Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from ‘HEART’. Semi-Crossover with The Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. AU. OOC. Typos
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure.
Okelah langsung saja, selamat membaca :D
.
.
Chapter 5
Menguak Sejarah
.
.
Sai menuntun Sakura ke Monumen Kepahlawanan Konoha yang pagi itu nampak sepi. Karena biasa ramai pada saat hari libur. Anak-anak sering berlalu-lalang kemari hanya untuk menebar bunga. Sebagai bentuk terima kasih mereka, karena tanpa pahlawan-pahlawa shinobi itu mereka tidak akan pernah hadir ke dunia ini.
“Kita mau kemana, Sai?” tanya Sakura yang mulai tidak sabar. Bukan apa-apa, karena sebentar lagi jam kerjanya akan dimulai. Sebagai orang yang memiliki kedisiplinan tinggi ia tidak mau menjilat ludahnya sendiri.
“Sebentar lagi kok. Nah sampai!” teriak Sai girang.
Sakura menatap pemandangan di depannya. Mereka berdua berdiri di hadapan dahan tandus yang sudah lama tak berbunga.
“Lihat, Sakura-san. Dia mulai berbunga,” ucap Sai lagi sembari menunjuk ke ranting kecil dahan tersebut yang dipenuhi oleh kuncup-kuncup bunga. Salah satu dari kuncup tersebut ada yang membuka, menjadi bunga mekar kecil yang sebentar lagi akan tumbuh dengan indahnya.
Sakura lekas mengerti jenis pohon ini. Seperti nama dirinya, “Dahan bunga sakura?” tanyanya pada Sai.
Sai mengangguk sambil tersenyum padanya. “Ya, tempat favorit Naruto-kun.”
Sakura tercenung. Ia cukup tahu jika pohon ini sama sekali tidak bisa tumbuh subur di desa mereka karena faktor cuaca. Ia hanya sedikit heran, mengapa Naruto menyukai tanaman yang sepanjang tahun selalu layu ini. Tidak ada penduduk desa yang terlalau mempedulikan nasib dahan itu, dibiarkan begitu saja mungkin sampai dia menjadi gundul.
“Kau tahu, Sakura-san? Naruto-kun pernah mengatakannya padaku, jika ia menatap pohon ini dia selalu teringat pada dirimu…”
“Eh?” mata Sakura terbuka lebar mendengarnya, ia sama sekali tidak mengetahui ihwal itu.
“Pohon ini memang layu dan rapuh, Sakura-san. Tapi Naruto-kun selalu yakin, suatu saat nanti bunganya akan mekar. Kupu-kupu tak akan ragu lagi menari mengitarinya. Dia akan tersenyum seperti sedia kala. Lalu rakyat Konoha akan merawatnya karena sebenarnya ia terlalu indah untuk diterlantarkan.”
Sakura lagi-lagi tercenung dibuatnya. “Naruto mengatakan itu?”
Sai mengangguk pelan kemudian menunduk. “Sebelum hari Madara menyerang desa kita, ia memintaku untuk diantarkan kemari.”
Sakura menatap dahan itu lekat-lekat. Padahal dia benar-benar layu, mungkin tidak punya harapan lagi untuk tumbuh. Entah mengapa ada perasaan yang berdesir seketika di sanubari Sakura.
“Harapannya pada dahan sakura ini, ia juga harapkan terjadi pada dirimu, Sakura-san,” ucap Sai sembari tersenyum, namun bukan senyuman palsu yang dulu sering ia lontarkan pada siapa pun yang berbicara dengannya.
Sakura menatap Sai kembali dengan wajah syok, tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetaran.
“Naruto-kun melakukan semua hal ini karena dia berharap kau bisa tersenyum seperti dulu. Mekar dan tak pernah layu… Pernah kemarin dia melihatmu menangis di ruang inap Sasuke-kun dan hal itulah yang ia takutkan…”
Ninja medis itu memutar otak; ia tidak ingat kapan ia menangis di ruang inap Sasuke. Seketika itu juga ia menyadarinya. “Na-Naruto melihatku—”
“Waktu itu dia memaksaku untuk mengunjungi Sasuke-kun, karena aku tidak enak hati aku turuti saja kemauannya. Dan tak disangka-sangka kau juga ada di dalam, Sakura-san…”
Sakura hanya bisa memandangi tanah di bawahnya, ia tidak mengetahui kalau Naruto melihatnya pada waktu itu…
“Yang Naruto-kun takutkan, kau tidak akan tersenyum lagi jika Sasuke-kun meninggal dunia.”
Tiba-tiba tenggorokan Sakura tercekat di dalam, padahal kemarin-kemarin airmatanya sudah habis karena menangis semalaman. Dan kali ini ia akan menangis lagi…
“Jadi dia memutuskan untuk—”
“A-Aku mengetahuinya, Sai.”
“Huh?”
“Aku mengetahui jika Naruto ingin mendonorkan jantungnya untuk Sasuke-kun,” ucap Sakura terisak-isak, ia merengkuh baju di sekitar dadanya. “Padahal aku tidak pernah memintanya tapi dia begitu keras kepala…”
Sai terperanjat mendengarnya. “Kau tahu dari mana?”
Sakura tertunduk lesu sambil tersedu-sedu. “Surat yang ia tulis sebelum operasi dimulai… Dia pasti menitipkannya padamu… ya ‘kan? Tapi aku menemukannya lebih dulu.”
Mata onyx Sai terbuka lebar, ia mencoba membuka memorinya yang dulu. Ia sontak teringat dengan titipan Naruto setelah ia dan si ninja penuh kejutan nomor satu itu kembali dari tempat ini. Sai sempat dirawat hampir seminggu lebih di rumah sakit. Dan ia baru teringat akan surat itu sekarang.
Sai lantas mengatupkan matanya rapat-rapat. “Ah ya, aku ingat, Sakura-san. Sepertinya surat itu terjatuh pada saat aku sedang melawan Madara. Jadi tanpa sengaja kau menemukannya…”
Sakura hanya bisa terdiam di tempat di mana ia berpijak kini. Sembari terisak-isak, sebenarnya hatinya sangat pilu mengingat-ingat lagi isi surat itu. Pengakuan jujur dari seseorang terdekatnya yang kini entah di mana rimbanya berada. Andai semua dapat terulang kembali, namun mana ada manusia yang mampu membalikan waktu seperti semudah ia membalikan tangannya sendiri. Menyesal kini sudah tinggal tak berarti bukan? Karena penyesalan selalu datang belakangan.
Sakura mulai meratap. “Selalu saja begini, sejak dulu aku selalu gagal untuk menyelamatkan Naruto. Kadang aku berpikir, selama ini yang aku pelajari sia-sia. Aku—”
“Kalau begitu jadilah bunga mekar yang seperti Naruto-kun impikan.” Tiba-tiba Sai menyodorkan sesuatu pada Sakura.
Sakura memperhatikannya dengan linglung, “I-Ini…”
Sai mengangguk perlahan. “Hitae ate Naruto-kun… Kau mau menyimpannya ‘kan, Sakura-san? Naruto-kun tidak pergi kemana-mana. Dia ada di hati kita semua dan juga di hatimu… Yang paling penting adalah perasaanmu terhadapnya, bukan seberapa besar hal yang bisa kau lakukan untuk Naruto-kun.”
Kata-kata itu… Sakura masih mengingatnya. Rentetan kalimat yang pernah Yamato-taichou ucapkan juga padanya. Mengapa hal itu bisa ia lupakan?
Tanpa pikir panjang, Sakura pun mengambil hitae ate milik Naruto yang tidak dibawa pergi oleh tuannya. Karena dulu pemiliknya berpikir, bahwa dia tidak akan bisa memakai simbol anggota shinobi Konohagakure no sato itu lagi. Padahal takdir yang bergulir rupanya berkehendak lain, mungkin saja si pemilik hitae ate tersebut bisa kembali ke desanya.
“Aitakutte, Naruto (Aku merindukanmu, Naruto),” ujar Sakura sembari mengusap hitae ate itu ke pipinya yang basah karena airmatanya sendiri. Dan Sakura akan menjaga benda itu agar tetap ada dengan segenap kekuatan yang ia miliki, sampai pemiliknya pulang ke haribaannya.
Time skip Uzumakigakure.
Kushina jadi kalap, ia lupa kalau bangunan utama rumah besar Uzumakigakure dengan tempat Naruto itu lumayan jauh. Tapi kemampuan yousei salah satunya adalah mampu berlari cepat tanpa berhenti selama 24 jam dikarenakan tubuhnya yang sangat ringan. Walau di kesehariannya, mereka lebih senang berkuda dibandingkan dengan berjalan kaki.
Ia pun terus berlari tanpa memperhatikan daerah sekitarnya. Baju miko-nya yang menjelujur panjang ke bawah itu pun jadi melayang-layang akibat larinya yang sangat kencang itu.
Sedangkan Naruto, ia masih bingung dengan keadaan di sekelilingnya. Ia berpikir jangan-jangan ia memang sudah mati dan sekarang berada di nirwana tingkat tujuh yang konon katanya surge paling indah di antara nirwana-nirwana lainnya. Karena tempat ini sangat berbeda dengan desa Konoha, seperti mimpinya dulu sewaktu bertemu dengan wanita yang ia juluki si Mawar Merah. Atau jangan-jangan dia yang membawanya kemari?
Naruto juga merasakan secara fisik ada yang nadir dengan tubuhnya sendiri. Seperti lebih bertenaga dibandingkan yang kemarin-kemarin. Mungkin kalau ia paksakan; ia juga pasti bisa berjalan sekarang.
Dan foto ayahnya dengan wanita yang belum pernah ia lihat. Naruto tahu; Namikaze Minato, Hokage Keempat Konohagakure telah mati dan sebagian jiwanya ikut terkunci di dalam segel di perutnya. Kalau wanita di dalam foto ini adalah ibunya, lalu apakah tempat dan semua keanehan yang terjadinya pada dirinya ini ada hubungannya? Naruto masih harus mencari tahu.
“Naruto!”
Hampir saja Naruto menjatuhkan bingkai foto yang sedang ia genggam karena saking terkejutnya. Ia lalu menyedarkan pandangannya ke arah pintu yang terletak di samping kiri. Ada seorang wanita yang berdiri di sana dan tentunya ia sedikit mengenal sosok yang memanggilnya itu. “Ka-Kau…”
“Syukurlah kau sudah sadar.” Kushina lantas memeluk tubuh Naruto dengan erat.
Naruto jadi terheran-heran dibuatnya. Sebab wanita berambut merah itu menangis tersedu-sedu di pelukannya. Padahal ia baru tiga kali bertemu secara tatap muka dengan wanita misterius itu. Wanita yang tiba-tiba datang ke kehidupannya tanpa memperkenalkan diri terlebih dahulu saat ia masih terbaring lemah di rumah sakit Konoha.
Kushina lalu melepas pelukannya pada Naruto. Tersadar akan wajah bingung anaknya itu ketika menatapnya, ia pun segera menyeka airmatanya cepat-cepat.
“Kenapa menangis?” tanya Naruto kemudian dengan wajah polosnya.
Bola mata Kushina pun berputar. Ia mencari jawaban yang masuk akal untuk pertanyaan anaknya yang sebenarnya biasa saja. Namun ia rasa; ia ingin secara perlahan memberi tahu rahasianya pada Naruto. Agar dia tidak terlalu kaget mengetahui semua rahasia yang telah terkubur hampir 17 tahun lamanya.
“A-Aku hanya terharu melihat kau sadar kembali. Kau tidak sadarkan diri selama dua minggu lebih.”
Naruto menatap mata scarlet Kushina lekat-lekat. “Kau menyelamatkan aku dari tangan Uchiha Madara?”
Kushina mengangguk bisu.
“Lalu ini dimana?” tanya Naruto lagi sembari melihat ke luar kamarnya. “Apa ini surga?”
Kushina tertawa kecil mendengarnya. “Bukan.” Ia mengusap pipi anak semata wayangnya itu secara perlahan. Tak lupa senyuman menawannya ia lontarkan pada pemuda yang sedang kehilangan jejak hidupnya selama ini. “Orang biasanya menyebut tempat ini sebagai Uzumakigakure.”
“Eh?”
“Selamat datang di Uzumakigakure, Naruto. Anakku,” ujar Kushina keceplosan. ia sontak menyadari kesalahan yang ia buat. Tanpa sadar ia mundur dua langkah dan menutup mulutnya dengan tangannya.
Naruto pun mematung seketika. Bingkai foto yang ia genggam lepas dari cengkramannya. Mata biru langitnya tidak bisa menjauh dari mata api milik wanita yang berada di depannya itu.
“Uzumakigakure? Ma-Maksudmu kau…”
Kushina mengatur nafasnya perlahan-lahan untuk menenangkan diri. Ia rasa memang tidak ada yang perlu disembunyikan lagi. ia sudah siap dengan segala risiko yang mungkin akan terjadi nanti. “Ya, aku ibumu, Naruto. Saesa omentien lle (Senang bisa bertemu denganmu),” ujar Kushina sembari membelai lembut dagu Naruto.
Namun tiba-tiba Naruto memalingkan wajahnya dari Kushina. “I-Itu mustahil…,” ujarnya parau. “Apa maksudnya semua ini? Kenapa kau berbicara padaku dengan bahasa aneh seperti itu?” Emosinya mulai naik, ia sudah berkali-kali mengalami musibah yang hampir saja membuatnya menjadi manusia paling payah di jagat raya. Dan kini ada seorang wanita datang mengaku sebagai ibunya tanpa ada rasa dosa. Kalau memang ibunya masih hidup, lalu kemana saja dia selama ini? “Dari kecil aku hidup sendirian, aku tidak pernah tahu siapa orangtuaku sampai kemarin Hokage Keempat datang menemuiku, dan memberi tahu kalau aku ini anaknya.”
Kushina tercenung mendengarnya. “Kau bertemu dengan Minato?”
Naruto menatap kembali Kushina dengan airmuka yang tidak bisa ditebak. “Minato?”
Tatapan Kushina pun seketika melunak. “Ya, namanya Namikaze Minato, Hokage Keempat Konohagakure. Dia suamiku…”
“Lalu apa yang kau inginkan sebenarnya? Kalau aku ini anakmu, kemana saja kau dulu?” Naruto mulai naik pitam, ia sudah lelah dengan semua omong kosong ini. Ia perlu penerangan.
Kushina mulai panik, takut-takut Naruto tidak mempercayai kata-katanya dan membencinya seumur hidup. Ia tahu itu adalah risikonya, namun ia belum menyerah, “Naruto, kau harus menenangkan dirimu dulu supaya semuanya terdengar dengan jelas di telingamu.” Ia mencoba meyakinkan anaknya itu dengan meremas lembut tangannya.
“Kenapa wajahmu berbeda dengan yang terpampang foto ini? Apa kau ini makhluk ruang angkasa? Jadi ayahku menikah dengan makhluk dari luar angkasa?”
Pertanyaan Naruto semakin lama semakin ngaur. Kushina mengerti kalau seperti ini terus Naruto bisa memiliki penyakit kejiwaan akut. Ia harus bisa menjelaskan semua ini secara detail dari A hingga Z.
Kushina mengambil nafas sejenak, dalam keadaan seperti ini ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak cengeng. Memang itu tidaklah salah jika Naruto akan marah padanya. Namun yang terpenting sekarang ia harus bisa memberi tahu tentang leluhurnya sendiri, sehingga Naruto tahu siapa dirinya yang sebenarnya.
Kushina lantas menuju ke meja ruangan dan membuka lacinya; mengambil sebuah cermin dari sana. Ia kemudian menyodorkan cermin itu pada Naruto. “Lihatlah ke dalam cermin, Naruto. Apa kau merasa ada yang berbeda?”
Naruto dengan waswas memandang ke cermin yang memantulkan wajahnya sendiri. Dan seketika itu ia tak bisa berbicara apa-apa dalam waktu lima menit. Ia memperhatikan wajahnya yang jauh berbeda dengan biasanya. “Apa…Apa-apaan ini! Kenapa telingaku seperti telinga kelinci? Dimana kornea mataku? Dan…dan!! Sejak kapan rambutku seperti rambut Ero-sennin?” teriaknya setengah gila.
Naruto kaget setengah mati melihat wajahnya di cermin. Memang ia tampak lebih tampan seperti pangeran yang turun dari surga-loka. Tapi ia merasa risih karena ini bukanlah seperti dirinya.
Mata Naruto terlihat lebih tajam dari biasanya, azure berkerlip seakan ada jutaan bintang di dalamnya. Rambutnya yang seperti landak sedikit agak lebat. Di bagian paling bawah, rambut kuningnya memanjang tipis sampai ke pinggang. Dan daun telinganya menjadi sedikit runcing.
“Kenapa? Ada apa denganku sebenarnya…aku tak mengerti.” Naruto menutupi wajah linglungnya dengan kedua tangannya. Tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan menggenggam kedua tangannya.
“Naruto…kita adalah yousei. Ayahmu, Minato…dia memang manusia biasa. Tapi aku adalah yousei… Kau memiliki darah yousei dariku. Kekuatan tersembunyimu ini ikut tersegel ketika Minato menyegel Kyuubi di perutmu, sehingga kau tidak pernah tahu kekuatan itu.”
“Kekuatan yousei?” Naruto jadi tambah bingung. Ia tidak pernah mendengar apa dan siapa yousei itu.
“Sepertinya kau belum paham, tapi percuma saja jika aku berbicara. Kau mau ikut jalan-jalan denganku?”
Naruto memandangi Kushina dengan perasaan gundah. “Maksudmu bertamasya?”
Kushina tertawa pelan mendengarnya, anaknya ini mirip sekali seperti dirinya dulu waktu kecil, begitu polos lagi lugu. “Begitulah, aku akan membawa ke sebuah tempat, di mana semua masalah ini berawal.”
“Huh?”
“Kau ingin tahu ‘kan, alasan mengapa Uchiha Madara begitu ambisius mengumpulkan bijuu-bijuu? Semuanya ini ada permulaannya sendiri, yang mengantarkan dia menjadi orang yang paling mengerikan di dunia ini.”
Naruto hanya mengangguk pelan. Ia memang ingin sekali mengalahkan Madara, karena orang itulah yang menyebabkan semua kekacauan ini terjadi.
“Kau siap?” tanya Kushina lagi untuk memastikan.
“Aku tidak tahu; aku belum sepenuhnya mempercayai semua omonganmu.”
Kushina tersenyum, “Tidak apa-apa. Kau harus tahu siapa dirimu sebenarnya, Naruto. Aku tidak berbohong padamu.”
Naruto masih terlihat berpikir sejenak, namun akhirnya ia setuju. “Baiklah kalau begitu.”
Akhirnya Naruto memutuskan untuk mengikuti permintaan Kushina.
“Pejamkan matamu.”
Naruto sempat ragu, tapi ia tepis perasaan mencurigakan itu agar rasa ingin tahunya terjawab. Ia pun mengatupkan matanya secara perlahan.
Kushina lantas meletakkan telapak tangan kanannya ke kedua mata Naruto yang mengatup. Ia menyebutkan sebuah mantra kuno yang dulu sedikit ia pelajari dari mendiang ibunya. Tak berapa lama kemudian, ia meminta Naruto untuk membuka matanya lagi.
Naruto memperhatikan wilayah di sekitarnya yang suasananya sangat berbeda dengan ruangan yang ia tempati.
“Ini di mana?” tanya Naruto pada Kushina. Ia memperhatikan seluruh badannya yang kini telah memakai baju seperti seorang pertapa. Ia terkaget-kaget melihatnya. “Sejak kapan aku berganti baju?”
“Tidak usah diambil pusing, Naruto. Aku membawamu ke waktu seribu tahun lalu. Di sini kau akan mengetahui seluk-beluk leluhurmu. Oh ya, kau tahu? Klan Uzumaki dan Uchiha sebenarnya masih memiliki hubungan darah…”
“Eh? Aku baru saja mendengarnya darimu.”
Uchiha dan Uzumaki bersaudara? Lelucon apa lagi ini? Semua ini bak delusi bagi Naruto. Jangan-jangan ia sedang bermimpi atau terdampar di dimensi lain.
Kushina hanya menatap sedih Naruto. Anak semata wayangnya itu belum mau memanggilnya dengan kata ‘ibu’. Tapi ia mengerti Naruto membutuhkan untuk membuka tabir rahasia yang selama ini terselubung rapi. “Ayo, ikuti aku, Naruto. Kita akan memulai perjalanan.”
Kemudian terdengar suara berisik sekali di depan mereka. Naruto jadi penasaran dan segera berlari ke sana. “Ada apa ini? Perang, eh?”
Kushina segera menyusul anaknya dengan langkah santai.
Mereka kini berdiri di atas cekungan yang di dalamnya terdapat seorang sennin yang sedang betarung dengan Sembilan orang berpakaian serba hitam.
Naruto memicingkan matanya untuk menatap lebih jauh. Ia memperhatikan mata sang sennin. “Rinnegan…?”
“Ya, dia adalah Rikudou Sennin, Naruto. Kau pasti sudah mendengar tentang legendanya sedikit ‘kan?”
Naruto menggaruk pipinya. “Lalu dia bertarung dengan siapa? Aku tidak pernah melihat shinobi yang berpakaian hitam menyeramkan seperti itu.”
“Mereka bukan shinobi, Naruto…”
“Eh?”
“Mereka adalah Sembilan Iblis Berjubah Hitam…”
“I-Iblis…?”
.
0o0o0o0
.
Sore itu, Konoha terlihat lebih panas dari pada hari biasanya. Ini dikarenakan amukan Tsunade yang sejak tadi siang menjadi-jadi karena merasa tidak dihargai. Tak seharusnya Daimyou meragukan kredibilitasnya sebagai pemimpin desa Konoha.
Ia merasa dipermainkan dengan keputusan Daimyou yang menurutnya itu hanya untuk kepentingan pribadi. Bagaimana tidak? Keputusan yang seharusnya ada di tangannya malah diambil alih oleh pemimpin Negara Hi yang setengah kemayu itu. Walaupun Konoha berada di bawah kekuasaan Kerajaan Negara Hi, namun tak seharusnya Daimyou ikut campur persoalan desa. Daimyou yang dulu telah memberikan hak istimewa pada Konoha untuk melaksanakan sendiri sistem pemerintahannya
Bisa jadi karena ini disebabkan oleh faktor pencemaran nama baik. Tsunade hanya terheran-heran, masalah ini adalah masalah Konoha. Jadi tak seharusnya Daimyou jadi ikut-ikutan pusing menyelesaikan persoalan ini.
Tsunade pun akhirnya membawa paksa Sasuke keluar dari penjara Kerajaan Negara Hi yang tidak terlalu jauh dengan wilayah Konohagakure no sato. Tanpa meminta izin dahulu pada Daimyou, para penjaga penjara itu pun dibuatnya remuk-redam karena berusaha menghalangi jalannya.
Ia menarik kerah salah satu penjaga itu dengan amarah yang memuncak. “Bilang pada tuanmu, jangan seenaknya mengambil keputusan! Aku tidak sudi dia ikut campur masalah desa yang sama sekali tidak ada hubungan dengannya. Aku bisa bertindak lebih kasar lagi dari ini, mengerti?”
Penjaga penjara itu terlihat ketakutan dengan wajah garang Tsunade yang lebih menyeramkan dibanding dengan monster.
“Heh! Jawab aku!”
“Y-Ya, aku mengerti, Godaime-sama!” Penjaga itu saking ketakutannya sampai-sampai buang air di celana.
Tsunade hanya mencibir melihatnya. “Kau ini salah satu pasukan penjaga penjara Kerajaan, tapi mentalmu mental plastik.” Ia pun langsung segera menuju ke tempat Sasuke dengan leluasa. Empat orang Anbu mengekorinya dari belakang untuk sekedar menjaga.
Tsunade memperhatikan ke dalam ruangan penjara tempat di mana Sasuke dikurung. Keturunan terakhir Uchiha itu sedang tertidur rupanya. “Sasuke…bangun.”
Tsunade berusaha membangunkan Sasuke. Dilihatnya kelopak mata Sasuke yang terlihat bergerak, itu berarti si pengendali sharingan itu mendengar panggilannya. “Uchiha Sasuke!” teriak Tsunade pada akhirnya
Mata Sasuke pun terbuka seketika. Ia melihat kesana kemari seperti orang yang baru terbangun karena hipnotis. Dan ketika ia melihat ke jeruji besi yang menjadi penghalangnya untuk keluar; ia tak menyangka orang itu yang datang ke tempatnya. “Kau…”
“Sasuke, aku akan membawamu keluar dari sini,” bisik Tsunade. Ia kemudian mundur dua langkah, mengambil aba-aba sembari mengeluarkan sejumlah chakra ke kaki kanannya. “Tsutenkyakuu!!”
BLARRR!!!
Jeruji besi itu pun hancur seketika akibat tendangan dahsyat Tsunade.
Sasuke melindungi dirinya dengan menunduk ke tanah. Setelah merasa tak ada lagi serangan, ia menatap Tsunade lagi dengan airmuka tidak percaya. “Kenapa?” tanyanya dingin.
“Bukan di sini seharusnya kau berada. Kau masih bisa berjalan?”
Sasuke berusaha bangkit untuk berdiri sendiri. Tapi ia belum mampu melakukannya.
Tsunade tidak tinggal diam, ia memandang ke arah kanan dan tanpa sengaja menemukan kursi roda di pojok dinding. Ia pun meminta anak buahnya untuk membantu Sasuke duduk di atas kursi roda tersebut. Setelahnya mereka buru-buru keluar dari sana.
Tsunade tidak mau menahan diri lagi. Kali ini ia akan mempertahankan sebuah hal yang menurutnya itu benar. Ia yakin tidak salah dalam mengambil keputusan.
Mereka pun segera kembali ke Konoha.
Tsunade dan rombongannya pergi ke Menara Interogasi. Sesampainya di sana, ia langsung mengajak Sasuke ke lantai paling atas menara tersebut. Sasuke dibawa ke sebuah ruangan yang sedikit mirip dengan ruangan interogasi. Ia akan bertemu dengan seseorang yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.
“Maaf Mengganggu,” ujar Tsunade sembari membuka pintu ruangan. Di dalam ternyata ada Ibiki, Shikamaru, Shikaku, Inoichi, dan…
“Sa-Sasuke-kun…!” teriak seseorang di antara mereka.
Ibiki cepat-cepat menahan tubuh gadis berambut merah itu agar tidak mendekat ke Sasuke. “Kau diam di sini,” ujarnya tegas.
“Karin,” bisik Sasuke. Dia tak menyangka teman setimnya di tim Hebi itu masih hidup. Padahal kemarin seingatnya ia telah membunuh gadis itu. Menjadikannya sebagai umpan untuk membunuh Danzou. Hal yang sebenarnya tidak mau ia ungkit-ungkit lagi di pikirannya.
Kemudian ia tidak pernah melihat Karin lagi setelah tragedi pertemuannya kembali dengan Tim Tujuh. Ternyata Konoha menangkapnya juga.
“Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Tsunade-sama?” tanya Shikamaru yang sesekali menatap Sasuke dengan tampang dingin. Ia tidak suka keturunan terakhir klan Uchiha itu berada di sini.
“Aku ingin Sasuke berada dalam pengawasan kalian, jangan biarkan Daimyou berbuat seenaknya lagi.”
Sasuke menatap Tsunade dengan airmuka datar, ia sudah mengetahui bahwa pada akhirnya ia akan tetap tinggal di penjara juga. Jadi ia nampak tenang saja menghadapi segala kesulitan ini.
“Baiklah, kalau begitu Sasuke akan ditempatkan di ruangan sebelah saja,” ujar Ibiki kemudian. “Kita perlu banyak informasi darinya tentang pembantain klan Uchiha yang terjadi sepuluh tahun yang lalu.”
Sasuke terperanjat mendengarnya. Ia langsung menatap seluruh orang yang ada di dalam dengan perasaan nadir. Tiba-tiba kepalanya mendidih seketika karena hal mengerikan yang sangat ia benci itu diungkit-ungkit kembali. “Apa yang kalian inginkan sebenarnya?” tanyanya dengan nada geram.
Tatapan mata Tsunade kemudian melunak. Ia menurunkan tubuhnya agar sejajar dengan Sasuke. “Dengar Sasuke, kami akan menyelidiki orang-orang yang terlibat dalam pembantaian klan Uchiha dan mengumpulkan bukti. Orang-orang yang terlibat itu akan kami adili,” jelasnya singkat.
Sasuke terkesiap. “Ba-Bagimana kalian bisa tahu?”
“Nanti aku akan menjelaskannya padamu,” jawab Tsunade. “Bagaimana pun klan Uchiha adalah bagian dari desa ini. Tanpa kalian desa ini tak akan pernah terbentuk,” ujarnya lagi sembari tersenyum. “Tapi kau tetap tidak akan lepas dari hukuman Sasuke. Kau akan mendapatkan hukuman yang sepantasnya kau dapatkan.” Raut wajah Tsunade berubah menjadi serius. “Namun aku menjamin, kau tidak akan dikenai hukuman mati. Karena itu bersikaplah kooperatif, dan jangan sia-siakan pengorbanan Naruto untukmu. Dia sudah membayarnya dengan nyawanya sendiri.”
“Naruto?” Sasuke bertanya-tanya lagi pada dirinya sendiri. Bagaimana Naruto bisa mengetahuinya? Padahal bercakap-cakap biasa pun tidak pernah mereka lakukan. Terlalu banyak konflik yang terjadi di antara mereka.
Tsunade menghembuskan nafas perlahan sembari bangkit berdiri. “Ngomong-ngomomg dimana Kakashi? Aku ingin membicarakan sesuatu dengannya.” Ia menatap Shikamaru, menunggu untuk dijawab.
“Kebetulan seharian ini saya tidak bertemu dengannya, Tsunade-sama,” jawab Shikamaru.
“Ya, saya juga begitu. Mungkin saja dia masih berada di rumahnya, apa perlu saya susul?”
“Aneh… Tidak perlu, Inoichi. Nanti juga dia akan datang sendiri.” Tsunade terlihat berpikir lagi. Kakashi memang sering datang terlambat dengan alasan macam-macam yang terbilang aneh. Ah, sudahlah. Lagi pula Kakashi orang yang sangat bertanggung jawab meski kadang ia lamban melaksanakan tugasnya.
“Shikamaru,” panggil Tsunade.
“Hn?”
“Aku ingin kau mengantar Sasuke ke ruang sebelah, ruangan itu akan menjadi tempat tinggalnya untuk sementara waktu. Dan kau, Sasuke. Kau tak perlu khawatir, nanti aku akan meminta Ino atau Sakura untuk membantumu.”
“Hn.” Hanya itu yang Sasuke katakan pada Tsunade.
Shikamaru terlihat malas untuk mengantar Sasuke ke ruang tahanannya. Ia menggerutu, harusnya Sasuke ditempatkan di penjara bawah tanah, bukan di penjara lantai atas menara yang biasanya menjadi tempat pesakitan tahanan biasa.
Sementara Karin, ia hendak mengikuti kemana Sasuke dibawa pergi. Namun lagi-lagi Ibiki menahannya. “Tempatmu bukan di sana, Bocah. Sini! Aku akan mengantarmu ke penjara bawah tanah. Besok kami akan menginterogasimu lagi,” ucapnya sembari menarik paksa lengan Karin.
“Eh? Kalau begitu kenapa Sasuke tidak ditahan di ruangan bawah tanah juga?”
“Dia belum mengikuti persidangan, lagi pula semalaman ini dia akan diinterogasi habis-habisan oleh kami. Tapi tenang saja, nanti dia akan menyusulmu ke sana.” Ibiki berujar dengan nada yang sangat mengerikan. Seperti ingin memakan Karin hidup-hidup.
Karin sontak saja menunduk, tidak mau berdebat lagi dengan Ketua Tim Interogasi Konoha yang sangat sangar itu.
Time skip di kediaman Hatake.
Kakashi membuka matanya perlahan. Mata onyx-nya mengerjap, mencari sebuah cahaya untuk menelaah pemandangan samar-samar yang ada di depan matanya. Ia menyadari bahwa sekarang ia sedang berada di kamarnya sendiri dalam keadaan gelap. Ia ingin segera bangun dari rebahannya, namun tertahan karena ia merasakan tubuhnya sangat berat.
Kakashi pun berusaha mencari apa yang membuat tubuhnya berat begini dengan mata setengah tertutup. Ia meraba-raba bagian dadanya sendiri.
Rambut…
Sontak Kakashi membuka matanya lebar-lebar. Ia langsung menyadari siapa pemilik rambut ini yang tertidur dengan pulas di sampingnya. “Kurenai?” ujarnya keheranan. Ia segera berbaring kembali sambil mengingat-ingat apa yang ia lakukan sehingga mereka dalam posisi seperti ini.
Kakashi menyadari kalau tubuhnya dan tubuh Kurenai hanya terselubung oleh selimutnya saja tanpa sehelai benang pun. Kaki kanan Kurenai menghimpit kaki kirinya. Kepala istrinya itu juga berada di atas dada bidangnya. Ia jadi blushing sendiri mengingat kejadian tadi pagi menjelang siang. “Heh, aku lupa, aku dan Kurenai telah melakukannya,” ujarnya tersipu malu sembari mengusap rambut hitam Kurenai. “Sepertinya sudah malam ya?” Kakashi menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Tapi entah setan apa yang merasukinya, lantas ia seperti orang yang ingatannya kembali sehabis lupa ingatan selama bertahun-tahun.
“Eh? INI SUDAH MALAM!” teriaknya sembari bangkit tanpa mempedulikan Kurenai yang terpelanting ke sebelah kiri kasur karena tindakannya itu. Kakashi segera menyalakan lampu dan memakai baju jounin-nya dengan terburu-buru. Tak lupa ia memakai celananya pula.
Kurenai bangkit sembari menggerutu kesal. Ia memakai selimut Kakashi untuk menutupi tubuhnya. “Ada apa, Kakashi?”
“Ah, Kurenai. Maafkan aku, aku harus menghadap Tsunade-sama sekarang. Kemarin aku berjanji padanya untuk menemuinya di Menara Interogasi sore ini,” ujarnya dengan nada terburu-buru.
“Oh, begitu. Lain kali kau harus secara halus membangunkan aku, Kakashi. Aku nyaris jatuh ke lantai karena ulahmu,” ucap Kurenai ketus.
Kakashi segera mengambil hitae ate-nya dan mengaitkan pengikatnya di kepala. “Ya, maafkan aku, Sayang.” Ia pun mencium kening Kurenai. “Oh ya, kau ingin menginap di sini? Kemungkinan aku agak lama berada di sana.”
Kurenai pun segera beranjak dari tempat tidur, mengambil bajunya yang berserakan di lantai. “Sepertinya tidak, Kakashi. Aku ingin menjemput Hiruzen dulu. Nanti kunci aku taruh di pot bunga depan pintu rumahmu,” ujarnya, lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi.
“Baiklah, Kurenai. Ittekimasu!”
“Itterashai,” jawab Kurenai dari dalam kamar mandi.
Kakashi segera pergi menuju ke Menara Interogasi dengan sunshin, tanpa menyadari ia berpenampilan tidak seperti biasa di kesehariannya.
Bersambung…
Sembilan Iblis Berjubah Hitam? Sepertinya kurang menyeramkan ya? Hoho. Bingung nyari nama yang pas. Elven ambil dari LOTR The Nine itu lho, Ringwraiths aka Nazgul wkwkwkw *oke makin gila aja ceritaku ini*. Sasuke juga aku buat OOC banget hehe.
Semoga para pembaca masih sudi membaca fic abal bin gaje ini.
Friday, 20 May 2011
Fanfiksi Naruto: Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki Chapter 4
Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from ‘HEART’. Semi-Crossover with The Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. AU.
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure.
Selamat Membaca :D.
.
.
Namun tiba-tiba tubuh Kushina sedikit gemetaran. Ia pun merasa aneh kenapa tubuhnya menjadi seperti ini. Ia memandangi Sakura, gadis yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Lantas ia menyadari bahwa anting mawarnya itu bersinar di balik kain kudung yang ia pakai. Mata Kushina pun terbuka lebar.
‘Earendell bereaksi terhadap gadis ini. Ada apa sebenarnya?! Padahal Ayah bilang Earendell tidak dapat memancarkan cahaya lagi di dunia ini.’
.
.
Chapter 4
Fajar Menyingsing
.
.
Kushina menatap Sakura tanpa berkedip. Ia benar-benar keheranan mengapa tiba-tiba antingnya mengeluarkan cahaya lagi. Untung saja telinganya tertutup dengan kain kudung merah yang lumayan tebal, sehingga cahaya dari Earendell tidak ketara oleh Sakura
“Maaf, Bibi. Anda tidak apa-apa?”
Suara Sakura kemudian membuyarkan lamunan Kushina. “Ah, ya, aku tidak apa-apa,” ucapnya sambil berdiri.
Sakura lantas memberikan barang bawaan Kushina yang telah ia bereskan. “Ini, punya anda, Nona. Maaf atas kecerobohan saya.” Ia membungkuk pada Kushina.
Kushina pun mengambil barang bawaannya yang disodorkan Sakura. “Tidak apa-apa, ini kesalahan saya juga. Terima kasih.” Ia tersenyum tipis; di saat menghadapi suasana nadir seperti ini, ia memang tak bisa tersenyum sebagaimana dirinya.
“Sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu…” Sakura lalu menuju ke kedai toko obat klan Nara tanpa menatap ke belakang.
Kushina mengerenyitkan dahinya. Ia hanya memperhatikan gadis itu berjalan menjauhinya. ‘Gadis yang berwajah suram,’ itulah yang mungkin ia pikirkan tentang Sakura. Tapi yang sulit dipikir dengan logika, ia benar-benar bingung mengapa Earendell dapat bercahaya terhadap gadis suram itu. Hal ini akan ia tanyakan pada ayahnya nanti.
Tak mau lama singgah di Konoha, Kushina lantas berbalik menuju ke kudanya. Mata scarlet-nya menatap pada sosok yang sedang berdiri di dekat pohon tak jauh dari kedai. Sosok itu sedang menatapnya pula tanpa ada segaris ekpresi yang tersirat di wajahnya. Namun Kushina tak terlalu mempedulikannya, ia segara naik, dan memacu kudanya ke arah utara.
Sementara Sai—yang sedang berdiri di dekat pohon—dapat menebak bahwa wanita berkerudung merah tadi bukan penduduk asli Konohagakure. Tak disadarinya ada rona merah yang merekah di kedua pipi pucatnya. Harus ia akui wanita itu sangat cantik menawan. Aneh, padahal selama ini dia tidak memiliki emosi. Sai langsung menyudahi prasangkanya, ia lantas memperhatikan Sakura yang disambut kedatangannya oleh Nara Yoshino.
“Permisi, Yoshino-san.”
“Sakura ya? Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin membeli sepuluh tanduk rusa untuk keperluan rumah sakit.”
“Ah, ya ya. Kemarin Shikaku bilang, Godaime-sama yang memesannya. Tunggu sebentar ya,” ujar Yoshino sembari tersenyum. Ia kemudian beranjak ke ruangan dalam.
Sakura hanya mengangguk. Ia lantas memperhatikan seluruh isi kedai. Kedai toko obat klan Nara itu menjual bermacam-macam obat dengan tanduk rusa sebagai bahan pokoknya. Tanduk rusa klan Nara memang sudah dikenal sebagai bahan baku obat yang mujarab untuk luka apa pun.
Tak berapa lama kemudian Yoshino membawa sepuluh tanduk rusa yang sudah diikat dengan tali. “Hai, Douzo.” Ia pun menyerahkannya pada Sakura.
“Arigatou Gozaimasu, Yoshino-san.”
“Do itashimashite.”
Sakura hendak mengambil uang dari kantung kunai-nya.
“Kau tak perlu membayarnya, Sakura. Godaime-sama kemarin sudah membayarnya.”
“Benarkah? Baiklah kalau begitu.”
Yoshino tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. “Sakura, aku turut prihatin atas kejadian yang menimpa Naruto.”
Deg!
Sakura langsung mematung, raut kepedihan mulai terpahat kembali di wajah ayunya. Sebenarnya ia paling tidak suka jika ada orang yang membahas hal itu. Kemarin saja, ia tidak mau membicarakannya pada Ino. Yang bisa ia lakukan hanyalah menunduk.
“Tapi aku yakin Shikamaru bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Naruto pasti bisa ditemukan.”
Sakura melontarkan senyum palsunya pada Yoshino. Ia melakukannya bukan bermaksud tidak sopan; ia hanya ingin menutupi kesedihannya saja. “Ya, Yoshino-san. Terima kasih sekali lagi. Saya permisi dulu.” Ia membungkuk sedikit pada Yoshino dan meninggalkan tempat itu dengan segera. Ia pun menghampiri Sai.
“Sai, maaf kau harus menunggu lama. Tadi ada musibah kecil.”
“Tidak masalah, Sakura-san. Kita langsung ke rumah sakit?”
“Ya.” Sakura hendak beranjak dari tempatnya, namun Sai menahannya.
“Sakura-san, kalau boleh aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Jam masuk masih 30 menit lagi ‘kan?”
“Memangnya kau mau mengajakku ke mana?”
“Ke tempat yang paling Naruto-kun suka di desa ini,” ucap Sai tersenyum.
Sakura hanya bisa terpaku di tempatnya mendengar pernyataan Sai itu.
Time Skip Uzumakigakure
Uzumaki Miyazaki sedang berdiri menatap Naruto yang masih terbaring di atas kasurnya. Ini kali pertamanya ia mengunjungi cucu semata wayangnya. Ia perhatikan wajah Naruto dengan saksama. Kalau saja rambut Naruto berwarna merah juga, pastilah ia akan sangat mirip dengan Kushina, tapi cucunya ini malah memiliki rambut dari ras yang ia sangat benci.
Manusia…
Entah setan mana yang mempengaruhinya untuk mengizinkan Minato mempersunting Kushina. Apalagi ketika ia pada akhirnya tahu, Minato tak sepenuhnya menepati janjinya dulu. Dia gagal melindungi anak perempuan semata wayangnya yang sangat ia sayangi.
Tapi di balik semua itu, Miyazaki mengerti bahwa semua ini adalah kesalahannya. Harusnya misi menyegel semua bijuu ke lingkar luar Uzumakigakure tetap ia teruskan dari dulu. Misi itu berhenti di tengah jalan karena tak ada satu pun yousei yang dapat membuat keempat hewan titisan para dewa tunduk pada mereka. Akhirnya yousei merelakan untuk menyegel bijuu-bijuu itu ke tubuhnya sendiri. Padahal tidak menutup kemungkinan Uchiha Madara menggunakan para bijuu untuk melancarkan aksinya.
Memang setekahnya, Kushina dan Rin berhasil mengendalikan Suzaku dan Byakko, tapi masih ada dua hewan buas lagi yang perlu mereka jinakkan. Dan ternyata Miyazaki mengharapkan sosok yang terbaring di depannya untuk melaksanakan tugas itu secara menyeluruh…
“Aku memang membenci manusia. Namun aku sangat menghormati Minato karena ia selalu melindungi ibumu dengan segenap jiwanya. Walaupun yang terakhir dia gagal total dan mengingkari janjinya. Tapi aku mengerti harapan itu belum pupus. Untuk itu tidak ada alasan untuk membenci keturunanku sendiri.”
Miyazaki mengambil nafas sejenak. Ia lalu mengarahkan telapak tangan kanannya ke dahi Naruto. “Bangunlah dari tidur panjangmu, Cucuku. Ada tugas berat menantimu…”
Tiba-tiba cahaya putih menyinari ke seluruh sudut kamar Naruto.
.
0o0o0o0
.
Madara menatap tajam sesosok berjubah di depannya. Ia merasa geram karena di saat ia memerlukan sebuah ketenangan untuk memikirkan rencana selanjutnya, ia malah diganggu oleh tamu tak diundang itu.
“Kau punya nyali yang besar untuk mengikutiku sampai ke sini, eh?”
“Kukuku...santai dulu, Uchiha Madara. Aku kemari bukan bermaksud untuk berkelahi denganmu; aku hanya ingin menawarkan kerja sama.”
Madara memicingkan matanya. “Jangan bercanda denganku, Bocah.” Diam-diam ia mengeluarkan jurus tsukuyomi sehingga kini ia dan Kabuto berada di sebuah tempat yang di sekitarnya berwarna merah.
Kabuto terkejut ketika menyadari ia bukan di hutan itu lagi. “I-Ini?”
“Heeh, kau jangan bermain-bermain denganku. Kalau kau tidak menjawab pertanyaanku dengan jujur kau akan kusiksa selama 72 jam.”
“Begitu rupanya? Hmm, aku tahu kau sekarang membutuhkan pasukan agar rencanamu berhasil. Dan aku…aku hanya menginginkan Uchiha Sasuke, jadi aku tidak menawarkan kerja sama dengan cuma-cuma. Dan tidak juga dengan kekerasan tentunya. Kukukuku.”
Madara menatap Kabuto tajam. “Ada urusan apa kau dengan Sasuke?”
“Aku hanya ingin menyelesaikan urusanku dengannya yang kemarin-kemarin belum terselesaikan. Hehehe.”
Madara sedikit tergiur dengan ‘pasukan’ yang dikatakan Kabuto tadi, tapi ia langsung menepis harapan itu karena dia tahu lawannya bukanlah sembarangan shinobi. “Huh, kau menawarkan padaku pasukan seperti apa? Jangan menganggap enteng rencanaku. Aku butuh pasukan yang sangat kuat tahu.”
Kabuto menyeringai kejam. “Aku mengerti akan hal itu, tapi kau juga perlu mengetahui, aku juga tahu kemarin dua orang wanita peri membuatmu tak berdaya dengan pesona yang dimiliki oleh mereka.”
“Apa?!”
“Sulit dipercaya bukan? Klan yang dulu tenggelam oleh waktu dan tak terdengar kabarnya selama ratusan tahun, kembali lagi untuk mengambil apa yang dulu mereka punya.”
Madara kesal mendengarnya, ia beranggapan jika bijuu-bijuu itu adalah miliknya dan tentunya ia tak akan membiarkan bijuu-bijuu itu di segel kembali di tempat para yousei itu. “Hn, kau memang licik, Kabuto. Persis dengan tuanmu Orochimaru. Tapi sayang sekali, mencari pasukan sampai ke ujung dunia pun, kau tidak akan menemukan pasukan yang setanding dengan para yousei, lagipula Sasuke sudah kembali ke Konoha.”
Kabuto malah tambah tersenyum penuh kemenangan mendengarnya. “Hahaha. Tentu saja aku mengetahui pasukan seperti apa yang dapat mengalahkan yousei-yousei itu. Itu pun kalau kau membantuku untuk bertemu dengan Sasuke nanti.”
“Apa yang ingin kau lakukan?” tanya Madara keheranan.
“Aku bisa membangunkan pasukan terkutuk yang sangat dibenci oleh para yousei, yang dulu Rikudou Sennin susah payah menyegelnya sampai hampir kehilangan nyawa. Yaa…cuma legenda sih, namun sayangnya aku mengetahui tempat di mana iblis-iblis itu di segel.”
Mata sharingan Madara terbuka lebar. “Ka-Kau…? Jangan macam-macam kau, Bocah. Mereka bukanlah pasukan sembarangan, kau tidak mengerti risikonya.”
“Haah, aku sudah memikirkannya masak-masak, Uchiha Madara. Bagaimana? Kau tak punya nyali untuk menerima tawaranku? Yang kumau tidak susah-susah amat kok. Aku hanya ingin Sasuke dan kau…kau kuberikan pasukan pasling mematikan di dunia ini. Hahahaha.”
Madara pun kembali berpikir, ide yang bagus sebenarnya namun ia harus mengakui kalau Yakushi Kabuto ini sudah setengah gila. Memanggil pasukan paling mengerikan itu bukanlah hal yang gampang. Kemudian ia menyeringai. “Baiklah, aku menerima tawaranmu…”
Time skip Uzumakigakure
Biru langit terbuka menipis, mencari kekuatan untuk terbangun dari gelapnya mata yang tertutup. Terlalu lama ia tertidur tanpa mengetahui masalah-masalah yang terjadi semasa lalu. Untungnya ia tak selusuh kemarin.
Terus membuka, menatap langit-langit berlapiskan kaca yang memantulkan sinar mentari siang ke dalam ruangan. Silau…
Naruto buru-buru menutup matanya dengan lengan kanannya. Sedang di mana ia sekarang? Ia terus menanyakan hal itu di pikirannya. Apa ruangan ini benar-benar kamar tidurnya? Tetapi seingatnya kemarin ia diserang oleh Madara dan setelah itu ia tidak ingat lagi apa yang terjadi dengannya. Lalu mimpi buruk…dan suara orang asing yang berbisik; membujuknya untuk mengikuti perintahnya. Ah, dia tidak mengerti. Dia juga tak ingin terlalu memikirkan mimpi itu.
“Ini dimana?” lirih Naruto. Suaranya masih tercekat di tengah tenggorokan, mungkin karena terlalu lama tidak bercakap-cakap atau mengoceh pada dirinya sendiri. “Ugh, silau sekali. Kenapa aku ditempatkan di ruangan yang terang begini?”
Naruto pun mencoba bangun dari rebahannya secara perlahan. Tubuhnya kaku sekali, seperti membeku karena terserang badai salju tanpa memakai mantel untuk pelindung. Dia jadi bertanya-tanya lagi; sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri?
“Ah, aku tidak bisa duduk,” ucapnya setelah kembali berbaring. Naruto lalu memperhatikan seluruh tubuhnya yang nyaris diperban kecuali di bagian kepala. “Siapa yang mengobatiku?” tanyanya pada diri sendiri, bingung.
Tiba-tiba ia mendengar langkah kaki dari seberang. Rupanya di sana ada sebuah lorong yang menyambungkan ruangan di mana ia berbaring sekarang dengan sebuah bangunan yang sangat elok dipandang. Naruto terpana melihat bangunan itu, tapi ia tak bisa lama-lama menatapnya ketika menyadari seseorang ada di ruangan kamarnya.
“Selamat siang, Naruto.” Seorang wanita berambut coklat menutup kembali pintu kaca sembari menyapa Naruto. Yang ia tahu Naruto sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri, namun setiap ia mengunjungi anak dari kakaknya itu ia selalu mencoba berkomunikasi. Jadi bisa dibayangkan ketika… “Hari ini kita akan—”
“Hai, apakah kau yang mengobatiku?” tanya Naruto pada Rin sembari tersenyum. Ia menatap wanita di depannya dengan penuh rasa kejut; wanita itu cantik sekali, namun sayangnya bentuk telinga dan matanya sangat aneh.
PRANGG!!
Gelas dan botol yang dibawa Rin pun terlepas dari kedua tangannya. “Na-Naruto?”
“Kau tahu namaku? Kalau begitu kau sendiri siapa? Aku tak pernah—”
“Aku harus memberitahu nee-sama sekarang.” Rin pun langsung pergi dari tempat itu.
“Hei, tunggu dulu!” teriak Naruto. “Yah, dia pergi.” Sialnya tubuhnya masih kaku, duduk saja belum mampu ia lakukan. Tapi ia menyadari akan satu hal ketika ia melihat jari-jari tangannya dapat digerakkan. “Tanganku bisa digerakkan,” ucap Naruto tersenyum riang. “Kalau dipaksakan mungkin aku bisa duduk.” Ia pun lalu mencoba untuk bangkit lagi dari rebahannya. Kali ini Naruto berusaha sekuat tenaga namun dengan hati-hati, karena ia takut juga jika ada tulangnya yang remuk. Dan tak beberapa lama kemudian benar saja…
“Yes, bisa. Hehehe,” ujarnya girang. Ia lalu memandangi tempat di sekitarnya; Naruto pun menyadari kalau ruangan yang ia tempati memang sangat-sangat terbuka. “Ya ampun, siapa yang menaruhku di ruangan ini? Yang seperti ini sih mana bisa membuat tidur nyenyak,” omelnya. Ia menatap pekarangan di luar ruangannya. Benar-benar hijau, berbeda dengan Konohagakure no sato, kampung halamannya. Jadi bisa dipastikan di sini bukan desa Konoha.
Naruto kemudian mengarahkan pandangannya pada sebuah meja yang berdiri di samping tempat tidurnya. Ada sebuah foto yang terpampang di dalam pigura emas berukuran telapak tangan orang dewasa. Ia perhatikan foto itu secara saksama.
“Ini…” Naruto menggenggam foto itu; memperhatikannya dengan perasaan campur aduk. “Otou-san ‘kan?” Ia seperti melihat dirinya sendiri di foto itu. Lelaki separuh baya sedang bergelayut mesra dengan seorang wanita berambut merah yang sedang hamil besar. Mereka tampak bahagia.
Baru kemarin ia bertemu langsung dengan Hokage Keempat, wajahnya benar-benar terekam jelas di otak Naruto karena mereka berdua nyaris mirip. Hanya saja harus dia akui, ayah kandungnya itu lebih tampan darinya. Terlepas dari semua penderitaan yang ia alami, ia sangat bersyukur dapat bertemu dengan Namikaze Minato, Hokage Keempat yang sangat ia kagumi.
Namun wanita cantik di samping ayahnya itu sama sekali tak ia kenal. Ia mencoba menerka-nerka siapa wanita itu sampai-sampai foto ini menunjukkan kemesraan mereka. Tiba-tiba tangan Naruto bergetar seketika… “Ja-Jangan-jangan…”
.
0o0o0o0
.
Hatake Kakashi sedang memperhatikan sebuah buku bersampul merah di tangannya. Hari itu ia memilih tinggal di rumah saja, mumpung sedang tidak ada tugas misi. Ia ingin mengerjakan tugas lain yang lebih penting.
Beberapa hari yang lalu Tsunade memberikannya sebuah buku yang ia sendiri belum mengetahui apa maksud Tsunade memberikan buku itu.
Yang jelas ia harus melihat dulu isinya, mungkin ada sebuah petunjuk atau maksud lain, entahlah. Ia berkali-kali membolak-balik buku itu tanpa melihat isinya.
Lalu Kakashi pun memutuskan untuk segera membuka cover buku itu, di sana tertulis. “Segenggam cinta dariku…Namikaze Minato… Ini buku harian sensei?” Ia mengejanya sembari terkaget-kaget. Ia pun membuka halaman berikutnya; ia menemukan tulisan aneh yang ia tak mengerti apa artinya.
“Ini tulisan Kushina-san…jangan-jangan ini… Bahasa antik klan mereka…” Ia menghembuskan nafas kuat-kuat.
Ya, Kakashi memang mengetahuinya. Dulu secara tidak sengaja tentunya. Ia memang tidak pernah melihat seperti apa wujud asli klan Kushina, namun kekuatan tersembunyinya pernah ia lihat secara langsung. Ceritanya sangat panjang, ia tidak mau mengingatnya karena kejadian itu akan mengantarnya pada kejadian yang lain yang paling menyakitkan baginya seumur hidup.
Tiba-tiba Kakashi merasakan sebuah tangan bergelayut di pinggangnya. “Kau sedang apa, Kakashi?”
Si ninja peniru itu lekas menoleh ke belakang. “Kurenai… Kenapa tidak mengetuk pintu dulu?”
“Maaf pintumu tidak kau kunci. Aku panggil berapa kali tapi kau tidak datang. Jadi aku masuk saja. Kau sedang apa?”
“Begitu? Aku hanya ingin membaca ini saja,” ucap Kakashi menunjukkan buku tadi pada Kurenai.
Ekspresi Kurenai yang biasa-biasa saja kemudian seketika berubah. “Kau membaca buku porno itu lagi?”
“Hahaha, ini bukan icha icha paradise, Nai-chan. Hanya buku biasa kok. Ngomong-ngomong di mana Hiruzen? Kau tidak membawanya?”
“Hm, baguslah kalau begitu… Dia kutitipkan pada Anko, aku sudah bilang padanya tadi aku ingin berduaan saja denganmu.”
“Dasar…” Kakashi segera bangkit dari tempat duduknya; ia menaruh buku tadi ke lemari, tidak ingin Kurenai melihat rahasia di dalamnya. “Kau sudah makan?”
“Ya, baru tadi saja. Kau…?”
Kakashi hanya mengangguk. Ia lantas mendekatkan tubuhnya pada tubuh ramping Kurenai sehingga tubuh mereka saling bersinggungan.
Lama mereka dalam keadaan seperti itu, saling menatap wajah satu sama lain. Scarlet dan onyx saling bertemu… Kurenai kemudian membuka perlahan masker yang selalu menutupi bagian mulut Kakashi secara perlahan. “Kau tidak kepanasan memakai ini terus?”
“Yah, sudah biasa sih,” jawab Kakashi sembari tersenyum. Ia membiarkan saja Kurenai melakukan aktivitasnya. Wajahnya yang selalu ia tutupi pun terlihat dengan jelas.
Kurenai tersenyum melihat wajah tampan pria di hadapannya. Kalau selama ini dia tidak membukanya, pastilah si ninja peniru ini akan menjadi primadoninya desa Konoha. Untung saja dia tidak melakukannya. Kemudian Kurenai teringat akan satu hal yang ingin ia bicarakan pada Kakashi. “Kakashi, kau tidak memberitahu semua orang kalau kita sudah menikah?”
Kakashi langsung terperanjat mendengar pertanyaan Kurenai. Itu adalah rahasia yang ia tutupi pada semua orang terdekatnya selama dua bulan terakhir ini. Ya, mereka telah menikah diam-diam dan belum tinggal satu atap bersama.
“Kurenai…aku—”
Kurenai tiba-tiba menaruh kepalanya di dada bidang Kakashi. “Tidak apa-apa, Kakashi; aku mengerti. Kau sedang banyak masalah akhir-akhir ini. Aku juga takut kalau nanti banyak orang mengatakan aku telah mengkhianati Asuma.”
“Sssttt…” Kakashi membelai rambut hitam si mata scarlet itu. “Aku tahu kau tidak seperti itu… Aku mengerti kau masih belum bisa melupakan Asuma.”
“Harus kuakui memang, tetapi aku ingin memulai kehidupan baru denganmu. Apa itu salah? Tidak ada orang yang bisa hidup seorang diri di dunia ini.”
Kakashi menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan. “Tidak…aku sabar menunggu. Aku malah sangat beruntung kau menerima lamaranku.”
“Itu karena aku juga ingin mencintaimu…” Kurenai makin mengeratkan dekapannya pada Kakashi. Ia kemudian merasakan tangan Kakashi menyentuh dagunya; mengangkatnya perlahan sampai ia menatap wajah si ninja peniru itu. Kurenai menyadari wajah Kakashi lama-lama semakin mendekat ke wajahnya sendiri. Ia pun memejamkan matanya.
Melihat respon Kurenai yang tidak menolak, Kakashi pun langsung mencumbu bibir merah Kurenai. Ia semakin mencengkram erat pinggul Kurenai dengan kedua tangannya, si kunoichi ahli genjutsu sendiri melingkarkan kedua tangannya di leher Kakashi. Hal ini membuat Kakashi tambah bersemangat merasakan bibir manis Kurenai. Tapi tiba-tiba Kurenai menghentikan aktivitasnya membuat Kakashi keheranan.
“Kau tahu mengapa aku datang ke sini, Kakashi?”
“Kenapa?” tanya Kakashi penasaran.
“Aku hanya ingin menuntut kewajibanmu yang belum kau lakukan, semenjak kita menikah dua bulan yang lalu.”
Mendengarnya Kakashi langsung blushing. Yah memang benar, mereka belum mengambil langkah kebih jauh untuk mengeksplorasi hubungan mereka. Bukan apa-apa, ada banyak hal yang membuat Kakashi tidak terburu-buru ingin melakukannya. “Eh? Ma-Maksudmu k-kau ingin melakukannya sekarang?”
Kurenai mengangguk malu.
Entah mengapa Kakashi jadi semakin dag dig dug. “Kau yakin?”
“Seratus persen,” ujar Kurenai sembari tersenyum.
Kakashi mencoba mencari kepastian lagi. “Bu-Bukannya lebih bagus malam kita melakukannya?”
“Nanti malah mencurigakan, kau belum ingin hubungan kita ketahuan yang lain ‘kan?”
“Me-Memang benar, ta-tapi—”
Kurenai tertawa kecil melihat kegugupan suaminya itu. “Kau tak perlu takut, Sayang. Kita ini suami istri, tak ada larangan untuk melakukannya.”
“Ya, hahaha. Aku hanya ingin memastikan.”
Kurenai segera membuka perban yang menggulungi tangannya perlahan. Ia melihat Kakashi merapalkan jutsu yang ia tak tahu jutsu apa itu. “Kau sedang apa?”
“Aku mengaktifkan jutsu peredam suara.” Ia pun segera menutup jendela dan membiarkan kamarnya sendiri dalam keadaan gelap. “Begini lebih baik ‘kan?”
Kurenai tersenyum manis.
“Kau siap, Manisku?” tanya Kakashi sembari mendekatkan dirinya pada istrinya lagi. “Akhirnya aku bisa juga mempraktekkan buku yang bertahun-tahun aku baca,” ucapnya sembari tersenyum menyeramkan.
Kurenai tertawa kecil mendengarnya. Ia lalu merasakan Kakashi mulai melucuti pakaiannya satu per satu.
Lantas ruangan itu layaknya dikerumuni oleh kupu-kupu. Mereka berterbangan ke segala arah terlihat bahagia walau kelihatan sedang banyak masalah. Hari ini dua insan bersatu dalam satu ikatan yang akan sulit untuk diputuskan begitu saja. Mereka saling melenguhkan nama satu sama lain sampai suara dan tenaga mereka habis…
Time skip di depan jalan menuju Rumah Sakit Konoha.
Hinata hari ini memutuskan untuk menjenguk Sasuke kembali. Ia membawa sekuntum bunga lavender dan satu keranjang buah pear di tangannya. Sebenarnya ia tidak ingin repot-repot, tapi rasanya tidak sopan jika menjenguk orang yang sakit tudak membawakan oleh-oleh. Setidaknya bisa menghibur orang yang ia jenguk. Ia pun tidak ingin terburu-buru; melangkahkan kakinya dengan yang biasa ia lakukan.
“Hinata!”
Tiba-tiba ada sebuah suara yang menyapanya dari arah belakang. Hinata pun menoleh ke sana. “Ino. Ohayou.”
“Ohayou,” balas Ino. Ia kemudian memperhatikan barang bawaan Hinata. “Kau ingin menjenguk seseorang?”
“Ah, ya Ino,” ucap Hinata malu-malu.
Ino memperhatikannya dengan tersenyum. “Akhir-akhir aku perhatikan kau tidak terbata-bata lagi ya, Hinata? Oh ya kau ingin menjenguk siapa?”
Mereka kemudian masuk ke dalam rumah sakit.
“Aku sendiri juga tidak tahu, refleks saja sepertinya. Ehm, aku ingin menjenguk Sasuke-kun.”
“Eh?” Ino terperanjat mendengarnya. Ia ingin bertanya satu hal pada Hinata, tapi ia tidak lakukan karena ada seseorang yang lain yang menarik perhatian matanya.
Dari arah berlawanan tampak Shikamaru berjalan menuju pintu utama rumah sakit.
“Shikamaru-kun, Ohayou,” sapa Hinata tiba-tiba.
“Ohayou, Hinata.” Shikamaru membalas sapaan Hinata, kemudian ia menatap Ino dengan wajah datar. “Ohayou…”
“Ohayou…,” balas Ino lirih. Ia memperhatikan Shikamaru yang perlahan-lahan meninggalkannya; ia ingin membicarakan suatu hal pada si ninja jenius itu tapi ia takut mood sedang Shikamaru tidak bagus. Bisa-bisa ia dibentaknya lagi.
Hinata yang menyadari keanehan itu langsung saja mencoba memecahkan keheningan. “Kau tidak apa-apa, Ino? Sedang ada masalah dengan Shikamaru-kun?”
“Ah? Kami baik-baik saja kok, hanya saja Shikamaru sedang sibuk akhir-akhir jadinya kami jarang bertemu,” dalih Ino. Ia memperhatikan Shikamaru yang sudah jauh berjalan di belakangnya; ia lalu kembali berjalan sesuai arah tujuannya datang ke rumah sakit.
Sementara itu Shikamaru menghentikan jalannya dan menoleh ke arah belakang. Ia memperhatikan Ino yang berjalan semakin jauh ke dalam rumash sakit Konoha. “Palingan dia mau ke tempat Sasuke lagi. Untunglah tadi aku buru-buru pergi sehingga dia tidak mengajakku berbicara…” Shikamaru memandang langit di atasnya yang cukup terang saat ini. “Aku tidak ingin membentak Ino lagi…”
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from ‘HEART’. Semi-Crossover with The Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. AU.
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure.
Selamat Membaca :D.
.
.
Namun tiba-tiba tubuh Kushina sedikit gemetaran. Ia pun merasa aneh kenapa tubuhnya menjadi seperti ini. Ia memandangi Sakura, gadis yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Lantas ia menyadari bahwa anting mawarnya itu bersinar di balik kain kudung yang ia pakai. Mata Kushina pun terbuka lebar.
‘Earendell bereaksi terhadap gadis ini. Ada apa sebenarnya?! Padahal Ayah bilang Earendell tidak dapat memancarkan cahaya lagi di dunia ini.’
.
.
Chapter 4
Fajar Menyingsing
.
.
Kushina menatap Sakura tanpa berkedip. Ia benar-benar keheranan mengapa tiba-tiba antingnya mengeluarkan cahaya lagi. Untung saja telinganya tertutup dengan kain kudung merah yang lumayan tebal, sehingga cahaya dari Earendell tidak ketara oleh Sakura
“Maaf, Bibi. Anda tidak apa-apa?”
Suara Sakura kemudian membuyarkan lamunan Kushina. “Ah, ya, aku tidak apa-apa,” ucapnya sambil berdiri.
Sakura lantas memberikan barang bawaan Kushina yang telah ia bereskan. “Ini, punya anda, Nona. Maaf atas kecerobohan saya.” Ia membungkuk pada Kushina.
Kushina pun mengambil barang bawaannya yang disodorkan Sakura. “Tidak apa-apa, ini kesalahan saya juga. Terima kasih.” Ia tersenyum tipis; di saat menghadapi suasana nadir seperti ini, ia memang tak bisa tersenyum sebagaimana dirinya.
“Sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu…” Sakura lalu menuju ke kedai toko obat klan Nara tanpa menatap ke belakang.
Kushina mengerenyitkan dahinya. Ia hanya memperhatikan gadis itu berjalan menjauhinya. ‘Gadis yang berwajah suram,’ itulah yang mungkin ia pikirkan tentang Sakura. Tapi yang sulit dipikir dengan logika, ia benar-benar bingung mengapa Earendell dapat bercahaya terhadap gadis suram itu. Hal ini akan ia tanyakan pada ayahnya nanti.
Tak mau lama singgah di Konoha, Kushina lantas berbalik menuju ke kudanya. Mata scarlet-nya menatap pada sosok yang sedang berdiri di dekat pohon tak jauh dari kedai. Sosok itu sedang menatapnya pula tanpa ada segaris ekpresi yang tersirat di wajahnya. Namun Kushina tak terlalu mempedulikannya, ia segara naik, dan memacu kudanya ke arah utara.
Sementara Sai—yang sedang berdiri di dekat pohon—dapat menebak bahwa wanita berkerudung merah tadi bukan penduduk asli Konohagakure. Tak disadarinya ada rona merah yang merekah di kedua pipi pucatnya. Harus ia akui wanita itu sangat cantik menawan. Aneh, padahal selama ini dia tidak memiliki emosi. Sai langsung menyudahi prasangkanya, ia lantas memperhatikan Sakura yang disambut kedatangannya oleh Nara Yoshino.
“Permisi, Yoshino-san.”
“Sakura ya? Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin membeli sepuluh tanduk rusa untuk keperluan rumah sakit.”
“Ah, ya ya. Kemarin Shikaku bilang, Godaime-sama yang memesannya. Tunggu sebentar ya,” ujar Yoshino sembari tersenyum. Ia kemudian beranjak ke ruangan dalam.
Sakura hanya mengangguk. Ia lantas memperhatikan seluruh isi kedai. Kedai toko obat klan Nara itu menjual bermacam-macam obat dengan tanduk rusa sebagai bahan pokoknya. Tanduk rusa klan Nara memang sudah dikenal sebagai bahan baku obat yang mujarab untuk luka apa pun.
Tak berapa lama kemudian Yoshino membawa sepuluh tanduk rusa yang sudah diikat dengan tali. “Hai, Douzo.” Ia pun menyerahkannya pada Sakura.
“Arigatou Gozaimasu, Yoshino-san.”
“Do itashimashite.”
Sakura hendak mengambil uang dari kantung kunai-nya.
“Kau tak perlu membayarnya, Sakura. Godaime-sama kemarin sudah membayarnya.”
“Benarkah? Baiklah kalau begitu.”
Yoshino tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. “Sakura, aku turut prihatin atas kejadian yang menimpa Naruto.”
Deg!
Sakura langsung mematung, raut kepedihan mulai terpahat kembali di wajah ayunya. Sebenarnya ia paling tidak suka jika ada orang yang membahas hal itu. Kemarin saja, ia tidak mau membicarakannya pada Ino. Yang bisa ia lakukan hanyalah menunduk.
“Tapi aku yakin Shikamaru bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Naruto pasti bisa ditemukan.”
Sakura melontarkan senyum palsunya pada Yoshino. Ia melakukannya bukan bermaksud tidak sopan; ia hanya ingin menutupi kesedihannya saja. “Ya, Yoshino-san. Terima kasih sekali lagi. Saya permisi dulu.” Ia membungkuk sedikit pada Yoshino dan meninggalkan tempat itu dengan segera. Ia pun menghampiri Sai.
“Sai, maaf kau harus menunggu lama. Tadi ada musibah kecil.”
“Tidak masalah, Sakura-san. Kita langsung ke rumah sakit?”
“Ya.” Sakura hendak beranjak dari tempatnya, namun Sai menahannya.
“Sakura-san, kalau boleh aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Jam masuk masih 30 menit lagi ‘kan?”
“Memangnya kau mau mengajakku ke mana?”
“Ke tempat yang paling Naruto-kun suka di desa ini,” ucap Sai tersenyum.
Sakura hanya bisa terpaku di tempatnya mendengar pernyataan Sai itu.
Time Skip Uzumakigakure
Uzumaki Miyazaki sedang berdiri menatap Naruto yang masih terbaring di atas kasurnya. Ini kali pertamanya ia mengunjungi cucu semata wayangnya. Ia perhatikan wajah Naruto dengan saksama. Kalau saja rambut Naruto berwarna merah juga, pastilah ia akan sangat mirip dengan Kushina, tapi cucunya ini malah memiliki rambut dari ras yang ia sangat benci.
Manusia…
Entah setan mana yang mempengaruhinya untuk mengizinkan Minato mempersunting Kushina. Apalagi ketika ia pada akhirnya tahu, Minato tak sepenuhnya menepati janjinya dulu. Dia gagal melindungi anak perempuan semata wayangnya yang sangat ia sayangi.
Tapi di balik semua itu, Miyazaki mengerti bahwa semua ini adalah kesalahannya. Harusnya misi menyegel semua bijuu ke lingkar luar Uzumakigakure tetap ia teruskan dari dulu. Misi itu berhenti di tengah jalan karena tak ada satu pun yousei yang dapat membuat keempat hewan titisan para dewa tunduk pada mereka. Akhirnya yousei merelakan untuk menyegel bijuu-bijuu itu ke tubuhnya sendiri. Padahal tidak menutup kemungkinan Uchiha Madara menggunakan para bijuu untuk melancarkan aksinya.
Memang setekahnya, Kushina dan Rin berhasil mengendalikan Suzaku dan Byakko, tapi masih ada dua hewan buas lagi yang perlu mereka jinakkan. Dan ternyata Miyazaki mengharapkan sosok yang terbaring di depannya untuk melaksanakan tugas itu secara menyeluruh…
“Aku memang membenci manusia. Namun aku sangat menghormati Minato karena ia selalu melindungi ibumu dengan segenap jiwanya. Walaupun yang terakhir dia gagal total dan mengingkari janjinya. Tapi aku mengerti harapan itu belum pupus. Untuk itu tidak ada alasan untuk membenci keturunanku sendiri.”
Miyazaki mengambil nafas sejenak. Ia lalu mengarahkan telapak tangan kanannya ke dahi Naruto. “Bangunlah dari tidur panjangmu, Cucuku. Ada tugas berat menantimu…”
Tiba-tiba cahaya putih menyinari ke seluruh sudut kamar Naruto.
.
0o0o0o0
.
Madara menatap tajam sesosok berjubah di depannya. Ia merasa geram karena di saat ia memerlukan sebuah ketenangan untuk memikirkan rencana selanjutnya, ia malah diganggu oleh tamu tak diundang itu.
“Kau punya nyali yang besar untuk mengikutiku sampai ke sini, eh?”
“Kukuku...santai dulu, Uchiha Madara. Aku kemari bukan bermaksud untuk berkelahi denganmu; aku hanya ingin menawarkan kerja sama.”
Madara memicingkan matanya. “Jangan bercanda denganku, Bocah.” Diam-diam ia mengeluarkan jurus tsukuyomi sehingga kini ia dan Kabuto berada di sebuah tempat yang di sekitarnya berwarna merah.
Kabuto terkejut ketika menyadari ia bukan di hutan itu lagi. “I-Ini?”
“Heeh, kau jangan bermain-bermain denganku. Kalau kau tidak menjawab pertanyaanku dengan jujur kau akan kusiksa selama 72 jam.”
“Begitu rupanya? Hmm, aku tahu kau sekarang membutuhkan pasukan agar rencanamu berhasil. Dan aku…aku hanya menginginkan Uchiha Sasuke, jadi aku tidak menawarkan kerja sama dengan cuma-cuma. Dan tidak juga dengan kekerasan tentunya. Kukukuku.”
Madara menatap Kabuto tajam. “Ada urusan apa kau dengan Sasuke?”
“Aku hanya ingin menyelesaikan urusanku dengannya yang kemarin-kemarin belum terselesaikan. Hehehe.”
Madara sedikit tergiur dengan ‘pasukan’ yang dikatakan Kabuto tadi, tapi ia langsung menepis harapan itu karena dia tahu lawannya bukanlah sembarangan shinobi. “Huh, kau menawarkan padaku pasukan seperti apa? Jangan menganggap enteng rencanaku. Aku butuh pasukan yang sangat kuat tahu.”
Kabuto menyeringai kejam. “Aku mengerti akan hal itu, tapi kau juga perlu mengetahui, aku juga tahu kemarin dua orang wanita peri membuatmu tak berdaya dengan pesona yang dimiliki oleh mereka.”
“Apa?!”
“Sulit dipercaya bukan? Klan yang dulu tenggelam oleh waktu dan tak terdengar kabarnya selama ratusan tahun, kembali lagi untuk mengambil apa yang dulu mereka punya.”
Madara kesal mendengarnya, ia beranggapan jika bijuu-bijuu itu adalah miliknya dan tentunya ia tak akan membiarkan bijuu-bijuu itu di segel kembali di tempat para yousei itu. “Hn, kau memang licik, Kabuto. Persis dengan tuanmu Orochimaru. Tapi sayang sekali, mencari pasukan sampai ke ujung dunia pun, kau tidak akan menemukan pasukan yang setanding dengan para yousei, lagipula Sasuke sudah kembali ke Konoha.”
Kabuto malah tambah tersenyum penuh kemenangan mendengarnya. “Hahaha. Tentu saja aku mengetahui pasukan seperti apa yang dapat mengalahkan yousei-yousei itu. Itu pun kalau kau membantuku untuk bertemu dengan Sasuke nanti.”
“Apa yang ingin kau lakukan?” tanya Madara keheranan.
“Aku bisa membangunkan pasukan terkutuk yang sangat dibenci oleh para yousei, yang dulu Rikudou Sennin susah payah menyegelnya sampai hampir kehilangan nyawa. Yaa…cuma legenda sih, namun sayangnya aku mengetahui tempat di mana iblis-iblis itu di segel.”
Mata sharingan Madara terbuka lebar. “Ka-Kau…? Jangan macam-macam kau, Bocah. Mereka bukanlah pasukan sembarangan, kau tidak mengerti risikonya.”
“Haah, aku sudah memikirkannya masak-masak, Uchiha Madara. Bagaimana? Kau tak punya nyali untuk menerima tawaranku? Yang kumau tidak susah-susah amat kok. Aku hanya ingin Sasuke dan kau…kau kuberikan pasukan pasling mematikan di dunia ini. Hahahaha.”
Madara pun kembali berpikir, ide yang bagus sebenarnya namun ia harus mengakui kalau Yakushi Kabuto ini sudah setengah gila. Memanggil pasukan paling mengerikan itu bukanlah hal yang gampang. Kemudian ia menyeringai. “Baiklah, aku menerima tawaranmu…”
Time skip Uzumakigakure
Biru langit terbuka menipis, mencari kekuatan untuk terbangun dari gelapnya mata yang tertutup. Terlalu lama ia tertidur tanpa mengetahui masalah-masalah yang terjadi semasa lalu. Untungnya ia tak selusuh kemarin.
Terus membuka, menatap langit-langit berlapiskan kaca yang memantulkan sinar mentari siang ke dalam ruangan. Silau…
Naruto buru-buru menutup matanya dengan lengan kanannya. Sedang di mana ia sekarang? Ia terus menanyakan hal itu di pikirannya. Apa ruangan ini benar-benar kamar tidurnya? Tetapi seingatnya kemarin ia diserang oleh Madara dan setelah itu ia tidak ingat lagi apa yang terjadi dengannya. Lalu mimpi buruk…dan suara orang asing yang berbisik; membujuknya untuk mengikuti perintahnya. Ah, dia tidak mengerti. Dia juga tak ingin terlalu memikirkan mimpi itu.
“Ini dimana?” lirih Naruto. Suaranya masih tercekat di tengah tenggorokan, mungkin karena terlalu lama tidak bercakap-cakap atau mengoceh pada dirinya sendiri. “Ugh, silau sekali. Kenapa aku ditempatkan di ruangan yang terang begini?”
Naruto pun mencoba bangun dari rebahannya secara perlahan. Tubuhnya kaku sekali, seperti membeku karena terserang badai salju tanpa memakai mantel untuk pelindung. Dia jadi bertanya-tanya lagi; sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri?
“Ah, aku tidak bisa duduk,” ucapnya setelah kembali berbaring. Naruto lalu memperhatikan seluruh tubuhnya yang nyaris diperban kecuali di bagian kepala. “Siapa yang mengobatiku?” tanyanya pada diri sendiri, bingung.
Tiba-tiba ia mendengar langkah kaki dari seberang. Rupanya di sana ada sebuah lorong yang menyambungkan ruangan di mana ia berbaring sekarang dengan sebuah bangunan yang sangat elok dipandang. Naruto terpana melihat bangunan itu, tapi ia tak bisa lama-lama menatapnya ketika menyadari seseorang ada di ruangan kamarnya.
“Selamat siang, Naruto.” Seorang wanita berambut coklat menutup kembali pintu kaca sembari menyapa Naruto. Yang ia tahu Naruto sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri, namun setiap ia mengunjungi anak dari kakaknya itu ia selalu mencoba berkomunikasi. Jadi bisa dibayangkan ketika… “Hari ini kita akan—”
“Hai, apakah kau yang mengobatiku?” tanya Naruto pada Rin sembari tersenyum. Ia menatap wanita di depannya dengan penuh rasa kejut; wanita itu cantik sekali, namun sayangnya bentuk telinga dan matanya sangat aneh.
PRANGG!!
Gelas dan botol yang dibawa Rin pun terlepas dari kedua tangannya. “Na-Naruto?”
“Kau tahu namaku? Kalau begitu kau sendiri siapa? Aku tak pernah—”
“Aku harus memberitahu nee-sama sekarang.” Rin pun langsung pergi dari tempat itu.
“Hei, tunggu dulu!” teriak Naruto. “Yah, dia pergi.” Sialnya tubuhnya masih kaku, duduk saja belum mampu ia lakukan. Tapi ia menyadari akan satu hal ketika ia melihat jari-jari tangannya dapat digerakkan. “Tanganku bisa digerakkan,” ucap Naruto tersenyum riang. “Kalau dipaksakan mungkin aku bisa duduk.” Ia pun lalu mencoba untuk bangkit lagi dari rebahannya. Kali ini Naruto berusaha sekuat tenaga namun dengan hati-hati, karena ia takut juga jika ada tulangnya yang remuk. Dan tak beberapa lama kemudian benar saja…
“Yes, bisa. Hehehe,” ujarnya girang. Ia lalu memandangi tempat di sekitarnya; Naruto pun menyadari kalau ruangan yang ia tempati memang sangat-sangat terbuka. “Ya ampun, siapa yang menaruhku di ruangan ini? Yang seperti ini sih mana bisa membuat tidur nyenyak,” omelnya. Ia menatap pekarangan di luar ruangannya. Benar-benar hijau, berbeda dengan Konohagakure no sato, kampung halamannya. Jadi bisa dipastikan di sini bukan desa Konoha.
Naruto kemudian mengarahkan pandangannya pada sebuah meja yang berdiri di samping tempat tidurnya. Ada sebuah foto yang terpampang di dalam pigura emas berukuran telapak tangan orang dewasa. Ia perhatikan foto itu secara saksama.
“Ini…” Naruto menggenggam foto itu; memperhatikannya dengan perasaan campur aduk. “Otou-san ‘kan?” Ia seperti melihat dirinya sendiri di foto itu. Lelaki separuh baya sedang bergelayut mesra dengan seorang wanita berambut merah yang sedang hamil besar. Mereka tampak bahagia.
Baru kemarin ia bertemu langsung dengan Hokage Keempat, wajahnya benar-benar terekam jelas di otak Naruto karena mereka berdua nyaris mirip. Hanya saja harus dia akui, ayah kandungnya itu lebih tampan darinya. Terlepas dari semua penderitaan yang ia alami, ia sangat bersyukur dapat bertemu dengan Namikaze Minato, Hokage Keempat yang sangat ia kagumi.
Namun wanita cantik di samping ayahnya itu sama sekali tak ia kenal. Ia mencoba menerka-nerka siapa wanita itu sampai-sampai foto ini menunjukkan kemesraan mereka. Tiba-tiba tangan Naruto bergetar seketika… “Ja-Jangan-jangan…”
.
0o0o0o0
.
Hatake Kakashi sedang memperhatikan sebuah buku bersampul merah di tangannya. Hari itu ia memilih tinggal di rumah saja, mumpung sedang tidak ada tugas misi. Ia ingin mengerjakan tugas lain yang lebih penting.
Beberapa hari yang lalu Tsunade memberikannya sebuah buku yang ia sendiri belum mengetahui apa maksud Tsunade memberikan buku itu.
Yang jelas ia harus melihat dulu isinya, mungkin ada sebuah petunjuk atau maksud lain, entahlah. Ia berkali-kali membolak-balik buku itu tanpa melihat isinya.
Lalu Kakashi pun memutuskan untuk segera membuka cover buku itu, di sana tertulis. “Segenggam cinta dariku…Namikaze Minato… Ini buku harian sensei?” Ia mengejanya sembari terkaget-kaget. Ia pun membuka halaman berikutnya; ia menemukan tulisan aneh yang ia tak mengerti apa artinya.
“Ini tulisan Kushina-san…jangan-jangan ini… Bahasa antik klan mereka…” Ia menghembuskan nafas kuat-kuat.
Ya, Kakashi memang mengetahuinya. Dulu secara tidak sengaja tentunya. Ia memang tidak pernah melihat seperti apa wujud asli klan Kushina, namun kekuatan tersembunyinya pernah ia lihat secara langsung. Ceritanya sangat panjang, ia tidak mau mengingatnya karena kejadian itu akan mengantarnya pada kejadian yang lain yang paling menyakitkan baginya seumur hidup.
Tiba-tiba Kakashi merasakan sebuah tangan bergelayut di pinggangnya. “Kau sedang apa, Kakashi?”
Si ninja peniru itu lekas menoleh ke belakang. “Kurenai… Kenapa tidak mengetuk pintu dulu?”
“Maaf pintumu tidak kau kunci. Aku panggil berapa kali tapi kau tidak datang. Jadi aku masuk saja. Kau sedang apa?”
“Begitu? Aku hanya ingin membaca ini saja,” ucap Kakashi menunjukkan buku tadi pada Kurenai.
Ekspresi Kurenai yang biasa-biasa saja kemudian seketika berubah. “Kau membaca buku porno itu lagi?”
“Hahaha, ini bukan icha icha paradise, Nai-chan. Hanya buku biasa kok. Ngomong-ngomong di mana Hiruzen? Kau tidak membawanya?”
“Hm, baguslah kalau begitu… Dia kutitipkan pada Anko, aku sudah bilang padanya tadi aku ingin berduaan saja denganmu.”
“Dasar…” Kakashi segera bangkit dari tempat duduknya; ia menaruh buku tadi ke lemari, tidak ingin Kurenai melihat rahasia di dalamnya. “Kau sudah makan?”
“Ya, baru tadi saja. Kau…?”
Kakashi hanya mengangguk. Ia lantas mendekatkan tubuhnya pada tubuh ramping Kurenai sehingga tubuh mereka saling bersinggungan.
Lama mereka dalam keadaan seperti itu, saling menatap wajah satu sama lain. Scarlet dan onyx saling bertemu… Kurenai kemudian membuka perlahan masker yang selalu menutupi bagian mulut Kakashi secara perlahan. “Kau tidak kepanasan memakai ini terus?”
“Yah, sudah biasa sih,” jawab Kakashi sembari tersenyum. Ia membiarkan saja Kurenai melakukan aktivitasnya. Wajahnya yang selalu ia tutupi pun terlihat dengan jelas.
Kurenai tersenyum melihat wajah tampan pria di hadapannya. Kalau selama ini dia tidak membukanya, pastilah si ninja peniru ini akan menjadi primadoninya desa Konoha. Untung saja dia tidak melakukannya. Kemudian Kurenai teringat akan satu hal yang ingin ia bicarakan pada Kakashi. “Kakashi, kau tidak memberitahu semua orang kalau kita sudah menikah?”
Kakashi langsung terperanjat mendengar pertanyaan Kurenai. Itu adalah rahasia yang ia tutupi pada semua orang terdekatnya selama dua bulan terakhir ini. Ya, mereka telah menikah diam-diam dan belum tinggal satu atap bersama.
“Kurenai…aku—”
Kurenai tiba-tiba menaruh kepalanya di dada bidang Kakashi. “Tidak apa-apa, Kakashi; aku mengerti. Kau sedang banyak masalah akhir-akhir ini. Aku juga takut kalau nanti banyak orang mengatakan aku telah mengkhianati Asuma.”
“Sssttt…” Kakashi membelai rambut hitam si mata scarlet itu. “Aku tahu kau tidak seperti itu… Aku mengerti kau masih belum bisa melupakan Asuma.”
“Harus kuakui memang, tetapi aku ingin memulai kehidupan baru denganmu. Apa itu salah? Tidak ada orang yang bisa hidup seorang diri di dunia ini.”
Kakashi menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan. “Tidak…aku sabar menunggu. Aku malah sangat beruntung kau menerima lamaranku.”
“Itu karena aku juga ingin mencintaimu…” Kurenai makin mengeratkan dekapannya pada Kakashi. Ia kemudian merasakan tangan Kakashi menyentuh dagunya; mengangkatnya perlahan sampai ia menatap wajah si ninja peniru itu. Kurenai menyadari wajah Kakashi lama-lama semakin mendekat ke wajahnya sendiri. Ia pun memejamkan matanya.
Melihat respon Kurenai yang tidak menolak, Kakashi pun langsung mencumbu bibir merah Kurenai. Ia semakin mencengkram erat pinggul Kurenai dengan kedua tangannya, si kunoichi ahli genjutsu sendiri melingkarkan kedua tangannya di leher Kakashi. Hal ini membuat Kakashi tambah bersemangat merasakan bibir manis Kurenai. Tapi tiba-tiba Kurenai menghentikan aktivitasnya membuat Kakashi keheranan.
“Kau tahu mengapa aku datang ke sini, Kakashi?”
“Kenapa?” tanya Kakashi penasaran.
“Aku hanya ingin menuntut kewajibanmu yang belum kau lakukan, semenjak kita menikah dua bulan yang lalu.”
Mendengarnya Kakashi langsung blushing. Yah memang benar, mereka belum mengambil langkah kebih jauh untuk mengeksplorasi hubungan mereka. Bukan apa-apa, ada banyak hal yang membuat Kakashi tidak terburu-buru ingin melakukannya. “Eh? Ma-Maksudmu k-kau ingin melakukannya sekarang?”
Kurenai mengangguk malu.
Entah mengapa Kakashi jadi semakin dag dig dug. “Kau yakin?”
“Seratus persen,” ujar Kurenai sembari tersenyum.
Kakashi mencoba mencari kepastian lagi. “Bu-Bukannya lebih bagus malam kita melakukannya?”
“Nanti malah mencurigakan, kau belum ingin hubungan kita ketahuan yang lain ‘kan?”
“Me-Memang benar, ta-tapi—”
Kurenai tertawa kecil melihat kegugupan suaminya itu. “Kau tak perlu takut, Sayang. Kita ini suami istri, tak ada larangan untuk melakukannya.”
“Ya, hahaha. Aku hanya ingin memastikan.”
Kurenai segera membuka perban yang menggulungi tangannya perlahan. Ia melihat Kakashi merapalkan jutsu yang ia tak tahu jutsu apa itu. “Kau sedang apa?”
“Aku mengaktifkan jutsu peredam suara.” Ia pun segera menutup jendela dan membiarkan kamarnya sendiri dalam keadaan gelap. “Begini lebih baik ‘kan?”
Kurenai tersenyum manis.
“Kau siap, Manisku?” tanya Kakashi sembari mendekatkan dirinya pada istrinya lagi. “Akhirnya aku bisa juga mempraktekkan buku yang bertahun-tahun aku baca,” ucapnya sembari tersenyum menyeramkan.
Kurenai tertawa kecil mendengarnya. Ia lalu merasakan Kakashi mulai melucuti pakaiannya satu per satu.
Lantas ruangan itu layaknya dikerumuni oleh kupu-kupu. Mereka berterbangan ke segala arah terlihat bahagia walau kelihatan sedang banyak masalah. Hari ini dua insan bersatu dalam satu ikatan yang akan sulit untuk diputuskan begitu saja. Mereka saling melenguhkan nama satu sama lain sampai suara dan tenaga mereka habis…
Time skip di depan jalan menuju Rumah Sakit Konoha.
Hinata hari ini memutuskan untuk menjenguk Sasuke kembali. Ia membawa sekuntum bunga lavender dan satu keranjang buah pear di tangannya. Sebenarnya ia tidak ingin repot-repot, tapi rasanya tidak sopan jika menjenguk orang yang sakit tudak membawakan oleh-oleh. Setidaknya bisa menghibur orang yang ia jenguk. Ia pun tidak ingin terburu-buru; melangkahkan kakinya dengan yang biasa ia lakukan.
“Hinata!”
Tiba-tiba ada sebuah suara yang menyapanya dari arah belakang. Hinata pun menoleh ke sana. “Ino. Ohayou.”
“Ohayou,” balas Ino. Ia kemudian memperhatikan barang bawaan Hinata. “Kau ingin menjenguk seseorang?”
“Ah, ya Ino,” ucap Hinata malu-malu.
Ino memperhatikannya dengan tersenyum. “Akhir-akhir aku perhatikan kau tidak terbata-bata lagi ya, Hinata? Oh ya kau ingin menjenguk siapa?”
Mereka kemudian masuk ke dalam rumah sakit.
“Aku sendiri juga tidak tahu, refleks saja sepertinya. Ehm, aku ingin menjenguk Sasuke-kun.”
“Eh?” Ino terperanjat mendengarnya. Ia ingin bertanya satu hal pada Hinata, tapi ia tidak lakukan karena ada seseorang yang lain yang menarik perhatian matanya.
Dari arah berlawanan tampak Shikamaru berjalan menuju pintu utama rumah sakit.
“Shikamaru-kun, Ohayou,” sapa Hinata tiba-tiba.
“Ohayou, Hinata.” Shikamaru membalas sapaan Hinata, kemudian ia menatap Ino dengan wajah datar. “Ohayou…”
“Ohayou…,” balas Ino lirih. Ia memperhatikan Shikamaru yang perlahan-lahan meninggalkannya; ia ingin membicarakan suatu hal pada si ninja jenius itu tapi ia takut mood sedang Shikamaru tidak bagus. Bisa-bisa ia dibentaknya lagi.
Hinata yang menyadari keanehan itu langsung saja mencoba memecahkan keheningan. “Kau tidak apa-apa, Ino? Sedang ada masalah dengan Shikamaru-kun?”
“Ah? Kami baik-baik saja kok, hanya saja Shikamaru sedang sibuk akhir-akhir jadinya kami jarang bertemu,” dalih Ino. Ia memperhatikan Shikamaru yang sudah jauh berjalan di belakangnya; ia lalu kembali berjalan sesuai arah tujuannya datang ke rumah sakit.
Sementara itu Shikamaru menghentikan jalannya dan menoleh ke arah belakang. Ia memperhatikan Ino yang berjalan semakin jauh ke dalam rumash sakit Konoha. “Palingan dia mau ke tempat Sasuke lagi. Untunglah tadi aku buru-buru pergi sehingga dia tidak mengajakku berbicara…” Shikamaru memandang langit di atasnya yang cukup terang saat ini. “Aku tidak ingin membentak Ino lagi…”
Fanfiksi Naruto: Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki Chapter 3
Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from ‘HEART’. Semi-Crossover with the Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. AU.
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure.
Selamat Membaca, Kawan ^^
.
.
Sedangkan di lain tempat, Chouji berusaha untuk menghibur Ino. “Ino, maafkan Shikamaru. Jangan ambil hati kata-katanya barusan. Shikamaru sedang dalam masalah besar saat ini. Kau menyadarinya ‘kan? Dia tak henti-hentinya menghisap rokok sejak kita berkumpul tadi.”
Ino menyeka airmatanya. “Memangnya ada apa sebenarnya, Chouji?”
Chouji menatap Ino dengan prihatin. “Ini…tentang hilangnya Naruto…”
.
.
Chapter 3
Pewaris Earendell
.
.
Yamanaka Ino menatap wajah chubby Chouji dengan perasaan tak enak di hatinya. Ada apa lagi ini? Padahal masalah yang menimpa desa mereka belum usai sepenuhnya, namun sepertinya masalah lain tiba-tiba menghampiri tanpa terprediksi.
“Yang aku dengar kemarin Daimyou-sama (Pemimpin Negara Hi) datang ke Konoha untuk berunding dengan Hokage-sama. Di perundingan itu Daimyou-sama memutuskan…” Chouji mengambil nafas sejenak; dahinya mengerut.
Ino pun kian penasaran dengan apa yang pewaris klan Akimichi itu ingin utarakan. “Memutuskan apa Chouji?”
“Beliau memutuskan, jika tim investigasi tidak bisa menemukan petunjuk tentang keberadaan Naruto, maka Naruto akan dianggap KIA (Killing In Action),” ucap Chouji kemudian.
Mata cerulean Ino langsung terbuka lebar. “A—Apa?! Kenapa Daimyou-sama memutuskan hal itu? Harusnya beliau tidak memiliki hak untuk—”
“Keadaan sedang kacau, Ino.” Chouji tiba-tiba memotong kalimat Ino. “Setelah jinchuuriki Hachibi tertangkap Akatsuki beberapa waktu lalu, keadaan semakin tegang. Lima Negara Elemental sebentar lagi akan melakukan perundingan besar untuk membahas penyerangan terhadapa Akatsuki. Daimyou-sama memutuskan hal itu karena apa yang Konoha kabarkan tentang Naruto sama sekali tidak jelas. Sementara para petinggi Negara Elemental meminta kejelasan agar mereka bisa segera mengambil tindakan preventif.”
“Aku masih tidak mengerti. Bukankah itu terlalu cepat?” Ino tiba-tiba menjadi gundah gulana. Naruto akan dianggap mati? Sungguh itu adalah keputusan yang sangat despotis. Penduduk desa pasti tidak akan rela dengan hal ini. Naruto adalah pahlawan bagi mereka; mereka sangat berharap Naruto bisa kembali ke Konoha.
“Daimyou-sama, memberikan waktu satu bulan untuk tim investigasi melaksanakan tugasnya. Dengan begitu Shikamaru masih punya waktu dua minggu lagi, tapi jika ia melewati waktu yang telah diputuskan…” Chouji terdiam; ia tak mampu melanjutkan kata-kata yang terbelenggu dalam hatinya. Bukankah kematian adalah hal yang sulit untuk diuraikan melalui sebuah ucapan? Terlebih yang mengalami adalah orang terdekat mereka.
Ino mematung sembari menutup mulutnya. Jujur saja, ini bukanlah kabar yang baik. Terutama untuk Sakura. Ia tak yakin sahabatnya itu bisa menerima kenyataan ini. “Kau tahu semua ini dari mana, Chouji?”
Chouji mengambil nafas sejenak. “Tadi malam Shikamaru menjelaskan semuanya padaku.”
Ino merenung sejenak; ia tertunduk lesu. Kenapa hanya pada Chouji Shikamaru menceritakan kelu kesahnya? “Shikamaru…dia… Apa dia masih marah padaku karena soal kemarin? Yang di rumah sakit itu…”
Chouji menatap teman setimnya itu dengan waswas. Ia tahu betul Shikamaru bukan bermaksud marah pada Ino. Ada sisi lain dari diri Shikamaru yang Chouji ketahui tapi tidak diketahui oleh Ino. Pada akhirnya yang ia katakan, “Aku tidak tahu pasti, Ino. Shikamaru memang menceritakan masalahnya ini tadi malam. Tapi dia tidak pernah membahas hal kemarin itu padaku.”
“Tapi Chouji—”
“Shikamaru merasa tidak berguna, Ino.” ‘Saatnya kita bermain tebak-tebakan,’ ucap Chouji dalam hatinya.
“Eh?” Ino memiringkan kepalanya; tak sepenuhnya mengerti apa yang Chouji ucapkan.
“Dia merasa tidak berguna karena tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Dia merasa tidak berguna karena tidak bisa menyelamatkan temannya.”
Mata biru laut Ino semakin terbuka lebar. Sepenggal kalimat tajam Shikamaru tadi terlintas di benaknya.
“Kenapa kau tidak pindah saja ke tim 7, Ino? Mumpung ada lowongan untukmu…”
“Ja—Jadi begitu…,” lirih Ino. Ia kini sedikit mengerti mengapa Shikamaru bersikap seperti itu kepadanya walaupun ada sebagian dari diri pewaris klan Nara itu yang tidak dapat Ino tembus. Sudah lama ia merasakannya; seakan ada sebuah tembok besar yang menghalanginya untuk menelusuri lebih dalam sifat Shikamaru. Dan ia merasa Shikamaru juga tidak mengizinkan ia untuk lebih masuk ke dalam.
“Cobalah mengerti Shikamaru lebih dalam lagi. Dia memang banyak berubah semenjak Asuma-sensei meninggal. Tapi sebenarnya dia juga membutuhkan perhatianmu, Ino.”
“Heh?” Ino tiba-tiba mendongakkan kepalanya menatap Chouji dengan raut wajah heran. “Apa maksudmu, Chouji?”
“Kau…harus mencari jawabannya sendiri, karena aku sendiri tidak mengetahuinya dengan pasti. Hehe. Daaa…” Chouji pun segera mengambil langkah seribu untuk meninggalkan Ino.
“Tu—Tunggu, Chouji!”
“Aku mau mengantar Kurenai-sensei dulu ke rumahnya. Kau pulang sendiri tidak apa-apa ‘kan?”
Ah, ada apa dengan Chouji ini? Bicaranya tiba-tiba saja jadi ngelantur. Ino jadi tak mengerti harus bagaimana menanggapinya. “Kau belum menjawab pertanyaanku!”
“Sudah kubilang kau harus mencari jawabannya sendiri, Ino. Hehehe.” Kemudian Chouji segera menghilang dari pandangan Ino, meninggalkan gadis blonde itu tercenung di tempatnya.
“Shikamaru membutuhkan perhatianku? Apakah selama ini aku kurang perhatian padanya?” tanya Ino pada dirinya sendiri.
Time Skip Uzumakigakure
Uzumaki Kushina sedang menuju ke kuil utama rumah besar Uzumakigakure, tempat ayahnya biasa menghabiskan waktu. Kemarin-kemarin dia berada di paviliun peristirahatan para penghuni rumah besar di dekat tebing yang menghadap ke lautan lepas Aear (laut). Tempat itu ia pilih karena cocok untuk Naruto yang sedang dalam masa pemulihan.
Kushina memacu kuda yang ditungganginya lebih cepat. Ia telah melewati jembatan Gelair (bintang) yang di bawahnya mengalir sungai Menel (surga) yang alirannya berakhir di lautan Aear.
Sampai di gerbang masuk rumah utama—yang diapit oleh pepohonan Plum lebat, Kushina membelokkan kudanya ke arah kanan. Ia segera turun dari kudanya dan berlari kecil menuju paviliun.
Kalau tidak berada di balairung, pasti ayahnya sedang duduk di paviliun kecil yang berdiri di samping rumah utama—beratap seperti atap kuil—sambil membaca buku. Dan dugaannya salah satunya ternyata benar adanya.
“Mani naa lle umien, Ada? (Apa yang kau lakukan, Ayah?)” tanya Kushina setibanya di pekarangan paviliun. Ia mendongakkan kepalanya ke atas; memandangi ayahnya yang sedang duduk di pinggir pagar paviliun sembari membaca buku.
“Kushina.” Uzumaki Miyazaki segera berdiri dari tempat duduknya. Ia sedikit terkejut dengan kehadiran anak semata wayangnya yang tiba-tiba datang tanpa memberi tahu terlebih dahulu.
“Tou-sama, apa yang kau lakukan pada Naruto?” Kushina segera menaiki anak tangga sembari melepas jubah merahnya ke lantai. Tak peduli akan kotor atau tidak, yang jelas ia sedang terburu-buru saat ini. Dia pun tidak memberi salam pada ayahnya terlebih dahulu.
“Dimana sopan santunmu, Kushina? Ini masih di wilayah rumah besar. Apa kau tahu apa itu tata krama?”
“Goheno nin, Ada (Maafkan aku, Ayah). Aku sedang terburu-buru; aku ke sini ingin menanyakan sesuatu. Lagipula aku ingin berbicara sebagai anak dan ayah, bukan sebagai pemimpin dan anak buah.” Sejak dulu Kushina memang sangat malas untuk menuruti pranata rumah besar Uzumakigakure. Menurutnya itu membuang-buang waktu dan kadang membuat kepala pusing.
Mantan pemimpin Uzumakigakure itu terlihat berpikir di benaknya. Secara fisik ia sangat mirip dengan Kushina. Rambutnya yang berwarna merah darah memanjang hingga ke pinggang dan dikuncir separuh ke belakang. Warna iris di matanya pun sama dengan iris Kushina yaitu berwarna merah. Hanya saja bola mata ayahnya terlihat lebih kecil dan tajam sehingga lebih menunjukan ketampanannya. Mereka tampak seumuran, padahal umur mereka terpaut kira-kira seratus tahun lamanya. Karena itu adalah salah satu kelebihan yousei, mereka diberi umur panjang dengan fisik muda belia walaupun umur mereka sudah ratusan tahun.
“Mankoi lle uma tanya, Ada? (Kenapa kau melakukannya, Ayah?)” tanya Kushina; airmukanya pun menegang.
“Apa maksudmu, Kushina?”
“Apa kau ingin membunuh Naruto, Tou-sama?”
Miyazaki menatap serius anaknya itu. “Kenapa kau berkata seperti itu? Naruto adalah cucuku,” jawabnya tenang. Namun Kushina bisa merasakan nada dubius dari ucapan ayahnya.
“Dia adalah peredhil (setengah yousei dan manusia). Aku tahu kau membenci manusia, Tou-sama. Tapi tak seharusnya kau memberinya mimpi seburuk itu.”
Miyazaki mengerutkan dahinya sedikit. Ia kemudian memandangi pegunungan Galad (cahaya) yang melindungi kawasan Uzumakigakure dari lingkar luarnya. “Aku hanya memperlihatkannya tentang masa depan dan juga memberitahunya bahwa manusia itu tidak dapat dipercaya.”
Kushina sedikit gemetar mendengar pernyataan ayahnya. “Kau ingin membuat Naruto membenci manusia, Tou-sama? Dan juga tidak ada yousei mana pun yang bisa melihat masa depan secara akurat.”
Miyazaki memandangi Kushina kembali. “Kau meragukan kekuatanku? Kenapa kau tidak mencoba menelusuri kenangan masa lalu Naruto, Kushina? Sama seperti dirimu dulu, manusia tidak memperlakukan dirinya dengan layak. Melihatnya saja hatiku seperti teriris-iris.”
Kushina terdiam sebentar; ia mengerti apa yang ayahnya maksud. Namun yang ia sebutkan itu benar. Walaupun diberi anugrah mata yang bisa menerawang masa depan, ramalan yousei tidak selalu benar sepenuhnya. Sembari menunduk, ia pun setengah berbisik, “Aku tidak akan pernah melakukannya…”
“Lihat… Kau sendiri takut untuk melihatnya ‘kan?”
Kushina menatap kosong ayahnya. “Membayangkannya saja aku tak berani, apalagi melihatnya?”
Miyazaki memperhatikan anaknya itu dengan tatapan nadir, kemudian ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah utama melalui koridor kecil yang menghubungkannya ke paviliun tadi.
Kushina pun mengikutinya dari belakang. Mereka menuju ke balairung rumah besar Uzumakigakure yang terlihat sepi. Hanya ramai apabila ada pertemuan antara rumah besar dengan kalangan rakyat jelata. Balairungnya lumayan besar, sekitar 25x50 meter.
Sembari menelusuri balairung, Miyazaki pun memulai lagi obrolan mereka. “I amar prestar aen, Kushina (Dunia telah berubah, Kushina). Bagaimana kau bisa bertahan dengan segala penderitaan yang kau alami selama ini? Satu-satunya yang kau cintai telah tiada.” Ia tatap anaknya itu dengan airmuka tegas.
Kushina menghirup nafas sejenak. Sepertinya obrolan mereka akan bertambah berat topiknya. “Aku masih memiliki, Naruto. Lagipula Minato hanya mati suri, jiwanya ikut terbelenggu di perut Naruto pada saat penyegelan Kyuubi dulu. Kalau nanti segelnya terbuka Minato bisa—”
“Minato tidak akan bisa kembali ke sini Kushina. Meski jiwanya telah kembali ke raganya sendiri. Dia tidak akan bisa keluar dari Valinor, jadi kaulah yang harus mengunjunginya ke sana.”
“Ada (Ayah)…” Kalimat ayahnya itu begitu menusuk di hati Kushina.
“Aku tak akan memberi toleransi lagi kepadamu, Kushina. Kau harus membujuk Naruto agar ia mau pergi ke Valinor setelah misimu usai nanti. Dia berhak untuk tinggal bersama kedua orangtuanya dan meninggalkan dunia fana yang penuh dengan penderitaan ini.”
Di antara dinding balairung sebelah kanan terdapat lorong besar. Di tembok lorong tersebut terpahat suasana yang menggambarkan sebuah tempat dengan Jinja-jinja (Kuil) besar yang berdiri di pinggir laut lepasnya yang biru. Burung-burung camar terbang di atasnya. Kuil-kuil itu berdiri di hamparan rumput hijau yang terlihat sangat asri. Dermaganya pun sangat luas, menunjukkan betapa gagah kekuatan maritimnya.
Itulah gambaran Valinor yang sangat eksotik. Belum lagi jika melihatnya secara langsung, entah kata-kata apa yang pas untuk menjabarkan keindahannya.
“Valinor, tempat persinggahan terakhir para yousei. Apabila mereka mati, jiwa mereka akan pergi ke sini. Atau juga mereka bisa mengunjungi tempat ini dengan perahu tanpa bisa kembali lagi ke dunia. Tempat persinggahan terakhir kita berbeda dengan manusia, anakku,” ujar Miyazaki sembari menatap pahatan panorama Valinor yang di pahat di atas dinding yang terbuat dari batu pualam.
Namun Kushina punya alasan lain untuk mempertahankan Naruto tinggal dengan orang-orang terdekatnya dan tentu saja itu bukan dirinya atau ayahnya sekali pun. “Bumi adalah tempat di mana Naruto tinggal, Tou-sama. Aku terlalu lama menelantarkannya. Jadi dia berhak memilih; karena itu aku tak ‘kan memaksanya untuk pergi ke Valinor.”
Miyazaki menatap tajam Kushina. “Naruto terlalu banyak mengalami penderitaan. Kesengsaraan terlalu lama bertumpu di pundaknya. Dikhianati, dibenci, dan dicacimaki; aku bisa melihat semua penderitaan itu ketika aku menerawang masuk ke dalam pikiran Naruto. Mungkin saja ia bisa memaafkan segala kejahatan manusia-manusia itu terhadapnya, tapi jauh di lubuk hatinya, dia tidak sepenuhnya bisa melupakan segala kepedihan itu. Kau tahu ‘kan anakku? Yousei memiliki hati yang rapuh.”
Pernyataan Miyazaki memang ada benarnya. Kushina sangat mengerti bagaimana rasanya menjadi jinchuuriki yang dibenci oleh orang banyak. Namun Naruto berhasil mengubah persepsi orang-orang dingin tersebut terhadapnya ‘kan? Maka apalagi yang harus dipermasalahkan? “Kita tidak bisa berasumsi bahwa semua ini adalah kesalahan manusia, Tou-sama. Aku mengetahuinya karena selama ini aku selalu mengawasi Naruto dari kejauhan. Apa yang terjadi tidak seburuk dengan yang Tou-sama pikirkan,” dalih Kushina.
Dikatakan seperti itu, Miyazaki jadi teringat akan dosa masa lalu kaum yousei yang harus ditebus dengan hal yang tak sebanding dengan yang mereka mampu lakukan. Kesalahan seorang yousei yang harus dibayar oleh semua yousei klan Uzumaki.
Miyazaki memincingkan matanya. “Apa kau lupa Kushina? Salah satu anak Rikudou Sennin yang menyebabkan semua kekacauan ini. Aku dulu mengusir dan menghilangkan kekuatannya agar kejahatannya tidak mempengaruhi kedamaian yang ada di Uzumakigakure. Tetapi yang terjadi ‘dia’ malah mengacaukan segalanya lebih dari apa yang aku bayangkan. Dia bercampur dengan manusia dan membuat kekacauan di muka bumi.”
Kushina geriap mendengar ucapan ayahnya. Ia tahu keturunan mana yang dimaksud oleh ayahnya. “Aku mengerti apa yang telah terjadi, Tou-sama. Tapi salah satu dari keturunan mereka akan memperbaiki kesalahan leluhurnya dulu. Dan kita harus mendukung dan membantunya tanpa mengingat-ingat lagi dosa apa yang telah ‘dia’ perbuat.”
“Kalau saja aku tak memberi Earendell secara diam-diam kepadamu, kau dan Naruto tak akan pernah selamat dari jeratan keturunan terkutuk itu!” umpat Miyazaki tiba-tiba.
Kushina lantas terdiam dan menatap datar ayahnya. “Alasan utama Tou-sama memberikan Earendell padaku, karena kau tak percaya sepenuhnya dengan Minato ‘kan, Tou-sama?”
“Ya, aku tak mempercayainya, Kushina. Dan apa yang aku pikirkan benar adanya ‘kan? Dia malah memilih mengorbankan dirinya sendiri dan menyegel Kyuubi ke tubuh anaknya yang baru lahir. Padahal seharusnya ia tahu, tubuh Naruto tidak akan kuat menampung kekuatan jahat Kyuubi yang sangat besar itu. Dia malah membiarkan anaknya menderita.”
Kushina pun terkejut dengan pernyataan ayahnya. “Tou-sama, bukan maksud Minato untuk membuat Naruto menderita!”
“Kalau begitu kau harus bisa mengeluarkan Naruto dari lingkaran penderitaannya!” ucap Miyazaki frontal. “Earendell sudah tak memancarkan cahayanya lagi di muka bumi. Tanpa itu, yousei mana pun tidak akan bisa hidup lama di dunia. Walaupun Naruto adalah peredhil (setengah yousei dan manusia), dia tak kan mampu bertahan di sini. Kau harus mengerti, Kushina. Aku tak akan menuruti kerasnya kepalamu lagi!”
Earendell, bintang utara yang selalu muncul berdampingan dengan terangnya bulan purnama di pergantian bulan. Dari situlah yousei tercipta. Pancaran cahayanya-lah yang melindungi para yousei dari marabahaya. Miyazaki sempat mengambil salah satu bintang itu dan menjadikannya anting berbentuk mawar pada Kushina. Tujuannya adalah agar anak semata wayangnya itu tidak menjadi manusia utuh kala ia memutuskan untuk tinggal bersama Minato. Dan Miyazaki memang melakukannya dengan diam-diam.
Kushina sendiri memanfaatkan kekuatan dari anting itu untuk menumbuhkan Kanina Rosu yang bisa menyembuhkan luka parah seseorang. Pada saat perang dunia ninja ketiga, kekuatan tersebut benar-benar menolong orang banyak.
“Aku tahu, aku tidak bisa menumbuhkan Kanina Rosu* lagi tanpa bantuan kekuatan dari antingku ini. Tapi yang ku tak habis pikir, ternyata antingku ini adalah penjelmaan Earendell. Sebegitu bencinya-kah kau terhadap manusia, Tou-sama? Hingga kau tak menginginkan aku menjadi manusia ”
Hembusan angin tiba-tiba masuk ke balairung; menggeraikan rambut merah mawar Kushina hingga melambai-lambai di udara. Bisa Miyazaki perhatikan Earendell—yang disamarkan menjadi anting mawar tersemat di telinga anaknya itu—berpendar sekilas; sedikit menarik perhatiannya.
Ia pun buru-buru mengedipkan matanya. Tidak mungkin. Ya, tidak mungkin Earendell bersinar lagi. Waktu mereka sebentar lagi telah habis di dunia ini. Ia pun pada akhirnya tidak mempedulikan kilatan cahaya itu.
“Q, ónen i-Estel bow firimar (Ya, aku tidak menaruh harapan pada manusia).”
Kushina rasa-rasanya ingin menangis, tetapi ia sudah cukup kuat menghadapi segala persoalan yang menimpanya selama ini. Ia simpan airmatanya hanya untuk belahan jiwanya seorang.
“Aku menyetujui hubunganmu dengan Minato karena aku memiliki rasa sayang yang besar kepadamu.” Miyazaki mengucapkan kalimat itu sembari membelakangi anaknya. “Aku tak ingin lagi ada manusia atau Uzumaki lain yang dikorbankan untuk menampung kekuatan jahat bernama bijuu. Satu-satunya cara yang harus dilakukan hanyalah menyegel bijuu-bijuu itu kembali di lingkar luar Uzumaki. Aku mempercayai hal itu kepadamu, Kushina. Sebagai persiapan aku juga nanti akan melatih fuuinjutsu andalan kita pada Naruto jika dia sudah bangun nanti. Aku berharap dia bisa mengendalikan keempat hewan titisan para dewa.”
Kushina hanya termangu mendengarnya. Ia mengerti kenapa ayahnya tidak langsung ikut ke dunia manusia untuk menyelesaikan misi besar mereka. Untuk itu ia urung menanyakannya. Dan ia merasa sudah saatnya ia pergi dari tempat itu. Matahari mulai merangkak naik.
“Aku akan menjadikan Naruto sennin terhebat melebihi Rikudou Sennin,” ucap Miyazaki lagi.
Kushina memperhatikan pemandangan luar dari jendela besar di lorong itu. “Kalau begitu aku permisi dulu, Tou-sama. Aku akan pergi ke Konoha sebentar mencari tanduk rusa untuk Naruto.”
Miyazaki memandangi anaknya kembali dan menganggukkan kepalanya pelan. “Berhati-hatilah…”
Kushina pun membungkukkan tubuhnya sejenak pada ayahnya dan segera beranjak dari sana. Namun baru beberapa langkah ia menghentikan gerakan kakinya. “Tou-sama…”
“Hn?”
“Aku hanya ingin memberitahukan satu hal. Manusia…tak seburuk yang Tou-sama kira.” Kushina menghembuskan nafasnya perlahan. “Dan juga… Gerich meleth nîn, Ada (Rasa sayangku selalu ada untukmu, Ayah).”
Kushina pun segera keluar dari bangunan utama rumah besar Uzumakigakure. Ia pun berharap semoga mimpi yang ayahnya berikan pada Naruto tak berdampak buruk bagi anaknya itu. Namun yang harus ia lakukan sekarang adalah ia harus dapat membangunkan Naruto dari tidur panjangnya.
.
0o0o0o0
.
Matahari mulai memperlihatkan kemegahannya di ufuk timur. Sinarnya lamat-lamat memasuki celah jendela kamar seorang gadis yang selama dua minggu ini tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sungguh malas dirinya mengarungi segala kegiatan yang terlihat tak ada artinya ini.
Haruno Sakura akan memulai aktivitasnya lagi. Tidak banyak kegiatan yang akan dia lakukan. Hanya membantu para dokter di rumah sakit setelah itu ia akan kembali lagi ke rumahnya. Ia pun bangkit dari tempat tidurnya yang berantakan; hanya menggosok gigi lalu mengganti baju dengan baju ninja yang biasa ia pakai.
Hanya beberapa menit ia berkaca; ia tak mau memandangi wajahnya terlalu lama. Karena wajahnya yang seputih kapas semakin terlihat seperti hantu yang bergentayangan di pagi hari. Ia sendiri pun tak tahu akan sampai kapan dirinya lusuh seperti ini.
Sakura memandangi jam dindingnya. Baru pukul tujuh pagi, sedangkan kegiatan di rumah sakit mulai pukul delapan. Masih ada waktu satu jam lagi; ia sendiri enggan cepat-cepat ke sana. Ia pun akhirnya duduk kembali di atas tempat tidurnya yang baru saja ia rapikan.
Kemudian Sakura alihkan pandangannya ke arah jendela yang kini terbuka lebar, membiarkan angin pagi masuk ke dalam kamarnya yang temaram. Sebenarnya bukan pemandangan luar yang sedang ia pandangi, melainkan secarik kertas yang menggantung di tengah-tengah jendela.
Sakura mengaitkannya dengan tali dan digantung di paku yang ada di pinggiran jendela bagian atas.
Tak bosan ia pandangi kertas itu saban hari. Panorama isi hati milik seseorang yang ia rindukan kehadirannya terlukis di sana. Terduduk di kursi roda sembari merentangkan tangan; mengambil beberapa guguran bunga sakura yang jatuh ke bumi.
Lantas siratan mozaik-mozaik perasaannya terpampang di sana. Entah lara atau bahagia, namun sungguh isi dari siratannya mengoyak-ngoyak hati si ninja medis itu. Yang jelas kini ia tahu bahwa Naruto...
Aku memang terlanjur mencintaimu, Sakura-chan.
Tapi aku tak akan pernah mengemis cinta itu padamu.
Sakura mengatupkan matanya rapat-rapat. Tak pernah terpikir olehnya si baka itu memiliki perasaan yang begitu dalam padanya. Bukan rahasia lagi memang; Sakura mengetahui bahwa Naruto mempunyai perasaan khusus padanya. Namun bukankah begitu wanita pada umumnya? Tak hanya sebuah perlakuan, mereka juga butuh kata-kata semanis madu yang diuraikan tulus dari hati sang pendamba untuk menyatakan kepastian perasaan lelaki itu terhadap dirinya.
Barangkali Naruto bukanlah sosok yang pintar merangkaikan kata indah untuk gadis yang ia cinta. Barangkali ia merasa tak patut untuk menyatakannya karena ia merasa kerdil tak punya apa-apa. Namun Sakura pada akhirnya mengerti sebenarnya Naruto memang tak mengharapkan apa-apa darinya.
Karena aku menyadari kau tak akan pernah membalas cintaku.
Karena itu biarkan aku menepati janjiku.
Flashback On
“Na—Naruto… A—Aku punya permohonan padamu. Aku tidak bisa melakukannya. Hanya kau… Hanya kau yang bisa membujuk Sasuke-kun kembali ke Konoha.”
“Kau sangat mencintai Sasuke ‘kan, Sakura-chan? Aku bisa memahami perasaanmu itu. Tenang saja, Sakura-chan! Aku akan membawa Sasuke pulang, ini janji seumur hidupku!”
Flashback Off
Nyatanya…lebih dari yang ia bayangkan selama ini…
Naruto benar tidak main-main dengan apa yang ia pegang. Tidak ada terlontar pernyataan cinta yang keluar dari mulutnya. Tapi dengan apa yang telah ia korbankan…
Kini Sasuke memang telah kembali ke Konoha. Meski datang dengan luka, tetapi Sakura berhasil menyembuhkannya. Namun tidak untuk teman setimnya yang lain.
Bukankah untuk mendapatkan kembali sesuatu yang sangat berharga yang sempat lipur itu, kau harus siap kehilangan sesuatu berharga yang lain?
Namun sungguh, bukan hal seperti ini yang Sakura inginkan. Ia sangat berharap tim investigasi Konoha berhasil mendapatkan informasi tentang keberadaan Naruto.
Sakura mengerti dia tidak pantas mendapatkan cintanya si blondie itu. Berkali-kali ia menyakiti perasaan Naruto. Mencacinya, memandangnya sebelah mata, membanding-bandingkannya dengan Sasuke, mempermainkan perasaannya…tapi sebenarnya ia tak bermaksud seperti itu padanya. Ia hanya belum mengerti luar-dalamnya jinchuuriki Kyuubi itu.
Saat dia telah paham; jika tidak terlambat ia ingin mengatakan bahwa ia juga memiliki perasaan yang sama.
Walau raganya tidak ditemukan, setidaknya ia tahu Naruto masih hidup atau tidak. Walau perasaan Naruto akan berubah terhadapnya, setidaknya teman baiknya itu tahu kalau dia adalah orang yang paling berharga yang ia miliki selama hidupnya. Kalau begini terus lama-lama ia bisa menjadi sakit jiwa
Sakura segera menyeka airmatanya yang kadung keluar. Ia memutuskan untuk lebih cepat keluar dari rumah. Ia teringat bahwa ia harus ke toko obat klan Nara dulu untuk membeli tanduk rusa. Persediaan di rumah sakit telah habis dan beberapa pasien membutuhkannya.
Diam-diam ia keluar dari kamarnya dan menuruni anak tangga secara perlahan agar tidak ketahuan oleh ibunya. Sakura tidak punya muka untuk bertemu dengan ibunya. Ia tak ingin membuat ibunya depresi karena keadaannya yang seperti ini.
Sesampai di depan pintu; ia membukanya secara perlahan.
“Ohayou, Sakura-san.”
Sakura termangu melihat sosok yang berdiri di depannya ketika ia membuka pintu. Sosok itu tersenyum padanya. Mulutnya tiba-tiba menjadi terbuka. Entah mengapa ia menginterpretasikan sosok itu lain dari kenyataan yang ada.
“Ohayou, Sakura-chan!” Dalam pikiran Sakura, di sana berdiri Naruto yang menyapanya sembari menunjukkan cengiran khasnya.
“Naruto!” Sakura pun tiba-tiba mendekap sosok itu ke pelukannya. Dan tersenyum lebar. Sontak sosok itu menjadi kaget.
Sosok itu pun buru-buru melepaskan pelukan Sakura. “Sakura-san, ini aku!”
“Hah?” Sakura mulai kelimpungan dan mengerjapkan matanya.
“Ini aku. Sai!”
“Sa—Sai?” Sakura membuka matanya lebar-lebar. Dan ternyata benar Naruto yang dilihatnya tadi adalah ilusi belaka. Nafasnya jadi memburu. Ia menggerayangi kepalanya sendiri dengan kedua tangannya.
“Kau tidak apa-apa, Sakura-san?” tanya Sai khawatir.
“Ya, aku tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing.”
“Kalau begitu kau ingin masuk lagi ke dalam rumahmu?”
“Ah, tidak perlu, Sai. Aku ada kerjaan di rumah sakit dan tidak boleh terlambat.”
“Oh, begitu. Baiklah.”
Sakura mulai berpikir di benaknya. Ada apa lagi dengan dirinya sekarang? Kenapa ia bisa berilusi seperti ini?
“Sakura-san,” panggil Sai membuyarkan pikiran Sakura.
“Ah, ya, Sai. Ada perlu apa kau kemari? Bukannya kau baru keluar rumah sakit kemarin siang?”
“Aku ingin bicara saja denganmu sekalian menge-check lukaku, Sakura-san. Tadi sebenarnya aku sudah mampir ke rumah sakit tapi senpai di sana bilang jam kerjamu mulai jam delapan. Maka dari itu aku langsung ke sini.”
“Oh, begitu.” Sakura menutup pintu rumahnya perlahan. “Ngomong-ngomong apa yang ingin kau bicarakan padaku?”
“Sambil jalan ke rumah sakit saja kita bicarakan, bagaimana?”
“Boleh, tapi aku ingin ke toko obat klan Nara dulu.”
“Tidak apa-apa,” tukas Sai. Ia memperhatikan wajah Sakura. Ia tahu si ninja medis itu sedang dalam keadaan terpukul akhir-akhir ini.
Sebenarnya Sakura sedikit malas berinteraksi dengan temannya. Tapi untuk Sai, entah mengapa ada sesuatu hal yang penting yang ingin ia tahu tentang Naruto. Karena Sakura tahu, orang yang terakhir kali bersama dengan Naruto adalah Sai. Ia ingin mendapatkan informasi tentang si blondie darinya.
Sementara itu di suatu tempat jauh di dalam hutan.
“Madara-sama, anda baik-baik saja?” Kisame menghampiri tuannya yang sedang menatap lurus ke hutan belantara yang menjadi tempat persembunyian mereka.
“Ya, tidak apa-apa. Bagaimana dengan Zetsu?”
“Keadaannya makin membaik dari ke hari, Madara-sama.”
Madara menghembuskan nafasnya perlahan. “Bagus kalau begitu.”
“Madara-sama…”
“Hm?”
“Apa rencana kita selanjutnya?”
“Rencana? Tentu saja rencana yang telah kita buat sebelumnya akan kita lakukan, Kisame. Hanya saja kita sekarang kekurangan pasukan untuk menciptakan kekacauan yang besar. Aku membutuhkan pasukan yang sangat kuat untuk melancarkan misi kita.”
“SSSSssssss…”
Tiba-tiba mereka mendengar suara desisan seperti ular. Madara pun segera mengetahui kalau mereka tidak hanya bertiga di sana. Tamu tak diundang telah memasuki kawasan persembunyian mereka.
“Hebat juga kau bisa mengikuti kami sampai ke sini,” ucap Madara dingin. Ia menoleh ke arah kiri, tempat di mana tamu tak di undang itu berdiri.
“Kemampuanmua memang masih sehebat dulu, Uchiha Madara. Senang bertemu denganmu.”
Madara mengaktifkan sharingan-nya. “Apa urusanmu mengikutiku ke sini, Yakushi Kabuto?”
.
0o0o0o0o0
.
Kushina akhirnya sampai di Konohagakure. Ia perhatikan seluk beluk daerahnya. Memang banyak yang berubah dari desa ini dibandingkan dengan 16 tahun lalu. Tak lupa ia menggunakan genjutsu sehingga sosoknya terlihat seperti manusia pada umumnya.
Agar orang-orang tak mengenalnya, ia mengenakan jubah merah dengan kudung yang berwarna sama. Hal itu ia lakukan karena dulu ia pernah beberapa tahun lamanya tinggal di Konoha. Ia tidak mau kehadirannya di ketahui seseorang di Konoha yang mengenalinya. Ia menggunakan kuda putihnya menuju toko obat klan Nara.
Sementara itu Sakura dan Sai; tak banyak yang mereka obrolkan selama perjalanan menuju toko obat klan Nara. Bisa jadi karena Sai yang tidak tahu harus dari mana dulu mengungkapkan apa yang ia ingin utarakan, dan Sakura sendiri agak canggung membicarakan perihal Naruto pada Sai. Entah apa sebabnya, ia jadi tak yakin untuk mencari info tentang Naruto pada si seniman itu. Ia mungkin takut mendengar kenyataan yang sebenarnya.
Mereka pun sampai di depan toko klan Nara. Sakura pun mendekati kedai toko yang tak terlalu lapang itu.
Sedangkan Sai menunggunya di bawah pohon yang tumbuh sepuluh meter dari kedai.
Ada seorang pembeli di sana, tapi Sakura tidak terlalu mempedulikan siapa pembeli itu. Ia terus melangkahkan kakinya dan sebenarnya ia tak terlalu berkonsentrasi dengan arah depannya. Ia berjalan sembari memandangi tanah di bawahnya. Alhasil, ia pun menabrak seseorang yang berjalan berlawanan arah dengannya.
Seseorang ia tabrak ternyata adalah seorang wanita. Untunglah, wanita itu tidak sampai jatuh tersungkur ke tanah, padahal Sakura tadi cukup keras mendorong wanita itu. Tapi barang beliannya dari toko obat klan Nara jatuh berserakan di tanah. Sakura dengan sigap membantu wanita itu membereskan barang bawaannya dan segera meminta maaf.
“Ya, Tuhan. Maafkan saya, saya tidak sengaja menabrak anda,” ucap Sakura sembari memunguti beberapa tanduk rusa dan obat yang di bungkus dengan plastic yang berserakan di tanah.
“Ah, tidak apa-apa. Saya juga tadi terburu-buru jadi tidak fokus melihat ke depan,” ucap Kushina pada Sakura. Kushina lalu memperhatikan hitae-ate yang ada di kepala Sakura. ‘Gadis ini seorang ninja…’ Ucapnya dalam hati.
Namun tiba-tiba tubuh Kushina sedikit gemetaran. Ia pun merasa aneh kenapa tubuhnya menjadi seperti ini. Ia memandangi Sakura, gadis yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Lantas ia menyadari bahwa anting mawarnya itu bersinar di balik kain kudung yang ia pakai. Mata Kushina pun terbuka lebar.
‘Earendell bereaksi terhadap gadis ini. Ada apa sebenarnya?! Padahal Ayah bilang Earendell tidak dapat memancarkan cahaya lagi di dunia manusia.’
Bersambung…
Glossary:
Kanina Rosu: Bunga mawar merah yang Kushina tumbuhkan dengan bantuan kekuatan dari Earendell. Pada saat perang dunia ninja ketiga, Kushina menumbuhkan beribu-ribu mawar untuk membantu mengobati orang-orang yang terluka. Kushina tak memiliki pengetahuan apa-apa tentang meramu obat. Untuk itu yang meramu obat dari bunga mawar itu adalah Tsunade. Sehingga Tsunade yang lebih dikenang jasanya. (Bagian cerita ini muncul di fic Heart chapter enam).
Untuk Uzumaki Miyazaki itu bayangkan saja dia kayak Legolas Greenleaf yang berambut merah hehehe.
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from ‘HEART’. Semi-Crossover with the Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. AU.
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure.
Selamat Membaca, Kawan ^^
.
.
Sedangkan di lain tempat, Chouji berusaha untuk menghibur Ino. “Ino, maafkan Shikamaru. Jangan ambil hati kata-katanya barusan. Shikamaru sedang dalam masalah besar saat ini. Kau menyadarinya ‘kan? Dia tak henti-hentinya menghisap rokok sejak kita berkumpul tadi.”
Ino menyeka airmatanya. “Memangnya ada apa sebenarnya, Chouji?”
Chouji menatap Ino dengan prihatin. “Ini…tentang hilangnya Naruto…”
.
.
Chapter 3
Pewaris Earendell
.
.
Yamanaka Ino menatap wajah chubby Chouji dengan perasaan tak enak di hatinya. Ada apa lagi ini? Padahal masalah yang menimpa desa mereka belum usai sepenuhnya, namun sepertinya masalah lain tiba-tiba menghampiri tanpa terprediksi.
“Yang aku dengar kemarin Daimyou-sama (Pemimpin Negara Hi) datang ke Konoha untuk berunding dengan Hokage-sama. Di perundingan itu Daimyou-sama memutuskan…” Chouji mengambil nafas sejenak; dahinya mengerut.
Ino pun kian penasaran dengan apa yang pewaris klan Akimichi itu ingin utarakan. “Memutuskan apa Chouji?”
“Beliau memutuskan, jika tim investigasi tidak bisa menemukan petunjuk tentang keberadaan Naruto, maka Naruto akan dianggap KIA (Killing In Action),” ucap Chouji kemudian.
Mata cerulean Ino langsung terbuka lebar. “A—Apa?! Kenapa Daimyou-sama memutuskan hal itu? Harusnya beliau tidak memiliki hak untuk—”
“Keadaan sedang kacau, Ino.” Chouji tiba-tiba memotong kalimat Ino. “Setelah jinchuuriki Hachibi tertangkap Akatsuki beberapa waktu lalu, keadaan semakin tegang. Lima Negara Elemental sebentar lagi akan melakukan perundingan besar untuk membahas penyerangan terhadapa Akatsuki. Daimyou-sama memutuskan hal itu karena apa yang Konoha kabarkan tentang Naruto sama sekali tidak jelas. Sementara para petinggi Negara Elemental meminta kejelasan agar mereka bisa segera mengambil tindakan preventif.”
“Aku masih tidak mengerti. Bukankah itu terlalu cepat?” Ino tiba-tiba menjadi gundah gulana. Naruto akan dianggap mati? Sungguh itu adalah keputusan yang sangat despotis. Penduduk desa pasti tidak akan rela dengan hal ini. Naruto adalah pahlawan bagi mereka; mereka sangat berharap Naruto bisa kembali ke Konoha.
“Daimyou-sama, memberikan waktu satu bulan untuk tim investigasi melaksanakan tugasnya. Dengan begitu Shikamaru masih punya waktu dua minggu lagi, tapi jika ia melewati waktu yang telah diputuskan…” Chouji terdiam; ia tak mampu melanjutkan kata-kata yang terbelenggu dalam hatinya. Bukankah kematian adalah hal yang sulit untuk diuraikan melalui sebuah ucapan? Terlebih yang mengalami adalah orang terdekat mereka.
Ino mematung sembari menutup mulutnya. Jujur saja, ini bukanlah kabar yang baik. Terutama untuk Sakura. Ia tak yakin sahabatnya itu bisa menerima kenyataan ini. “Kau tahu semua ini dari mana, Chouji?”
Chouji mengambil nafas sejenak. “Tadi malam Shikamaru menjelaskan semuanya padaku.”
Ino merenung sejenak; ia tertunduk lesu. Kenapa hanya pada Chouji Shikamaru menceritakan kelu kesahnya? “Shikamaru…dia… Apa dia masih marah padaku karena soal kemarin? Yang di rumah sakit itu…”
Chouji menatap teman setimnya itu dengan waswas. Ia tahu betul Shikamaru bukan bermaksud marah pada Ino. Ada sisi lain dari diri Shikamaru yang Chouji ketahui tapi tidak diketahui oleh Ino. Pada akhirnya yang ia katakan, “Aku tidak tahu pasti, Ino. Shikamaru memang menceritakan masalahnya ini tadi malam. Tapi dia tidak pernah membahas hal kemarin itu padaku.”
“Tapi Chouji—”
“Shikamaru merasa tidak berguna, Ino.” ‘Saatnya kita bermain tebak-tebakan,’ ucap Chouji dalam hatinya.
“Eh?” Ino memiringkan kepalanya; tak sepenuhnya mengerti apa yang Chouji ucapkan.
“Dia merasa tidak berguna karena tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Dia merasa tidak berguna karena tidak bisa menyelamatkan temannya.”
Mata biru laut Ino semakin terbuka lebar. Sepenggal kalimat tajam Shikamaru tadi terlintas di benaknya.
“Kenapa kau tidak pindah saja ke tim 7, Ino? Mumpung ada lowongan untukmu…”
“Ja—Jadi begitu…,” lirih Ino. Ia kini sedikit mengerti mengapa Shikamaru bersikap seperti itu kepadanya walaupun ada sebagian dari diri pewaris klan Nara itu yang tidak dapat Ino tembus. Sudah lama ia merasakannya; seakan ada sebuah tembok besar yang menghalanginya untuk menelusuri lebih dalam sifat Shikamaru. Dan ia merasa Shikamaru juga tidak mengizinkan ia untuk lebih masuk ke dalam.
“Cobalah mengerti Shikamaru lebih dalam lagi. Dia memang banyak berubah semenjak Asuma-sensei meninggal. Tapi sebenarnya dia juga membutuhkan perhatianmu, Ino.”
“Heh?” Ino tiba-tiba mendongakkan kepalanya menatap Chouji dengan raut wajah heran. “Apa maksudmu, Chouji?”
“Kau…harus mencari jawabannya sendiri, karena aku sendiri tidak mengetahuinya dengan pasti. Hehe. Daaa…” Chouji pun segera mengambil langkah seribu untuk meninggalkan Ino.
“Tu—Tunggu, Chouji!”
“Aku mau mengantar Kurenai-sensei dulu ke rumahnya. Kau pulang sendiri tidak apa-apa ‘kan?”
Ah, ada apa dengan Chouji ini? Bicaranya tiba-tiba saja jadi ngelantur. Ino jadi tak mengerti harus bagaimana menanggapinya. “Kau belum menjawab pertanyaanku!”
“Sudah kubilang kau harus mencari jawabannya sendiri, Ino. Hehehe.” Kemudian Chouji segera menghilang dari pandangan Ino, meninggalkan gadis blonde itu tercenung di tempatnya.
“Shikamaru membutuhkan perhatianku? Apakah selama ini aku kurang perhatian padanya?” tanya Ino pada dirinya sendiri.
Time Skip Uzumakigakure
Uzumaki Kushina sedang menuju ke kuil utama rumah besar Uzumakigakure, tempat ayahnya biasa menghabiskan waktu. Kemarin-kemarin dia berada di paviliun peristirahatan para penghuni rumah besar di dekat tebing yang menghadap ke lautan lepas Aear (laut). Tempat itu ia pilih karena cocok untuk Naruto yang sedang dalam masa pemulihan.
Kushina memacu kuda yang ditungganginya lebih cepat. Ia telah melewati jembatan Gelair (bintang) yang di bawahnya mengalir sungai Menel (surga) yang alirannya berakhir di lautan Aear.
Sampai di gerbang masuk rumah utama—yang diapit oleh pepohonan Plum lebat, Kushina membelokkan kudanya ke arah kanan. Ia segera turun dari kudanya dan berlari kecil menuju paviliun.
Kalau tidak berada di balairung, pasti ayahnya sedang duduk di paviliun kecil yang berdiri di samping rumah utama—beratap seperti atap kuil—sambil membaca buku. Dan dugaannya salah satunya ternyata benar adanya.
“Mani naa lle umien, Ada? (Apa yang kau lakukan, Ayah?)” tanya Kushina setibanya di pekarangan paviliun. Ia mendongakkan kepalanya ke atas; memandangi ayahnya yang sedang duduk di pinggir pagar paviliun sembari membaca buku.
“Kushina.” Uzumaki Miyazaki segera berdiri dari tempat duduknya. Ia sedikit terkejut dengan kehadiran anak semata wayangnya yang tiba-tiba datang tanpa memberi tahu terlebih dahulu.
“Tou-sama, apa yang kau lakukan pada Naruto?” Kushina segera menaiki anak tangga sembari melepas jubah merahnya ke lantai. Tak peduli akan kotor atau tidak, yang jelas ia sedang terburu-buru saat ini. Dia pun tidak memberi salam pada ayahnya terlebih dahulu.
“Dimana sopan santunmu, Kushina? Ini masih di wilayah rumah besar. Apa kau tahu apa itu tata krama?”
“Goheno nin, Ada (Maafkan aku, Ayah). Aku sedang terburu-buru; aku ke sini ingin menanyakan sesuatu. Lagipula aku ingin berbicara sebagai anak dan ayah, bukan sebagai pemimpin dan anak buah.” Sejak dulu Kushina memang sangat malas untuk menuruti pranata rumah besar Uzumakigakure. Menurutnya itu membuang-buang waktu dan kadang membuat kepala pusing.
Mantan pemimpin Uzumakigakure itu terlihat berpikir di benaknya. Secara fisik ia sangat mirip dengan Kushina. Rambutnya yang berwarna merah darah memanjang hingga ke pinggang dan dikuncir separuh ke belakang. Warna iris di matanya pun sama dengan iris Kushina yaitu berwarna merah. Hanya saja bola mata ayahnya terlihat lebih kecil dan tajam sehingga lebih menunjukan ketampanannya. Mereka tampak seumuran, padahal umur mereka terpaut kira-kira seratus tahun lamanya. Karena itu adalah salah satu kelebihan yousei, mereka diberi umur panjang dengan fisik muda belia walaupun umur mereka sudah ratusan tahun.
“Mankoi lle uma tanya, Ada? (Kenapa kau melakukannya, Ayah?)” tanya Kushina; airmukanya pun menegang.
“Apa maksudmu, Kushina?”
“Apa kau ingin membunuh Naruto, Tou-sama?”
Miyazaki menatap serius anaknya itu. “Kenapa kau berkata seperti itu? Naruto adalah cucuku,” jawabnya tenang. Namun Kushina bisa merasakan nada dubius dari ucapan ayahnya.
“Dia adalah peredhil (setengah yousei dan manusia). Aku tahu kau membenci manusia, Tou-sama. Tapi tak seharusnya kau memberinya mimpi seburuk itu.”
Miyazaki mengerutkan dahinya sedikit. Ia kemudian memandangi pegunungan Galad (cahaya) yang melindungi kawasan Uzumakigakure dari lingkar luarnya. “Aku hanya memperlihatkannya tentang masa depan dan juga memberitahunya bahwa manusia itu tidak dapat dipercaya.”
Kushina sedikit gemetar mendengar pernyataan ayahnya. “Kau ingin membuat Naruto membenci manusia, Tou-sama? Dan juga tidak ada yousei mana pun yang bisa melihat masa depan secara akurat.”
Miyazaki memandangi Kushina kembali. “Kau meragukan kekuatanku? Kenapa kau tidak mencoba menelusuri kenangan masa lalu Naruto, Kushina? Sama seperti dirimu dulu, manusia tidak memperlakukan dirinya dengan layak. Melihatnya saja hatiku seperti teriris-iris.”
Kushina terdiam sebentar; ia mengerti apa yang ayahnya maksud. Namun yang ia sebutkan itu benar. Walaupun diberi anugrah mata yang bisa menerawang masa depan, ramalan yousei tidak selalu benar sepenuhnya. Sembari menunduk, ia pun setengah berbisik, “Aku tidak akan pernah melakukannya…”
“Lihat… Kau sendiri takut untuk melihatnya ‘kan?”
Kushina menatap kosong ayahnya. “Membayangkannya saja aku tak berani, apalagi melihatnya?”
Miyazaki memperhatikan anaknya itu dengan tatapan nadir, kemudian ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah utama melalui koridor kecil yang menghubungkannya ke paviliun tadi.
Kushina pun mengikutinya dari belakang. Mereka menuju ke balairung rumah besar Uzumakigakure yang terlihat sepi. Hanya ramai apabila ada pertemuan antara rumah besar dengan kalangan rakyat jelata. Balairungnya lumayan besar, sekitar 25x50 meter.
Sembari menelusuri balairung, Miyazaki pun memulai lagi obrolan mereka. “I amar prestar aen, Kushina (Dunia telah berubah, Kushina). Bagaimana kau bisa bertahan dengan segala penderitaan yang kau alami selama ini? Satu-satunya yang kau cintai telah tiada.” Ia tatap anaknya itu dengan airmuka tegas.
Kushina menghirup nafas sejenak. Sepertinya obrolan mereka akan bertambah berat topiknya. “Aku masih memiliki, Naruto. Lagipula Minato hanya mati suri, jiwanya ikut terbelenggu di perut Naruto pada saat penyegelan Kyuubi dulu. Kalau nanti segelnya terbuka Minato bisa—”
“Minato tidak akan bisa kembali ke sini Kushina. Meski jiwanya telah kembali ke raganya sendiri. Dia tidak akan bisa keluar dari Valinor, jadi kaulah yang harus mengunjunginya ke sana.”
“Ada (Ayah)…” Kalimat ayahnya itu begitu menusuk di hati Kushina.
“Aku tak akan memberi toleransi lagi kepadamu, Kushina. Kau harus membujuk Naruto agar ia mau pergi ke Valinor setelah misimu usai nanti. Dia berhak untuk tinggal bersama kedua orangtuanya dan meninggalkan dunia fana yang penuh dengan penderitaan ini.”
Di antara dinding balairung sebelah kanan terdapat lorong besar. Di tembok lorong tersebut terpahat suasana yang menggambarkan sebuah tempat dengan Jinja-jinja (Kuil) besar yang berdiri di pinggir laut lepasnya yang biru. Burung-burung camar terbang di atasnya. Kuil-kuil itu berdiri di hamparan rumput hijau yang terlihat sangat asri. Dermaganya pun sangat luas, menunjukkan betapa gagah kekuatan maritimnya.
Itulah gambaran Valinor yang sangat eksotik. Belum lagi jika melihatnya secara langsung, entah kata-kata apa yang pas untuk menjabarkan keindahannya.
“Valinor, tempat persinggahan terakhir para yousei. Apabila mereka mati, jiwa mereka akan pergi ke sini. Atau juga mereka bisa mengunjungi tempat ini dengan perahu tanpa bisa kembali lagi ke dunia. Tempat persinggahan terakhir kita berbeda dengan manusia, anakku,” ujar Miyazaki sembari menatap pahatan panorama Valinor yang di pahat di atas dinding yang terbuat dari batu pualam.
Namun Kushina punya alasan lain untuk mempertahankan Naruto tinggal dengan orang-orang terdekatnya dan tentu saja itu bukan dirinya atau ayahnya sekali pun. “Bumi adalah tempat di mana Naruto tinggal, Tou-sama. Aku terlalu lama menelantarkannya. Jadi dia berhak memilih; karena itu aku tak ‘kan memaksanya untuk pergi ke Valinor.”
Miyazaki menatap tajam Kushina. “Naruto terlalu banyak mengalami penderitaan. Kesengsaraan terlalu lama bertumpu di pundaknya. Dikhianati, dibenci, dan dicacimaki; aku bisa melihat semua penderitaan itu ketika aku menerawang masuk ke dalam pikiran Naruto. Mungkin saja ia bisa memaafkan segala kejahatan manusia-manusia itu terhadapnya, tapi jauh di lubuk hatinya, dia tidak sepenuhnya bisa melupakan segala kepedihan itu. Kau tahu ‘kan anakku? Yousei memiliki hati yang rapuh.”
Pernyataan Miyazaki memang ada benarnya. Kushina sangat mengerti bagaimana rasanya menjadi jinchuuriki yang dibenci oleh orang banyak. Namun Naruto berhasil mengubah persepsi orang-orang dingin tersebut terhadapnya ‘kan? Maka apalagi yang harus dipermasalahkan? “Kita tidak bisa berasumsi bahwa semua ini adalah kesalahan manusia, Tou-sama. Aku mengetahuinya karena selama ini aku selalu mengawasi Naruto dari kejauhan. Apa yang terjadi tidak seburuk dengan yang Tou-sama pikirkan,” dalih Kushina.
Dikatakan seperti itu, Miyazaki jadi teringat akan dosa masa lalu kaum yousei yang harus ditebus dengan hal yang tak sebanding dengan yang mereka mampu lakukan. Kesalahan seorang yousei yang harus dibayar oleh semua yousei klan Uzumaki.
Miyazaki memincingkan matanya. “Apa kau lupa Kushina? Salah satu anak Rikudou Sennin yang menyebabkan semua kekacauan ini. Aku dulu mengusir dan menghilangkan kekuatannya agar kejahatannya tidak mempengaruhi kedamaian yang ada di Uzumakigakure. Tetapi yang terjadi ‘dia’ malah mengacaukan segalanya lebih dari apa yang aku bayangkan. Dia bercampur dengan manusia dan membuat kekacauan di muka bumi.”
Kushina geriap mendengar ucapan ayahnya. Ia tahu keturunan mana yang dimaksud oleh ayahnya. “Aku mengerti apa yang telah terjadi, Tou-sama. Tapi salah satu dari keturunan mereka akan memperbaiki kesalahan leluhurnya dulu. Dan kita harus mendukung dan membantunya tanpa mengingat-ingat lagi dosa apa yang telah ‘dia’ perbuat.”
“Kalau saja aku tak memberi Earendell secara diam-diam kepadamu, kau dan Naruto tak akan pernah selamat dari jeratan keturunan terkutuk itu!” umpat Miyazaki tiba-tiba.
Kushina lantas terdiam dan menatap datar ayahnya. “Alasan utama Tou-sama memberikan Earendell padaku, karena kau tak percaya sepenuhnya dengan Minato ‘kan, Tou-sama?”
“Ya, aku tak mempercayainya, Kushina. Dan apa yang aku pikirkan benar adanya ‘kan? Dia malah memilih mengorbankan dirinya sendiri dan menyegel Kyuubi ke tubuh anaknya yang baru lahir. Padahal seharusnya ia tahu, tubuh Naruto tidak akan kuat menampung kekuatan jahat Kyuubi yang sangat besar itu. Dia malah membiarkan anaknya menderita.”
Kushina pun terkejut dengan pernyataan ayahnya. “Tou-sama, bukan maksud Minato untuk membuat Naruto menderita!”
“Kalau begitu kau harus bisa mengeluarkan Naruto dari lingkaran penderitaannya!” ucap Miyazaki frontal. “Earendell sudah tak memancarkan cahayanya lagi di muka bumi. Tanpa itu, yousei mana pun tidak akan bisa hidup lama di dunia. Walaupun Naruto adalah peredhil (setengah yousei dan manusia), dia tak kan mampu bertahan di sini. Kau harus mengerti, Kushina. Aku tak akan menuruti kerasnya kepalamu lagi!”
Earendell, bintang utara yang selalu muncul berdampingan dengan terangnya bulan purnama di pergantian bulan. Dari situlah yousei tercipta. Pancaran cahayanya-lah yang melindungi para yousei dari marabahaya. Miyazaki sempat mengambil salah satu bintang itu dan menjadikannya anting berbentuk mawar pada Kushina. Tujuannya adalah agar anak semata wayangnya itu tidak menjadi manusia utuh kala ia memutuskan untuk tinggal bersama Minato. Dan Miyazaki memang melakukannya dengan diam-diam.
Kushina sendiri memanfaatkan kekuatan dari anting itu untuk menumbuhkan Kanina Rosu yang bisa menyembuhkan luka parah seseorang. Pada saat perang dunia ninja ketiga, kekuatan tersebut benar-benar menolong orang banyak.
“Aku tahu, aku tidak bisa menumbuhkan Kanina Rosu* lagi tanpa bantuan kekuatan dari antingku ini. Tapi yang ku tak habis pikir, ternyata antingku ini adalah penjelmaan Earendell. Sebegitu bencinya-kah kau terhadap manusia, Tou-sama? Hingga kau tak menginginkan aku menjadi manusia ”
Hembusan angin tiba-tiba masuk ke balairung; menggeraikan rambut merah mawar Kushina hingga melambai-lambai di udara. Bisa Miyazaki perhatikan Earendell—yang disamarkan menjadi anting mawar tersemat di telinga anaknya itu—berpendar sekilas; sedikit menarik perhatiannya.
Ia pun buru-buru mengedipkan matanya. Tidak mungkin. Ya, tidak mungkin Earendell bersinar lagi. Waktu mereka sebentar lagi telah habis di dunia ini. Ia pun pada akhirnya tidak mempedulikan kilatan cahaya itu.
“Q, ónen i-Estel bow firimar (Ya, aku tidak menaruh harapan pada manusia).”
Kushina rasa-rasanya ingin menangis, tetapi ia sudah cukup kuat menghadapi segala persoalan yang menimpanya selama ini. Ia simpan airmatanya hanya untuk belahan jiwanya seorang.
“Aku menyetujui hubunganmu dengan Minato karena aku memiliki rasa sayang yang besar kepadamu.” Miyazaki mengucapkan kalimat itu sembari membelakangi anaknya. “Aku tak ingin lagi ada manusia atau Uzumaki lain yang dikorbankan untuk menampung kekuatan jahat bernama bijuu. Satu-satunya cara yang harus dilakukan hanyalah menyegel bijuu-bijuu itu kembali di lingkar luar Uzumaki. Aku mempercayai hal itu kepadamu, Kushina. Sebagai persiapan aku juga nanti akan melatih fuuinjutsu andalan kita pada Naruto jika dia sudah bangun nanti. Aku berharap dia bisa mengendalikan keempat hewan titisan para dewa.”
Kushina hanya termangu mendengarnya. Ia mengerti kenapa ayahnya tidak langsung ikut ke dunia manusia untuk menyelesaikan misi besar mereka. Untuk itu ia urung menanyakannya. Dan ia merasa sudah saatnya ia pergi dari tempat itu. Matahari mulai merangkak naik.
“Aku akan menjadikan Naruto sennin terhebat melebihi Rikudou Sennin,” ucap Miyazaki lagi.
Kushina memperhatikan pemandangan luar dari jendela besar di lorong itu. “Kalau begitu aku permisi dulu, Tou-sama. Aku akan pergi ke Konoha sebentar mencari tanduk rusa untuk Naruto.”
Miyazaki memandangi anaknya kembali dan menganggukkan kepalanya pelan. “Berhati-hatilah…”
Kushina pun membungkukkan tubuhnya sejenak pada ayahnya dan segera beranjak dari sana. Namun baru beberapa langkah ia menghentikan gerakan kakinya. “Tou-sama…”
“Hn?”
“Aku hanya ingin memberitahukan satu hal. Manusia…tak seburuk yang Tou-sama kira.” Kushina menghembuskan nafasnya perlahan. “Dan juga… Gerich meleth nîn, Ada (Rasa sayangku selalu ada untukmu, Ayah).”
Kushina pun segera keluar dari bangunan utama rumah besar Uzumakigakure. Ia pun berharap semoga mimpi yang ayahnya berikan pada Naruto tak berdampak buruk bagi anaknya itu. Namun yang harus ia lakukan sekarang adalah ia harus dapat membangunkan Naruto dari tidur panjangnya.
.
0o0o0o0
.
Matahari mulai memperlihatkan kemegahannya di ufuk timur. Sinarnya lamat-lamat memasuki celah jendela kamar seorang gadis yang selama dua minggu ini tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sungguh malas dirinya mengarungi segala kegiatan yang terlihat tak ada artinya ini.
Haruno Sakura akan memulai aktivitasnya lagi. Tidak banyak kegiatan yang akan dia lakukan. Hanya membantu para dokter di rumah sakit setelah itu ia akan kembali lagi ke rumahnya. Ia pun bangkit dari tempat tidurnya yang berantakan; hanya menggosok gigi lalu mengganti baju dengan baju ninja yang biasa ia pakai.
Hanya beberapa menit ia berkaca; ia tak mau memandangi wajahnya terlalu lama. Karena wajahnya yang seputih kapas semakin terlihat seperti hantu yang bergentayangan di pagi hari. Ia sendiri pun tak tahu akan sampai kapan dirinya lusuh seperti ini.
Sakura memandangi jam dindingnya. Baru pukul tujuh pagi, sedangkan kegiatan di rumah sakit mulai pukul delapan. Masih ada waktu satu jam lagi; ia sendiri enggan cepat-cepat ke sana. Ia pun akhirnya duduk kembali di atas tempat tidurnya yang baru saja ia rapikan.
Kemudian Sakura alihkan pandangannya ke arah jendela yang kini terbuka lebar, membiarkan angin pagi masuk ke dalam kamarnya yang temaram. Sebenarnya bukan pemandangan luar yang sedang ia pandangi, melainkan secarik kertas yang menggantung di tengah-tengah jendela.
Sakura mengaitkannya dengan tali dan digantung di paku yang ada di pinggiran jendela bagian atas.
Tak bosan ia pandangi kertas itu saban hari. Panorama isi hati milik seseorang yang ia rindukan kehadirannya terlukis di sana. Terduduk di kursi roda sembari merentangkan tangan; mengambil beberapa guguran bunga sakura yang jatuh ke bumi.
Lantas siratan mozaik-mozaik perasaannya terpampang di sana. Entah lara atau bahagia, namun sungguh isi dari siratannya mengoyak-ngoyak hati si ninja medis itu. Yang jelas kini ia tahu bahwa Naruto...
Aku memang terlanjur mencintaimu, Sakura-chan.
Tapi aku tak akan pernah mengemis cinta itu padamu.
Sakura mengatupkan matanya rapat-rapat. Tak pernah terpikir olehnya si baka itu memiliki perasaan yang begitu dalam padanya. Bukan rahasia lagi memang; Sakura mengetahui bahwa Naruto mempunyai perasaan khusus padanya. Namun bukankah begitu wanita pada umumnya? Tak hanya sebuah perlakuan, mereka juga butuh kata-kata semanis madu yang diuraikan tulus dari hati sang pendamba untuk menyatakan kepastian perasaan lelaki itu terhadap dirinya.
Barangkali Naruto bukanlah sosok yang pintar merangkaikan kata indah untuk gadis yang ia cinta. Barangkali ia merasa tak patut untuk menyatakannya karena ia merasa kerdil tak punya apa-apa. Namun Sakura pada akhirnya mengerti sebenarnya Naruto memang tak mengharapkan apa-apa darinya.
Karena aku menyadari kau tak akan pernah membalas cintaku.
Karena itu biarkan aku menepati janjiku.
Flashback On
“Na—Naruto… A—Aku punya permohonan padamu. Aku tidak bisa melakukannya. Hanya kau… Hanya kau yang bisa membujuk Sasuke-kun kembali ke Konoha.”
“Kau sangat mencintai Sasuke ‘kan, Sakura-chan? Aku bisa memahami perasaanmu itu. Tenang saja, Sakura-chan! Aku akan membawa Sasuke pulang, ini janji seumur hidupku!”
Flashback Off
Nyatanya…lebih dari yang ia bayangkan selama ini…
Naruto benar tidak main-main dengan apa yang ia pegang. Tidak ada terlontar pernyataan cinta yang keluar dari mulutnya. Tapi dengan apa yang telah ia korbankan…
Kini Sasuke memang telah kembali ke Konoha. Meski datang dengan luka, tetapi Sakura berhasil menyembuhkannya. Namun tidak untuk teman setimnya yang lain.
Bukankah untuk mendapatkan kembali sesuatu yang sangat berharga yang sempat lipur itu, kau harus siap kehilangan sesuatu berharga yang lain?
Namun sungguh, bukan hal seperti ini yang Sakura inginkan. Ia sangat berharap tim investigasi Konoha berhasil mendapatkan informasi tentang keberadaan Naruto.
Sakura mengerti dia tidak pantas mendapatkan cintanya si blondie itu. Berkali-kali ia menyakiti perasaan Naruto. Mencacinya, memandangnya sebelah mata, membanding-bandingkannya dengan Sasuke, mempermainkan perasaannya…tapi sebenarnya ia tak bermaksud seperti itu padanya. Ia hanya belum mengerti luar-dalamnya jinchuuriki Kyuubi itu.
Saat dia telah paham; jika tidak terlambat ia ingin mengatakan bahwa ia juga memiliki perasaan yang sama.
Walau raganya tidak ditemukan, setidaknya ia tahu Naruto masih hidup atau tidak. Walau perasaan Naruto akan berubah terhadapnya, setidaknya teman baiknya itu tahu kalau dia adalah orang yang paling berharga yang ia miliki selama hidupnya. Kalau begini terus lama-lama ia bisa menjadi sakit jiwa
Sakura segera menyeka airmatanya yang kadung keluar. Ia memutuskan untuk lebih cepat keluar dari rumah. Ia teringat bahwa ia harus ke toko obat klan Nara dulu untuk membeli tanduk rusa. Persediaan di rumah sakit telah habis dan beberapa pasien membutuhkannya.
Diam-diam ia keluar dari kamarnya dan menuruni anak tangga secara perlahan agar tidak ketahuan oleh ibunya. Sakura tidak punya muka untuk bertemu dengan ibunya. Ia tak ingin membuat ibunya depresi karena keadaannya yang seperti ini.
Sesampai di depan pintu; ia membukanya secara perlahan.
“Ohayou, Sakura-san.”
Sakura termangu melihat sosok yang berdiri di depannya ketika ia membuka pintu. Sosok itu tersenyum padanya. Mulutnya tiba-tiba menjadi terbuka. Entah mengapa ia menginterpretasikan sosok itu lain dari kenyataan yang ada.
“Ohayou, Sakura-chan!” Dalam pikiran Sakura, di sana berdiri Naruto yang menyapanya sembari menunjukkan cengiran khasnya.
“Naruto!” Sakura pun tiba-tiba mendekap sosok itu ke pelukannya. Dan tersenyum lebar. Sontak sosok itu menjadi kaget.
Sosok itu pun buru-buru melepaskan pelukan Sakura. “Sakura-san, ini aku!”
“Hah?” Sakura mulai kelimpungan dan mengerjapkan matanya.
“Ini aku. Sai!”
“Sa—Sai?” Sakura membuka matanya lebar-lebar. Dan ternyata benar Naruto yang dilihatnya tadi adalah ilusi belaka. Nafasnya jadi memburu. Ia menggerayangi kepalanya sendiri dengan kedua tangannya.
“Kau tidak apa-apa, Sakura-san?” tanya Sai khawatir.
“Ya, aku tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing.”
“Kalau begitu kau ingin masuk lagi ke dalam rumahmu?”
“Ah, tidak perlu, Sai. Aku ada kerjaan di rumah sakit dan tidak boleh terlambat.”
“Oh, begitu. Baiklah.”
Sakura mulai berpikir di benaknya. Ada apa lagi dengan dirinya sekarang? Kenapa ia bisa berilusi seperti ini?
“Sakura-san,” panggil Sai membuyarkan pikiran Sakura.
“Ah, ya, Sai. Ada perlu apa kau kemari? Bukannya kau baru keluar rumah sakit kemarin siang?”
“Aku ingin bicara saja denganmu sekalian menge-check lukaku, Sakura-san. Tadi sebenarnya aku sudah mampir ke rumah sakit tapi senpai di sana bilang jam kerjamu mulai jam delapan. Maka dari itu aku langsung ke sini.”
“Oh, begitu.” Sakura menutup pintu rumahnya perlahan. “Ngomong-ngomong apa yang ingin kau bicarakan padaku?”
“Sambil jalan ke rumah sakit saja kita bicarakan, bagaimana?”
“Boleh, tapi aku ingin ke toko obat klan Nara dulu.”
“Tidak apa-apa,” tukas Sai. Ia memperhatikan wajah Sakura. Ia tahu si ninja medis itu sedang dalam keadaan terpukul akhir-akhir ini.
Sebenarnya Sakura sedikit malas berinteraksi dengan temannya. Tapi untuk Sai, entah mengapa ada sesuatu hal yang penting yang ingin ia tahu tentang Naruto. Karena Sakura tahu, orang yang terakhir kali bersama dengan Naruto adalah Sai. Ia ingin mendapatkan informasi tentang si blondie darinya.
Sementara itu di suatu tempat jauh di dalam hutan.
“Madara-sama, anda baik-baik saja?” Kisame menghampiri tuannya yang sedang menatap lurus ke hutan belantara yang menjadi tempat persembunyian mereka.
“Ya, tidak apa-apa. Bagaimana dengan Zetsu?”
“Keadaannya makin membaik dari ke hari, Madara-sama.”
Madara menghembuskan nafasnya perlahan. “Bagus kalau begitu.”
“Madara-sama…”
“Hm?”
“Apa rencana kita selanjutnya?”
“Rencana? Tentu saja rencana yang telah kita buat sebelumnya akan kita lakukan, Kisame. Hanya saja kita sekarang kekurangan pasukan untuk menciptakan kekacauan yang besar. Aku membutuhkan pasukan yang sangat kuat untuk melancarkan misi kita.”
“SSSSssssss…”
Tiba-tiba mereka mendengar suara desisan seperti ular. Madara pun segera mengetahui kalau mereka tidak hanya bertiga di sana. Tamu tak diundang telah memasuki kawasan persembunyian mereka.
“Hebat juga kau bisa mengikuti kami sampai ke sini,” ucap Madara dingin. Ia menoleh ke arah kiri, tempat di mana tamu tak di undang itu berdiri.
“Kemampuanmua memang masih sehebat dulu, Uchiha Madara. Senang bertemu denganmu.”
Madara mengaktifkan sharingan-nya. “Apa urusanmu mengikutiku ke sini, Yakushi Kabuto?”
.
0o0o0o0o0
.
Kushina akhirnya sampai di Konohagakure. Ia perhatikan seluk beluk daerahnya. Memang banyak yang berubah dari desa ini dibandingkan dengan 16 tahun lalu. Tak lupa ia menggunakan genjutsu sehingga sosoknya terlihat seperti manusia pada umumnya.
Agar orang-orang tak mengenalnya, ia mengenakan jubah merah dengan kudung yang berwarna sama. Hal itu ia lakukan karena dulu ia pernah beberapa tahun lamanya tinggal di Konoha. Ia tidak mau kehadirannya di ketahui seseorang di Konoha yang mengenalinya. Ia menggunakan kuda putihnya menuju toko obat klan Nara.
Sementara itu Sakura dan Sai; tak banyak yang mereka obrolkan selama perjalanan menuju toko obat klan Nara. Bisa jadi karena Sai yang tidak tahu harus dari mana dulu mengungkapkan apa yang ia ingin utarakan, dan Sakura sendiri agak canggung membicarakan perihal Naruto pada Sai. Entah apa sebabnya, ia jadi tak yakin untuk mencari info tentang Naruto pada si seniman itu. Ia mungkin takut mendengar kenyataan yang sebenarnya.
Mereka pun sampai di depan toko klan Nara. Sakura pun mendekati kedai toko yang tak terlalu lapang itu.
Sedangkan Sai menunggunya di bawah pohon yang tumbuh sepuluh meter dari kedai.
Ada seorang pembeli di sana, tapi Sakura tidak terlalu mempedulikan siapa pembeli itu. Ia terus melangkahkan kakinya dan sebenarnya ia tak terlalu berkonsentrasi dengan arah depannya. Ia berjalan sembari memandangi tanah di bawahnya. Alhasil, ia pun menabrak seseorang yang berjalan berlawanan arah dengannya.
Seseorang ia tabrak ternyata adalah seorang wanita. Untunglah, wanita itu tidak sampai jatuh tersungkur ke tanah, padahal Sakura tadi cukup keras mendorong wanita itu. Tapi barang beliannya dari toko obat klan Nara jatuh berserakan di tanah. Sakura dengan sigap membantu wanita itu membereskan barang bawaannya dan segera meminta maaf.
“Ya, Tuhan. Maafkan saya, saya tidak sengaja menabrak anda,” ucap Sakura sembari memunguti beberapa tanduk rusa dan obat yang di bungkus dengan plastic yang berserakan di tanah.
“Ah, tidak apa-apa. Saya juga tadi terburu-buru jadi tidak fokus melihat ke depan,” ucap Kushina pada Sakura. Kushina lalu memperhatikan hitae-ate yang ada di kepala Sakura. ‘Gadis ini seorang ninja…’ Ucapnya dalam hati.
Namun tiba-tiba tubuh Kushina sedikit gemetaran. Ia pun merasa aneh kenapa tubuhnya menjadi seperti ini. Ia memandangi Sakura, gadis yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Lantas ia menyadari bahwa anting mawarnya itu bersinar di balik kain kudung yang ia pakai. Mata Kushina pun terbuka lebar.
‘Earendell bereaksi terhadap gadis ini. Ada apa sebenarnya?! Padahal Ayah bilang Earendell tidak dapat memancarkan cahaya lagi di dunia manusia.’
Bersambung…
Glossary:
Kanina Rosu: Bunga mawar merah yang Kushina tumbuhkan dengan bantuan kekuatan dari Earendell. Pada saat perang dunia ninja ketiga, Kushina menumbuhkan beribu-ribu mawar untuk membantu mengobati orang-orang yang terluka. Kushina tak memiliki pengetahuan apa-apa tentang meramu obat. Untuk itu yang meramu obat dari bunga mawar itu adalah Tsunade. Sehingga Tsunade yang lebih dikenang jasanya. (Bagian cerita ini muncul di fic Heart chapter enam).
Untuk Uzumaki Miyazaki itu bayangkan saja dia kayak Legolas Greenleaf yang berambut merah hehehe.
Fanfiksi Naruto: Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki Chapter 2
Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from HEART. Semi-Crossover with the Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. AU.
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure.
Selamat membaca kawan ^^
~o0o~
Banyak yang bilang, cinta antara manusia dan yousei adalah terlarang. Mungkin apabila yousei memutuskan tinggal bersama-sama dengan manusia, mereka bisa saja menjadi manusia seutuhnya. Tapi sayangnya…kematian adalah takdir nyata yang selalu memisahkan mereka.
Chapter 2
Council’s Decision
Uzumaki Naruto berjalan gontai di sebuah hutan belantara yang memiliki dahan-dahan tinggi di dalamnya. Hutan dengan pepohonan besar, dahan atasnya tak terlihat seperti menjorok ke langit. Udara terasa dingin tanpa ada cahaya matahari masuk. Tak ada suara burung, gemeresik air atau desauan daun-daun yang bergesekan karena di terpa angin. Hutan itu lebih terlihat mati dibandingkan dengan Hutan Kematian yang ada di Konoha.
Naruto…sendirian di tempat itu.
“A—Aku bisa berjalan? Ke—Kenapa aku ada di sini? Harusnya aku berada di ruang operasi. Kalau begini aku tidak bisa menyelamatkan Sasuke. Aku harus kembali ke rumah sakit,” lirih Naruto. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia tak mengerti mengapa tubuhnya menjadi lemah, remuk-redam tak bertenaga. Matanya sungguh berat, tapi Naruto berusaha memaksanya terbuka.
Apa ini mimpi seperti mimpi-mimpinya yang kemarin? Jujur saja ia merasa bosan berada di tempat dan peristiwa yang sama. Kalau kemarin wanita berambut merah yang membawanya ke alam mimpi, tapi sekarang siapa? Atau apakah sekarang dia berada di alam baka? Hal terakhir yang dia ingat adalah bahwa Madara berhasil membawanya pergi dari Konoha. Jadi ada juga kemungkinan Kyuubi telah diekstrak dari tubuhnya.
Naruto terus berjalan… Terus berjalan tanpa lelah hingga ia menemukan sekelebat cahaya di depan matanya.
“Ini di mana?”
Naruto dikelilingi oleh sinar berwarna putih yang menyedar ke seluruh area yang ia pijak. Ia melihat kesana-kemari. Mencari sebuah petunjuk di manakah ia sekarang berada. Namun nihil, ia tak dapat melihat apa-apa selain cahaya putih yang bersanding dengan rasa sepinya. Pesona terangnya penuh misteri sehingga Naruto dibuat penasaran dengan semburat cahaya aneh ini. Namun lamat-lamat latar belakang pepohonan kembali muncul di tengah-tengahnya.
“Sasuke-kun!”
Tiba-tiba terdengar samar-samar suara seorang perempuan memanggil nama Sasuke. Naruto segera memalingkan wajahnya ke arah kanan.
“Sasuke-kun!”
Suara itu terdengar lebih jelas sekarang. Naruto lantas mengenali pemilik suara, ia kenal betul dengan pemilik suara itu. “I—Ini suara Sakura-chan…”
Naruto memandang area di depannya. Barulah perlahan-lahan cahaya putih itu memudar, digantikan pemandangan lain yang tak terpikir oleh Naruto sebelumnya.
“Sasuke-kun, akhirnya kau kembali!” teriak Sakura. Gadis itu dengan cepat berlari ke arah Sasuke dan merengkuh the Uchiha prodigy ke dalam dekapannya.
“Sasuke… Sakura-chan.” Naruto tersenyum getir. “Akhirnya kalian bisa bersama kembali.” Bisa dilihatnya raut wajah kedua orang teman se-timnya itu. Sebongkah kebahagiaan yang sama sekali tak pernah Naruto lihat terpantul dari kedua wajah teman se-timnya itu. Mereka berdua tertawa gembira, mengabaikan sosok yang sedang mengintai mereka dari kejauhan.
“Sasuke sepertinya telah sehat sedia kala. Aku jadi tak punya hutang janji lagi pada Sakura-chan,” ucap Naruto lagi sembari tersenyum. Senyuman yang dipaksakan sebenarnya.
“Kenapa kau selalu memilih penderitaan dibandingkan kebahagiaanmu sendiri, Uzumaki Naruto?”
Naruto terkejut ketika mendengar suara lain yang tiba-tiba menghampirinya. “Eh?” Ia memperhatikan area sekitar. Tidak ada siapa-siapa selain dirinya, Sasuke, dan Sakura. Mungkin itu hanya halusinasinya saja untuk itu ia tidak menghiraukannya.
“Mengapa kau selalu mengedepankan kepentingan orang lain dibandingkan dengan kepentinganmu sendiri?”
Naruto lalu menengadah ke atas. Ia melihat langit-langit di atasnya yang tiba-tiba menjadi berwarna kelabu. “Si—Siapa? Apa maksudmu?” Tanya Naruto pada suara itu.
“Kau senang melihat pemandangan di depanmu?”
Naruto terkesiap, ia menatap lagi kedua temannya. “A—Aku tak mengerti… Te—Tentu saja aku se—senang,” ucap Naruto terbata-bata.
“Lihat. Sebenarnya kau tidak sanggup meihatnya ‘kan, Naruto? Mengaku saja,” ujar suara itu lagi.
“A—Aku tidak sakit hati.” Naruto memandang kedua temannya yang sedang berasyik-masyuk di depan matanya. Tapi pada akhirnya ia tak mengerti. Ia merasakan hatinya sakit, seolah tersayat oleh sembilu paling tajam di dunia.
Naruto mengerenyitkan dahinya. Lantas ilusi kembali permainkan hatinya, dilihatnya Sasuke dan Sakura berangkulan mesra hendak bercumbuan. Sontak ia mengatupkan matanya rapat-rapat, memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Tak tahu perasaan apa yang bergejolak di hatinya, tiba-tiba Naruto merasakan rasa sakit di bagian dada kiri. “Ugh!!” Ia mencengkram kuat bagian itu.
“Sudah kubilang, jangan sok kuat, Naruto. Harnannin athan nestad bân (Terluka dikala orang lain bergembira)… Itukah yang kau harapkan?”
Naruto menutup kelopak matanya rapat-rapat, tanpa ia sadari setitik air hangat keluar dari sudut matanya yang mengatup. “Law! (Tidak). Mani uma lle merna?! (Apa yang kau inginkan sebenarnya?!) Kela! (Pergi!).” Ia merasakan kembali rasa sakit di bagian dada kirinya. Ia pun makin menggenggam erat bagian itu. “Argh!”
Rasa sakitnya makin menjadi, Naruto jatuh berlutut ke tanah. Ia tak kuat lagi menahan sakitnya, nafasnya menjadi sesak. Perlahan kesadaran mulai meninggalkannya. “A—Apa barusan yang aku katakan? Bahasa apa itu? A—aku tak mengerti…tiba-tiba keluar dari mulutku begitu saja.”
Pemandangannya pun seketika berubah. Masih dengan cahaya putih di sekitar Naruto, namun kini ia terbaring, melayang rendah di udara sembari memperhatikan langit gelap di atasnya.
“Kau tidak tahu bahasamu sendiri?” rupanya suara asing itu belum meninggalkan Naruto.
“Ba—Bahasaku?” Tanya Naruto yang kini berputar-putar perlahan sembari menengadah ke langit.
“Sindarin, bahasa agung leluhur rumah besar Uzumakigakure. Kau adalah salah satu dari keturunannya…”
“U—Uzumakigakure…? Sama seperti nama depanku.”
“Ya…takdirmu telah diputuskan. Kau harus bisa menerimanya. Ada tugas berat menantimu, Naruto. Lupakan saja gadis dari dunia fana itu… Kalian tidak ditakdirkan untuk bersama.”
“Huh? Ma—Maksudmu?”
“Yousei dan manusia…tidak akan pernah bisa bersatu, Naruto.”
“Yousei…? Arggghhh!!” Rasa sakit di dada Naruto semakin menjadi-jadi.
Sementara itu di Uzumakigakure.
Kushina yang sedang tertidur di dipan panjang tak jauh dari tempat tidur Naruto, terbangun karena mendengar suara nadir yang tiba-tiba muncul mengganggu tidurnya. Rupanya itu suara Naruto. “Naruto!” teriak Kushina panic ia segera menghampiri anaknya.
Tubuh Naruto menggelepar seperti sedang mengalami mimpi buruk. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya. Giginya bergemeretuk hebat, nafasnya memburu, namun matanya tetap mengatup.
Kushina sontak mengenggam tangan Naruto dengan erat. “Naruto! Mani marte? (Apa yang terjadi?)” Ia mulai khawatir, berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya mengganggu buah hatinya itu. Padahal Naruto sama sekali belum siuman dari tidur panjangnya.
Kushina lantas menyentuh dahi Naruto, berusaha membaca pikiran anaknya. Mata scarlet-nya pun bersinar dengan terang. Selang beberapa menit matanya kembali ke bentuk asal. “I—Ini… jutsu Otou-sama...,” ucapnya. Ia pun menatap Naruto dengan penuh perhatian. “Tidur… Tidurlah dengan nyenyak, Naruto. Kaa-san di sini.” Kushina membelai dahi Naruto berulang-ulang kemudian mengecupnya.
Perlahan Naruto mulai tenang, ia kembali melanjutkan tidurnya.
Kushina menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Ia kemudian berdiri dan hendak pergi dari tempat kamar Naruto. Berarti dia harus ke Konoha untuk mencari tanduk rusa klan Nara. Naruto harus segera dibangunkan, memancing kesadarannya muncul dengan ramuan obat Rin. Tapi sebelum itu ia ingin mengunjungi seseorang. “Tou-sama... Apa yang kau mau sebenarnya?” bisiknya sembari memandang ke luar kamar.
0o0o0o0o0
Dua minggu telah berlalu, Tsunade kini sedang duduk di kursi kebesarannya dengan perasaan kalut yang belum juga lenyap semenjak Naruto menghilang. Tak ada jejak yang bisa ditelusuri, tak ada petunjuk. Haruskah dia menerima keputusan dewan Negara Hi? Dia tahu betul ini adalah ulah Koharu dan Homura yang—tanpa memberitahunya terlebih dahulu—melibatkan pemimpin Negara Hi untuk ikut campur dalam masalah ini.
Tsunade tidak bisa berbuat apa-apa mengingat pemimpin Negara Hi adalah atasannya juga. Ia teringat akan keputusan sesepuh Konoha dengan para petinggi Negara Hi saat mereka melakukan pertemuan rahasia sekitar dua jam yang lalu
Flashback On
“Jadi bagaimana Godaime-sama...apa tim investigasimu sudah menemukan petunjuk mengenai keberadaan Jinchuuriki Kyuubi, Uzumaki Naruto?”
“Saat ini kami sedang berusaha semaksimal mungkin untuk mencari petunjuk, Daimyou-sama (Pemimpin kerajaan Negara Hi),” jawab Tsunade yang ditemani oleh Shikaku dan dua orang Anbu pada pertemuan itu.
“Berusaha? Jadi kalian sama sekali belum menemukan satu petunjuk pun, iya ’kan?”
Tsunade mengerenyitkan dahinya. Ia teringat akan bumga mawar yang ditemukan Kakashi di persembunyian Akatsuki kemarin. Tapi ia sendiri kurang yakin dengan apa yang ditemukan oleh Kakashi itu. Untuk itu dia bungkam...
“Godaime-sama, kami akan segera mengadakan pertemuan antara Lima Negara Elemental. Mereka meminta konfirmasi tentang keadaan Uzumaki Naruto yang sebenarnya. Kami tidak bisa memberikan jawaban yang tidak pasti pada mereka. Kau sendiri mengetahuinya, jika hanya tinggal Kyuubi saja yang belum Akatsuki dapatkan. Kalau memang Akatsuki telah berhasil mendapatkannya, maka Lima Negara Elemental akan bergabung untuk melawan mereka.”
Mata onyx Shikaku terbuka lebar. “Tunggu, kalau itu terjadi maka perang dunia ninja keempat akan terjadi. Dan—”
“Tidak ada cara lain, Shikaku-san. Akatsuki harus dihancurkan sampai ke akar-akarnya. Untuk itu, apabila kau tidak bisa menemukan petunjuk yang berarti tentang keberadaan Uzumaki Naruto dalam waktu dua minggu dari sekarang, kau harus menyediakan monumen kematian untuknya.”
“A—APA?” teriak Tsunade.
“Uzumaki Naruto akan diumumkan terbunuh dalam misi.”
”Bukankah itu waktu yang terlalu singkat, Daimyou-sama?” tanya Shikaku.
”Jika dihitung dari hari menghilangnya Naruto sekitar dua minggu yang lalu, maka kalian punya waktu sebulan untuk mencari petunjuk dan sebagainya. Tapi bagaimana ini? Kalian saja tidak mengetahui apakah Naruto masih hidup atau tidak.”
Tsunade terdiam sembari mengepalkan tangannya kuat-kuat. Beragumen dengan Daimyou memang tidak mudah karena sikapnya yang otoriter.
“Firasatku, Akatsuki telah mendapatkan apa yang dia mau. Dua minggu lagi akan diadakan pertemuan antara petinggi Negara Hi dengan para pemimpin klan shinobi dari Konoha. Hari itu keputusan mutlak akan diumumkan pada rakyat Konoha, Godaime-sama.”
“Kami menganggap Uzumaki Naruto sebagai pahlawan kami, jadi kami berusaha semaksimal mung—”
“Karenanya aku mengusulkan monumen khusus untuk mengenang jasa-jasanya. Aku...sudah mendengar semuanya tentang Uzumaki Naruto.”
Shikaku mencoba membujuk pemimpin Negara Hi itu. “Ini terlalu terburu-buru. Bisakah anda memberi kesempatan pada kami untuk—”
“Bagaimana aku bisa memberi kalian toleransi. Satu petunjuk saja tidak bisa kalian dapatkan. Apa kau bisa memberi kepastian padaku, Godaime-sama?” Daimyou membuka kipasnya lalu mengibas-ngibaskannya ke arahnya sendiri.
Dahi Tsunade kembali mengkerut. Mendengar pernyataan Daimyou lidahnya menjadi kelu. Memang tampang lelaki tua itu seperti orang bodoh yang tidak mengerti tentang permasalan negara. Tapi sebenarnya ia adalah pemimpin yang cukup cakap.
“Oh ya, dan masalah Uchiha Sasuke, aku sudah mendengarnya dari Koharu dan Homura. Aku harap kau bisa bertindak secara tepat dan lugas. Tidak ada kata ampun untuk pengkhianat desa.”
Flashback Off
Tsunade kembali ke alam sadarnya, ia termenung. Kalau begini permasalahannya ia harus segera berunding dengan Shikamaru dan Kakashi. Bukan hanya Naruto, tapi masalah Sasuke juga harus dapat ia selesaikan. Ia akan membentuk tim rahasia untuk menyelidiki keterlibatan Koharu dan Homura dalam pembantaian klan Uchiha.
“Shitsureishimasu, Tsunade-sama.” Shizune tiba-tiba muncul di balik pintu ruangan Hokage yang sedikit terbuka.
“Shizune?! Kenapa kau ke sini? Bukankah lukamu belum sembuh benar?!” Tsunade tentu saja terkejut dengan kehadiran asistennya itu. Wanita berambut raven itu baru saja keluar dari rumah sakit. Luka yang dideritanya lumayan serius akibat serangan Uchiha Madara.
“Ah, dai jou bu desu, Tsunade-sama. Sebenarnya seminggu yang lalu saya sudah baikan, tapi belum diizinkan pulang. Saya yakin saya bisa beraktifitas seperti sedia kala.”
“Tapi—”
“Saya yakin saat ini anda sangat membutuhkan bantuan saya, Tsunade-sama,” ujar Shizune tersenyum.
Tsunade terkesiap mendengarnya. Ya, memang benar. Di saat-saat rumit seperti ini ia sangat membutuhkan asisten yang siap membantunya dan mendengar keluh kesahnya. Ia pun tersenyum. “Baiklah, aku memang tak bisa menolak. Kalau begitu tolong panggilkan Kakashi dan Shikamaru, Shizune.”
Shizune pun terlihat girang. “Hai!” ucapnya penuh dengan semangat.
Time skip di Rumah Sakit Konoha
Hyuuga Hinata berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang terlihat lengang di siang hari. Sejak dua minggu yang lalu—saat dia mendengar Sasuke telah sadar dari komanya—sebenarnya dia ingin langsung mengunjungi keturunan terakhir klan Uchiha di ruangan rawat inapnya. Namun ia sedang berkabung karena peristiwa yang menimpa pangeran hatinya, Uzumaki Naruto. Ya, Naruto kini bagai ditelan bumi, tak ada seorang pun yang tahu bagaimana keadannya sekarang.
Selang beberapa menit, akhirnya Hinata sampai di depan ruangan dimana Sasuke di rawat. Dua orang Anbu Ne menjaga di pintu masuknya.
Hinata pun meminta izin agar diperbolehkan ke dalam.
“Mau apa?” Tanya salah satu dari Anbu tersebut.
“Ano…saya ingin menjenguk Sasuke-kun. Saya temannya.”
Kedua Anbu saling bertatapan satu sama lain. “Baiklah, kau hanya diberi waktu 10 menit.”
“Ha—Hai. Arigatou Gozaimasu.” Hinata lantas segera masuk ke dalam.
Langkah Hinata terhenti sesaat, ia menatap dengan kosong sosok Sasuke yang terbaring di tempat tidurnya. Sepertinya Sasuke sedang tidur.
Hinata lantas melangkahkan hatinya dengan hati-hati agar kehadirannya tidak disadari oleh Sasuke. Karena ia tidak enak mengganggu tidur the Uchiha prodigy itu.
Sasuke memakai baju serba putih, alat bantu pernafasannya telah dicabut. Keadaannya memang semakin hari semakin membaik.
Pandangan mata Hinata lalu tertuju pada kalung ber-pendant batu Aquamarine yang melingkar di leher Sasuke.
Kalung itu adalah miliknya. Kalung leluhur keluarga Hyuuga yang Hinata jaga dengan segenap hatinya. Karena ia percaya kalung itulah yang menyelamatkan dirinya kala ia sedang dalam keadaan mencekam. “Kalau saja aku kemarin memberikannya untuk Naruto-kun, pasti dia bisa selamat dari cengkraman Akatsuki,” bisiknya. Ia lalu mengarahkan tangannya untuk melepas kalung itu dari leher Sasuke.
Hinata sudah menyentuh batu Aquamarine-nya, namun tiba-tiba ia teringat akan permintaan Naruto dulu padanya sebelum bencana itu terjadi.
Flashback On
“Naruto-kun, ini adalah kalung ibuku. Ini adalah jimat keberuntunganku. Aku percaya dia selalu melindungiku kala aku sedang dalam keadaan bahaya. Aku ingin kau memakainya.”
Batu biru laut Aquamarine terlihat berkilauan di tangan Hinata. Naruto memperhatikannya secara saksama, ia merasa enggan untuk menerimanya. “Ano… Hinata. Sepertinya kalung itu sangat berharga bagimu. Aku tidak ingin mengambilnya. Aku tak bisa memakainya.”
“Kumohon, Naruto-kun. Tidak apa-apa, aku ikhlas memberikannya padamu.”
“Bukannya aku tak ingin menerimanya. Rasanya kalung itu tak pantas terkubur bersamaku. Kalau itu memang kalung bertuah—yang bisa menyelamatkan seseorang, aku berharap kalung itu dapat menyelamatkan Sasuke.”
Hinata tertegun. “U—Untuk Sasuke-kun?”
Naruto mengangguk.
Hinata terlihat berpikir sejenak. Ia memang tidak terlalu mengenal Sasuke. Tapi kalung itu turun-temurun diwarisi di keluarga Hyuuga. Tidak boleh diberikan ke sembarang orang. Dia ingin memberikan kalung itu pada Naruto karena perasaan spesialnya pada the Kyuubi host itu. Tapi untuk Sasuke…dia ragu.
Naruto menyadari kebimbangan Hinata. “Hinata, aku tahu Sasuke masih sangat asing bagimu. Karena itu boleh aku memberitahukan suatu hal padamu?”
“Tentang apa, Naruto-kun?”
“Tentang dibalik pembantaian klan Uchiha…”
Flashback Off
Hinata menarik kembali tangannya. Ia teringat akan janjinya pada Naruto. Tiba-tiba ia mundur satu langkah. Ia menyadari mata Sasuke terbuka, memandangnya dengan rasa heran.
“Si—Siapa kau?” Tanya Sasuke. Suaranya berbisik. Ia belum mampu mengeluarkannya dengan sempurna.
Hinata terlihat panik, tapi tidak mungkin ia langsung keluar dari sini. Bisa-bisa Anbu mencurigai tindak-tanduknya. Padahal niat Hinata hanya untuk menjenguk Sasuke.
“Wa—Watashi wa Hyuuga Hinata desu, Sasuke-kun,” ucap Hinata terbata-bata. Ia tidak bisa mengendalikan suaranya, dalam hati ia berdo’a semoga Sasuke tidak bepikir yang aneh-aneh tentangnya.
“Hyuuga? Apa aku mengenalmu?” Tanya Sasuke penasaran.
“Sepertinya tidak, Sasuke-kun. Waktu dulu aku pernah melihatmu di ujian Chuunin, tapi kita sama sekali tidak pernah pernah bertegur sapa.”
“Begitu? Aku memang sudah lama meninggalkan Konoha. Sepertinya tidak ada yang aku kenal selain Hokage Ketiga dan anggota tim tujuh.”
Jantung Hinata berdegup kencang, ia merasa tidak enak hati dengan ucapan Sasuke itu. Menurutnya mengungkit-ungkit masa lalu adalah hal yang terlalu berat untuk diperbincangkan.
“Kau ada urusan apa ke sini?” Tanya Sasuke lagi.
Hinata terkejut mendengarnya. Ia baru mengetahui, kalau Sasuke orangnya sedikit frontal. “A—Aku hanya ingin me—menjengukmu, Sasuke-kun. La—Lagipula aku cukup ke—kenal Sakura-san dan Naruto-kun. Mereka be—berdua sangat-sangat mengharapkan ke—kepulanganmu, Sasuke-kun.”
“Kau tidak apa-apa?”
“E—Eh? Maksudmu?”
“Kau terbata-bata, apa kau takut padaku?”
Hinata terkejut lagi. Lama-lama ia bisa pingsan berhadapan dengan Sasuke. “Ti—Tidak. Hanya sa—saja memang ga—gaya bicaraku seperti ini.”
Sasuke lalu mengalihkan pandangannya dari Hinata ke langit-langit yang ada di atasnya. “Tidak perlu menutupinya. Aku mengerti semua orang di Konoha pasti menganggapku sebagai ninja yang berbahaya.”
The Hyuuga Heiress itu memandang Sasuke dengan iba, dari ekspresinya saja Hinata bisa membaca ada tampak sedikit penyesalan dalam hati si pemuda raven itu.
“Kau tahu di mana Sakura dan Naruto berada? Sampai saat ini hanya Kakashi saja yang pernah menjengukku.”
Hinata tercenung. Apa yang harus ia katakan pada Sasuke? Untuk perihal Sakura, ia tidak tahu mengapa ninja medis itu belum pernah mengunjungi teman se-timnya itu. Dan untuk Naruto… Rasanya tidak etis berkata jujur pada orang yang sedang sakit. Tapi berbohong juga bukan hal yang dapat memecahkan masalah bukan?
“Kau mendengarku, Hyuuga-san?”
“Hi—Hinata saja cukup, Sasuke-kun,” ujar Hinata tiba-tiba. “Ano… Sakura-san… Aku juga jarang melihatnya dalam dua minggu terakhir. Setahuku dia juga bertugas di rumah sakit ini. Dan Naruto-kun…” Hinata menggigit bibirnya sendiri.
Dahi Sasuke mengkerut. Melihat ekspresi Hinata ia jadi mereka-reka, apakah terjadi sesuatu pada Naruto?
“Na—Naruto-kun diculik oleh A—Akatsuki dua minggu yang lalu d—dan saat ini belum diketahui ke—keberadaannya.”
“A—Apa?!” Informasi dari Hinata itu bagai petir di siang bolong bagi Sasuke.
“Maaf, Hyuuga-san. Waktu anda telah habis.” Tiba-tiba Anbu masuk ke dalam ruangan, meminta secara halus pada Hinata untuk meninggalkan ruangan.
“Ya, maafkan saya.” Hinata lantas memandang Sasuke. “Sa—Sasuke-kun, kau tenang saja. Tim investigasi Konoha terus mencari tahu di mana Naruto-kun berada. Ma—Maaf waktu kunjunganku ha—habis, kalau a—aku mendapatkan info tentang Naruto-kun aku a—akan menjengukmu la—lagi.”
Sasuke hanya bisa menatap Hinata yang beranjak meninggalkan kamarnya. “Ada Anbu yang menjagaku? Dan Madara berhasil menangkap Naruto.” Sasuke menyadari sepertinya tidak mudah baginya untuk memulai kehidupan baru di Konoha. Giginya bergemeretuk hebat. Kalau seperti ini jadinya, dia harus segera keluar dari rumah sakit.
0o0o0o0o0
“Maaf, Ino-chan. Sakura sejak dua minggu yang lalu tidak ingin berbicara pada siapa-siapa. Pagi-pagi ia pergi ke rumah sakit, lalu sorenya ketika sampai di rumah, ia langsung masuk ke kamar. Makan saja ia lakukan di sana. Apa kau tahu apa yang terjadi sebenarnya pada Sakura, Ino-chan?” Tanya ibu Sakura yang khawatir dengan perilaku tak biasa anak semata wayangnya.
Sore itu Ino berkunjung ke rumah Sakura karena ada yang ingin dibicarakannya dengan sahabatnya itu. Tak hanya ibu Sakura, Ino juga menyadari sikap Sakura yang dua minggu terakhir menjadi tertutup ke semua orang.
Ino mengerti, hilangnya Naruto adalah penyebab Sakura bersikap seperti ini. Tapi bukankah dulu juga Sakura pernah ditinggalkan oleh Sasuke? Bahkan dalam waktu yang lebih lama. Dan itu bukanlah sifat Sakura yang cepat menyerah begitu saja menerima kenyataan yang ada. Ia termasuk gadis yang memiliki rasa optimis tinggi dibandingkan dengan gadis-gadis seumurannya. Jadi ia semestinya tidak akan se-depresi ini ‘kan?
“Maaf, Haruno-san. Saya juga belum tahu pasti, maka dari itu saya ke sini sekalian mencari tahu. Bolehkah saya ke kamar Sakura sekarang?”
“Ah, silahkan, Ino-chan. Tapi aku tak yakin Sakura akan mengizinkanmu masuk.”
“Tidak apa-apa. Saya akan berusaha membujuknya, Haruno-san.” Ino pun melangkahkan kakinya ke kamar Sakura yang berada di lantai dua.
Sampai di pintunya yang tertutup, ia lalu mengetuknya. Ketukan pertama tak di respon oleh Sakura. Ino mengetuk pintunya lagi. “Sakura, ini aku Ino. Tolong buka pintumu. Ada yang ingin aku bicarakan.”
Sakura yang sedang meringkuk di depan jendela kamarnya yang tersingkap, menoleh ke pintu kamarnya ketika ia mendengar suara Ino dari sana. Ia masih mengenakan pakaian ninjanya yang biasa ia pakai pada saat misi. Saat ini, si pinkish itu sama sekali tidak ingin berbicara pada siapa pun.
Sakura hanya berbicara seperlunya saja. Bahkan pada Tsunade pun, ia hanya melaporkan misi dan hasil kerjanya. Untuk masalah perasaan dan isi hati, ia enggan berbicara pada gurunya itu. Lagipula ia tak ingin menambah beban pada Tsunade. Hokage Kelima itu pasti sedang sangat sibuk dengan urusan-urusan yang berhubungan dengan desanya.
“Sakura, kalau kau sedang ada masalah…kenapa tidak membicarakannya padaku? Dan juga, kenapa kau tidak pernah menjenguk Sasuke-kun? Padahal kau hampir berada di rumah sakit dari pagi hingga sore. Kau tidak cemburu jika aku yang merawat Sasuke-kun? Hehehe.” Ino mencoba menambahkan gurauan untuk mencerahkan suasana.
Sakura terkesiap. Uchiha Sasuke… Ia hampir lupa dengan teman satu timnya itu. Sebenarnya ia ingin segera menjenguknya seminggu kemarin. Tapi Sakura belum siap… Ia belum siap untuk berhadapan dengan Sasuke.
“Sakura…,” panggil Ino sekali lagi.
Sakura lantas melangkahkan kakinya ke depan pintu kamar. Ia hanya bersandar di daunnya, tidak ingin membuka pintu untuk Ino. “Aku tidak apa-apa, Ino. Aku belum ingin berbicara pada siapa pun. Kau pulang saja ke rumahmu,” ucapnya lesu.
“Sakura, ibumu sangat mengkhawatirkanmu. Tidakkah kau kasihan dengan ibumu yang akhir-akhir ini selalu memikirkan perilaku anehmu ini? Aku tahu apa yang mengganggumu, Sakura.”
“Kau…tidak mengerti apa-apa, Ino.”
“Kenapa kau menjadi seperti ini, Sakura? Padahal saat Sasuke-kun meninggalkan desa, kau tidak aneh seperti ini. Kau malah bertekad untuk membawa Sasuke-kun pulang dengan berguru pada Tsunade-sama.”
Tiba-tiba setetes airmata jatuh dari mata hijau Sakura. “Kau tak perlu tahu. Biarkan aku sendiri dulu, Ino. Aku akan menceritakannya padamu nanti ketika aku siap.” Suara Sakura terdengar parau di telinga Ino.
“Sakura, kau menangis?! Ada apa sebenarnya, Sakura?! Sakura, kau ha—”
“Sudah kubilang tinggalkan aku sendiri, INO!!!”
BUUKKK!!!
Sakura melempar bantalnya ke arah pintu.
Ino bergidik kaget sembari mundur satu langkah. Baiklah, Sakura jadi naik pitam, rasa-rasanya ia tak perlu memaksa si pinkish menceritakan masalahnya kepadanya. Akhirnya Ino menyerah, hatinya menjadi pilu ketika mendengar suara tangisan Sakura semakin menjadi-jadi. Ia pun berniat pergi dari sana, tapi sebelumnya… “Sakura, Naruto juga tak akan senang melihatnya jika kau seperti ini terus…” Kemudian ia tinggalkan sahabatnya itu tenggelam dalam kepedihan yang ia harapkan tidak terlalu lama menggerogoti pikiran Sakura.
0o0o0o0o0
Keesokan harinya, Shikamaru bangun pagi-pagi sekali untuk merayakan 10 bulan meninggalnya Asuma. Ia, Chouji, dan Ino berencana untuk mengunjungi makam mendiang gurunya itu. Rencananya, Kurenai juga akan ikut bersama mereka. Untuk itu Shikamaru berniat ke rumah Kurenai dahulu, kunoichi yang ahli dalam genjutsu itu akan membawa anaknya yang baru lahir sebulan yang lalu.
Shikamaru duduk di depan rumahnya, ia memakai sandalnya terlebih dahulu sebelum bangkit dari teras rumahnya. Tapi sebelum pergi…ia menyalakan satu puntung rokok, kemudian menghisapnya.
Time skip di tempat pemakaman ninja Konoha.
Shikamaru, Chouji, dan Kurenai sedang khusyuk berdo’a di depan makam Asuma. Mereka memejamkan mata mereka, setelah itu menebar bunga di atas nisan Asuma.
Shikamaru memandang nisan Asuma dengan perasaan lara di hatinya. Saat ini ia membutuhkan seseorang yang bisa memberinya solusi untuk memecahkan permasalahan yang tengah ia hadapi.
“Maaf kami terlambat,” ucap seseorang dari gerbang utama pemakaman. Rupanya itu Ino dan Kakashi.
“Kakashi,” panggil Kurenai.
“Maaf aku terlambat, Nai-chan.”
Shikamaru, Chouji, dan Ino sontak menatap Kakashi. Sejak kapan si ninja peniru itu memanggil Kurenai dengan nama kecilnya?
“Hai, Hiruzen apa ka—wah, dia sedang tidur rupanya. Hehehe.” Kakashi hendak mengajak bercanda bayi Hiruzen yang sedang tertidur lelap dalam gendongan ibunya. Ya, Kurenai memberi namanya Hiruzen untuk mengenang kakeknya, Sarutobi Hiruzen yang tak lain adalah mendiang Hokage Ketiga.
Kakashi lantas melenggangkan kakinya menuju makam Asuma dan berdo’a dengan khusyuk untuk mendiang temannya itu. Dalam do’anya ia juga meminta izin tentang sesuatu pada Asuma.
Shikamaru hendak pergi dari makam karena harus kembali beraktivitas di menara investigasi Konoha. Sebelum itu ia menghampiri Kurenai untuk pamit. “Kurenai-sensei, aku pamit dulu.”
“Akhir-akhir ini kau sepertinya sangat sibuk, Shikamaru,” ucap Kurenai sembari tersenyum. “Terima kasih karena sudah datang.”
“Bagaimana pun juga Asuma adalah guruku. Aku tak ‘kan pernah melupakan hari kematiannya begitu saja.” Shikamaru lalu menoleh ke arah Chouji. “Chouji, kau tolong antar Kurenai-sensei ke rumah ya. Aku sedang buru-buru.”
“Ya, semoga berhasil, Shikamaru.”
Shikamaru ingin berpamitan juga dengan Kakashi, tapi si ninja peniru itu sedang khuyuk berdo’a untuk itu ia mengindahkannya karena tidak sopan juga mengganggu orang yang sedang berdo’a. Lalu ia melihat Ino telah selesai melakukan kegiatannya, tapi ia membalikkan tubuhnya, tak peduli dengan kehadiran gadis blonde itu. Shikamaru malah mengambil sepuntung rokok dari kantung kunai-nya. Ia pun segera beranjak pergi dari sana, sembari menyalakan rokoknya.
“Tunggu, Shikamaru!” teriak Ino tiba-tiba. Ia menyadari Shikamaru menghindarinya. Sejak peristiwa penculikan Naruto kemarin, hubungannya dengan Shikamaru memang kurang baik. Tapi Ino juga tidak ingin berlama-lama dalam keadaan yang tak mengenakan ini. Ia ingin segera menyelesaikan masalahnya dengan Shikamaru. Sepertinya si pewaris tunggal klan Nara itu masih marah kepadanya.
Shikamaru menoleh ke belakang. “Oh, Ino. Kau rupanya…,” ucapnya santai sembari menghisap rokoknya.
“Kau rupanya? Apa kau tidak menyadari dari tadi aku berdiri di sini?” ucap Ino menyindir. Kadang-kadang ia tak mengerti apa yang Shikamaru inginkan sebenarnya.
“Ya, begitulah. Dah…”
Ino lalu menyadari kalau Shikamaru sedang merokok. “Apa yang sedang mengganggu pikiranmu, Shikamaru? Kau jadi aneh akhir-akhir ini.” Ino mendekat ke arah si rambut nanas itu dengan wajah khawatir, ia tahu betul jika Shikamaru merokok itu artinya ia sedang menghadapi permasalahan yang sangat rumit.
Shikamaru menghentikan langkahnya, ia menoleh ke belakang. “Huh, sejak kapan kau peduli?”
“A—Apa?” Ino tersentak.
“Ah, ya aku lupa. Kenapa kau tidak pindah saja ke tim 7, Ino? Mumpung ada lowongan untukmu,” ucap Shikamaru dingin. Ia membuang puntung rokoknya yang sudah habis dan menyalakan lagi yang baru.
“Apa maksudmu?” Ino mulai naik pitam. Apa Shikamaru berniat mengusirnya dari tim?
Melihat kedua temannya nyaris bertengkar, Chouji pun berusaha untuk melerai. Apalagi di sini ada Kurenai dan Kakashi. Walaupun tempat mereka agak jauh dari makam, tapi apa jadinya nanti kalau guru-guru mereka melihat mereka sedang bertengkar? “I—Ino, lebih baik kau melanjutkan do’amu untuk Asuma-sensei…,” ucap Chouji sembari meraih tangan Ino.
“Aku sudah melakukannya, Chouji!” Ino melepas genggaman tangan Chouji dengan kasar. Ia pun menghampiri Shikamaru. “Kalau kau sedang berbicara, kau harus menatap lawan bicaramu, Shika!”
Shikamaru lantas menuruti permintaan Ino, ia membalikan tubuhnya sehingga kini mereka saling berhadapan.
“Kau ingin aku keluar dari tim?” Tanya Ino frontal.
“Memangnya kau peduli? Dua minggu ini saja kau jarang berkumpul bersama aku dan Chouji, kau malah sibuk mengurus Sasuke-kun-mu itu.”
“Dengar, Shika! Aku melakukan hal itu karena permintaan Tsunade-sama dan juga aku bukan berma—”
“Huh, alasan,” potong Shikamaru
“Apa katamu?!”
Kurenai dan Kakashi sontak menoleh pada Ino ketika suara si blonde itu terdengar menggelegar di area makam.
“Ahaha, maaf sensei. Ada yang ingin kami bicarakan dulu.” Lekas Chouji menggiring kedua temannya agar keluar dari sana. Sesampainya mereka bertiga di luar gerbang. “Cukup, kalian berdua! Shikamaru, kau pergi ke menara investigasi sekarang!”
“Sejak tadi aku memang mau pergi kok, tapi ada saja pengganggu yang menghalangiku.”
“Ka—Kau…” Ino maju satu langkah ke arah Shikamaru tapi Chouji menahannya.
“Hn.” Shikamaru tersenyum sinis pada Ino. Ia mulai beranjak meninggalkan kedua teman se-timnya. Tapi baru beberapa langkah, ia menghentikan langkahnya. “Aku tidak bercanda, Ino. Aku benar-benar menawarkannya padamu. Kau dan Sakura bisa leluasa mendirikan Sasuke fans club ‘kan? Bukankah itu adalah impianmu, Ino? Satu tim dengan si pengkhianat itu…”
“Shi—Shika…ka—kau…” Ino nyaris menangis.
Sedangkan Shikamaru sudah tak peduli, ia terus berjalan menjauhi Ino dan Chouji. Yang tidak Ino ketahui tubuh si nanas itu bergetar hebat, sejak tadi ia berusaha menahan emosinya agar tidak membludak. Sebagai gantinya Shikamaru mengepal kuat kedua tangannya hingga setetes demi setetes darah mengalir dari sana. “Mendokusei!” ucapnya geram sembari menunduk.
Sedangkan di lain tempat, Chouji berusaha untuk menghibur Ino. “Ino, maafkan Shikamaru. Jangan ambil hati kata-katanya barusan. Shikamaru sedang dalam masalah besar saat ini. Kau menyadarinya ‘kan? Dia tak henti-hentinya menghisap rokok sejak kita berkumpul tadi.
Ino menyeka airmatanya. “Memangnya ada apa sebenarnya, Chouji?”
Chouji menatap Ino dengan prihatin. “Ini…tentang hilangnya Naruto…”
Bersambung…
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from HEART. Semi-Crossover with the Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. AU.
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure.
Selamat membaca kawan ^^
~o0o~
Banyak yang bilang, cinta antara manusia dan yousei adalah terlarang. Mungkin apabila yousei memutuskan tinggal bersama-sama dengan manusia, mereka bisa saja menjadi manusia seutuhnya. Tapi sayangnya…kematian adalah takdir nyata yang selalu memisahkan mereka.
Chapter 2
Council’s Decision
Uzumaki Naruto berjalan gontai di sebuah hutan belantara yang memiliki dahan-dahan tinggi di dalamnya. Hutan dengan pepohonan besar, dahan atasnya tak terlihat seperti menjorok ke langit. Udara terasa dingin tanpa ada cahaya matahari masuk. Tak ada suara burung, gemeresik air atau desauan daun-daun yang bergesekan karena di terpa angin. Hutan itu lebih terlihat mati dibandingkan dengan Hutan Kematian yang ada di Konoha.
Naruto…sendirian di tempat itu.
“A—Aku bisa berjalan? Ke—Kenapa aku ada di sini? Harusnya aku berada di ruang operasi. Kalau begini aku tidak bisa menyelamatkan Sasuke. Aku harus kembali ke rumah sakit,” lirih Naruto. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia tak mengerti mengapa tubuhnya menjadi lemah, remuk-redam tak bertenaga. Matanya sungguh berat, tapi Naruto berusaha memaksanya terbuka.
Apa ini mimpi seperti mimpi-mimpinya yang kemarin? Jujur saja ia merasa bosan berada di tempat dan peristiwa yang sama. Kalau kemarin wanita berambut merah yang membawanya ke alam mimpi, tapi sekarang siapa? Atau apakah sekarang dia berada di alam baka? Hal terakhir yang dia ingat adalah bahwa Madara berhasil membawanya pergi dari Konoha. Jadi ada juga kemungkinan Kyuubi telah diekstrak dari tubuhnya.
Naruto terus berjalan… Terus berjalan tanpa lelah hingga ia menemukan sekelebat cahaya di depan matanya.
“Ini di mana?”
Naruto dikelilingi oleh sinar berwarna putih yang menyedar ke seluruh area yang ia pijak. Ia melihat kesana-kemari. Mencari sebuah petunjuk di manakah ia sekarang berada. Namun nihil, ia tak dapat melihat apa-apa selain cahaya putih yang bersanding dengan rasa sepinya. Pesona terangnya penuh misteri sehingga Naruto dibuat penasaran dengan semburat cahaya aneh ini. Namun lamat-lamat latar belakang pepohonan kembali muncul di tengah-tengahnya.
“Sasuke-kun!”
Tiba-tiba terdengar samar-samar suara seorang perempuan memanggil nama Sasuke. Naruto segera memalingkan wajahnya ke arah kanan.
“Sasuke-kun!”
Suara itu terdengar lebih jelas sekarang. Naruto lantas mengenali pemilik suara, ia kenal betul dengan pemilik suara itu. “I—Ini suara Sakura-chan…”
Naruto memandang area di depannya. Barulah perlahan-lahan cahaya putih itu memudar, digantikan pemandangan lain yang tak terpikir oleh Naruto sebelumnya.
“Sasuke-kun, akhirnya kau kembali!” teriak Sakura. Gadis itu dengan cepat berlari ke arah Sasuke dan merengkuh the Uchiha prodigy ke dalam dekapannya.
“Sasuke… Sakura-chan.” Naruto tersenyum getir. “Akhirnya kalian bisa bersama kembali.” Bisa dilihatnya raut wajah kedua orang teman se-timnya itu. Sebongkah kebahagiaan yang sama sekali tak pernah Naruto lihat terpantul dari kedua wajah teman se-timnya itu. Mereka berdua tertawa gembira, mengabaikan sosok yang sedang mengintai mereka dari kejauhan.
“Sasuke sepertinya telah sehat sedia kala. Aku jadi tak punya hutang janji lagi pada Sakura-chan,” ucap Naruto lagi sembari tersenyum. Senyuman yang dipaksakan sebenarnya.
“Kenapa kau selalu memilih penderitaan dibandingkan kebahagiaanmu sendiri, Uzumaki Naruto?”
Naruto terkejut ketika mendengar suara lain yang tiba-tiba menghampirinya. “Eh?” Ia memperhatikan area sekitar. Tidak ada siapa-siapa selain dirinya, Sasuke, dan Sakura. Mungkin itu hanya halusinasinya saja untuk itu ia tidak menghiraukannya.
“Mengapa kau selalu mengedepankan kepentingan orang lain dibandingkan dengan kepentinganmu sendiri?”
Naruto lalu menengadah ke atas. Ia melihat langit-langit di atasnya yang tiba-tiba menjadi berwarna kelabu. “Si—Siapa? Apa maksudmu?” Tanya Naruto pada suara itu.
“Kau senang melihat pemandangan di depanmu?”
Naruto terkesiap, ia menatap lagi kedua temannya. “A—Aku tak mengerti… Te—Tentu saja aku se—senang,” ucap Naruto terbata-bata.
“Lihat. Sebenarnya kau tidak sanggup meihatnya ‘kan, Naruto? Mengaku saja,” ujar suara itu lagi.
“A—Aku tidak sakit hati.” Naruto memandang kedua temannya yang sedang berasyik-masyuk di depan matanya. Tapi pada akhirnya ia tak mengerti. Ia merasakan hatinya sakit, seolah tersayat oleh sembilu paling tajam di dunia.
Naruto mengerenyitkan dahinya. Lantas ilusi kembali permainkan hatinya, dilihatnya Sasuke dan Sakura berangkulan mesra hendak bercumbuan. Sontak ia mengatupkan matanya rapat-rapat, memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Tak tahu perasaan apa yang bergejolak di hatinya, tiba-tiba Naruto merasakan rasa sakit di bagian dada kiri. “Ugh!!” Ia mencengkram kuat bagian itu.
“Sudah kubilang, jangan sok kuat, Naruto. Harnannin athan nestad bân (Terluka dikala orang lain bergembira)… Itukah yang kau harapkan?”
Naruto menutup kelopak matanya rapat-rapat, tanpa ia sadari setitik air hangat keluar dari sudut matanya yang mengatup. “Law! (Tidak). Mani uma lle merna?! (Apa yang kau inginkan sebenarnya?!) Kela! (Pergi!).” Ia merasakan kembali rasa sakit di bagian dada kirinya. Ia pun makin menggenggam erat bagian itu. “Argh!”
Rasa sakitnya makin menjadi, Naruto jatuh berlutut ke tanah. Ia tak kuat lagi menahan sakitnya, nafasnya menjadi sesak. Perlahan kesadaran mulai meninggalkannya. “A—Apa barusan yang aku katakan? Bahasa apa itu? A—aku tak mengerti…tiba-tiba keluar dari mulutku begitu saja.”
Pemandangannya pun seketika berubah. Masih dengan cahaya putih di sekitar Naruto, namun kini ia terbaring, melayang rendah di udara sembari memperhatikan langit gelap di atasnya.
“Kau tidak tahu bahasamu sendiri?” rupanya suara asing itu belum meninggalkan Naruto.
“Ba—Bahasaku?” Tanya Naruto yang kini berputar-putar perlahan sembari menengadah ke langit.
“Sindarin, bahasa agung leluhur rumah besar Uzumakigakure. Kau adalah salah satu dari keturunannya…”
“U—Uzumakigakure…? Sama seperti nama depanku.”
“Ya…takdirmu telah diputuskan. Kau harus bisa menerimanya. Ada tugas berat menantimu, Naruto. Lupakan saja gadis dari dunia fana itu… Kalian tidak ditakdirkan untuk bersama.”
“Huh? Ma—Maksudmu?”
“Yousei dan manusia…tidak akan pernah bisa bersatu, Naruto.”
“Yousei…? Arggghhh!!” Rasa sakit di dada Naruto semakin menjadi-jadi.
Sementara itu di Uzumakigakure.
Kushina yang sedang tertidur di dipan panjang tak jauh dari tempat tidur Naruto, terbangun karena mendengar suara nadir yang tiba-tiba muncul mengganggu tidurnya. Rupanya itu suara Naruto. “Naruto!” teriak Kushina panic ia segera menghampiri anaknya.
Tubuh Naruto menggelepar seperti sedang mengalami mimpi buruk. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya. Giginya bergemeretuk hebat, nafasnya memburu, namun matanya tetap mengatup.
Kushina sontak mengenggam tangan Naruto dengan erat. “Naruto! Mani marte? (Apa yang terjadi?)” Ia mulai khawatir, berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya mengganggu buah hatinya itu. Padahal Naruto sama sekali belum siuman dari tidur panjangnya.
Kushina lantas menyentuh dahi Naruto, berusaha membaca pikiran anaknya. Mata scarlet-nya pun bersinar dengan terang. Selang beberapa menit matanya kembali ke bentuk asal. “I—Ini… jutsu Otou-sama...,” ucapnya. Ia pun menatap Naruto dengan penuh perhatian. “Tidur… Tidurlah dengan nyenyak, Naruto. Kaa-san di sini.” Kushina membelai dahi Naruto berulang-ulang kemudian mengecupnya.
Perlahan Naruto mulai tenang, ia kembali melanjutkan tidurnya.
Kushina menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Ia kemudian berdiri dan hendak pergi dari tempat kamar Naruto. Berarti dia harus ke Konoha untuk mencari tanduk rusa klan Nara. Naruto harus segera dibangunkan, memancing kesadarannya muncul dengan ramuan obat Rin. Tapi sebelum itu ia ingin mengunjungi seseorang. “Tou-sama... Apa yang kau mau sebenarnya?” bisiknya sembari memandang ke luar kamar.
0o0o0o0o0
Dua minggu telah berlalu, Tsunade kini sedang duduk di kursi kebesarannya dengan perasaan kalut yang belum juga lenyap semenjak Naruto menghilang. Tak ada jejak yang bisa ditelusuri, tak ada petunjuk. Haruskah dia menerima keputusan dewan Negara Hi? Dia tahu betul ini adalah ulah Koharu dan Homura yang—tanpa memberitahunya terlebih dahulu—melibatkan pemimpin Negara Hi untuk ikut campur dalam masalah ini.
Tsunade tidak bisa berbuat apa-apa mengingat pemimpin Negara Hi adalah atasannya juga. Ia teringat akan keputusan sesepuh Konoha dengan para petinggi Negara Hi saat mereka melakukan pertemuan rahasia sekitar dua jam yang lalu
Flashback On
“Jadi bagaimana Godaime-sama...apa tim investigasimu sudah menemukan petunjuk mengenai keberadaan Jinchuuriki Kyuubi, Uzumaki Naruto?”
“Saat ini kami sedang berusaha semaksimal mungkin untuk mencari petunjuk, Daimyou-sama (Pemimpin kerajaan Negara Hi),” jawab Tsunade yang ditemani oleh Shikaku dan dua orang Anbu pada pertemuan itu.
“Berusaha? Jadi kalian sama sekali belum menemukan satu petunjuk pun, iya ’kan?”
Tsunade mengerenyitkan dahinya. Ia teringat akan bumga mawar yang ditemukan Kakashi di persembunyian Akatsuki kemarin. Tapi ia sendiri kurang yakin dengan apa yang ditemukan oleh Kakashi itu. Untuk itu dia bungkam...
“Godaime-sama, kami akan segera mengadakan pertemuan antara Lima Negara Elemental. Mereka meminta konfirmasi tentang keadaan Uzumaki Naruto yang sebenarnya. Kami tidak bisa memberikan jawaban yang tidak pasti pada mereka. Kau sendiri mengetahuinya, jika hanya tinggal Kyuubi saja yang belum Akatsuki dapatkan. Kalau memang Akatsuki telah berhasil mendapatkannya, maka Lima Negara Elemental akan bergabung untuk melawan mereka.”
Mata onyx Shikaku terbuka lebar. “Tunggu, kalau itu terjadi maka perang dunia ninja keempat akan terjadi. Dan—”
“Tidak ada cara lain, Shikaku-san. Akatsuki harus dihancurkan sampai ke akar-akarnya. Untuk itu, apabila kau tidak bisa menemukan petunjuk yang berarti tentang keberadaan Uzumaki Naruto dalam waktu dua minggu dari sekarang, kau harus menyediakan monumen kematian untuknya.”
“A—APA?” teriak Tsunade.
“Uzumaki Naruto akan diumumkan terbunuh dalam misi.”
”Bukankah itu waktu yang terlalu singkat, Daimyou-sama?” tanya Shikaku.
”Jika dihitung dari hari menghilangnya Naruto sekitar dua minggu yang lalu, maka kalian punya waktu sebulan untuk mencari petunjuk dan sebagainya. Tapi bagaimana ini? Kalian saja tidak mengetahui apakah Naruto masih hidup atau tidak.”
Tsunade terdiam sembari mengepalkan tangannya kuat-kuat. Beragumen dengan Daimyou memang tidak mudah karena sikapnya yang otoriter.
“Firasatku, Akatsuki telah mendapatkan apa yang dia mau. Dua minggu lagi akan diadakan pertemuan antara petinggi Negara Hi dengan para pemimpin klan shinobi dari Konoha. Hari itu keputusan mutlak akan diumumkan pada rakyat Konoha, Godaime-sama.”
“Kami menganggap Uzumaki Naruto sebagai pahlawan kami, jadi kami berusaha semaksimal mung—”
“Karenanya aku mengusulkan monumen khusus untuk mengenang jasa-jasanya. Aku...sudah mendengar semuanya tentang Uzumaki Naruto.”
Shikaku mencoba membujuk pemimpin Negara Hi itu. “Ini terlalu terburu-buru. Bisakah anda memberi kesempatan pada kami untuk—”
“Bagaimana aku bisa memberi kalian toleransi. Satu petunjuk saja tidak bisa kalian dapatkan. Apa kau bisa memberi kepastian padaku, Godaime-sama?” Daimyou membuka kipasnya lalu mengibas-ngibaskannya ke arahnya sendiri.
Dahi Tsunade kembali mengkerut. Mendengar pernyataan Daimyou lidahnya menjadi kelu. Memang tampang lelaki tua itu seperti orang bodoh yang tidak mengerti tentang permasalan negara. Tapi sebenarnya ia adalah pemimpin yang cukup cakap.
“Oh ya, dan masalah Uchiha Sasuke, aku sudah mendengarnya dari Koharu dan Homura. Aku harap kau bisa bertindak secara tepat dan lugas. Tidak ada kata ampun untuk pengkhianat desa.”
Flashback Off
Tsunade kembali ke alam sadarnya, ia termenung. Kalau begini permasalahannya ia harus segera berunding dengan Shikamaru dan Kakashi. Bukan hanya Naruto, tapi masalah Sasuke juga harus dapat ia selesaikan. Ia akan membentuk tim rahasia untuk menyelidiki keterlibatan Koharu dan Homura dalam pembantaian klan Uchiha.
“Shitsureishimasu, Tsunade-sama.” Shizune tiba-tiba muncul di balik pintu ruangan Hokage yang sedikit terbuka.
“Shizune?! Kenapa kau ke sini? Bukankah lukamu belum sembuh benar?!” Tsunade tentu saja terkejut dengan kehadiran asistennya itu. Wanita berambut raven itu baru saja keluar dari rumah sakit. Luka yang dideritanya lumayan serius akibat serangan Uchiha Madara.
“Ah, dai jou bu desu, Tsunade-sama. Sebenarnya seminggu yang lalu saya sudah baikan, tapi belum diizinkan pulang. Saya yakin saya bisa beraktifitas seperti sedia kala.”
“Tapi—”
“Saya yakin saat ini anda sangat membutuhkan bantuan saya, Tsunade-sama,” ujar Shizune tersenyum.
Tsunade terkesiap mendengarnya. Ya, memang benar. Di saat-saat rumit seperti ini ia sangat membutuhkan asisten yang siap membantunya dan mendengar keluh kesahnya. Ia pun tersenyum. “Baiklah, aku memang tak bisa menolak. Kalau begitu tolong panggilkan Kakashi dan Shikamaru, Shizune.”
Shizune pun terlihat girang. “Hai!” ucapnya penuh dengan semangat.
Time skip di Rumah Sakit Konoha
Hyuuga Hinata berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang terlihat lengang di siang hari. Sejak dua minggu yang lalu—saat dia mendengar Sasuke telah sadar dari komanya—sebenarnya dia ingin langsung mengunjungi keturunan terakhir klan Uchiha di ruangan rawat inapnya. Namun ia sedang berkabung karena peristiwa yang menimpa pangeran hatinya, Uzumaki Naruto. Ya, Naruto kini bagai ditelan bumi, tak ada seorang pun yang tahu bagaimana keadannya sekarang.
Selang beberapa menit, akhirnya Hinata sampai di depan ruangan dimana Sasuke di rawat. Dua orang Anbu Ne menjaga di pintu masuknya.
Hinata pun meminta izin agar diperbolehkan ke dalam.
“Mau apa?” Tanya salah satu dari Anbu tersebut.
“Ano…saya ingin menjenguk Sasuke-kun. Saya temannya.”
Kedua Anbu saling bertatapan satu sama lain. “Baiklah, kau hanya diberi waktu 10 menit.”
“Ha—Hai. Arigatou Gozaimasu.” Hinata lantas segera masuk ke dalam.
Langkah Hinata terhenti sesaat, ia menatap dengan kosong sosok Sasuke yang terbaring di tempat tidurnya. Sepertinya Sasuke sedang tidur.
Hinata lantas melangkahkan hatinya dengan hati-hati agar kehadirannya tidak disadari oleh Sasuke. Karena ia tidak enak mengganggu tidur the Uchiha prodigy itu.
Sasuke memakai baju serba putih, alat bantu pernafasannya telah dicabut. Keadaannya memang semakin hari semakin membaik.
Pandangan mata Hinata lalu tertuju pada kalung ber-pendant batu Aquamarine yang melingkar di leher Sasuke.
Kalung itu adalah miliknya. Kalung leluhur keluarga Hyuuga yang Hinata jaga dengan segenap hatinya. Karena ia percaya kalung itulah yang menyelamatkan dirinya kala ia sedang dalam keadaan mencekam. “Kalau saja aku kemarin memberikannya untuk Naruto-kun, pasti dia bisa selamat dari cengkraman Akatsuki,” bisiknya. Ia lalu mengarahkan tangannya untuk melepas kalung itu dari leher Sasuke.
Hinata sudah menyentuh batu Aquamarine-nya, namun tiba-tiba ia teringat akan permintaan Naruto dulu padanya sebelum bencana itu terjadi.
Flashback On
“Naruto-kun, ini adalah kalung ibuku. Ini adalah jimat keberuntunganku. Aku percaya dia selalu melindungiku kala aku sedang dalam keadaan bahaya. Aku ingin kau memakainya.”
Batu biru laut Aquamarine terlihat berkilauan di tangan Hinata. Naruto memperhatikannya secara saksama, ia merasa enggan untuk menerimanya. “Ano… Hinata. Sepertinya kalung itu sangat berharga bagimu. Aku tidak ingin mengambilnya. Aku tak bisa memakainya.”
“Kumohon, Naruto-kun. Tidak apa-apa, aku ikhlas memberikannya padamu.”
“Bukannya aku tak ingin menerimanya. Rasanya kalung itu tak pantas terkubur bersamaku. Kalau itu memang kalung bertuah—yang bisa menyelamatkan seseorang, aku berharap kalung itu dapat menyelamatkan Sasuke.”
Hinata tertegun. “U—Untuk Sasuke-kun?”
Naruto mengangguk.
Hinata terlihat berpikir sejenak. Ia memang tidak terlalu mengenal Sasuke. Tapi kalung itu turun-temurun diwarisi di keluarga Hyuuga. Tidak boleh diberikan ke sembarang orang. Dia ingin memberikan kalung itu pada Naruto karena perasaan spesialnya pada the Kyuubi host itu. Tapi untuk Sasuke…dia ragu.
Naruto menyadari kebimbangan Hinata. “Hinata, aku tahu Sasuke masih sangat asing bagimu. Karena itu boleh aku memberitahukan suatu hal padamu?”
“Tentang apa, Naruto-kun?”
“Tentang dibalik pembantaian klan Uchiha…”
Flashback Off
Hinata menarik kembali tangannya. Ia teringat akan janjinya pada Naruto. Tiba-tiba ia mundur satu langkah. Ia menyadari mata Sasuke terbuka, memandangnya dengan rasa heran.
“Si—Siapa kau?” Tanya Sasuke. Suaranya berbisik. Ia belum mampu mengeluarkannya dengan sempurna.
Hinata terlihat panik, tapi tidak mungkin ia langsung keluar dari sini. Bisa-bisa Anbu mencurigai tindak-tanduknya. Padahal niat Hinata hanya untuk menjenguk Sasuke.
“Wa—Watashi wa Hyuuga Hinata desu, Sasuke-kun,” ucap Hinata terbata-bata. Ia tidak bisa mengendalikan suaranya, dalam hati ia berdo’a semoga Sasuke tidak bepikir yang aneh-aneh tentangnya.
“Hyuuga? Apa aku mengenalmu?” Tanya Sasuke penasaran.
“Sepertinya tidak, Sasuke-kun. Waktu dulu aku pernah melihatmu di ujian Chuunin, tapi kita sama sekali tidak pernah pernah bertegur sapa.”
“Begitu? Aku memang sudah lama meninggalkan Konoha. Sepertinya tidak ada yang aku kenal selain Hokage Ketiga dan anggota tim tujuh.”
Jantung Hinata berdegup kencang, ia merasa tidak enak hati dengan ucapan Sasuke itu. Menurutnya mengungkit-ungkit masa lalu adalah hal yang terlalu berat untuk diperbincangkan.
“Kau ada urusan apa ke sini?” Tanya Sasuke lagi.
Hinata terkejut mendengarnya. Ia baru mengetahui, kalau Sasuke orangnya sedikit frontal. “A—Aku hanya ingin me—menjengukmu, Sasuke-kun. La—Lagipula aku cukup ke—kenal Sakura-san dan Naruto-kun. Mereka be—berdua sangat-sangat mengharapkan ke—kepulanganmu, Sasuke-kun.”
“Kau tidak apa-apa?”
“E—Eh? Maksudmu?”
“Kau terbata-bata, apa kau takut padaku?”
Hinata terkejut lagi. Lama-lama ia bisa pingsan berhadapan dengan Sasuke. “Ti—Tidak. Hanya sa—saja memang ga—gaya bicaraku seperti ini.”
Sasuke lalu mengalihkan pandangannya dari Hinata ke langit-langit yang ada di atasnya. “Tidak perlu menutupinya. Aku mengerti semua orang di Konoha pasti menganggapku sebagai ninja yang berbahaya.”
The Hyuuga Heiress itu memandang Sasuke dengan iba, dari ekspresinya saja Hinata bisa membaca ada tampak sedikit penyesalan dalam hati si pemuda raven itu.
“Kau tahu di mana Sakura dan Naruto berada? Sampai saat ini hanya Kakashi saja yang pernah menjengukku.”
Hinata tercenung. Apa yang harus ia katakan pada Sasuke? Untuk perihal Sakura, ia tidak tahu mengapa ninja medis itu belum pernah mengunjungi teman se-timnya itu. Dan untuk Naruto… Rasanya tidak etis berkata jujur pada orang yang sedang sakit. Tapi berbohong juga bukan hal yang dapat memecahkan masalah bukan?
“Kau mendengarku, Hyuuga-san?”
“Hi—Hinata saja cukup, Sasuke-kun,” ujar Hinata tiba-tiba. “Ano… Sakura-san… Aku juga jarang melihatnya dalam dua minggu terakhir. Setahuku dia juga bertugas di rumah sakit ini. Dan Naruto-kun…” Hinata menggigit bibirnya sendiri.
Dahi Sasuke mengkerut. Melihat ekspresi Hinata ia jadi mereka-reka, apakah terjadi sesuatu pada Naruto?
“Na—Naruto-kun diculik oleh A—Akatsuki dua minggu yang lalu d—dan saat ini belum diketahui ke—keberadaannya.”
“A—Apa?!” Informasi dari Hinata itu bagai petir di siang bolong bagi Sasuke.
“Maaf, Hyuuga-san. Waktu anda telah habis.” Tiba-tiba Anbu masuk ke dalam ruangan, meminta secara halus pada Hinata untuk meninggalkan ruangan.
“Ya, maafkan saya.” Hinata lantas memandang Sasuke. “Sa—Sasuke-kun, kau tenang saja. Tim investigasi Konoha terus mencari tahu di mana Naruto-kun berada. Ma—Maaf waktu kunjunganku ha—habis, kalau a—aku mendapatkan info tentang Naruto-kun aku a—akan menjengukmu la—lagi.”
Sasuke hanya bisa menatap Hinata yang beranjak meninggalkan kamarnya. “Ada Anbu yang menjagaku? Dan Madara berhasil menangkap Naruto.” Sasuke menyadari sepertinya tidak mudah baginya untuk memulai kehidupan baru di Konoha. Giginya bergemeretuk hebat. Kalau seperti ini jadinya, dia harus segera keluar dari rumah sakit.
0o0o0o0o0
“Maaf, Ino-chan. Sakura sejak dua minggu yang lalu tidak ingin berbicara pada siapa-siapa. Pagi-pagi ia pergi ke rumah sakit, lalu sorenya ketika sampai di rumah, ia langsung masuk ke kamar. Makan saja ia lakukan di sana. Apa kau tahu apa yang terjadi sebenarnya pada Sakura, Ino-chan?” Tanya ibu Sakura yang khawatir dengan perilaku tak biasa anak semata wayangnya.
Sore itu Ino berkunjung ke rumah Sakura karena ada yang ingin dibicarakannya dengan sahabatnya itu. Tak hanya ibu Sakura, Ino juga menyadari sikap Sakura yang dua minggu terakhir menjadi tertutup ke semua orang.
Ino mengerti, hilangnya Naruto adalah penyebab Sakura bersikap seperti ini. Tapi bukankah dulu juga Sakura pernah ditinggalkan oleh Sasuke? Bahkan dalam waktu yang lebih lama. Dan itu bukanlah sifat Sakura yang cepat menyerah begitu saja menerima kenyataan yang ada. Ia termasuk gadis yang memiliki rasa optimis tinggi dibandingkan dengan gadis-gadis seumurannya. Jadi ia semestinya tidak akan se-depresi ini ‘kan?
“Maaf, Haruno-san. Saya juga belum tahu pasti, maka dari itu saya ke sini sekalian mencari tahu. Bolehkah saya ke kamar Sakura sekarang?”
“Ah, silahkan, Ino-chan. Tapi aku tak yakin Sakura akan mengizinkanmu masuk.”
“Tidak apa-apa. Saya akan berusaha membujuknya, Haruno-san.” Ino pun melangkahkan kakinya ke kamar Sakura yang berada di lantai dua.
Sampai di pintunya yang tertutup, ia lalu mengetuknya. Ketukan pertama tak di respon oleh Sakura. Ino mengetuk pintunya lagi. “Sakura, ini aku Ino. Tolong buka pintumu. Ada yang ingin aku bicarakan.”
Sakura yang sedang meringkuk di depan jendela kamarnya yang tersingkap, menoleh ke pintu kamarnya ketika ia mendengar suara Ino dari sana. Ia masih mengenakan pakaian ninjanya yang biasa ia pakai pada saat misi. Saat ini, si pinkish itu sama sekali tidak ingin berbicara pada siapa pun.
Sakura hanya berbicara seperlunya saja. Bahkan pada Tsunade pun, ia hanya melaporkan misi dan hasil kerjanya. Untuk masalah perasaan dan isi hati, ia enggan berbicara pada gurunya itu. Lagipula ia tak ingin menambah beban pada Tsunade. Hokage Kelima itu pasti sedang sangat sibuk dengan urusan-urusan yang berhubungan dengan desanya.
“Sakura, kalau kau sedang ada masalah…kenapa tidak membicarakannya padaku? Dan juga, kenapa kau tidak pernah menjenguk Sasuke-kun? Padahal kau hampir berada di rumah sakit dari pagi hingga sore. Kau tidak cemburu jika aku yang merawat Sasuke-kun? Hehehe.” Ino mencoba menambahkan gurauan untuk mencerahkan suasana.
Sakura terkesiap. Uchiha Sasuke… Ia hampir lupa dengan teman satu timnya itu. Sebenarnya ia ingin segera menjenguknya seminggu kemarin. Tapi Sakura belum siap… Ia belum siap untuk berhadapan dengan Sasuke.
“Sakura…,” panggil Ino sekali lagi.
Sakura lantas melangkahkan kakinya ke depan pintu kamar. Ia hanya bersandar di daunnya, tidak ingin membuka pintu untuk Ino. “Aku tidak apa-apa, Ino. Aku belum ingin berbicara pada siapa pun. Kau pulang saja ke rumahmu,” ucapnya lesu.
“Sakura, ibumu sangat mengkhawatirkanmu. Tidakkah kau kasihan dengan ibumu yang akhir-akhir ini selalu memikirkan perilaku anehmu ini? Aku tahu apa yang mengganggumu, Sakura.”
“Kau…tidak mengerti apa-apa, Ino.”
“Kenapa kau menjadi seperti ini, Sakura? Padahal saat Sasuke-kun meninggalkan desa, kau tidak aneh seperti ini. Kau malah bertekad untuk membawa Sasuke-kun pulang dengan berguru pada Tsunade-sama.”
Tiba-tiba setetes airmata jatuh dari mata hijau Sakura. “Kau tak perlu tahu. Biarkan aku sendiri dulu, Ino. Aku akan menceritakannya padamu nanti ketika aku siap.” Suara Sakura terdengar parau di telinga Ino.
“Sakura, kau menangis?! Ada apa sebenarnya, Sakura?! Sakura, kau ha—”
“Sudah kubilang tinggalkan aku sendiri, INO!!!”
BUUKKK!!!
Sakura melempar bantalnya ke arah pintu.
Ino bergidik kaget sembari mundur satu langkah. Baiklah, Sakura jadi naik pitam, rasa-rasanya ia tak perlu memaksa si pinkish menceritakan masalahnya kepadanya. Akhirnya Ino menyerah, hatinya menjadi pilu ketika mendengar suara tangisan Sakura semakin menjadi-jadi. Ia pun berniat pergi dari sana, tapi sebelumnya… “Sakura, Naruto juga tak akan senang melihatnya jika kau seperti ini terus…” Kemudian ia tinggalkan sahabatnya itu tenggelam dalam kepedihan yang ia harapkan tidak terlalu lama menggerogoti pikiran Sakura.
0o0o0o0o0
Keesokan harinya, Shikamaru bangun pagi-pagi sekali untuk merayakan 10 bulan meninggalnya Asuma. Ia, Chouji, dan Ino berencana untuk mengunjungi makam mendiang gurunya itu. Rencananya, Kurenai juga akan ikut bersama mereka. Untuk itu Shikamaru berniat ke rumah Kurenai dahulu, kunoichi yang ahli dalam genjutsu itu akan membawa anaknya yang baru lahir sebulan yang lalu.
Shikamaru duduk di depan rumahnya, ia memakai sandalnya terlebih dahulu sebelum bangkit dari teras rumahnya. Tapi sebelum pergi…ia menyalakan satu puntung rokok, kemudian menghisapnya.
Time skip di tempat pemakaman ninja Konoha.
Shikamaru, Chouji, dan Kurenai sedang khusyuk berdo’a di depan makam Asuma. Mereka memejamkan mata mereka, setelah itu menebar bunga di atas nisan Asuma.
Shikamaru memandang nisan Asuma dengan perasaan lara di hatinya. Saat ini ia membutuhkan seseorang yang bisa memberinya solusi untuk memecahkan permasalahan yang tengah ia hadapi.
“Maaf kami terlambat,” ucap seseorang dari gerbang utama pemakaman. Rupanya itu Ino dan Kakashi.
“Kakashi,” panggil Kurenai.
“Maaf aku terlambat, Nai-chan.”
Shikamaru, Chouji, dan Ino sontak menatap Kakashi. Sejak kapan si ninja peniru itu memanggil Kurenai dengan nama kecilnya?
“Hai, Hiruzen apa ka—wah, dia sedang tidur rupanya. Hehehe.” Kakashi hendak mengajak bercanda bayi Hiruzen yang sedang tertidur lelap dalam gendongan ibunya. Ya, Kurenai memberi namanya Hiruzen untuk mengenang kakeknya, Sarutobi Hiruzen yang tak lain adalah mendiang Hokage Ketiga.
Kakashi lantas melenggangkan kakinya menuju makam Asuma dan berdo’a dengan khusyuk untuk mendiang temannya itu. Dalam do’anya ia juga meminta izin tentang sesuatu pada Asuma.
Shikamaru hendak pergi dari makam karena harus kembali beraktivitas di menara investigasi Konoha. Sebelum itu ia menghampiri Kurenai untuk pamit. “Kurenai-sensei, aku pamit dulu.”
“Akhir-akhir ini kau sepertinya sangat sibuk, Shikamaru,” ucap Kurenai sembari tersenyum. “Terima kasih karena sudah datang.”
“Bagaimana pun juga Asuma adalah guruku. Aku tak ‘kan pernah melupakan hari kematiannya begitu saja.” Shikamaru lalu menoleh ke arah Chouji. “Chouji, kau tolong antar Kurenai-sensei ke rumah ya. Aku sedang buru-buru.”
“Ya, semoga berhasil, Shikamaru.”
Shikamaru ingin berpamitan juga dengan Kakashi, tapi si ninja peniru itu sedang khuyuk berdo’a untuk itu ia mengindahkannya karena tidak sopan juga mengganggu orang yang sedang berdo’a. Lalu ia melihat Ino telah selesai melakukan kegiatannya, tapi ia membalikkan tubuhnya, tak peduli dengan kehadiran gadis blonde itu. Shikamaru malah mengambil sepuntung rokok dari kantung kunai-nya. Ia pun segera beranjak pergi dari sana, sembari menyalakan rokoknya.
“Tunggu, Shikamaru!” teriak Ino tiba-tiba. Ia menyadari Shikamaru menghindarinya. Sejak peristiwa penculikan Naruto kemarin, hubungannya dengan Shikamaru memang kurang baik. Tapi Ino juga tidak ingin berlama-lama dalam keadaan yang tak mengenakan ini. Ia ingin segera menyelesaikan masalahnya dengan Shikamaru. Sepertinya si pewaris tunggal klan Nara itu masih marah kepadanya.
Shikamaru menoleh ke belakang. “Oh, Ino. Kau rupanya…,” ucapnya santai sembari menghisap rokoknya.
“Kau rupanya? Apa kau tidak menyadari dari tadi aku berdiri di sini?” ucap Ino menyindir. Kadang-kadang ia tak mengerti apa yang Shikamaru inginkan sebenarnya.
“Ya, begitulah. Dah…”
Ino lalu menyadari kalau Shikamaru sedang merokok. “Apa yang sedang mengganggu pikiranmu, Shikamaru? Kau jadi aneh akhir-akhir ini.” Ino mendekat ke arah si rambut nanas itu dengan wajah khawatir, ia tahu betul jika Shikamaru merokok itu artinya ia sedang menghadapi permasalahan yang sangat rumit.
Shikamaru menghentikan langkahnya, ia menoleh ke belakang. “Huh, sejak kapan kau peduli?”
“A—Apa?” Ino tersentak.
“Ah, ya aku lupa. Kenapa kau tidak pindah saja ke tim 7, Ino? Mumpung ada lowongan untukmu,” ucap Shikamaru dingin. Ia membuang puntung rokoknya yang sudah habis dan menyalakan lagi yang baru.
“Apa maksudmu?” Ino mulai naik pitam. Apa Shikamaru berniat mengusirnya dari tim?
Melihat kedua temannya nyaris bertengkar, Chouji pun berusaha untuk melerai. Apalagi di sini ada Kurenai dan Kakashi. Walaupun tempat mereka agak jauh dari makam, tapi apa jadinya nanti kalau guru-guru mereka melihat mereka sedang bertengkar? “I—Ino, lebih baik kau melanjutkan do’amu untuk Asuma-sensei…,” ucap Chouji sembari meraih tangan Ino.
“Aku sudah melakukannya, Chouji!” Ino melepas genggaman tangan Chouji dengan kasar. Ia pun menghampiri Shikamaru. “Kalau kau sedang berbicara, kau harus menatap lawan bicaramu, Shika!”
Shikamaru lantas menuruti permintaan Ino, ia membalikan tubuhnya sehingga kini mereka saling berhadapan.
“Kau ingin aku keluar dari tim?” Tanya Ino frontal.
“Memangnya kau peduli? Dua minggu ini saja kau jarang berkumpul bersama aku dan Chouji, kau malah sibuk mengurus Sasuke-kun-mu itu.”
“Dengar, Shika! Aku melakukan hal itu karena permintaan Tsunade-sama dan juga aku bukan berma—”
“Huh, alasan,” potong Shikamaru
“Apa katamu?!”
Kurenai dan Kakashi sontak menoleh pada Ino ketika suara si blonde itu terdengar menggelegar di area makam.
“Ahaha, maaf sensei. Ada yang ingin kami bicarakan dulu.” Lekas Chouji menggiring kedua temannya agar keluar dari sana. Sesampainya mereka bertiga di luar gerbang. “Cukup, kalian berdua! Shikamaru, kau pergi ke menara investigasi sekarang!”
“Sejak tadi aku memang mau pergi kok, tapi ada saja pengganggu yang menghalangiku.”
“Ka—Kau…” Ino maju satu langkah ke arah Shikamaru tapi Chouji menahannya.
“Hn.” Shikamaru tersenyum sinis pada Ino. Ia mulai beranjak meninggalkan kedua teman se-timnya. Tapi baru beberapa langkah, ia menghentikan langkahnya. “Aku tidak bercanda, Ino. Aku benar-benar menawarkannya padamu. Kau dan Sakura bisa leluasa mendirikan Sasuke fans club ‘kan? Bukankah itu adalah impianmu, Ino? Satu tim dengan si pengkhianat itu…”
“Shi—Shika…ka—kau…” Ino nyaris menangis.
Sedangkan Shikamaru sudah tak peduli, ia terus berjalan menjauhi Ino dan Chouji. Yang tidak Ino ketahui tubuh si nanas itu bergetar hebat, sejak tadi ia berusaha menahan emosinya agar tidak membludak. Sebagai gantinya Shikamaru mengepal kuat kedua tangannya hingga setetes demi setetes darah mengalir dari sana. “Mendokusei!” ucapnya geram sembari menunduk.
Sedangkan di lain tempat, Chouji berusaha untuk menghibur Ino. “Ino, maafkan Shikamaru. Jangan ambil hati kata-katanya barusan. Shikamaru sedang dalam masalah besar saat ini. Kau menyadarinya ‘kan? Dia tak henti-hentinya menghisap rokok sejak kita berkumpul tadi.
Ino menyeka airmatanya. “Memangnya ada apa sebenarnya, Chouji?”
Chouji menatap Ino dengan prihatin. “Ini…tentang hilangnya Naruto…”
Bersambung…