngobrol di tengah-tengah santapan pagi itu.
Hinata menelan makanan di mulutnya buru-buru, takut-takut tersedak jika ia bicara dengan mulut yang isinya penuh. “Ya, M-Mikoto-sama. M-Masakannya enak sekali. Mungkin m-masakan t-terlezat yang pernah saya santap,” ujar Hinata merendah.
“Ah, kamu bisa saja, Hinata. Semua makanan ini dibuat dengan resepku sendiri lho. Ya, tapi para pelayan juga membantu. Kubuat khusus untuk meyambut kedatanganmu di kerajaan ini.”
Putri dari kerajaan Hyuuga itu sontak terkejut mendengarnya. Dia merasa terlalu diberi sambutan spesial, “T-Terima kasih banyak, Mikoto-sama. P-Padahal saya hanya tamu biasa di sini. S-Saya merasa tersanjung.”
“Tidak apa-apa, lagipula sekalian untuk Sasuke.”
Mereka pun akhirnya membicarakan banyak hal, hanya saja Hinata belum bisa terbuka pada Mikoto. Ia sedikit membatasi diri dalam obrolan, ada beberapa hal yang enggan ia ungkapkan menyangkut keluarganya sendiri. Baginya Mikoto adalah orang asing yang baru saja memasuki kehidupannya kemarin, karena itu ia tidak mau membuka aib. Terlebih yang ditanyakan Mikoto rata-rata hal yang lumayan sensitif. Ratu Uchiha itu tampaknya senang mengulik-ulik urusan orang lain.
“Oh ya, Hinata. Mungkin ini agak lancang. Tapi apakah dari dulu cara bicaramu terbata-bata seperti itu?”
Hinata nyaris tersedak mendengarnya. “A-Ah?” Ia lalu buru-buru minum air untuk menghilangkan kegugupannya. “B-Bagaimana m-menjelaskannya ya? Saya juga t-tidak terlalu mengerti, d-dari kecil c-cara bicara s-saya sudah s-seperti ini,” ujarnya sedikit jengah.
“Mungkin karena kebiasaan, tapi pasti hal itu dapat disembuhkan. Sayang sekali, gadis secantikmu sedikit tak lancar dalam berbicara. Padahal tak ada yang salah kan dengan pita suaramu?”
Frontal memang, tapi Hinata berusaha menjawab pertanyaan Mikoto sesopan mungkin. “A-Ayah pern-nah memeriksanya, tapi t-tak ada masalah dengan pi-pita suara saya. S-saya memang agak pe-pendiam.”
“Kalau begitu keadaannya, aku akan sering mengajakmu bicara. Siapa tahu kebiasaanmu itu bakal berubah,” sahut Mikoto sembari mengelap bibirnya dengan sapu tangan yang telah disediakan.
“Te-Terima kasih a-atas perhatiannya, M-Mikoto-sama.”
“Tak perlu sungkan, aku dulu juga begitu. Yang penting harus ada niat untuk berubah,” ujar Mikoto sembari tersenyum. Kini ia mengubah lagi topik pembicaraan. “Kudengar anggota kerajaan Hyuuga sangat hebat dalam memanah. Apa kau juga diajari memanah oleh ayahmu?”
Gadis berambut ungu kebiru-biruan itu menegak air di dalam gelasnya perlahan-lahan. Hidangannya telah ia habiskan rupanya. Yang lebih penting, pembicaraan dengan topik ini tak terlalu menurunkan rasa percaya dirinya. “Y-Ya, saya diajari sedari kecil. A-Ayah dan Mendiang Ibu j-juga sering membawa saya b-berburu di hutan. T-Tapi kemampuan memanah s-saya tak sehebat Ayah, Mendiang Ibu, Kak Neji, dan adik saya Hanabi.”
“Ah ya, waktu masa perang antara kerajaan selatan dan utara, kerajaan Hyuuga sangat membantu sekali dalam memenangkan peperangan. Tapi yang tak kusangka mereka juga mengajarkan ilmu memanah pada anak-anak perempuannya.”
Hinata tersenyum simpul. “M-Memang benar, M-Mikoto-sama. P-Perempuan-perempuan di kerajaan Hyugga di-diajarkan memanah se-sekadar untuk menjaga di-diri.” Ah, ia jadi mengingat ‘kejadian’ yang ingin dilupakannya.
Hinata yang dipandang sebelah mata oleh ayahnya sendiri. Ia tak mengerti, padahal kerajaannya tidak terlalu patrialis dalam menjalankan fungsi-fungsi dalam istana. Perempuan tak terlalu dikekang. Namun entah mengapa, ayahnya terlalu mengekang dirinya, dan ia dibatasi untuk berinteraksi dengan dunia luar. Berburu dengan panah atau latihan memanah saja sering dilarang; meski Hinata pernah melakukannya secara diam-diam. Hal itu terjadi semenjak ibunya meninggal dunia.
“Bicara tentang laki-laki, aku jadi rindu pada suamiku dan Itachi. Aku sudah lama sekali tak mengunjungi tempat peristirahatannya. Dan Itachi juga sudah lama tidak pernah main ke sini,” ujar Mikoto sembari mengelap bibirnya, ia juga telah selesai dengan hidangannya. Namun sepertinya ia belum ada niat untuk beranjak dari sana.
“I-Itachi?” sahut Hinata tiba-tiba. Ia merasa asing dengan nama itu. Dia pikir anggota keluarga Uchiha hanya Raja Fugaku, Ratu Mikoto, dan Pangeran Sasuke saja.
“Ah ya, kau tak tahu kalau aku memiliki dua orang putra, Itachi adalah putra sulungku, kakaknya Sasuke.”
Untuk hal itu Hinata sama sekali tak mengetahuinya. “K-Kalau saya b-boleh tahu kemana Itachi-san s-sekarang?”
“Aturan kerajaan ini sangat ketat, Hinata. Itachi menikahi seorang gadis sipil yang dicintainya, gelar pangerannya pun dicabut. Sekarang ia tinggal bersama istrinya. Mereka sudah memiliki satu anak laki-laki, tampaknya mereka sangat bahagia,” jelas Mikoto yang tiba-tiba menundukkan kepalanya.
Ada yang bisa Hinata lihat dari wajah sendu itu. Kesepian. Selain beban berat yang dipikul sendiri di pundak seorang wanita yang mengharapkan perhatian, karena memimpin sebuah kerajaan tidaklah gampang. Ah, padahal dia begitu terlihat sempurna. Tapi memang betul petuah yang mengatakan tak ada yang sempurna di dunia ini. Semuanya memiliki jalannya masing-masing. Hinata merasa senasib, ia mengerti akan perasaan Mikoto. Mikoto adalah cerminan dirinya. Ia juga sangat kesepian, meski kesepian yang dirasakan oleh mereka masing-masing ada dalam konteks yang berbeda.
“Makanya aku sangat berharap, suatu saat nanti Sasuke menikah dengan seorang putri dari kerajaan. Biar tidak keluar dari kerajaan ini.”
Ya, cukup jelas apa masalah yang sedang dihadapi oleh kerajaan Uchiha ini. Meski belum transparan seluruhnya. Lagipula ini masalah keluarga, Hinata juga tak mau ikut campur di dalamnya. Ia hanya berharap dapat tinggal di lingkungan yang tenang, di rumahnya sendiri dulu dia tidak pernah merasa tenang. Kalaupun ia nanti dijodohkan dengan Sasuke kelak, bolehkah ia menolaknya? Karena pertama kali melihat perangai Sasuke yang sangat buruk, perasaannya menjadi tak enak sama sekali.
“Ahahaha! Sasuke-sama…!”
“Berhenti, Sasuke-sama…geli!”
“Hahaha, ayo! Kita ke kamarku sekarang ya, Wanita-wanita cantik!”
Terdengar suara ribut tak jauh dari ruang makan. Hinata dan Mikoto langsung melihat ke direksi itu.
“Ada apa, ya ribut-ribut? Genma, tolong kau lihat ke sana. Tampaknya aku kenal suara itu, apa jangan-jangan Sasuke?” Perintah Mikoto pada Genma yang berdiri tak jauh di belakangnya.
Tak lama orang-orang yang mengeluarkan suara ribut tadi lewat di depan jalan menuju ruang makan. Hinata dan Mikoto tersentak melihatnya. Terutama Mikoto yang gerakan matanya tampak gelisah, ia terlihat jengah dengan pemandangan yang ada di depannya. Jengah pada Hinata.
“Sasuke, siapa wanita-wanita itu?!” teriak Mikoto yang terlihat marah. Apalagi tampak sekali wanita-wanita itu umurnya lebih tua dari Sasuke.
“Ah, kau rupanya. Kenapa menatapku seperti itu? Bukankah harusnya kau senang aku membawa wanita-wanita cantik ini? Mereka akan kujadikan selir-selirku. Hahahaha,” sahut Sasuke sembari tertawa terbahak-bahak. Asal sekali ia bicara.
“Yang benar, Sasuke-sama?” Tanya wanita satu.
Yang satunya lagi menimpali sembari bergelayut mesra di tubuh Sasuke, “Wah, senangnya!”
Cekikikan mereka buat gendang telinga Mikoto mau pecah. “Wanita jalang!” umpatnya pada akhirnya. “Sasuke, harusnya kau memilih wanita terhormat seperti Hinata!”
“Jangan bertingkah seperti kau peduli padaku, Mikoto. Aku berhak memilih mana yang aku suka dan mana yang tidak kusuka.” Sasuke lalu menatap Hinata dengan sinis. “Lebih baik kau pulangkan saja si Hyuuga itu, mataku sakit melihat wajahnya yang sok lugu. Hahaha!” Sasuke pun membalikkan badannya.
Hinata terkesiap mendengarnya. Tapi kemudian ia lihat airmuka Sasuke yang tadi tiba-tiba berbeda pada saat hendak membalikkan tubuhnya. Bukan sinis, tapi sendu. Sepersekian detik sehingga memang tidak terlalu kelihatan. Maka Hinata tak menghiraukan kata-katanya barusan.
“Sasuke!” bentak Mikoto. Tapi putranya itu malah melengos pergi tanpa mengucapkan permisi terlebih dahulu. Kedua wanita yang entah dari mana Sasuke temui, diajaknya masuk ke kamar. Seluruh penghuni ruang makan hanya bisa menatap sedih tingkah laku pangeran muda mereka. Seorang pangeran yang diharapkan dapat membawa kerajaan Uchiha ke masa emasnya bersikap memalukan seperti ini.
“Ma-Maafkan Sasuke, Hinata. Tadi dia terlihat mabuk, jadi aku harap kau tidak memasukan ke dalam hati kata-katanya.”
Tapi Hinata seperti tak mendengarkan Mikoto, matanya tetap terarah ke direksi yang sama saat Sasuke dan wanita-wanita nakal itu berdiri.
Mikoto jadi cemas melihatnya, jangan-jangan gadis Hyuuga itu malah syok dengan sikap Sasuke tadi terhadapnya. “Hinata…,” panggilnya sembari menggoyangkan bahu Hinata.
“Ah, ti-tidak apa-apa, Mikoto-sama. A-Anda tak perlu meminta maaf, saya memaklumi sikap Sasuke-san terhadap saya. S-Saya masih orang asing baginya. M-Malah Anda yang saya khawatirkan,” ujar Hinata mencoba simpati.
Mikoto menghembuskan nafas perlahan, “Aku sudah terbiasa dengan sikapnya itu, Hinata. Sekali lagi aku mohon maaf.”
Hinata mengangguk sembari tersenyum kecil. Sudah terbiasa? Apa Sasuke sering seperti ini sebelumnya? Sebenarnya Hinata ingin beranggapan kalau pangeran kerajaan Uchiha itu sudah benar-benar tak waras otaknya. Tapi apa yang ia lihat barusan sedikit menahannya untuk menarik kesimpulan seperti itu. Mengapa Sasuke tertawa terbahak-bahak, namun setelahnya wajah sangar itu terlihat begitu sendu? Apa tawanya yang menggelegar itu benar-benar menunjukkan bahwa dia benar-benar bahagia? Ihwal itu ia tangkap saat-saat terakhir Sasuke membalikkan badannya berjalan menjauhi ia dan Mikoto. Penglihatannya memang cukup tajam.
Semuanya terlihat nadir bagi Hinata. Kalau saja ia bisa dekat dengan Sasuke, mungkin ia bisa mengerti mengapa sikap Sasuke terlihat begar seperti itu.
“Hinata, siang nanti kau temani aku ya? Aku ingin mengunjungi suamiku di desa Aokisoba.” Mikoto segera berdiri dari tempat duduknya, ia jadi ingin menyudahi saja santapan pagi ini. Sasuke benar-benar membuang niatnya untuk mengobrol lebih lama dengan Hinata.
“Eh? F-Fugaku-sama?”
Mikoto mengangguk antusias. “Sekalian aku ingin mengenalkanmu padanya. Kau bersedia kan?”
“K-Kalau itu tidak merepotkan Anda, s-saya bersedia, Mikoto-sama.”
“Baiklah, aku permisi. Masih ada urusan kerajaan yang harus aku selesaikan sebentar, Hinata. Kalau kau mau kau bisa mengelilingi istana, biar Genma yang menemani. Anggap saja seperti rumahmu, ya.”
“Terima kasih, Mikoto-sama.” Hinata membungkukkan tubuhnya sedikit sebagai tanda hormat. Ia lalu mengelilingi istana luas itu ditemani Genma.
o0o
 “Ini kebun lavender Mikoto-sama. Dulu sebelum Fugaku-sama jatuh sakit, Mikoto-sama yang merawat kebun ini setiap hari. Tapi sekarang tidak sempat, karenanya kebun ini jadi tidak terawat dengan baik. Hanya Mikoto-sama yang mengetahui cara merawat tanaman lavender dengan benar,” jelas Genma panjang lebar.
 “S-Sayang sekali, b-banyak tanamannnya yang layu.” Hinata mengambil salah satu bunganya, kemudian menciumi aromanya. Benar-benar hilang. “K-Kalau diizinkan a-aku bisa mengurusnya, Genma. Di r-rumahku juga ada k-kebun lavender punya Mendiang Ibu yang tak seluas ini. Aku sedikit mengerti cara merawatnya, m-meski mungkin tak seahli Mikoto-sama.”
“Kebetulan sekali, nanti akan saya sampaikan pada Mikoto-sama.” Genma terlihat senang dengan apa yang diucapkan Hinata. Masalahnya penghuni kerajaan masing-masing sudah memiliki tugasnya sendiri. Dan untuk yang satu ini, memang tak ada yang mahir melakukannya.
Tiba-tiba Hinata teringat dengan kejadian barusan. Ia ingin sedikit menguliknya secara perlahan, karena belum berani menanyakan langsung pada Sasuke ataupun Mikoto. Barangkali pelayan yang sekarang sedang bersama dirinya saat ini mengetahui masalah yang terjadi di istana, terutama soal Sasuke. “O-Oh ya, Genma. A-Ada y-yang ingin k-kutanyakan. T-Tapi ini mungkin agak pribadi.”
“Tentang apa, Hinata-sama? Barangkali saya bisa membantu,” ujar Genma ramah.
Hinata menarik nafas dalam-dalam. Semoga saja ia tak dikira lancar mulut. “S-Sasuke-san a-apakah dia dulu seperti itu?”
Mereka terus berjalan sampai di pertigaan koridor. “Kita ke sebelah sana, Hinata-sama,” ucap Genma menuntun jalan belok ke kiri. “Sifatnya memang sangat lancang, tapi sebenarnya dia pemuda yang sangat baik, Hinata-sama.”
Hinata melihat airmuka Genma prihatin, sepertinya dia sangat mengenal Sasuke. “Saya menjadi temannya sejak kecil, dia menganggap saya sebagai kakaknya setelah Itachi-sama. Mereka berdua sangat akur dan saling melindungi satu sama lain. Hanya saja ketika Itachi-sama keluar dari kerajaan dan menjadi rakyat biasa, Sasuke-sama perlahan-lahan berubah.”
Alis Hinata tiba-tiba terangkat. Sedikit berbeda dengan ucapan Mikoto yang sebelumnya mengatakan kalau Sasuke mulai berubah sejak ayahnya sakit. Ah, tapi mungkin  waktunya bersamaan.
“A-Apakah i-ini ada h-hubungannya dengan sakitnya Fugaku-sama?” tanya Hinata lagi, ingin mendapatkan informasi lebih.
“Saya rasa tidak, karena Fugaku-sama sudah lama sakit. Fugaku-sama jatuh sakit sekitar lima tahun yang lalu. Dan Itachi-sama keluar dari kerajaan dua tahun setelahnya. Saya sendiri juga tidak terlalu tahu hubungan kepergian Itachi-sama dengan sikap Sasuke. Hanya sejak saat itu, Sasuke-sama jadi tidak terbuka lagi dengan orang-orang di sekitarnya. Dia selalu sibuk sendiri, padahal banyak sekali yang perhatian padanya termasuk saya.”
Apa Sasuke merasa kesepian juga? Hinata tak terlalu mengerti, namun entah mengapa rasa ingin tahunya begitu besar. Ia ingin bisa akrab dengan Sasuke karena kini tinggal di atap yang sama. Ia juga tak ingin merasa kesepian di istana yang luas nan megah ini. Ia ingin mendapatkan sesuatu yang baru semenjak keluar dari kampung halamannya kemarin. Untuk saat ini, ia ingin keberadaanya dianggap oleh orang lain.
o0o
Rombongan kerajaan Uchiha tiba di Desa Aokisoba petang itu. Karena malam nyaris menjelang, kemungkinan besar mereka akan menginap di sana. Perjalanan dari pusat kerajaan ke desa terpencil itu memakan waktu sekitar tiga jam. Cukup melelahkan, maka dari itu Mikoto memutuskan untuk tinggal di sana semalam saja.
            Tempat perisitirahatan raja Fugaku memang minimalis, tak sebesar kerajaannya di sana. Tapi bangunannya tak kalah indah; ditambah lagi dengan aroma pedesaan yang menambah nilai keindahannya. Tidak heran memang jika Fugaku lebih memilih tinggal di sini sejak tiga tahun yang lalu. Suasananya buat hati tenang, terapi alam yang sangat bagus untuk menghindari kepenetan. Istrinya juga memahami dan mengabulkan permintaannya itu, walau pada awalnya berat hatinya untuk jauh tinggal bersama sang suami. Apa boleh buat, dia harus mengutamakan kewajibannya karena ini adalah amanah suaminya juga.
            Fugaku sudah merasa sangat tua diumurnya yang belum mencapai kepala lima. Penyakit saraf yang menyebabkannya lumpuh total membuatnya tak bisa melakukan apa-apa dengan leluasa. Ia paling tidak suka merepotkan orang banyak, untuk itu ia lebih memilih dilayani oleh dua pelayan saja.
            Kedatangan Mikoto tak diprediksi olehnya. Ia tampak sumringah ketika melihat rombongan dari kerajaannya datang pada petang itu. Apalagi setelah tahu kalau istrinya akan menginap di sana selama semalam. Ia rindu. Meski dalam keadaan lumpuh, otaknya masih bisa mengingat siapa-siapa saja penghuni kerajaan Uchiha. Dilihatnya ada penghuni baru tak merisaukannya, yang ia tanyakan pada akhirnya keabsenan anak bungsunya yang lagi-lagi tak ada di sana.
            “Mana Sasuke?”
            Mikoto meminta pelayannya untuk meninggalkan kamar. Hanya Hinata saja yang dibiarkan berada di tempat itu. “Sasuke tak bisa hadir, Sayang. Masih ada urusan kerajaan yang harus ia kerjakan.”
            Dahi Hinata mengerut, tampaknya Mikoto ingin menyembunyikan kenakalan Sasuke pada suaminya. Alasannya bisa jadi untuk menjaga kesehatan suaminya itu.
Fugaku menatap istrinya lekat-lekat. “Benarkah? Tak kusangka sekarang dia begitu peduli pada urusan kerajaan, apa dia masih nakal seperti dulu?”
Mikoto tersenyum lebar. “Dia masih dalam pencarian jati diri, wajar saja kalau dia agak nakal diusianya.”
“Haah, kalau seperti itu terus kapan dia bisa memiliki istri? Aku ingin dia cepat-cepat menikah dan mengambil alih kerajaan, supaya kau bisa berada di sampingku terus. Menikmati masa-masa tua kita bersama.” Fugaku menatap istrinya mesra. Ia meremas lembut tangan istrinya yang sedari tadi bergelayut di sekitar lengan kanannya. Memberikan pijatan-pijatan kecil agar ototnya lebih rileks. Ia benar-benar rindu akan masa-masa kebersamaan mereka.
Mikoto tersenyum. “Oh ya, Sayang. Ini aku kenalkan penghuni baru kerajaan kita, namanya Hinata. Ia dari kerajaan Hyuuga yang kemarin memiliki urusan yang tertunda dengan kita. Untuk itu aku meminta anaknya sebagai jaminan.”
Hinata terhenyak, ia hampir lupa alasan mengapa ia sekarang diminta tinggal di kerajaan besar itu. Jujur sekali ucapan Mikoto. Memang perlahan-lahan Hinata menyadari, terkadang ucapan wanita itu bisa menjadi semanis madu, terkadang bisa menjadi sepahit buah maja.  
K-Konbanwa, Fugaku-sama,” ujar Hinata sembari menundukkan kepalanya malu-malu.
“Selamat datang di kerajaan Uchiha, Hinata. Aku harap kau betah tinggal di sana sampai urusan kami dan ayahmu selesai. Tapi kalau boleh kuakui kau sangat cantik, kenapa kau tak menjodohkan dia dengan Sasuke, Mikoto?”
Mata putih Hinata terbuka lebar.
Sedangkan Mikoto setali tiga uang, ia tampak kaget dengan pernyataan suaminya itu.  “Ma-Masa? Tapi Sasuke—”
“Aku rasa mereka berdua cocok. Sasuke juga sudah harus siap melaksanakan kewajibannya. Dia terlalu cantik untuk dijadikan sebagai pelayan Sasuke. Apa kau tidak lelah bekerja terus?”  
“Bukannya begitu, Sayang. Tapi—”
“Sssttt…” Fugaku meletakkan jari telunjuk ke bibir istrinya. “Sekarang saatnya kau beristirahat. Aku yakin mereka bisa menjadi keluarga yang bahagia. Lagipula Hinata adalah seorang putri, karena itu Sasuke tidak akan senasib dengan Itachi. Sekalian bisa mempererat hubungan kita dengan kerajaan Hyuuga. Bagaimanapun Hiashi adalah teman baikku juga, Mikoto.”
Mikoto tampak tak bisa melawan kata-kata suaminya. Ia memang tak memiliki kuasa lebih dibandingkan dengan raja arif itu. “Baiklah, akan kupikirkan. Semoga saja Sasuke bersedia.”
“Kalau itu perintah ayahnya, Sasuke pasti mau, Sayang. Dia adalah anakku yang paling penurut.”
Hinata menelan ludahnya sendiri. tidak menyangka masalahnya akan tambah runyam. Terlihat sekali tadi bahwa Mikoto memang tak ada niat untuk menikahkan ia dengan anak bungsunya. Ia seperti memiliki rencana lain yang Hinata tak tahu, gerakan matanya yang menunjukkan itu.
Hinata juga memang tak ada niat untuk menikah dengan Sasuke. Karena kesan pertama ketika ia bertemu dengan Sasuke sangatlah buruk. Yang jadi persoalan adalah akan dijadikan apa Hinata oleh Mikoto di kerajaannya? Pembantukah? Atau yang lain? Yang jelas ia harus lebih berhati-hati. Baru saja ia lihat tatapan tajam mata onyx Mikoto sekilas. Penglihatan Hinata sangatlah tajam, itu yang tak diketahui oleh Mikoto.

Bersambung…