Nyanyian Tak Pernah Mati
Jika manusia bisa memilih, tentunya mereka akan lebih memilih kehidupan yang membuatnya riang sepanjang waktu. Tanpa khawatir tentang hari esok yang merupakan misteri, penuh teka-teki, dan jebakan-jebakan ilusi. Tak jarang karena jebakan itu banyak manusia yang lena lalu tergelicir ke dasar jurang sedalam-dalamnya, namun hanya beberapa saja yang bisa keluar dari kegelapan sana…
Ah, miris. Mengapa mereka tak punya semangat dalam mengarungi bahtera hidup? Anugrah Tuhan yang paling indah ini. Padahal lahir dan batin sudah terpuaskan dengan hasrat duniawi. Mereka terjebak pada kesenangan yang terlalu diekspresikan secara berlebihan tanpa mengingat kodrat mereka sendiri. Bukankah senang dan sedih itu adalah cobaan dari Tuhan, Sahabat?
Tapi apakah kalian pernah temukan orang-orang yang tak pernah kita bayangkan jalan hidupnya begitu berat sampai hati ini terasa sesak memikirkannya, namun memberikan pembelajaran berharga pada kita, bahwa tidak ada yang sia-sia dalam hidup ini jika kita mau berpikir dengan saksama.
Seperti sebuah cerita yang akan kusampaikan padamu sekarang, Sahabat. Cerita tentang seorang anak yang mencari keadilan untuk mendapatkan hak yang sama dengan teman-teman sebayanya. Tentang seorang anak yang melagu hingga dendangannya terdengar sampai ke pelosok negeri. Tentang perjuangan sejati melawan sakit, terasing di tanah kelahiran sendiri tanpa tahu siapa keluarganya. Dan tentang sebuah nyanyian yang tak pernah mati…
~o0o~
Lagi-lagi terperangkap pada suasana yang sama. Hidup yang statis, tak ada dinamika apa-apa. Selayaknya nada do re mi fa so la si do, barangkali jika diibaratkan hidupnya itu hanya berkutat pada nada do saja.
Anton menghirup nafas dalam-dalam, ingin keluar dari kungkungan terali kayu yang telah lama berdiri di sekelilingnya. Bosan, adik angkatnya yang biasa bermain dengannya sedang bersekolah. Sementara Anton tidak bersekolah karena suatu alasan. Bukan karena ia malas atau enggan berkomunikasi dengan banyak orang. Tapi ia merasa tak enak hati, ia takut diabaikan lagi.
Kemudian suara lembut nan syahdu menyebut namanya dengan sukacita. Ah suara itu rupanya… Tanpa ragu Anton memalingkan wajahnya ke sumber suara. Di sana bunda Barbara berdiri dengan airmuka sejuk, memintanya untuk datang ke meja makan karena sudah waktunya makan siang.
Anton pun segera beranjak dari jendela yang menjadi tempat tepekurnya setiap hari. Apalagi setelah bunda Barbara bilang dia memasak masakan kesukaan Anton.
Bunda Barbara tersenyum manis. Semangat Anton langsung naik ke nada si. Senyuman terindah dari seorang ibu yang paling hebat sepanjang masa. Tanpa pikir lagi, ia mengambil langkah seribu menuju meja makan.
Bunda Barbara tertawa lepas, ia senang melihat anak angkatnya itu begitu riang. Ia lalu terlihat berpikir, rencananya ingin merubah hidup Anton walau kesempatan yang ada hanya satu berbanding seratus. Tapi ia ingin di sisa hidup Anton—yang hanya Tuhan yang tahu— memberikan sesuatu yang berharga pada anak tersayangnya itu.
Anton menyantap hidangannya dengan lahap, ia tidak menyadari bunda Barbara sama sekali belum menyantap hidangannya. Bunda Barbara terlihat menguatkan diri untuk mengatakan rencananya, namun inilah waktu yang sangat tepat.
Tiba-tiba Anton tersedak ketika mendengar pertanyaan bunda Barbara yang mengatakan apakah ia ingin bersekolah.
Kaget melihat reaksi Anton, bunda Barbara langsung segera beranjak ke tempat duduk Anton, menepuk punggung lalu membantunya untuk minum.
Anton terang saja terkejut, karena selama ini ia hanya berdiam diri di rumah. Tepekur memandangi dunia luar yang menurutnya sangat asing. Sekolah? Tentu saja ia mau, terlebih bunda Barbara ingin menyekolahkan dirinya ke sekolah musik, tapi apakah ia akan mampu melewati hari-hari yang melelahkan nan menyedihkan itu?
Lalu hening itu datang lagi, selama ini Anton selalu merasa sendiri. Memikul segalanya yang berat itu di pundak kecilnya sejak lahir. Karena hanya bunda Barbara keluarga yang ia miliki saat ini. Ia tak pernah tahu tentang keberadaan orangtuanya sejak menatap bengisnya dunia.
Acquired Immune Deficiency Syndrome. Padahal di dunia ini banyak sekali penyakit berbahaya yang mematikan si penderita. Tapi seperti tidak ada ampun untuk penderita Acquired Immune Deficiency Syndrome bagi manusia sendiri. Mereka diasingkan, mereka dikucilkan, mereka dianggap gila padahal tidak gila, dan yang lebih menyedihkan…ah, kata-kata itu tidak pantas untuk disebutkan.
Anton bukanlah anak yang mudah menyerah, tapi dia mencoba berpikir realistis. Ia adalah anak yang cukup mengerti tentang kehidupan di umurnya yang sudah sepuluh tahun ini. Menurutnya ia sudah cukup merepotkan bunda Barbara.
Bunda Barbara tidak tinggal diam, ia berusaha meyakinkan Anton untuk belajar musik di sekolah yang memiliki akreditasi bagus. Bakat menyanyi Anton sudah ia tunjukkan sejak kecil. Dan bunda Barbara yang tidak memiliki ilmu tentang olah vokal tidak ingin Anton menjadi katak dalam tempurung.
Anton menatap lekat-lekat wajah lembut ibu paling hebat sedunia itu. Bagaimana ia bisa lupa bahwa sebenarnya ia tidak sendirian? Bidadari cantik yang dikirimkan untuknya—yang menjadi penjaganya—itu adalah kekuatannya.
Mata Anton seketika terlihat membara. Akhirnya telah ia putuskan, ini adalah waktu yang tepat untuk berubah.
Ketika bunda memutuskan untuk memalsukan surat kesehatan Anton, Anton pun meminta agar surat itu diberikan seadanya saja, menurutnya tidak ada yang harus disembunyikan
Mata bunda Barabara mulai berair, ia mafhum anak angkat tersayangnya ini tidak mudah menyerah. Selama empat tahun lebih mengurusnya, ia jarang sekali terlihat bersusah hati dan mengeluh. Sejak pertama kali melihatnya di panti asuhan ia langsung jatuh hati pada anak ini, ada yang istimewa darinya. Karena itu kali ini ia akan membantu Anton untuk mengejar cita-citanya.
~o0o~
Bunda Barbara sudah memprediksi sebelumnya pasti kepala sekolah musik Santa Angel tidak akan menyetujui Anton untuk bersekolah di sana. Tanpa dites bakatnya terlebih dahulu, melihat riwayat kesehatan Anton kepala sekolah langsung menolak. Tentunya ia langsung naik pitam dan menggebrak meja kepala sekolah tersebut hingga retak. Bunda Barbara tidak terima dengan diskriminasi yang dilakukan orang tua itu pada anak angkatnya. Hanya karena dia mengidap penyakit yang berbahaya. Toh Anton mampu mengikuti kegiatan sekolah. Terlebih ketika kepala sekolah tersebut melakukan tindakan pelanggaran SARA yang membuat kesabaran bunda Barbara habis. Menyebut dirinya sebagai kulit putih yang ingin cari perhatian di negeri mereka yang kebanyakan orang hitam.
Namun berita di Koran pagi ini begitu mengejutkan dirinya, ia sama sekali tidak tahu bahwa aksinya memprotes kepala sekolah yang congkak itu masuk di headline koran kota. Di sana tertulis, “KARENA DIA JUGA MANUSIA SEPERTI SAYA!”
Itu adalah kata-kata yang terlontar dari bibir bunda Barbara. Entah dari mana wartawan itu bisa tahu kejadian kemarin, namun ia bersyukur artikel yang ditulis si wartawan itu tidak melenceng dari fakta yang ada.
Rupanya artikel koran tersebut menarik perhatian masyarakat termasuk walikota. Akhirnya kepala sekolah musik santa angel, bunda Barbara, dan Anton diundang untuk datang ke balai kota.
Ternyata walikota merasa simpati dengan kasih sayang bunda Barbara dan semangat Anton untuk bersekolah meski dengan sakitnya yang sulit disembuhkan itu. Atas nama pemerintah kota, ia pun akan membantu biaya sekolah Anton hingga sampai perguruan tinggi nanti dan juga biaya pengobatan rutin selama lima tahun.
Sungguh rezeki dari Tuhan yang tak terduga. Kepala sekolah itu sendiri pun meminta maaf atas nama pribadi pada bunda Barbara dan Anton. Ia merasa malu melihat bunda Barbara yang berkulit putih dengan tulus ikhlas mengasuh Anton yang berkulit hitam. Seharusnya ia merasa senasib sepenanggungan juga terhadap rasnya sendiri.
Dan Laurencia, wartawan koran kota yang kemarin diam-diam mengambil gambar pun mengunjungi bunda Barbara untuk klarifikasi. Awalnya ia datang ke sekolah itu untuk meliput acara drama musikal yang sedang diselenggarakan, ketika melewati ruangan kepala sekolah ia mendengar suara rebut-ribut. Ia pun menguping dan entah mengapa walau ia sendiri memang tidak terlalu peduli dengan seorang penderita AIDS, ia merasa trenyuh dengan bunda Barbara dan perjuangan Anton yang ingin mendapat perlakuan yang sama seperti anak-anak sebayanya.
Laura mencatat semua apa yang ia dengar dan memfoto kejadian itu diam-diam, ia memutuskan untuk menaruh berita itu di headline dan ternyata pimpinan redaksi tak keberatan.
Tak disangka-sangka teman-temannya di sekolah pun bersedia menerima keberadaan Anton meski diawal-awal pertemuan masih terlihat kerenggangan. Ia berhasil menarik perhatian teman-temannya dengan keinginan dan kesungguhan hati yang mendalam.
Dan sekarang bisa kalian tebak akhir dari cerita ini? Rasanya memang nampak klise, tapi adakah pembelajaran yang kalian dapatkan?
Akhirnya Anton terus bernyanyi hingga akhir hayatnya. Dan berkat bantuan guru dan dukungan teman-teman, ia bisa menciptakan sebuah lagu yang ia tujukan pada bunda Barbara. Lagu yang menceritakan kehidupannya dengan ibu hebat sepanjang masa tersebut. Lagu itu sampai sekarang masih sering dinyanyikan saat pertunjukan musikal di santa angel.
Sayangnya, ia hanya bisa bersekolah selama dua tahun. Penyakit yang dideritanya itu telah menggerogoti tubuhnya hingga kurus kering tak berdaya.
Kepergiannya ditangisi dan disesali banyak pihak, sekaligus menginspirasi orang-orang terdekatnya. Karena Anton tetap menjalani hidup ini dengan melakukan yang terbaik, dengan tidak menyia-nyiakan hidupnya yang singkat itu. Ia anak yang pantang menyerah, Sahabat.
Nada-nada dan pesan cinta yang ia tuangkan dalam lagu itu benar-benar menyentuh sanubari siapa saja yang mendengarnya. Ia tetap terkenang, hidup selamanya di hati setiap orang-orang yang pernah mengenalnya. Terutama bunda Barbara, karenanya nyanyian lagu itu masih ada sampai sekarang. Tak pernah mati, terkenang selamanya di hati bunda Barbara.
Saturday, 30 April 2011
Friday, 22 April 2011
Fanfiksi NARUTO Dibuang Sayang : HEART FINAL CHAPTER
MAU KE JEPANG GRATIS? YUK NULIS ARTIKEL. DEADLINE 16 JUNI 2016. INFO LEBIH LENGKAP KLIK BANNER DI BAWAH INI
Heart Chapter 10
Final Chapter : Heart… Jantung.
Naruto © Masashi Kishimoto.
NaruSakuSasu. Semi-Canon. Tragedy.
Italics : Flashback
Bold and Italics : Naruto’s Letter
Tsunade duduk di ruangannya dengan perasaan cemas di hati. Berkali-kali ia berusaha menahan gejolak amarah yang menggerogoti otaknya sejak sehari yang lalu. Tapi yang ini lebih parah dari yang sebelum-sebelumnya. Dia ingin marah, dia ingin menangis.
Kemarin sore dia mendengar kabar tidak mengenakkan dari tim Kakashi yang telah menyelesaikan misi mereka. Memang tempat persembunyian Akatsuki tidak jauh dari desa Konoha, sehingga tak heran apabila misi itu berjalan sangat cepat. Tentu saja bukan dalam kategori misi yang sukses dilaksanakan, mengingat mereka tak berhasil membawa pulang Naruto hidup-hidup.
Tsunade dikejutkan dengan kehadiran Pakkun—anjing milik Kakashi—yang memberi kabar kepadanya untuk segera beranjak ke rumah sakit Konoha karena Kakashi sedang menunggunya di sana.
Dan sesampainya di sana, tentu saja dia tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Kakashi membawa tubuh Naruto yang sudah tak bernyawa di belakangnya. Tsunade nyaris jatuh ke lantai apabila dia tidak cepat-cepat mengontrol emosinya sendiri. Iya juga menahan airmatanya untuk tidak jatuh. Karena dia adalah seorang Hokage yang berwibawa. Tak sepatutnya ia menunjukkan kelemahannya di depan anak buahnya.
Tsunade masih sedikit berharap dengan kejanggalan yang ditemukan oleh Kakashi. Tapi belum sempat ia benafas lega, tiba-tiba ada kabar lain yang membuat ia kaget setengah mati. Muridnya Sakura mengalami syok berat karena peristiwa ini. Meski tak harus dirawat intensif, tetap saja tak membuat Tsunade tak khawatir padanya.
Tsunade termenung sesaat di ruangannya. Ia berpikir apa jadinya kalau Sakura tahu perihal Naruto yang ingin mendonorkan jantungnya untuk Sasuke? Ia berniat untuk tidak memberitahukan pada Sakura perihal itu, dan meminta para shinobi yang mengetahui hal ini untuk tutup mulut.
Tok! Tok!
Lamunan Tsunade buyar ketika didengarnya suara panggilan dari pintu seberang. Ia langsung berdiri. “Masuk.”
“Shitsureishimasu, Hokage-sama.”
“Ah, Kakashi. Aku sedang menunggumu. Bagaimana hasilnya?”
Kakashi terlihat serius menatap Tsunade. “Lebih baik anda melihat langsung apa yang tim investigasi temukan. Sekalian ada yang ingin saya diskusikan dengan anda.”
Tsunade mengatupkan kedua matanya—menarik nafas perlahan—kemudian membukanya lagi. “Baiklah, kalau begitu.” Ia dan Kakashi segera beranjak ke rumah sakit Konoha.
0o0o0o0o0
Sasuke berjalan di sebuah tempat misterius yang ia sendiri tak tahu dimana ia berada. Ia melihat ke sekelilingnya. Api merah menari-nari, menjulang menjilat-jilat langit. Menimbulkan warna merah menyala yang memonopoli, tak ada warna lain yang menghiasi kecuali warna bak darah itu. Tempat itu begitu terang, disebabkan oleh api yang berada di sekitarnya.
Di sana berjejer bangunan-bangunan aneh seperti kuil yang bertingkat-tingkat, paviliun-paviliun kecil berornamen burung elang. Tak ada pepohonan, batu, ataupun awan putih. Semuanya serba api. Tapi ada yang aneh dengan tempat ini, meski dikelilingi oleh api, bangunan-bangunan itu tidak hangus terbakar olehnya
“Di mana aku?” Tanya Sasuke pada dirinya sendiri. Ia berjalan ke sembarang arah, karena ia sendiri tidak tahu ke mana kakinya mau melangkah. Hanya jalan setapak yang ia temukan, ia pun memutuskan untuk mengikuti jalan penuh liku itu.
“Uchiha Sasuke ka?” Lamat-lamat terdengar suara memanggil nama Sasuke. Suaranya sangat berat, seperti bukan suara manusia.
Sasuke terkesiap karenanya. “Hh?” Sasuke langsung menoleh ke arah belakang. Ia lalu menoleh lagi ke sembarang tempat, tapi tak menemukan apa-apa. Yang ada hanya api merah yang menari-nari dengan eloknya.
“Akhirnya kau tiba juga di sini, Uchiha Sasuke.”
“Si—Siapa?” Sasuke mewanti-wanti jika ada yang menyerangnya. Dia lalu menggerayangi tubuhnya sendiri, tapi sama sekali tak menemukan senjata untuk melindungi diri.
“Aku sudah menantimu sejak lama.”
“Huh?” Sasuke mengerutkan dahinya. Dia benar-benar tak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya saat ini. Seingatnya dia sedang terluka parah akibat serangan salah sasaran Madara tempo lalu. Setelahnya dia tidak ingat apa-apa, malah tiba-tiba berada di tempat asing ini. Kalau mengingat kesalahan-kesalahannya yang dulu, dia mulai berpikir, “Apakah aku sedang berada di Neraka?”
Suara itu berdeham, terkekeh-kekeh karena menurutnya itu adalah pernyataan yang sangat lucu. “Neraka katamu? Hahahaha.”
Sasuke memincingkan matanya, “Kenapa tertawa?”
“Kenapa kau mengira kau berada di Neraka saat ini, Sasuke?”
Sasuke lalu diam sejenak, ia sebenarnya tidak mengerti apa maksudnya ini. Tapi dia berpikir dia memang banyak sekali berbuat kiryah selama hidupnya. “A—Aku pikir, aku pantas berada di sana,” ucapnya lirih sembari menundukkan kepalanya.
“Hahaha. Sudahlah, tak usah dipikirkan. Aku hanya ingin mengucapkan, selamat datang di Lembah Api, Uchiha Sasuke.”
Sasuke lalu mendongakkan kepalanya. “Le—Lembah api?”
“Ya, aku sudah menunggumu sejak lama. Kau, Uchiha Sasuke. Abdi dari Himitsu no Hi, api dari selatan bumi.”
“Hi—Himitsu no Hi? Apa maksudmu? Aku tak mengerti.”
Suara itu kembali berdeham selayaknya monster. “Kau berasal dari klan hebat pengendali api. Aku berharap kau dapat mengendalikanku.”
“Huh? Mengendalikanmu?”
“Aku dulu berharap kakakmu yang menjadi tuanku. Tapi sayang sekali dia telah mati, jadi aku berharap padamu.”
“Maksudmu Itachi-Nii? Si—Siapa kau sebenarnya? Lalu untuk apa aku mengendalikanmu?”
Tiba-tiba Sasuke merasa tanah di bawahnya bergetar, ia ingin lari dari sana. Takut-takut tertimpa reruntuhan bangunan yang dikiranya akan jatuh ke bumi. Namun ia dikejutkan dengan munculnya elang raksasa di depan matanya sendiri.
Sasuke membuka matanya lebar-lebar. Ia memperhatikan elang itu sampai tubuhnya menggigil. Baru kali ini ia melihat makhluk indah lagi gagah ini. Elang itu membentangkan sayapnya, api yang menyelimuti tubuhnya pun makin berkobar. Ia mendongakkan kepalanya ke atas langit, dan mengeluarkan suara melengking tinggi hingga ke angkasa.
Sasuke takjub dengan apa yang dilihatnya. Cahaya api yang menyala dari bulu-bulu elang itu sangat terang, sehingga Sasuke menghalangi pandangannya sendiri dengan satu tangannya. Ia menyadari elang itu sedang memandanginya dengan tatapan buas.
Elang itu menundukkan kepalanya pada Sasuke. “Aku berharap kau bisa melakukan perubahan besar pada dunia shinobi yang sangat bobrok ini, Uchiha Sasuke. Salah satu caranya adalah kau harus bisa mengendalikanku.” Lantas burung elang itu terbang—melaju cepat ke arah Sasuke.
Sasuke ingin buru-buru menghindar dari terjangan elang itu, tapi yang ia rasakan tubuhnya menjadi kaku. Ia mulai panik. Tatapan elang itu seperti hendak menerkamnya. Sasuke pasrah dan mengatupkan matanya rapat-rapat.
Time skip. Di ruangan rumah sakit Konoha, tempat di mana Sasuke dirawat.
Seorang ninja medis sedang memeriksa keadaan Sasuke yang berangsur-angsur membaik dalam dua hari ini. Ia memperhatikan layar EKG yang berada di depannya. Keadaan jantung Sasuke telah stabil, meski kesadarannya masih minim.
SRETT…
Ninja medis itu langsung menoleh ke arah lain ketika didengarnya suara aneh yang tiba-tiba muncul. “A—Apa itu?”
SRET… SRET…
Ninja medis itu menoleh ke sekelilingnya lagi. Ia mulai merinding, karena di ruangan itu hanya ada dia dan Sasuke yang masih terbaring di kasurnya. Ninja medis itu terlihat ketakutan, lalu hendak beranjak keluar dari sana karena merasakan hawa yang tidak enak. Padahal dia sendiri sebenarnya tidak terlalu percaya dengan yang namanya takhayul.
Sebelum keluar dari ruangan, ninja medis itu mengambil papan berisi laporannya, lantas memperhatikan sebentar monitor EKG yang memperlihatkan denyut jantung Sasuke. Ia pun memperhatikan monitor secara teliti. Betapa kagetnya ia ketika dilihatnya bagian kesadaran Sasuke angkanya perlahan naik.
Ia pun segera mengarahkan pandangannya ke arah Sasuke. Tangan Sasuke perlahan bergerak—bergesekan dengan seprai di bawahnya. Tak hanya itu, bola matanya terlihat berputar di balik kelopaknya yang masih mengatup.
Ninja medis itu nampak terkejut dengan apa yang ditemukannya. “A—Aku harus melapor pada Yamanaka Ino dan Godaime-sama sekarang juga.”
0o0o0o0o0
Tsunade dan Kakashi tiba di Menara Investigasi. Memang mayat Naruto tidak di periksa di rumah sakit, melainkan diotopsi di salah satu ruangan Menara Investigasi. Di sana sudah menunggu tim forensik rumah sakit Konoha, beberapa tim investigasi—Ibiki, Shikamaru, dan Inoichi—pun ikut serta berada di dalam.
“Hokage-sama, anda telah tiba rupanya. Silahkan masuk.” Seorang Anbu yang menjaga pintu ruangan investigasi mempersilahkan Tsunade untuk masuk ke dalam. Menyusul di belakangnya, Hatake Kakashi—si ninja peniru. Anbu tersebut memandang Kakashi sebelum mengangguk kepadanya. Kakashi membalas dengan anggukan pula.
“Konnichiwa, minna!” ucap Tsunade sesampainya ia di dalam ruangan.
“Konnichiwa, Godaime-sama,” balas semua orang yang berada di sana. Mereka membungkuk sebagai tanda penghormatan pada the Slug sannin itu.
“Baiklah, kita langsung saja ke inti permasalahan. Apa yang kalian temukan?”
“Tsunade-sama, coba anda perhatikan di sana.” Kakashi mendekat ke arah Tsunade sembari menuntunnya untuk melihat mayat yang terbaring—yang seluruh tubuhnya diselimuti kafan putih.
Salah satu tim forensik membuka kafan itu hingga leher si mayat.
Ketika wajah mayat itu terlihat, Tsunade terkesiap seketika. “I—Ini? Bagaimana bisa? Jadi mayat yang kalian bawa…”
“Kemungkinan salah satu jutsu tingkat tinggi yang Madara gunakan,” ungkap Kakashi. Ia mengingat pertarungan terakhirnya dengan Uchiha Itachi. Dia kira pada saat itu Itachi telah dikalahkan. Tapi yang mengejutkannya, mayat Itachi yang Kakashi lihat seketika berubah menjadi mayat seseorang yang sama sekali tak ia kenal.
“Mayat ini berubah ke wujud aslinya 5 jam setelah tim sampai ke desa,” jelas Shikamaru.
“Jadi ini manipulasi?” Tanya Tsunade yang masih belum mengerti apa tujuan Madara menggunakan tak tik seperti ini.
“Ya, tadi saya sudah memeriksa memori mayat ini. Dan saya menemukan bahwa kemarin mayat ini sempat bertarung dengan salah satu anggota Akatsuki berwajah seperti hiu,” jelas Inoichi. Ia menggunakan jutsu rahasia klan Yamanaka yang tingkatnya lebih tinggi dari shintenshin no jutsu. Hanya Inoichi yang bisa menggunakan jutsu itu. Dari yang sudah ia telaah, mayat itu adalah seorang shinobi dari Kusagakure.
“Sepertinya shinobi Akatsuki yang anda maksud adalah Hoshigaki Kisame, Yamanaka-san,” ucap Kakashi yang mengenal ciri-ciri para shinobi Akatsuki dari buku bingo nuke-nin yang pernah dibacanya.
“Lalu Naruto… Apakah dia—.”
“Kemungkinan besar Madara tidak berhasil mengekstrak Kyuubi dari tubuh Naruto.” Kakashi memotong kalimat Tsunade. Ia kemudian menceritakan tentang patung Gedou Mazou—yang biasa Akatsuki gunakan untuk menyimpan bijuu yang telah diekstrak—yang kesembilan matanya telah terbuka. “Saya segera menyadari bahwa Madara menggunakan genjutsu untuk mengelabui kami. Saya sebenarnya langsung ingin mematahkan genjutsu-nya. Namun Sakura keburu histeris ketika melihat mayat Naruto palsu itu.”
Tsunade terdiam sejenak, benaknya kembali terisi dengan murid kesayangannya itu. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan Sakura. Sama sekali tak terpikir olehnya kalau Sakura menjadi syok seperti itu. Tak sadarkan diri sembari menyebut-nyebut nama Naruto. Beruntung obat anti depresi yang disuntikan ke tubuhnya membuat hasil yang signifikan.
Yang penting sekarang, Sakura tidak boleh tahu dulu tentang perihal pendonoran jantung Naruto untuk Sasuke.
Pikiran Tsunade kemudian berganti, tertuju pada Naruto yang telah ia anggap sebagai adiknya sendiri. Kalau memang Madara tidak berhasil mengekstrak Kyuubi, lalu di manakah Naruto saat ini?
“Lalu di mana Naruto sekarang? Apakah Madara membawanya pergi?”
“Aku rasa Madara tidak membawa Naruto bersamanya karena Kiba juga tidak mencium bau Naruto di sekitar sana. Baunya samar-samar, seperti menghilang begitu saja setelah kami sampai,” jelas Shikamaru sembari menatap mayat shinobi Kusagakure itu. “Lalu aku menemukan sesuatu yang janggal di goa itu…”
“Sesuatu yang janggal apa, Shikamaru?” Tsunade menatap ninja jenius itu dengan rasa penasaran di hatinya.
“Kami semua melihat dengan jelas di dalam goa itu luluh-lantak, sangat berantakan. Seperti telah terjadi pertarungan sebelum kami sampai di sana. Anda menyadarinya juga ‘kan, Kakashi-sensei?”
Kakashi mengiyakan. “Madara sempat berdalih kalau Naruto berontak dan menggunakan kekuatan Kyuubi untuk melawannya. Tapi dari yang Tsunade-sama pernah katakan, kekuatan Kyuubi dalam tubuh Naruto sedang dalam keadaan lemah seiring dengan lemahnya keadaan Naruto. Jadi aku meragukan kekuatan Kyuubi bisa keluar pada saat itu.”
“Lalu aku juga menemukan kubangan lumpur yang sangat luas. Jika dilihat dengan teliti seperti berasal dari jutsu suiton dan doton yang saling berhantaman. Aku yang pernah melatih Naruto jutsu elemental, tahu betul jika Naruto hanya bisa menggunakan elemen angin dalam bertarung.”
Tsunade terkesiap, ia langsung mengerti apa yang Kakashi maksud. “Jadi…ada orang lain yang membawa Naruto pergi?”
Shikamaru menatap Tsunade dengan wajah serius. “Itu adalah hal yang sangat mungkin terjadi, Tsunade-sama. Namun motif orang itu membawa Naruto pergi harus diselidiki lagi. Apa itu dari shinobi dari desa kita sendiri atau dari 4 desa ninja besar lainnya. Yang jelas orang itu pasti shinobi yang sangat hebat karena dengan mudah membawa Naruto pergi dari cengkraman Madara.”
Kakashi tiba-tiba mendekati Tsunade, membisikkan sesuatu ke telinga kanannya.
Tsunade menatap Kakashi dengan geriap. Lantas ia kembali menatap anak buahnya. “Baiklah, kalian teruskan investigasi kalian. Aku ada urusan sebentar dengan Kakashi.”
Tsunade dan Kakashi kemudian keluar dari ruangan. Mereka berdua berjalan menyusuri koridor hingga ke sudut perbatasan koridor lain.
Kakashi memastikan terlebih dahulu bahwa tak ada seorang pun yang menguping pembicaraan mereka.
“Apa yang ingin kau bicarakan, Kakashi?” Tanya Tsunade memulai percakapan.
Kakashi merogoh kantung kunainya, mengambil sesuatu dari sana. Ia lalu menunjukkan sesuatu yang diambilnya itu pada Tsunade. “Saya menemukan ini di luar markas Akatsuki, Tsunade-sama.”
Tsunade mengerenyitkan dahinya. “Bunga mawar? Apa maksudnya?”
“Saya sendiri belum mengetahui pasti, tapi ketika melihat bunga mawar ini saya jadi teringat akan sesuatu.”
“Sesuatu?”
“Masalahnya saya juga tidak menemukan ada dahan mawar di sekitar sana. Yamato juga telah memeriksa area luar markas Akatsuki dan sama sekali tidak menemukan dahan mawar ini.”
Tsunade mememincingkan matanya—menatap mawar itu. Ia lantas mengambilnya dari tangan Kakashi. “Jadi maksudmu, mawar ini bisa menjadi petunjuk?”
Sejurus Kakashi terdiam. “Saya belum mengetahuinya, Tsunade-sama. Tapi mawar ini…” Kakashi teringat kenangan 18 tahun yang lalu, yang terjadi sebelum perang dunia ketiga shinobi dimulai.
Flashback On
“Ah, sensei telat!” teriak Obito kecil yang kesal dengan keterlambatan gurunya dengan mengulurkan jari telunjuknya pada Minato.
Kakashi nyaris menjitak kepala teman se-timnya itu, tapi niatnya ia urungkan karena kali ini dia setuju dengan tindakan Obito. Padahal sensei mereka adalah shinobi papan atas yang notabene-nya adalah seorang ninja yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kedisiplinan. Tapi tumben-tumbennya Minato tidak datang tepat pada waktunya.
“Ya, ya. Maaf aku terlambat. Aku ada urusan sebentar tadi. Hahaha…” Minato memasang tampang tidak bersalahnya pada ketiga muridnya tersebut.
Sejurus Kakashi menyadari Minato menggenggam 5 tangkai bunga mawar di tangannya. “Sensei, bunga mawar itu untuk siapa?”
Obito keburu menyeletuk, sebelum Minato menjawabnya. “Masa kau tidak tahu, Kakashi. Tentu saja itu untuk Kushina-san. Ya ‘kan sensei? Ah, sensei pacaran terus nih!” goda Obito.
Minato sontak tersipu malu. “Hahahaha!!!” Dia hanya bisa tertawa terpingkal, alisnya mengerut. Sebelumnya ia diam, lalu tiba-tiba menyodorkan mawar itu pada ketiga muridnya. “Bukan. Mawar ini aku yang mendapatkannya dari Kushina. Coba kalian lihat, indah ‘kan?” Obito, Kakashi, dan Rin memperhatikan mawar itu dengan saksama. “Mawar ini berbeda dengan mawar lainnya. Dia tidak memiliki duri, bisa menjadi obat juga, Kushina bisa menumbuhkan mawar ini hingga tak terhingga jumlahnya.”
Mawar itu mengkilap terkena sinat terang matahari siang. Tampak segar seperti baru mekar diawal fajar. Kilauannya berwarna merah jambu, sungguh elok jika dipandang.
Obito tiba-tiba tertawa geli. “Tapi walaupun begitu, seharusnya ‘kan sensei yang memberikan Kushina-san bunga. Kok malah terbalik. Haahh, sensei dan Kushina-san memang pasangan yang aneh! Hahahaha!!!”
Minato langsung sweatdrop mendengarnya.
Flashback Off
Kakashi tersenyum dibalik maskernya. Kenangan bersama tiga orang yang paling berharga dalam hidupnya, begitu membekas di kalbunya sampai sekarang. Kalau boleh jujur, Kakashi masih ingin bersenda gurau dengan Minato-sensei, Obito, dan Rin.
“Maksudmu, mawar ini kenapa, Kakashi?” Tanya Tsunade yang membuyarkan lamunan si ninja peniru itu.
“Sumimasen. Tsunade-sama. Saya teringat kejadian dulu tentang mawar ini. Rasa-rasanya saya tidak asing lagi dengan bunga itu. Yang saya ingin tanyakan pada anda, dulu waktu perang dunia shinobi ketiga, anda pernah membuat obat dari bunga mawar milik Kushina-san ‘kan?”
“Ya, itu benar. Memangnya kenapa?”
“Apakah mawarnya seperti ini?”
Tsunade terkejut seketika. Mata hazel-nya kembali menatap mawar merah itu dengan teliti. Tapi itu adalah kejadian 18 tahun yang lalu, Tsunade tidak bisa mengingatnya dengan jelas bentuk mawar itu secara spesifik. “Maaf, Kakashi. Aku tidak ingat bagaimana bentuknya. Sebenarnya aku memiliki satu tangkai lagi, tapi itu pun telah Sakura gunakan untuk membuat ramuan obat Naruto dan Sasuke.”
“Be—Begitu?” Kakashi lantas menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Tadinya ia berharap apa yang ia temukan bisa membawa mereka untuk memecahkan teka-teki ke mana perginya Naruto. Namun hasilnya, nihil.
“Maksudmu, Kakashi. Kushina yang membawa Naruto pergi?”
Kakashi sontak menengadahkan kepalanya. “A—aku juga tidak mengerti, Tsunade-sama. Minato-sensei dan Kushina-san telah meninggal 16 tahun yang lalu. Tapi anda pasti tahu sendiri ‘kan? Mayat sensei dan Kushina-san menghilang tiba-tiba pada saat di makamkan. Lagipula…”
Tsunade menunggu dengan penasaran kalimat apa yang akan Kakashi sebutkan.
“Lagipula mendiang nenek anda dan Kushina-san memiliki kekuatan istimewa yang tak dimiliki oleh manusia mana pun di muka bumi ini.”
Tsunade memejamkan matanya perlahan. “Ya, Mito-obasan bukanlah manusia biasa.”
“Kalau begitu, apakah anda mempunyai arsip khusus tentang klan mereka?” Tanya Kakashi lagi yang hendak meneliti tentang sebuah klan misterius, yang sebenarnya telah menghilang dari dunia 100 tahun yang lalu.
0o0o0o0o0
Haruno Sakura telah siuman dari ketidaksadarannya kemarin. Kabar dari Tsunade siang tadi—yang menyebutkan bahwa mayat tersebut bukanlah mayat Naruto—sedikit melegakan hatinya. Ia memang telah melihat langsung mayat Naruto palsu itu di Menara Investigasi Konoha.
Seketika itu, Sakura langsung lunglai ke tanah dan menangis sejadi-jadinya. Ia sangat bersyukur pada Tuhan karena dengan begitu ada kemungkinan Naruto masih hidup. Walaupun tak ada seorang pun yang tahu dimana Naruto berada saat ini.
Sakura hanya berharap tim investigasi dapat menemukan petunjuk yang bisa mengantar mereka ke tempat dimana Naruto berada.
Di luar sana, langit senja terlalu dini berganti kelabu. Di sambut derasnya hujan. Diterpa dinginnya angin senja yang mengganas. Karena itu Sakura enggan pulang ke rumahnya. Ia berjalan perlahan, menelusuri koridor rumah sakit Konoha.
Langkah kakinya membawanya pergi ke ruangan bawah paling ujung, yang berdekatan dengan taman rumah sakit.
Kamar nomor 7. Di sanalah Uzumaki Naruto, teman baiknya dirawat. Di sana ia selalu merengek untuk dibelikan ramen oleh Sakura. Di sanalah malapetaka itu terjadi. Sakura sangat menyesal, kalau saja malam itu ia langsung pulang ke desa mungkin kejadiannya akan berbeda.
Sampai di depan pintu, Sakura lalu melenggang masuk ke dalam. Kamar itu terlihat rapi, padahal kemarin yang ia dengar ruangan ini sangat berantakan akibat serangan Madara.
Kamar ini rencananya tidak akan ditempati oleh siapa pun. Tujuannya sudah pasti untuk mengenang Naruto. Padahal ia belum diketahui apakah masih hidup atau mati. Semua rakyat Konoha bersimpati kepadanya. Entah sejak kapan kamar ini dipenuhi dengan bunga-bunga yang diberikan oleh para penduduk desa. Dari bunga azalea, mawar, krisan, aster, sampai matahari pun menghiasi kamar bekas Naruto yang terlihat sunyi itu.
‘Cepatlah kembali!’Itulah yang kebanyakan mereka tulis di papan tulis ruangan yang penuh berisi kalimat-kalimat do’a mereka. Semua penduduk Konoha berharap pahlawannya kembali.
Pandangan Sakura tiba-tiba terhipnotis oleh bunga matahari yang diletakkan sendiri di meja kecil sebelah tempat tidur. Ia lalu mendekatinya. Ia lalu menyadari warna kelopaknya yang kuning keemasan, persis dengan warna rambut Naruto yang dicumbu oleh sinar mentari sore.
Sakura mengambil satu tangkainya dan duduk di pinggiran kasur. Ia menciumi bau bunga itu. Harum semerbaknya menusuk-nusuk hidung. Lantas ia mengarahkan pandangannya ke kasur yang didudukinya. Sakura mengusap perlahan kasur itu, berharap seseorang yang dulu terbaring di sini berada di hadapannya.
“Sakura-chan!”
Sapaan cerianya tak pernah lepas dari ingatan Sakura. Ia jadi bersedih hati. “Kau ada di mana sekarang, Naruto? Bagaimana keadaanmu? Apa kau kesulitan mencari makan? Lalu kakimu, bagaimana kau bisa mencari makan kalu kakimu belum sembuh? Aku sudah menemukan obatnya, berkat obat itu keadaan Sasuke-kun semakin membaik. Karenanya, cepatlah kembali Naruto,” lirih Sakura. Perlahan ia merebahkan tubuhnya ke kasur, menangis sembari mencengkram sprei di bawahnya dengan kuat.
Sementara itu di Uzumakigakure, desanya para yousei. Namun hanya segelintir yousei saja yang masih tinggal di sana. Sebagian besar telah pergi ke Valinor*—tempat persinggahan terakhir mereka yang tak diketahui dengan pasti di mana tempatnya.
Uzumaki Kushina beserta beberapa yousei lainnya memutuskan untuk tetap tinggal di desa. Karena memang ada sesuatu hal yang harus mereka selesaikan dulu di sini. Terlebih saat ini Kushina telah memberanikan diri muncul di hadapan anak semata wayangnya. Meski sampai saat ini pun malaikat kecilnya itu tak kunjung bangun dari tidur lelapnya.
Kali ini Kushina sedang berada di paviliun belakang rumah besarnya. Paviliun yang lebih tepat dibilang kamar tidur itu, seluruh dinding dan atapnya terbuat dari kaca tembus pandang. Karenanya cahaya matahari dengan mudah masuk dari arah mana saja. Di dalamnya terdapat tempat tidur besar beralaskan seprai tebal berwarna putih.
Di atasnya terbaring Uzumaki Naruto yang sebagian tubuhnya diperban tanpa menggunakan selimut. Di sana hanya ada mereka berdua, seorang anak dan ibu yang telah lama terpisah karena malapetaka yang terjadi 16 tahun yang lalu.
Kushina duduk di sebelah Naruto sembari menggenggam erat tangan malaikat kecilnya. Ia memilih kamar seperti ini karena baik untuk proses penyembuhan luka Naruto yang belum sembuh sepenuhnya. Sinar matahari membantu mempercepat regenerasi sel-sel di dalam tubuhnya.
Karena itulah salah satu kelebihan yousei, sel-sel dalam tubuh mereka dapat beregenerasi berkali-kali sehingga menyebabkan kebanyakan dari mereka berumur panjang. Dapat hidup hingga beratus-ratus tahun lamanya.
Kushina membelai perlahan wajah Naruto dengan penuh sayang. Ia pandangi malaikat kecilnya dengan rasa haru di hatinya. Karena sungguh ia sangat bersyukur diberi kesempatan untuk bertemu dengan permata hatinya kembali. Baru ia sadari wajah Naruto sangat mirip dengannya. Kecuali bentuk wajah, rambut dan mata biru langitnya yang menurun dari suaminya, Namikaze Minato.
“Cepatlah bangun, Naruto.” Ucap Kushina lirih.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari terowongan kecil yang menghubungkan paviliun tersebut dengan rumah besarnya. Pandangan Kushina tertuju ke sana.
“Nee-sama.”
Kushina langsung tahu bahwa itu Rin. “Ternyata kau, Rin. Bagaimana? Apa itu ramuan yang telah kau buat?”
Rin membawa secangkir teh di atas nampan yang sedang digenggamnya. “Bukan, Nee-sama. Ini kubawakan teh untukmu. Akhir-akhir ini Nee jarang tidur karena saban hari selalu menemani Naruto-kun di sini.”
Kushina tersenyum mendengar pernyataan adik angkatnya itu. “Terima kasih, Rin. Apa boleh buat, aku sendiri enggan meninggalkannya. Oh ya, bagaimana dengan ramuan obatmu, Rin?” Tanya Kushina sembari mengambil perlahan cangkir teh yang disodorkan oleh Rin. Mereka lalu beranjak ke tempat duduk di seberang kasur.
“Belum sempurna, Nee-sama. Aku membutuhkan tanduk rusa klan Nara dari Konoha untuk memaksimalkannya.”
“Begitu?” Kushina lalu terlihat berpikir sejenak.
“Nee-sama, biar aku yang—.”
“Tidak perlu, Rin. Aku yang akan ke Konoha lusa. Kau menjaga Naruto saja. Lagipula ada yang harus aku selidiki di sana.”
Rin terdiam sembari menatap Kushina.
“Aku tahu, Rin. Sebenarnya kau belum sanggup kembali ke Konoha. Walau itu hanya untuk sementara.”
Rin lalu menundukkan kepalanya. Sebongkah ingatan pahit dari masa lalu tiba-tiba melintas kembali dalam benaknya. Ingin dilupakan, tapi sulit dihilangkan dari memori. “Nee-sama, aku…”
“Kau juga nanti harus bertemu dengan Kakashi sekalian mengucapkan salam perpisahan padanya. Aku tahu Kakashi sangat terpukul dengan hilangnya dirimu secara tiba-tiba. Mungkin kau sudah dikiranya mati, Rin.” Kushina menatap Rin sembari meminum tehnya. “Lukamu memang tak bisa disembuhkan. Maka dari itu kau harus pergi ke Valinor setelah misi besar kita ini selesai. Namun Kakashi juga berhak tahu keadaanmu yang sebenarnya.”
Yousei pengendali tanah itu kemudian menghembuskan nafasnya perlahan. “Ya, aku mengerti, Nee-sama.” Rin lalu menatap Naruto yang masih tertidur dengan nyenyaknya. “Nee-sama, apa nanti Nee akan membawa Naruto ke Valinor juga?”
“Naruto berhak memilih dimana dia akan tinggal. Aku tak akan memaksanya tinggal bersamaku. Karena aku tak ada hak untuk memintanya tinggal bersama ibu yang meninggalkannya selama 16 tahun lamanya,” ucap Kushina sembari tersenyum getir. Ia menatap Naruto di seberang sana.
“Nee-sama. Itu bukan salah Nee maupun Minato-sensei. Semuanya terjadi diluar kendali kita,” ucap Rin sembari mengenggam tangan Kushina. Bagaimanapun juga yousei bukanlah dewa yang dapat menentukan nasibnya sendiri. “Tapi Nee, sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan kepadamu sejak lama.”
Pandangan Kushina kini beralih pada Rin. “Apa yang ingin kau tanyakan, Rin?”
“Nee masih yakin yousei dan manusia bisa bersatu?”
Kushina nampak terkejut dengan pertanyaan adik angkatnya itu.
“Senju Hashirama, Hokage Pertama dengan Uzumaki Mito, dayang-dayang rumah besar Uzumaki. Pada akhirnya mendiang Mito-san bisa sepenuhnya menjadi manusia, tetapi ketika Hokage Pertama mati dia tetap hidup hingga mencapai umur 80 tahun. Lalu Nee dan Minato-sensei pun harus terpisah karena kutukan dunia fana ini. Dan juga—.”
Kushina tiba-tiba memotong kalimat Rin. “Jika Minato mati, maka seharusnya aku mati juga, Rin.”
“Eh? Maksud, Nee-sama?”
“Aku mengikat jiwaku sendiri ke dalam jiwa Minato. Tidak abadi lagi seperti klan kita pada umumnya. Karena itu… Karena itu sebenarnya Minato belum mati…”
Mendengar pernyataan Kushina itu mata Rin terbuka lebar seketika. “Ja—Jadi…”
“Jasadnya ada di Valinor. Ayah yang membawanya ke sana.”
Mata Rin semakin terbuka lebar. “Be—Begitu rupanya…”
“Memang kutukan delusi yang belum kita tahu kebenarannya itu selalu menghantui para yousei. Maka dari itu cinta antara yousei dan manusia adalah terlarang. Tapi…”
Rin terus memandangi Kushina dengan tatapan cemas di hatinya. “Tapi aku berharap Naruto bisa membuktikan kutukan itu tidak ada…”
0o0o0o0o0
Sakura merasakan cahaya sendu matahari menerpa wajahnya. Perlahan ia membuka mata, lalu mengalihkan pandangnnya pada langit-langit. “Ugh, di mana aku?” Ia menyadari ini bukan kamar tidurnya.
Sakura kemudian bangkit, menyedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Seprai putih, kumpulan bunga-bunga segar, dan bau rumah sakit.
“A—Aku tertidur di sini?” Sakura lalu memandang ke luar jendela. Ia melihat warna jingga menghiasi langit Konoha. “Ah, syukurlah masih senja. Aku harus kembali ke rumah sekarang.”
Sakura buru-buru berdiri dari kasur dan tanpa sengaja menjatuhkan setangkai bunga matahari yang ia letakkan di sampingnya. Refleks ia menginjak bunga matahari itu di lantai.
“Sial, kenapa aku menginjaknya?” Bunganya jadi hancur!” umpat Sakura pada dirinya sendiri. Ia kecewa dengan kecerobohannya. Padahal ini adalah bunga untuk Naruto, bukan miliknya pribadi. Segera ia memunguti kelopak bunga matahari yang berserakan itu. Matanya lalu menatap ke bawah meja, kemudian mengambil kelopak bunga matahari yang berserakan di sana.
Sakura menyadari ada secarik kertas yang menarik perhatiannya. Sebenarnya ia ingin membiarkan kertas itu dan melanjutkan pekerjaannya. Namun warna-warna yang dipantulkan kertas itu menambah rasa keingintahuannya. Akhirnya Sakura pun mengambil kertas itu.
“Apa ini?” tanyanya pada diri sendiri. Sakura membuka lipatannya, ternyata itu adalah sebuah gambar. Ia juga menyadari bahwa kertas ini adalah kanvas kecil yang biasa orang melukis gambar-gambar sederhana di atasnya.
Sakura memandang gambar itu selintas. Seorang pemuda berambut kuning, duduk di kursi roda. Mengulurkan tangannya mengambil kelopak-kelopak bunga sakura yang berguguran dari dahannya. Ekspresi yang dipasang pemuda itu sangat bagus. Sakura berdecak kagum melihatnya. “Indahnya, siapa yang menggambarnya ya?”
Pandangan Sakura lalu tertuju pada bagian kiri bawah kanvas. Ada tanda tangan peluksinya di sana. Ia terkesiap melihatnya. “Lho? Ini kan tanda tangan, Sai.” Ucap Sakura sembari mendekatkan 7 cm gambar itu ke matanya. “Dan yang dia gambar ini… Rasa-rasanya aku kenal.”
Sakura lalu memutar otaknya. Rambut kuning dengan guratan seperti kucing di kedua pipinya. “I—Ini ‘kan… Naruto!” ia terkejut bukat main, tapi sekaligus juga merinding. Entah mengapa perasaannya menjadi tidak enak ketika memandang gambar Naruto itu sekali lagi.
“Apa maksud gambar ini?” Tanya Sakura penasaran. Lantas ia membalikkan kanvas itu dan menemukan deretan kalimat yang berjejer ke bawah. Ditulis menyerupai beberapa rima puisi.
Sakura memandanginya selintas. Tulisannya sangat acak-acakan. Dan tentunya ia mengenali siapa pemilik tulisan itu. “Ini kan tulisan Naruto,” ucapnya pelan.
Tanpa ragu lagi Sakura membaca setiap bait tulisan Naruto. Baru rima pertama ia nyaris menjatuhkan kanvas itu. “A—Apa maksudnya ini?” Sakura membuka matanya lebar-lebar. Seketika tubuhnya bergetar, tidak percaya dengan apa yang sedang dibacanya.
Kini ia takut membaca rima berikutnya, tapi rasa penasarannya mengalahkan rasa ketakutannya sendiri. Mata emerald-nya berputar ke kiri dan ke kanan mengikuti letak tulisan yang berjejer ke bawah. Gejolak di hatinya semakin merana tatkala ia sampai pada kalimat terakhir. Tetesan air mata seketika jatuh berlinangan di wajah putihnya yang ayu. “Ke—Kenapa Naruto menulis kalimat seperti ini?”
The Hokage apprentice itu berulang-ulang kali membaca tulisan yang menurutnya sangat tak masuk di akal itu. Dan berulang-ulang kali juga hantaman kepedihan memukul-mukul hatinya ketika dibacanya bait-bait keputusasaan itu.
Sakura mulai terisak-isak. “A—Aku. A—Aku harus menanyakan apa yang terjadi sebenarnya pada shisou sekarang juga!” Tanpa pikir panjang, Sakura segera keluar dari bekas kamar Naruto itu. Ia terus berlari seperti orang kesetanan, menyusuri koridor rumah sakit, tak peduli dengan orang-orang di sana yang memperhatikannya.
Dari koridor seberang Ino melihat sahabatnya melintas. Ia lalu berniat menghampiri Sakura, memberi kabar bahwa pujaan hatinya telah sadar dari koma panjangnya. “Oi, Forehead!” teriak Ino sembari melambai-lambaikan tangannya pada Sakura.
Semakin lama, Sakura semakin mendekatinya sembari berlari. Ino lantas berbicara dengan wajah gembira padanya ketika sahabatnya itu melintas di depannya. “Sakura, Sasuke-kun telah sadar dari komanya. Ayo, kau ha—. Eh, Sakura? Kenapa kau menangis?”
DUKK!!!
Tiba-tiba saja Sakura menabrak tubuh Ino hingga ia terpelanting ke lantai. Ino sangat kaget dengan kejadian itu, Sakura tak mempedulikan kata-katanya dan begitu saja melintas di depannya, meninggalkan Ino yang tersungkur ke tanah. Dengan wajah keheranan, Ino memandang punggung sahabatnya itu yang semakin lama semakin menjauhinya. “A—Ada apa dengannya? Bahkan ia tak menyadari kalau dia telah menabrakku.”
Sakura lantas terus berlari menuju Menara Hokage. Kanvas yang berisi tulisan Naruto itu digenggamnya dengan erat, terkoyak-koyak—sudah tak jelas lagi bentuknya. Tapi sebenarnya hatinya-lah yang terkoyak-koyak karena isi tulisan itu. Isi hati sahabatnya yang kini menghilang seperti ditelan bumi. Sakura bukan lagi merasa ditampar atau diinjak-injak ketika membacanya. Tapi dia merasa telah menghilangkan satu nyawa yang kehadirannya sangat di tunggu-tunggu oleh penduduk desa.
Apa sampai seperti itu? Sampai seperti itukah Naruto ingin membuktikan kata-katanya sendiri? Tulisan itu…
Ne, Sakura-chan…
“Tsunade-shisou!” Sakura langsung mendobrak pintu ruangan Hokage tanpa mengetuk terlebih dahulu sebelum masuk.
Tsunade yang sedang mengerjakan dokumen laporan misi sontak terkejut dengan kehadiran Sakura yang cukup mengagetkannya. “Sakura! Ada apa denganmu? Kenapa tak mengetuk pintu du—.” Tsunade tak melanjutkan kata-katanya ketika ia sadari airmuka Sakura yang seketika membuatnya khawatir.
Baca suratku di kamarmu.
Hingga kau dapat memandangi aku yang saat ini bersatu dengan bayang malam.
Yang biasa ada bintang bertaburan…
Yang biasa Sang Chandra memantulkan dengan indah cahayanya di kala malam menjelang.
Sakura dengan tergesa-gesa masuk ke dalam, mendekati Tsunade yang termangu melihat keadaannya. “Shisou, benarkah Naruto ingin mendonorkan jantungnya untuk Sasuke-kun?” Tanya Sakura tiba-tiba.
Tsunade sontak terkejut setengah mati mendengarnya. Perihal yang benar-benar dia ingin pendam, semata-mata untuk tidak diketahui oleh Sakura. Belum apa-apa Tsunade merasa terpojok. Apa dia harus mengatakan yang sebenarnya?
Bukankah kau sangat senang memadanginya, wahai Sang Surga?
Namun Tsunade tetap memasang airmuka tenangnya. “Darimana kau mengetahui kabar burung itu, Sakura?”
“Aku mohon jawab pertanyaanku dengan jujur, shisou!” mohon Sakura. Nada suaranya tinggi dari biasa, padahal selama ini dia selalu bersikap sopan pada Tsunade.
Ne, Sakura-chan…
Aku tak tahu apa keputusanku benar adanya.
Aku hanya meragukan diriku tentang dirimu
Tsunade tercenung di kursinya. Keringat dingin sedikit demi sedikit turun dari dahinya. Tubuhnya sedikit bergetar, tapi Tsunade tetap mempertahankan sikap tenangnya. Ia lalu mengatupkan kedua matanya rapat-rapat. “Sakura, tenanglah dulu. Kau dapat darimana kabar itu?”
Melihat ekspresi tenang gurunya, emosi Sakura juga menjadi redam. “Aku tahu kabar itu dari sini.” Sakura menyodorkan surat Naruto itu pada Tsunade.
Tsunade lantas mengambilnya dan membacanya pula.
Sanggupkah kau bahagia denganku nanti?
Sanggupkah aku membuatmu tersenyum sebagaimananya dirimu?
Indah senyummu yang kuharap selalu memantul di kornea mataku.
Sanggupkah aku bertahan berada dalam bayang sosok yang kau cinta?
Hati Tsunade jadi trenyuh ketika membaca tulisan Naruto itu. Tanpa ia sadari airmata keluar dari mata hazel-nya yang mengecil.
Aku bukan Sasuke, Sakura-chan.
Aku bukan penggantinya...
Melihat reaksi gurunya itu, emosi Sakura mulai tak keruan lagi. “Jadi itu benar, Shisou?” Tanya Sakura sembari terisak. Berharap Tsunade bilang bahwa hal itu tidak benar.
Tsunade ingin menjawabnya, namun entah mengapa lidahnya menjadi kelu. Sepenggal kata pun sangat sulit ia ucapkan. Ia tidak sanggup untuk mengatakan yang sebenarnya pada Sakura.
Aku adalah siluman Kyuubi, sedangkan dia adalah seorang Uchiha.
Aku si super bodoh pembuat onar, sedangkan dia si tampan penuh dengan talenta.
Aku tahu, aku bukanlah siapa-siapa, Sakura-chan.
“Ano… Sakura.” Akhirnya Tsunade bisa mengeluarkan suara juga, tapi kini dia ikut tidak dapat mengontrol emosinya. Jika mendengarnya dengan jelas suara Hokage Kelima itu sedikit bergetar. “Kau tahu? Seorang laki-laki yang begitu antusias mempertahankan apa yang diyakini dan dipercayainya. Aku baru melihatnya saat ini.”
Karena aku menyadari, aku tak sebanding dengan dirinya.
Karena aku menyadari Sasuke adalah sahabat sejatiku.
Karena aku menyadari kau hanya satu di hatiku
Karena aku menyadari kau tak akan pernah membalas cintaku…
“Apa maksud, Shisou?”
“Sakura, di sini sudah jelas tertulis. Naruto sudah menyebutkan semuanya, alasan mengapa dia sebegitu keras kepalanya ingin mendonorkan jantungnya untuk Sasuke. Aku tak perlu mengatkannya ulang kepadamu.”
Jadi maksud mimpi Sakura kemarin adalah ini?
Karena itu biarkan aku menepati janjiku…
“Jadi itu benar, Shisou?”
“Kalau aku menyembunyikannya sampai hari kiamat pun, aku tahu pada akhirnya kau akan tahu, Sakura.”
Airmata Sakura semakin deras turun. “Kalau begitu kenapa! Kenapa Shisou mengizinkan Naruto mendonorkan jantungnya untuk Sasuke-kun?!” teriaknya lagi.
Parau suaranya membuat tenggorokan Tsunade tercekat, tapi kini ia tak mau lagi menutupi diri. Dia tidak mau Sakura mengalami hal yang sama seperti dirinya.
Ne, Sakura-chan…
Jantungku kau minta pun akan aku berikan.
Jangan menangis lagi, kini kau bisa mendekapnya sesuka hatimu.
Seperti impian-impian terpendammu yang tak pernah kau ceritakan padaku.
Namun aku mengetahui, aku mencoba mengerti…
“Bagaimana kau bisa menentang keinginan seseorang yang kepalanya begitu keras menyaingi batu, Sakura?”
Sakura lantas mengatupkan matanya rapat-rapat. Sudah cukup, dia ingin segera keluar dari sini.
“Kau tidak pernah tahu seberapa dalam cinta Naruto padamu ‘kan, Sakura?”
“Kau tahu, Sakura-san? Naruto-kun… Dia sangat sangat mencintaimu!”
Kalimat Sai itu kembali terngiang-ngiang di benaknya.
Aku memang terlanjur mencintaimu, Sakura-chan…
Tapi aku tak akan pernah mengemis cinta itu padamu…
“Padahal orang yang dia ingin berikan jantungnya, adalah orang yang mencoba membunuhnya. Kriminal papan atas yang kejahatannya sudah terkenal di seantero 5 negara besar. Tapi dia begitu yakin Sasuke akan kembali ke jalan yang benar. Dia begitu yakin bahwa Sasuke-lah yang lebih pantas memiliki kesempatan hidup dibanding dirinya.”
Sakura lalu menyeka air matanya. Sungguh kata-kata Tsunade barusan begitu menusuk-nusuk hatinya, tapi dia begitu lelah untuk mengeluarkan airmatanya yang nyaris habis.
“Karena di balik semua itu yang dia harapkan hanyalah kebahagiaan perempuan yang dicintainya setengah mati. Tak peduli cintanya berbalas atau tidak,” ucap Tsunade lirih. Ia sendiri tak tahu mengapa ia bisa berbicara seperti itu pada muridnya.
Dengan jantungku, aku menghidupkannya kembali…
Dengan cara itu aku menjaga kalian berdua.
Dengan cara itu aku membawa Sasuke pulang kepadamu.
Dengan cara itu aku mencintaimu, Sakura-chan…
“Tapi setidaknya kita harus bersyukur bahwa operasi itu gagal dilaksanakan dan kau menemukan obat untuk menyembuhkan Sasuke.” Tsunade tersenyum dalam tangisnya. Setidaknya semua kejadian yang terjadi kemarin tidak sebegitu buruk dari apa yang ia bayangkan.
Berbahagialah…
Berbahagialah bersama dirinya yang kau cinta…
“Ada kabar baik untukmu, Sakura. Sasuke telah sadar dari komanya. Kau bisa mengunjunginya sekarang.” Tsunade lantas mendekati Sakura dan merengkuh kedua bahu muridnya itu. “Cerialah sedikit. Naruto pasti bisa kita temukan, Sakura.”
Di bawah dahan sakura yang bunganya berguguran.
~Uzumaki Naruto~
Sakura lantas menatap Tsunade dengan tatapan dingin. “Bagaimana aku bisa ceria. Shisou? Sedangkan Naruto menderita di luar sana.” Ia lantas langsung berhambur keluar ruangan Hokage tanpa mempedulikan panggilan Tsunade kepadanya.
Sakura sudah tak peduli kalau dia akan basah kuyup karena kehujanan. Dia berlari ke lantai paling atas Menara Hokage. Ke tempat yang paling disukai Naruto karena dia selalu bilang bahwa dia bisa memandang seluruh desa Konoha dari sana. Karena impian terbesarnya adalah menjadi Hokage desa Konoha. Sakura bukan lagi merasa bersalah ataupun kecewa, tapi dia merasa hampir menghilangkan satu nyawa yang memiliki cita-cita yang sangat besar dalam hidupnya. Dia dan juga Sasuke…
Bukan perihal tidak jadi atau jadinya pendonoran jantung itu dilakukan. Setelah membaca ungkapan isi hati Naruto itu mata gelapnya kini terbuka lebar. Uzumaki Naruto memang sangat mencintainya. Sangat menghargai persahabatannya dengan Sasuke.
Padahal dulu Sai telah mengatakan semuanya pada Sakura. Tapi penyesalan memang selalu hadir belakangan bukan?
Sakura terus berlari… Terus berlari hingga ia sampai di atap Menara Hokage. Dan di sinilah. Di sinilah ia berdiri pada akhirnya. Memandang tumpahan air hujan yang lebat, turun setetes demi setetes dari atas langit. Memandang pohon-pohon hijau yang nampak begitu suram. Bukan pesona yang ia dapat, semuanya hanya menambah kehampaan hati gadis berambut pink itu.
Sakura mengakui bahwa pemandangan yang disuguhkan di depan matanya memang sangat indah. Tapi tetap saja tidak bisa mengobati hatinya yang tergores, tersayat oleh sembilu.
Masih teringat olehnya kata-kata Yamato dulu di jembatan Surga dan Bumi.“Sakura, aku tahu dengan hanya melihatmu… Sebenarnya kamu….”
“Aku juga mencintaimu, Naruto. Aku juga ingin selalu bersamamu!” teriak Sakura sembari terisak-isak. Kedua matanya mengatup, bahunya naik-turun. Tubuhnya gemetar tak keruan.
Sebenarnya Haruno Sakura juga mencintai Uzumaki Naruto, tapi enggan mengakui karena masih terbayang-bayang dengan sosok Sasuke di belakangnya. Sebenarnya ia juga menyayangi Uzumaki Naruto, tapi enggan mengakui karena merasa tidak pantas mendapatkan cintanya. Dan kalau sudah begini, apa Naruto mau menerimanya kembali?
~THE END~
~Andai semua dapatku ulang kembali. ‘Kan ku terima cintamu sepenuh hati… (Astrid_Tak Bisa Kembali)~
*Valinor : Kalau yang pernah nonton LOTR. Itu nama lainnya Grey Havens, tempat persinggahan terkahir para Elf yang menyingkir dari Middle Earth. Mereka hidup damai di sana.
Uzumakigakure : Dalam khayalan Elven tempatnya itu kayak Revendell, rumahnya Lord Elrond di LOTR Hehehe. Jadi bayangkan saja seperti itu.
Buat kamar tidur Naruto di Uzumakigakure itu kayak kamarnya Kira Yamato dari Gundam Seed, pas dia diselamatin Lacus Clyne, dirawat dirumahnya. ^^
Oh ya, sekarang saya nulis novel dan salah satu naskah saya udah diterbitkan di toko buku. Penerbitnya Elex Media Komputindo judul novel Bintang dan cahayanya saya pakai nama pena nama saya sendiri, Pretty Angelia. Yuk dibeli di toko Gramedia dan Gunung Agung terdekat :D.
\
Heart Chapter 10
Final Chapter : Heart… Jantung.
Naruto © Masashi Kishimoto.
NaruSakuSasu. Semi-Canon. Tragedy.
Italics : Flashback
Bold and Italics : Naruto’s Letter
Tsunade duduk di ruangannya dengan perasaan cemas di hati. Berkali-kali ia berusaha menahan gejolak amarah yang menggerogoti otaknya sejak sehari yang lalu. Tapi yang ini lebih parah dari yang sebelum-sebelumnya. Dia ingin marah, dia ingin menangis.
Kemarin sore dia mendengar kabar tidak mengenakkan dari tim Kakashi yang telah menyelesaikan misi mereka. Memang tempat persembunyian Akatsuki tidak jauh dari desa Konoha, sehingga tak heran apabila misi itu berjalan sangat cepat. Tentu saja bukan dalam kategori misi yang sukses dilaksanakan, mengingat mereka tak berhasil membawa pulang Naruto hidup-hidup.
Tsunade dikejutkan dengan kehadiran Pakkun—anjing milik Kakashi—yang memberi kabar kepadanya untuk segera beranjak ke rumah sakit Konoha karena Kakashi sedang menunggunya di sana.
Dan sesampainya di sana, tentu saja dia tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Kakashi membawa tubuh Naruto yang sudah tak bernyawa di belakangnya. Tsunade nyaris jatuh ke lantai apabila dia tidak cepat-cepat mengontrol emosinya sendiri. Iya juga menahan airmatanya untuk tidak jatuh. Karena dia adalah seorang Hokage yang berwibawa. Tak sepatutnya ia menunjukkan kelemahannya di depan anak buahnya.
Tsunade masih sedikit berharap dengan kejanggalan yang ditemukan oleh Kakashi. Tapi belum sempat ia benafas lega, tiba-tiba ada kabar lain yang membuat ia kaget setengah mati. Muridnya Sakura mengalami syok berat karena peristiwa ini. Meski tak harus dirawat intensif, tetap saja tak membuat Tsunade tak khawatir padanya.
Tsunade termenung sesaat di ruangannya. Ia berpikir apa jadinya kalau Sakura tahu perihal Naruto yang ingin mendonorkan jantungnya untuk Sasuke? Ia berniat untuk tidak memberitahukan pada Sakura perihal itu, dan meminta para shinobi yang mengetahui hal ini untuk tutup mulut.
Tok! Tok!
Lamunan Tsunade buyar ketika didengarnya suara panggilan dari pintu seberang. Ia langsung berdiri. “Masuk.”
“Shitsureishimasu, Hokage-sama.”
“Ah, Kakashi. Aku sedang menunggumu. Bagaimana hasilnya?”
Kakashi terlihat serius menatap Tsunade. “Lebih baik anda melihat langsung apa yang tim investigasi temukan. Sekalian ada yang ingin saya diskusikan dengan anda.”
Tsunade mengatupkan kedua matanya—menarik nafas perlahan—kemudian membukanya lagi. “Baiklah, kalau begitu.” Ia dan Kakashi segera beranjak ke rumah sakit Konoha.
0o0o0o0o0
Sasuke berjalan di sebuah tempat misterius yang ia sendiri tak tahu dimana ia berada. Ia melihat ke sekelilingnya. Api merah menari-nari, menjulang menjilat-jilat langit. Menimbulkan warna merah menyala yang memonopoli, tak ada warna lain yang menghiasi kecuali warna bak darah itu. Tempat itu begitu terang, disebabkan oleh api yang berada di sekitarnya.
Di sana berjejer bangunan-bangunan aneh seperti kuil yang bertingkat-tingkat, paviliun-paviliun kecil berornamen burung elang. Tak ada pepohonan, batu, ataupun awan putih. Semuanya serba api. Tapi ada yang aneh dengan tempat ini, meski dikelilingi oleh api, bangunan-bangunan itu tidak hangus terbakar olehnya
“Di mana aku?” Tanya Sasuke pada dirinya sendiri. Ia berjalan ke sembarang arah, karena ia sendiri tidak tahu ke mana kakinya mau melangkah. Hanya jalan setapak yang ia temukan, ia pun memutuskan untuk mengikuti jalan penuh liku itu.
“Uchiha Sasuke ka?” Lamat-lamat terdengar suara memanggil nama Sasuke. Suaranya sangat berat, seperti bukan suara manusia.
Sasuke terkesiap karenanya. “Hh?” Sasuke langsung menoleh ke arah belakang. Ia lalu menoleh lagi ke sembarang tempat, tapi tak menemukan apa-apa. Yang ada hanya api merah yang menari-nari dengan eloknya.
“Akhirnya kau tiba juga di sini, Uchiha Sasuke.”
“Si—Siapa?” Sasuke mewanti-wanti jika ada yang menyerangnya. Dia lalu menggerayangi tubuhnya sendiri, tapi sama sekali tak menemukan senjata untuk melindungi diri.
“Aku sudah menantimu sejak lama.”
“Huh?” Sasuke mengerutkan dahinya. Dia benar-benar tak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya saat ini. Seingatnya dia sedang terluka parah akibat serangan salah sasaran Madara tempo lalu. Setelahnya dia tidak ingat apa-apa, malah tiba-tiba berada di tempat asing ini. Kalau mengingat kesalahan-kesalahannya yang dulu, dia mulai berpikir, “Apakah aku sedang berada di Neraka?”
Suara itu berdeham, terkekeh-kekeh karena menurutnya itu adalah pernyataan yang sangat lucu. “Neraka katamu? Hahahaha.”
Sasuke memincingkan matanya, “Kenapa tertawa?”
“Kenapa kau mengira kau berada di Neraka saat ini, Sasuke?”
Sasuke lalu diam sejenak, ia sebenarnya tidak mengerti apa maksudnya ini. Tapi dia berpikir dia memang banyak sekali berbuat kiryah selama hidupnya. “A—Aku pikir, aku pantas berada di sana,” ucapnya lirih sembari menundukkan kepalanya.
“Hahaha. Sudahlah, tak usah dipikirkan. Aku hanya ingin mengucapkan, selamat datang di Lembah Api, Uchiha Sasuke.”
Sasuke lalu mendongakkan kepalanya. “Le—Lembah api?”
“Ya, aku sudah menunggumu sejak lama. Kau, Uchiha Sasuke. Abdi dari Himitsu no Hi, api dari selatan bumi.”
“Hi—Himitsu no Hi? Apa maksudmu? Aku tak mengerti.”
Suara itu kembali berdeham selayaknya monster. “Kau berasal dari klan hebat pengendali api. Aku berharap kau dapat mengendalikanku.”
“Huh? Mengendalikanmu?”
“Aku dulu berharap kakakmu yang menjadi tuanku. Tapi sayang sekali dia telah mati, jadi aku berharap padamu.”
“Maksudmu Itachi-Nii? Si—Siapa kau sebenarnya? Lalu untuk apa aku mengendalikanmu?”
Tiba-tiba Sasuke merasa tanah di bawahnya bergetar, ia ingin lari dari sana. Takut-takut tertimpa reruntuhan bangunan yang dikiranya akan jatuh ke bumi. Namun ia dikejutkan dengan munculnya elang raksasa di depan matanya sendiri.
Sasuke membuka matanya lebar-lebar. Ia memperhatikan elang itu sampai tubuhnya menggigil. Baru kali ini ia melihat makhluk indah lagi gagah ini. Elang itu membentangkan sayapnya, api yang menyelimuti tubuhnya pun makin berkobar. Ia mendongakkan kepalanya ke atas langit, dan mengeluarkan suara melengking tinggi hingga ke angkasa.
Sasuke takjub dengan apa yang dilihatnya. Cahaya api yang menyala dari bulu-bulu elang itu sangat terang, sehingga Sasuke menghalangi pandangannya sendiri dengan satu tangannya. Ia menyadari elang itu sedang memandanginya dengan tatapan buas.
Elang itu menundukkan kepalanya pada Sasuke. “Aku berharap kau bisa melakukan perubahan besar pada dunia shinobi yang sangat bobrok ini, Uchiha Sasuke. Salah satu caranya adalah kau harus bisa mengendalikanku.” Lantas burung elang itu terbang—melaju cepat ke arah Sasuke.
Sasuke ingin buru-buru menghindar dari terjangan elang itu, tapi yang ia rasakan tubuhnya menjadi kaku. Ia mulai panik. Tatapan elang itu seperti hendak menerkamnya. Sasuke pasrah dan mengatupkan matanya rapat-rapat.
Time skip. Di ruangan rumah sakit Konoha, tempat di mana Sasuke dirawat.
Seorang ninja medis sedang memeriksa keadaan Sasuke yang berangsur-angsur membaik dalam dua hari ini. Ia memperhatikan layar EKG yang berada di depannya. Keadaan jantung Sasuke telah stabil, meski kesadarannya masih minim.
SRETT…
Ninja medis itu langsung menoleh ke arah lain ketika didengarnya suara aneh yang tiba-tiba muncul. “A—Apa itu?”
SRET… SRET…
Ninja medis itu menoleh ke sekelilingnya lagi. Ia mulai merinding, karena di ruangan itu hanya ada dia dan Sasuke yang masih terbaring di kasurnya. Ninja medis itu terlihat ketakutan, lalu hendak beranjak keluar dari sana karena merasakan hawa yang tidak enak. Padahal dia sendiri sebenarnya tidak terlalu percaya dengan yang namanya takhayul.
Sebelum keluar dari ruangan, ninja medis itu mengambil papan berisi laporannya, lantas memperhatikan sebentar monitor EKG yang memperlihatkan denyut jantung Sasuke. Ia pun memperhatikan monitor secara teliti. Betapa kagetnya ia ketika dilihatnya bagian kesadaran Sasuke angkanya perlahan naik.
Ia pun segera mengarahkan pandangannya ke arah Sasuke. Tangan Sasuke perlahan bergerak—bergesekan dengan seprai di bawahnya. Tak hanya itu, bola matanya terlihat berputar di balik kelopaknya yang masih mengatup.
Ninja medis itu nampak terkejut dengan apa yang ditemukannya. “A—Aku harus melapor pada Yamanaka Ino dan Godaime-sama sekarang juga.”
0o0o0o0o0
Tsunade dan Kakashi tiba di Menara Investigasi. Memang mayat Naruto tidak di periksa di rumah sakit, melainkan diotopsi di salah satu ruangan Menara Investigasi. Di sana sudah menunggu tim forensik rumah sakit Konoha, beberapa tim investigasi—Ibiki, Shikamaru, dan Inoichi—pun ikut serta berada di dalam.
“Hokage-sama, anda telah tiba rupanya. Silahkan masuk.” Seorang Anbu yang menjaga pintu ruangan investigasi mempersilahkan Tsunade untuk masuk ke dalam. Menyusul di belakangnya, Hatake Kakashi—si ninja peniru. Anbu tersebut memandang Kakashi sebelum mengangguk kepadanya. Kakashi membalas dengan anggukan pula.
“Konnichiwa, minna!” ucap Tsunade sesampainya ia di dalam ruangan.
“Konnichiwa, Godaime-sama,” balas semua orang yang berada di sana. Mereka membungkuk sebagai tanda penghormatan pada the Slug sannin itu.
“Baiklah, kita langsung saja ke inti permasalahan. Apa yang kalian temukan?”
“Tsunade-sama, coba anda perhatikan di sana.” Kakashi mendekat ke arah Tsunade sembari menuntunnya untuk melihat mayat yang terbaring—yang seluruh tubuhnya diselimuti kafan putih.
Salah satu tim forensik membuka kafan itu hingga leher si mayat.
Ketika wajah mayat itu terlihat, Tsunade terkesiap seketika. “I—Ini? Bagaimana bisa? Jadi mayat yang kalian bawa…”
“Kemungkinan salah satu jutsu tingkat tinggi yang Madara gunakan,” ungkap Kakashi. Ia mengingat pertarungan terakhirnya dengan Uchiha Itachi. Dia kira pada saat itu Itachi telah dikalahkan. Tapi yang mengejutkannya, mayat Itachi yang Kakashi lihat seketika berubah menjadi mayat seseorang yang sama sekali tak ia kenal.
“Mayat ini berubah ke wujud aslinya 5 jam setelah tim sampai ke desa,” jelas Shikamaru.
“Jadi ini manipulasi?” Tanya Tsunade yang masih belum mengerti apa tujuan Madara menggunakan tak tik seperti ini.
“Ya, tadi saya sudah memeriksa memori mayat ini. Dan saya menemukan bahwa kemarin mayat ini sempat bertarung dengan salah satu anggota Akatsuki berwajah seperti hiu,” jelas Inoichi. Ia menggunakan jutsu rahasia klan Yamanaka yang tingkatnya lebih tinggi dari shintenshin no jutsu. Hanya Inoichi yang bisa menggunakan jutsu itu. Dari yang sudah ia telaah, mayat itu adalah seorang shinobi dari Kusagakure.
“Sepertinya shinobi Akatsuki yang anda maksud adalah Hoshigaki Kisame, Yamanaka-san,” ucap Kakashi yang mengenal ciri-ciri para shinobi Akatsuki dari buku bingo nuke-nin yang pernah dibacanya.
“Lalu Naruto… Apakah dia—.”
“Kemungkinan besar Madara tidak berhasil mengekstrak Kyuubi dari tubuh Naruto.” Kakashi memotong kalimat Tsunade. Ia kemudian menceritakan tentang patung Gedou Mazou—yang biasa Akatsuki gunakan untuk menyimpan bijuu yang telah diekstrak—yang kesembilan matanya telah terbuka. “Saya segera menyadari bahwa Madara menggunakan genjutsu untuk mengelabui kami. Saya sebenarnya langsung ingin mematahkan genjutsu-nya. Namun Sakura keburu histeris ketika melihat mayat Naruto palsu itu.”
Tsunade terdiam sejenak, benaknya kembali terisi dengan murid kesayangannya itu. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan Sakura. Sama sekali tak terpikir olehnya kalau Sakura menjadi syok seperti itu. Tak sadarkan diri sembari menyebut-nyebut nama Naruto. Beruntung obat anti depresi yang disuntikan ke tubuhnya membuat hasil yang signifikan.
Yang penting sekarang, Sakura tidak boleh tahu dulu tentang perihal pendonoran jantung Naruto untuk Sasuke.
Pikiran Tsunade kemudian berganti, tertuju pada Naruto yang telah ia anggap sebagai adiknya sendiri. Kalau memang Madara tidak berhasil mengekstrak Kyuubi, lalu di manakah Naruto saat ini?
“Lalu di mana Naruto sekarang? Apakah Madara membawanya pergi?”
“Aku rasa Madara tidak membawa Naruto bersamanya karena Kiba juga tidak mencium bau Naruto di sekitar sana. Baunya samar-samar, seperti menghilang begitu saja setelah kami sampai,” jelas Shikamaru sembari menatap mayat shinobi Kusagakure itu. “Lalu aku menemukan sesuatu yang janggal di goa itu…”
“Sesuatu yang janggal apa, Shikamaru?” Tsunade menatap ninja jenius itu dengan rasa penasaran di hatinya.
“Kami semua melihat dengan jelas di dalam goa itu luluh-lantak, sangat berantakan. Seperti telah terjadi pertarungan sebelum kami sampai di sana. Anda menyadarinya juga ‘kan, Kakashi-sensei?”
Kakashi mengiyakan. “Madara sempat berdalih kalau Naruto berontak dan menggunakan kekuatan Kyuubi untuk melawannya. Tapi dari yang Tsunade-sama pernah katakan, kekuatan Kyuubi dalam tubuh Naruto sedang dalam keadaan lemah seiring dengan lemahnya keadaan Naruto. Jadi aku meragukan kekuatan Kyuubi bisa keluar pada saat itu.”
“Lalu aku juga menemukan kubangan lumpur yang sangat luas. Jika dilihat dengan teliti seperti berasal dari jutsu suiton dan doton yang saling berhantaman. Aku yang pernah melatih Naruto jutsu elemental, tahu betul jika Naruto hanya bisa menggunakan elemen angin dalam bertarung.”
Tsunade terkesiap, ia langsung mengerti apa yang Kakashi maksud. “Jadi…ada orang lain yang membawa Naruto pergi?”
Shikamaru menatap Tsunade dengan wajah serius. “Itu adalah hal yang sangat mungkin terjadi, Tsunade-sama. Namun motif orang itu membawa Naruto pergi harus diselidiki lagi. Apa itu dari shinobi dari desa kita sendiri atau dari 4 desa ninja besar lainnya. Yang jelas orang itu pasti shinobi yang sangat hebat karena dengan mudah membawa Naruto pergi dari cengkraman Madara.”
Kakashi tiba-tiba mendekati Tsunade, membisikkan sesuatu ke telinga kanannya.
Tsunade menatap Kakashi dengan geriap. Lantas ia kembali menatap anak buahnya. “Baiklah, kalian teruskan investigasi kalian. Aku ada urusan sebentar dengan Kakashi.”
Tsunade dan Kakashi kemudian keluar dari ruangan. Mereka berdua berjalan menyusuri koridor hingga ke sudut perbatasan koridor lain.
Kakashi memastikan terlebih dahulu bahwa tak ada seorang pun yang menguping pembicaraan mereka.
“Apa yang ingin kau bicarakan, Kakashi?” Tanya Tsunade memulai percakapan.
Kakashi merogoh kantung kunainya, mengambil sesuatu dari sana. Ia lalu menunjukkan sesuatu yang diambilnya itu pada Tsunade. “Saya menemukan ini di luar markas Akatsuki, Tsunade-sama.”
Tsunade mengerenyitkan dahinya. “Bunga mawar? Apa maksudnya?”
“Saya sendiri belum mengetahui pasti, tapi ketika melihat bunga mawar ini saya jadi teringat akan sesuatu.”
“Sesuatu?”
“Masalahnya saya juga tidak menemukan ada dahan mawar di sekitar sana. Yamato juga telah memeriksa area luar markas Akatsuki dan sama sekali tidak menemukan dahan mawar ini.”
Tsunade mememincingkan matanya—menatap mawar itu. Ia lantas mengambilnya dari tangan Kakashi. “Jadi maksudmu, mawar ini bisa menjadi petunjuk?”
Sejurus Kakashi terdiam. “Saya belum mengetahuinya, Tsunade-sama. Tapi mawar ini…” Kakashi teringat kenangan 18 tahun yang lalu, yang terjadi sebelum perang dunia ketiga shinobi dimulai.
Flashback On
“Ah, sensei telat!” teriak Obito kecil yang kesal dengan keterlambatan gurunya dengan mengulurkan jari telunjuknya pada Minato.
Kakashi nyaris menjitak kepala teman se-timnya itu, tapi niatnya ia urungkan karena kali ini dia setuju dengan tindakan Obito. Padahal sensei mereka adalah shinobi papan atas yang notabene-nya adalah seorang ninja yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kedisiplinan. Tapi tumben-tumbennya Minato tidak datang tepat pada waktunya.
“Ya, ya. Maaf aku terlambat. Aku ada urusan sebentar tadi. Hahaha…” Minato memasang tampang tidak bersalahnya pada ketiga muridnya tersebut.
Sejurus Kakashi menyadari Minato menggenggam 5 tangkai bunga mawar di tangannya. “Sensei, bunga mawar itu untuk siapa?”
Obito keburu menyeletuk, sebelum Minato menjawabnya. “Masa kau tidak tahu, Kakashi. Tentu saja itu untuk Kushina-san. Ya ‘kan sensei? Ah, sensei pacaran terus nih!” goda Obito.
Minato sontak tersipu malu. “Hahahaha!!!” Dia hanya bisa tertawa terpingkal, alisnya mengerut. Sebelumnya ia diam, lalu tiba-tiba menyodorkan mawar itu pada ketiga muridnya. “Bukan. Mawar ini aku yang mendapatkannya dari Kushina. Coba kalian lihat, indah ‘kan?” Obito, Kakashi, dan Rin memperhatikan mawar itu dengan saksama. “Mawar ini berbeda dengan mawar lainnya. Dia tidak memiliki duri, bisa menjadi obat juga, Kushina bisa menumbuhkan mawar ini hingga tak terhingga jumlahnya.”
Mawar itu mengkilap terkena sinat terang matahari siang. Tampak segar seperti baru mekar diawal fajar. Kilauannya berwarna merah jambu, sungguh elok jika dipandang.
Obito tiba-tiba tertawa geli. “Tapi walaupun begitu, seharusnya ‘kan sensei yang memberikan Kushina-san bunga. Kok malah terbalik. Haahh, sensei dan Kushina-san memang pasangan yang aneh! Hahahaha!!!”
Minato langsung sweatdrop mendengarnya.
Flashback Off
Kakashi tersenyum dibalik maskernya. Kenangan bersama tiga orang yang paling berharga dalam hidupnya, begitu membekas di kalbunya sampai sekarang. Kalau boleh jujur, Kakashi masih ingin bersenda gurau dengan Minato-sensei, Obito, dan Rin.
“Maksudmu, mawar ini kenapa, Kakashi?” Tanya Tsunade yang membuyarkan lamunan si ninja peniru itu.
“Sumimasen. Tsunade-sama. Saya teringat kejadian dulu tentang mawar ini. Rasa-rasanya saya tidak asing lagi dengan bunga itu. Yang saya ingin tanyakan pada anda, dulu waktu perang dunia shinobi ketiga, anda pernah membuat obat dari bunga mawar milik Kushina-san ‘kan?”
“Ya, itu benar. Memangnya kenapa?”
“Apakah mawarnya seperti ini?”
Tsunade terkejut seketika. Mata hazel-nya kembali menatap mawar merah itu dengan teliti. Tapi itu adalah kejadian 18 tahun yang lalu, Tsunade tidak bisa mengingatnya dengan jelas bentuk mawar itu secara spesifik. “Maaf, Kakashi. Aku tidak ingat bagaimana bentuknya. Sebenarnya aku memiliki satu tangkai lagi, tapi itu pun telah Sakura gunakan untuk membuat ramuan obat Naruto dan Sasuke.”
“Be—Begitu?” Kakashi lantas menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Tadinya ia berharap apa yang ia temukan bisa membawa mereka untuk memecahkan teka-teki ke mana perginya Naruto. Namun hasilnya, nihil.
“Maksudmu, Kakashi. Kushina yang membawa Naruto pergi?”
Kakashi sontak menengadahkan kepalanya. “A—aku juga tidak mengerti, Tsunade-sama. Minato-sensei dan Kushina-san telah meninggal 16 tahun yang lalu. Tapi anda pasti tahu sendiri ‘kan? Mayat sensei dan Kushina-san menghilang tiba-tiba pada saat di makamkan. Lagipula…”
Tsunade menunggu dengan penasaran kalimat apa yang akan Kakashi sebutkan.
“Lagipula mendiang nenek anda dan Kushina-san memiliki kekuatan istimewa yang tak dimiliki oleh manusia mana pun di muka bumi ini.”
Tsunade memejamkan matanya perlahan. “Ya, Mito-obasan bukanlah manusia biasa.”
“Kalau begitu, apakah anda mempunyai arsip khusus tentang klan mereka?” Tanya Kakashi lagi yang hendak meneliti tentang sebuah klan misterius, yang sebenarnya telah menghilang dari dunia 100 tahun yang lalu.
0o0o0o0o0
Haruno Sakura telah siuman dari ketidaksadarannya kemarin. Kabar dari Tsunade siang tadi—yang menyebutkan bahwa mayat tersebut bukanlah mayat Naruto—sedikit melegakan hatinya. Ia memang telah melihat langsung mayat Naruto palsu itu di Menara Investigasi Konoha.
Seketika itu, Sakura langsung lunglai ke tanah dan menangis sejadi-jadinya. Ia sangat bersyukur pada Tuhan karena dengan begitu ada kemungkinan Naruto masih hidup. Walaupun tak ada seorang pun yang tahu dimana Naruto berada saat ini.
Sakura hanya berharap tim investigasi dapat menemukan petunjuk yang bisa mengantar mereka ke tempat dimana Naruto berada.
Di luar sana, langit senja terlalu dini berganti kelabu. Di sambut derasnya hujan. Diterpa dinginnya angin senja yang mengganas. Karena itu Sakura enggan pulang ke rumahnya. Ia berjalan perlahan, menelusuri koridor rumah sakit Konoha.
Langkah kakinya membawanya pergi ke ruangan bawah paling ujung, yang berdekatan dengan taman rumah sakit.
Kamar nomor 7. Di sanalah Uzumaki Naruto, teman baiknya dirawat. Di sana ia selalu merengek untuk dibelikan ramen oleh Sakura. Di sanalah malapetaka itu terjadi. Sakura sangat menyesal, kalau saja malam itu ia langsung pulang ke desa mungkin kejadiannya akan berbeda.
Sampai di depan pintu, Sakura lalu melenggang masuk ke dalam. Kamar itu terlihat rapi, padahal kemarin yang ia dengar ruangan ini sangat berantakan akibat serangan Madara.
Kamar ini rencananya tidak akan ditempati oleh siapa pun. Tujuannya sudah pasti untuk mengenang Naruto. Padahal ia belum diketahui apakah masih hidup atau mati. Semua rakyat Konoha bersimpati kepadanya. Entah sejak kapan kamar ini dipenuhi dengan bunga-bunga yang diberikan oleh para penduduk desa. Dari bunga azalea, mawar, krisan, aster, sampai matahari pun menghiasi kamar bekas Naruto yang terlihat sunyi itu.
‘Cepatlah kembali!’Itulah yang kebanyakan mereka tulis di papan tulis ruangan yang penuh berisi kalimat-kalimat do’a mereka. Semua penduduk Konoha berharap pahlawannya kembali.
Pandangan Sakura tiba-tiba terhipnotis oleh bunga matahari yang diletakkan sendiri di meja kecil sebelah tempat tidur. Ia lalu mendekatinya. Ia lalu menyadari warna kelopaknya yang kuning keemasan, persis dengan warna rambut Naruto yang dicumbu oleh sinar mentari sore.
Sakura mengambil satu tangkainya dan duduk di pinggiran kasur. Ia menciumi bau bunga itu. Harum semerbaknya menusuk-nusuk hidung. Lantas ia mengarahkan pandangannya ke kasur yang didudukinya. Sakura mengusap perlahan kasur itu, berharap seseorang yang dulu terbaring di sini berada di hadapannya.
“Sakura-chan!”
Sapaan cerianya tak pernah lepas dari ingatan Sakura. Ia jadi bersedih hati. “Kau ada di mana sekarang, Naruto? Bagaimana keadaanmu? Apa kau kesulitan mencari makan? Lalu kakimu, bagaimana kau bisa mencari makan kalu kakimu belum sembuh? Aku sudah menemukan obatnya, berkat obat itu keadaan Sasuke-kun semakin membaik. Karenanya, cepatlah kembali Naruto,” lirih Sakura. Perlahan ia merebahkan tubuhnya ke kasur, menangis sembari mencengkram sprei di bawahnya dengan kuat.
Sementara itu di Uzumakigakure, desanya para yousei. Namun hanya segelintir yousei saja yang masih tinggal di sana. Sebagian besar telah pergi ke Valinor*—tempat persinggahan terakhir mereka yang tak diketahui dengan pasti di mana tempatnya.
Uzumaki Kushina beserta beberapa yousei lainnya memutuskan untuk tetap tinggal di desa. Karena memang ada sesuatu hal yang harus mereka selesaikan dulu di sini. Terlebih saat ini Kushina telah memberanikan diri muncul di hadapan anak semata wayangnya. Meski sampai saat ini pun malaikat kecilnya itu tak kunjung bangun dari tidur lelapnya.
Kali ini Kushina sedang berada di paviliun belakang rumah besarnya. Paviliun yang lebih tepat dibilang kamar tidur itu, seluruh dinding dan atapnya terbuat dari kaca tembus pandang. Karenanya cahaya matahari dengan mudah masuk dari arah mana saja. Di dalamnya terdapat tempat tidur besar beralaskan seprai tebal berwarna putih.
Di atasnya terbaring Uzumaki Naruto yang sebagian tubuhnya diperban tanpa menggunakan selimut. Di sana hanya ada mereka berdua, seorang anak dan ibu yang telah lama terpisah karena malapetaka yang terjadi 16 tahun yang lalu.
Kushina duduk di sebelah Naruto sembari menggenggam erat tangan malaikat kecilnya. Ia memilih kamar seperti ini karena baik untuk proses penyembuhan luka Naruto yang belum sembuh sepenuhnya. Sinar matahari membantu mempercepat regenerasi sel-sel di dalam tubuhnya.
Karena itulah salah satu kelebihan yousei, sel-sel dalam tubuh mereka dapat beregenerasi berkali-kali sehingga menyebabkan kebanyakan dari mereka berumur panjang. Dapat hidup hingga beratus-ratus tahun lamanya.
Kushina membelai perlahan wajah Naruto dengan penuh sayang. Ia pandangi malaikat kecilnya dengan rasa haru di hatinya. Karena sungguh ia sangat bersyukur diberi kesempatan untuk bertemu dengan permata hatinya kembali. Baru ia sadari wajah Naruto sangat mirip dengannya. Kecuali bentuk wajah, rambut dan mata biru langitnya yang menurun dari suaminya, Namikaze Minato.
“Cepatlah bangun, Naruto.” Ucap Kushina lirih.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari terowongan kecil yang menghubungkan paviliun tersebut dengan rumah besarnya. Pandangan Kushina tertuju ke sana.
“Nee-sama.”
Kushina langsung tahu bahwa itu Rin. “Ternyata kau, Rin. Bagaimana? Apa itu ramuan yang telah kau buat?”
Rin membawa secangkir teh di atas nampan yang sedang digenggamnya. “Bukan, Nee-sama. Ini kubawakan teh untukmu. Akhir-akhir ini Nee jarang tidur karena saban hari selalu menemani Naruto-kun di sini.”
Kushina tersenyum mendengar pernyataan adik angkatnya itu. “Terima kasih, Rin. Apa boleh buat, aku sendiri enggan meninggalkannya. Oh ya, bagaimana dengan ramuan obatmu, Rin?” Tanya Kushina sembari mengambil perlahan cangkir teh yang disodorkan oleh Rin. Mereka lalu beranjak ke tempat duduk di seberang kasur.
“Belum sempurna, Nee-sama. Aku membutuhkan tanduk rusa klan Nara dari Konoha untuk memaksimalkannya.”
“Begitu?” Kushina lalu terlihat berpikir sejenak.
“Nee-sama, biar aku yang—.”
“Tidak perlu, Rin. Aku yang akan ke Konoha lusa. Kau menjaga Naruto saja. Lagipula ada yang harus aku selidiki di sana.”
Rin terdiam sembari menatap Kushina.
“Aku tahu, Rin. Sebenarnya kau belum sanggup kembali ke Konoha. Walau itu hanya untuk sementara.”
Rin lalu menundukkan kepalanya. Sebongkah ingatan pahit dari masa lalu tiba-tiba melintas kembali dalam benaknya. Ingin dilupakan, tapi sulit dihilangkan dari memori. “Nee-sama, aku…”
“Kau juga nanti harus bertemu dengan Kakashi sekalian mengucapkan salam perpisahan padanya. Aku tahu Kakashi sangat terpukul dengan hilangnya dirimu secara tiba-tiba. Mungkin kau sudah dikiranya mati, Rin.” Kushina menatap Rin sembari meminum tehnya. “Lukamu memang tak bisa disembuhkan. Maka dari itu kau harus pergi ke Valinor setelah misi besar kita ini selesai. Namun Kakashi juga berhak tahu keadaanmu yang sebenarnya.”
Yousei pengendali tanah itu kemudian menghembuskan nafasnya perlahan. “Ya, aku mengerti, Nee-sama.” Rin lalu menatap Naruto yang masih tertidur dengan nyenyaknya. “Nee-sama, apa nanti Nee akan membawa Naruto ke Valinor juga?”
“Naruto berhak memilih dimana dia akan tinggal. Aku tak akan memaksanya tinggal bersamaku. Karena aku tak ada hak untuk memintanya tinggal bersama ibu yang meninggalkannya selama 16 tahun lamanya,” ucap Kushina sembari tersenyum getir. Ia menatap Naruto di seberang sana.
“Nee-sama. Itu bukan salah Nee maupun Minato-sensei. Semuanya terjadi diluar kendali kita,” ucap Rin sembari mengenggam tangan Kushina. Bagaimanapun juga yousei bukanlah dewa yang dapat menentukan nasibnya sendiri. “Tapi Nee, sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan kepadamu sejak lama.”
Pandangan Kushina kini beralih pada Rin. “Apa yang ingin kau tanyakan, Rin?”
“Nee masih yakin yousei dan manusia bisa bersatu?”
Kushina nampak terkejut dengan pertanyaan adik angkatnya itu.
“Senju Hashirama, Hokage Pertama dengan Uzumaki Mito, dayang-dayang rumah besar Uzumaki. Pada akhirnya mendiang Mito-san bisa sepenuhnya menjadi manusia, tetapi ketika Hokage Pertama mati dia tetap hidup hingga mencapai umur 80 tahun. Lalu Nee dan Minato-sensei pun harus terpisah karena kutukan dunia fana ini. Dan juga—.”
Kushina tiba-tiba memotong kalimat Rin. “Jika Minato mati, maka seharusnya aku mati juga, Rin.”
“Eh? Maksud, Nee-sama?”
“Aku mengikat jiwaku sendiri ke dalam jiwa Minato. Tidak abadi lagi seperti klan kita pada umumnya. Karena itu… Karena itu sebenarnya Minato belum mati…”
Mendengar pernyataan Kushina itu mata Rin terbuka lebar seketika. “Ja—Jadi…”
“Jasadnya ada di Valinor. Ayah yang membawanya ke sana.”
Mata Rin semakin terbuka lebar. “Be—Begitu rupanya…”
“Memang kutukan delusi yang belum kita tahu kebenarannya itu selalu menghantui para yousei. Maka dari itu cinta antara yousei dan manusia adalah terlarang. Tapi…”
Rin terus memandangi Kushina dengan tatapan cemas di hatinya. “Tapi aku berharap Naruto bisa membuktikan kutukan itu tidak ada…”
0o0o0o0o0
Sakura merasakan cahaya sendu matahari menerpa wajahnya. Perlahan ia membuka mata, lalu mengalihkan pandangnnya pada langit-langit. “Ugh, di mana aku?” Ia menyadari ini bukan kamar tidurnya.
Sakura kemudian bangkit, menyedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Seprai putih, kumpulan bunga-bunga segar, dan bau rumah sakit.
“A—Aku tertidur di sini?” Sakura lalu memandang ke luar jendela. Ia melihat warna jingga menghiasi langit Konoha. “Ah, syukurlah masih senja. Aku harus kembali ke rumah sekarang.”
Sakura buru-buru berdiri dari kasur dan tanpa sengaja menjatuhkan setangkai bunga matahari yang ia letakkan di sampingnya. Refleks ia menginjak bunga matahari itu di lantai.
“Sial, kenapa aku menginjaknya?” Bunganya jadi hancur!” umpat Sakura pada dirinya sendiri. Ia kecewa dengan kecerobohannya. Padahal ini adalah bunga untuk Naruto, bukan miliknya pribadi. Segera ia memunguti kelopak bunga matahari yang berserakan itu. Matanya lalu menatap ke bawah meja, kemudian mengambil kelopak bunga matahari yang berserakan di sana.
Sakura menyadari ada secarik kertas yang menarik perhatiannya. Sebenarnya ia ingin membiarkan kertas itu dan melanjutkan pekerjaannya. Namun warna-warna yang dipantulkan kertas itu menambah rasa keingintahuannya. Akhirnya Sakura pun mengambil kertas itu.
“Apa ini?” tanyanya pada diri sendiri. Sakura membuka lipatannya, ternyata itu adalah sebuah gambar. Ia juga menyadari bahwa kertas ini adalah kanvas kecil yang biasa orang melukis gambar-gambar sederhana di atasnya.
Sakura memandang gambar itu selintas. Seorang pemuda berambut kuning, duduk di kursi roda. Mengulurkan tangannya mengambil kelopak-kelopak bunga sakura yang berguguran dari dahannya. Ekspresi yang dipasang pemuda itu sangat bagus. Sakura berdecak kagum melihatnya. “Indahnya, siapa yang menggambarnya ya?”
Pandangan Sakura lalu tertuju pada bagian kiri bawah kanvas. Ada tanda tangan peluksinya di sana. Ia terkesiap melihatnya. “Lho? Ini kan tanda tangan, Sai.” Ucap Sakura sembari mendekatkan 7 cm gambar itu ke matanya. “Dan yang dia gambar ini… Rasa-rasanya aku kenal.”
Sakura lalu memutar otaknya. Rambut kuning dengan guratan seperti kucing di kedua pipinya. “I—Ini ‘kan… Naruto!” ia terkejut bukat main, tapi sekaligus juga merinding. Entah mengapa perasaannya menjadi tidak enak ketika memandang gambar Naruto itu sekali lagi.
“Apa maksud gambar ini?” Tanya Sakura penasaran. Lantas ia membalikkan kanvas itu dan menemukan deretan kalimat yang berjejer ke bawah. Ditulis menyerupai beberapa rima puisi.
Sakura memandanginya selintas. Tulisannya sangat acak-acakan. Dan tentunya ia mengenali siapa pemilik tulisan itu. “Ini kan tulisan Naruto,” ucapnya pelan.
Tanpa ragu lagi Sakura membaca setiap bait tulisan Naruto. Baru rima pertama ia nyaris menjatuhkan kanvas itu. “A—Apa maksudnya ini?” Sakura membuka matanya lebar-lebar. Seketika tubuhnya bergetar, tidak percaya dengan apa yang sedang dibacanya.
Kini ia takut membaca rima berikutnya, tapi rasa penasarannya mengalahkan rasa ketakutannya sendiri. Mata emerald-nya berputar ke kiri dan ke kanan mengikuti letak tulisan yang berjejer ke bawah. Gejolak di hatinya semakin merana tatkala ia sampai pada kalimat terakhir. Tetesan air mata seketika jatuh berlinangan di wajah putihnya yang ayu. “Ke—Kenapa Naruto menulis kalimat seperti ini?”
The Hokage apprentice itu berulang-ulang kali membaca tulisan yang menurutnya sangat tak masuk di akal itu. Dan berulang-ulang kali juga hantaman kepedihan memukul-mukul hatinya ketika dibacanya bait-bait keputusasaan itu.
Sakura mulai terisak-isak. “A—Aku. A—Aku harus menanyakan apa yang terjadi sebenarnya pada shisou sekarang juga!” Tanpa pikir panjang, Sakura segera keluar dari bekas kamar Naruto itu. Ia terus berlari seperti orang kesetanan, menyusuri koridor rumah sakit, tak peduli dengan orang-orang di sana yang memperhatikannya.
Dari koridor seberang Ino melihat sahabatnya melintas. Ia lalu berniat menghampiri Sakura, memberi kabar bahwa pujaan hatinya telah sadar dari koma panjangnya. “Oi, Forehead!” teriak Ino sembari melambai-lambaikan tangannya pada Sakura.
Semakin lama, Sakura semakin mendekatinya sembari berlari. Ino lantas berbicara dengan wajah gembira padanya ketika sahabatnya itu melintas di depannya. “Sakura, Sasuke-kun telah sadar dari komanya. Ayo, kau ha—. Eh, Sakura? Kenapa kau menangis?”
DUKK!!!
Tiba-tiba saja Sakura menabrak tubuh Ino hingga ia terpelanting ke lantai. Ino sangat kaget dengan kejadian itu, Sakura tak mempedulikan kata-katanya dan begitu saja melintas di depannya, meninggalkan Ino yang tersungkur ke tanah. Dengan wajah keheranan, Ino memandang punggung sahabatnya itu yang semakin lama semakin menjauhinya. “A—Ada apa dengannya? Bahkan ia tak menyadari kalau dia telah menabrakku.”
Sakura lantas terus berlari menuju Menara Hokage. Kanvas yang berisi tulisan Naruto itu digenggamnya dengan erat, terkoyak-koyak—sudah tak jelas lagi bentuknya. Tapi sebenarnya hatinya-lah yang terkoyak-koyak karena isi tulisan itu. Isi hati sahabatnya yang kini menghilang seperti ditelan bumi. Sakura bukan lagi merasa ditampar atau diinjak-injak ketika membacanya. Tapi dia merasa telah menghilangkan satu nyawa yang kehadirannya sangat di tunggu-tunggu oleh penduduk desa.
Apa sampai seperti itu? Sampai seperti itukah Naruto ingin membuktikan kata-katanya sendiri? Tulisan itu…
Ne, Sakura-chan…
“Tsunade-shisou!” Sakura langsung mendobrak pintu ruangan Hokage tanpa mengetuk terlebih dahulu sebelum masuk.
Tsunade yang sedang mengerjakan dokumen laporan misi sontak terkejut dengan kehadiran Sakura yang cukup mengagetkannya. “Sakura! Ada apa denganmu? Kenapa tak mengetuk pintu du—.” Tsunade tak melanjutkan kata-katanya ketika ia sadari airmuka Sakura yang seketika membuatnya khawatir.
Baca suratku di kamarmu.
Hingga kau dapat memandangi aku yang saat ini bersatu dengan bayang malam.
Yang biasa ada bintang bertaburan…
Yang biasa Sang Chandra memantulkan dengan indah cahayanya di kala malam menjelang.
Sakura dengan tergesa-gesa masuk ke dalam, mendekati Tsunade yang termangu melihat keadaannya. “Shisou, benarkah Naruto ingin mendonorkan jantungnya untuk Sasuke-kun?” Tanya Sakura tiba-tiba.
Tsunade sontak terkejut setengah mati mendengarnya. Perihal yang benar-benar dia ingin pendam, semata-mata untuk tidak diketahui oleh Sakura. Belum apa-apa Tsunade merasa terpojok. Apa dia harus mengatakan yang sebenarnya?
Bukankah kau sangat senang memadanginya, wahai Sang Surga?
Namun Tsunade tetap memasang airmuka tenangnya. “Darimana kau mengetahui kabar burung itu, Sakura?”
“Aku mohon jawab pertanyaanku dengan jujur, shisou!” mohon Sakura. Nada suaranya tinggi dari biasa, padahal selama ini dia selalu bersikap sopan pada Tsunade.
Ne, Sakura-chan…
Aku tak tahu apa keputusanku benar adanya.
Aku hanya meragukan diriku tentang dirimu
Tsunade tercenung di kursinya. Keringat dingin sedikit demi sedikit turun dari dahinya. Tubuhnya sedikit bergetar, tapi Tsunade tetap mempertahankan sikap tenangnya. Ia lalu mengatupkan kedua matanya rapat-rapat. “Sakura, tenanglah dulu. Kau dapat darimana kabar itu?”
Melihat ekspresi tenang gurunya, emosi Sakura juga menjadi redam. “Aku tahu kabar itu dari sini.” Sakura menyodorkan surat Naruto itu pada Tsunade.
Tsunade lantas mengambilnya dan membacanya pula.
Sanggupkah kau bahagia denganku nanti?
Sanggupkah aku membuatmu tersenyum sebagaimananya dirimu?
Indah senyummu yang kuharap selalu memantul di kornea mataku.
Sanggupkah aku bertahan berada dalam bayang sosok yang kau cinta?
Hati Tsunade jadi trenyuh ketika membaca tulisan Naruto itu. Tanpa ia sadari airmata keluar dari mata hazel-nya yang mengecil.
Aku bukan Sasuke, Sakura-chan.
Aku bukan penggantinya...
Melihat reaksi gurunya itu, emosi Sakura mulai tak keruan lagi. “Jadi itu benar, Shisou?” Tanya Sakura sembari terisak. Berharap Tsunade bilang bahwa hal itu tidak benar.
Tsunade ingin menjawabnya, namun entah mengapa lidahnya menjadi kelu. Sepenggal kata pun sangat sulit ia ucapkan. Ia tidak sanggup untuk mengatakan yang sebenarnya pada Sakura.
Aku adalah siluman Kyuubi, sedangkan dia adalah seorang Uchiha.
Aku si super bodoh pembuat onar, sedangkan dia si tampan penuh dengan talenta.
Aku tahu, aku bukanlah siapa-siapa, Sakura-chan.
“Ano… Sakura.” Akhirnya Tsunade bisa mengeluarkan suara juga, tapi kini dia ikut tidak dapat mengontrol emosinya. Jika mendengarnya dengan jelas suara Hokage Kelima itu sedikit bergetar. “Kau tahu? Seorang laki-laki yang begitu antusias mempertahankan apa yang diyakini dan dipercayainya. Aku baru melihatnya saat ini.”
Karena aku menyadari, aku tak sebanding dengan dirinya.
Karena aku menyadari Sasuke adalah sahabat sejatiku.
Karena aku menyadari kau hanya satu di hatiku
Karena aku menyadari kau tak akan pernah membalas cintaku…
“Apa maksud, Shisou?”
“Sakura, di sini sudah jelas tertulis. Naruto sudah menyebutkan semuanya, alasan mengapa dia sebegitu keras kepalanya ingin mendonorkan jantungnya untuk Sasuke. Aku tak perlu mengatkannya ulang kepadamu.”
Jadi maksud mimpi Sakura kemarin adalah ini?
Karena itu biarkan aku menepati janjiku…
“Jadi itu benar, Shisou?”
“Kalau aku menyembunyikannya sampai hari kiamat pun, aku tahu pada akhirnya kau akan tahu, Sakura.”
Airmata Sakura semakin deras turun. “Kalau begitu kenapa! Kenapa Shisou mengizinkan Naruto mendonorkan jantungnya untuk Sasuke-kun?!” teriaknya lagi.
Parau suaranya membuat tenggorokan Tsunade tercekat, tapi kini ia tak mau lagi menutupi diri. Dia tidak mau Sakura mengalami hal yang sama seperti dirinya.
Ne, Sakura-chan…
Jantungku kau minta pun akan aku berikan.
Jangan menangis lagi, kini kau bisa mendekapnya sesuka hatimu.
Seperti impian-impian terpendammu yang tak pernah kau ceritakan padaku.
Namun aku mengetahui, aku mencoba mengerti…
“Bagaimana kau bisa menentang keinginan seseorang yang kepalanya begitu keras menyaingi batu, Sakura?”
Sakura lantas mengatupkan matanya rapat-rapat. Sudah cukup, dia ingin segera keluar dari sini.
“Kau tidak pernah tahu seberapa dalam cinta Naruto padamu ‘kan, Sakura?”
“Kau tahu, Sakura-san? Naruto-kun… Dia sangat sangat mencintaimu!”
Kalimat Sai itu kembali terngiang-ngiang di benaknya.
Aku memang terlanjur mencintaimu, Sakura-chan…
Tapi aku tak akan pernah mengemis cinta itu padamu…
“Padahal orang yang dia ingin berikan jantungnya, adalah orang yang mencoba membunuhnya. Kriminal papan atas yang kejahatannya sudah terkenal di seantero 5 negara besar. Tapi dia begitu yakin Sasuke akan kembali ke jalan yang benar. Dia begitu yakin bahwa Sasuke-lah yang lebih pantas memiliki kesempatan hidup dibanding dirinya.”
Sakura lalu menyeka air matanya. Sungguh kata-kata Tsunade barusan begitu menusuk-nusuk hatinya, tapi dia begitu lelah untuk mengeluarkan airmatanya yang nyaris habis.
“Karena di balik semua itu yang dia harapkan hanyalah kebahagiaan perempuan yang dicintainya setengah mati. Tak peduli cintanya berbalas atau tidak,” ucap Tsunade lirih. Ia sendiri tak tahu mengapa ia bisa berbicara seperti itu pada muridnya.
Dengan jantungku, aku menghidupkannya kembali…
Dengan cara itu aku menjaga kalian berdua.
Dengan cara itu aku membawa Sasuke pulang kepadamu.
Dengan cara itu aku mencintaimu, Sakura-chan…
“Tapi setidaknya kita harus bersyukur bahwa operasi itu gagal dilaksanakan dan kau menemukan obat untuk menyembuhkan Sasuke.” Tsunade tersenyum dalam tangisnya. Setidaknya semua kejadian yang terjadi kemarin tidak sebegitu buruk dari apa yang ia bayangkan.
Berbahagialah…
Berbahagialah bersama dirinya yang kau cinta…
“Ada kabar baik untukmu, Sakura. Sasuke telah sadar dari komanya. Kau bisa mengunjunginya sekarang.” Tsunade lantas mendekati Sakura dan merengkuh kedua bahu muridnya itu. “Cerialah sedikit. Naruto pasti bisa kita temukan, Sakura.”
Di bawah dahan sakura yang bunganya berguguran.
~Uzumaki Naruto~
Sakura lantas menatap Tsunade dengan tatapan dingin. “Bagaimana aku bisa ceria. Shisou? Sedangkan Naruto menderita di luar sana.” Ia lantas langsung berhambur keluar ruangan Hokage tanpa mempedulikan panggilan Tsunade kepadanya.
Sakura sudah tak peduli kalau dia akan basah kuyup karena kehujanan. Dia berlari ke lantai paling atas Menara Hokage. Ke tempat yang paling disukai Naruto karena dia selalu bilang bahwa dia bisa memandang seluruh desa Konoha dari sana. Karena impian terbesarnya adalah menjadi Hokage desa Konoha. Sakura bukan lagi merasa bersalah ataupun kecewa, tapi dia merasa hampir menghilangkan satu nyawa yang memiliki cita-cita yang sangat besar dalam hidupnya. Dia dan juga Sasuke…
Bukan perihal tidak jadi atau jadinya pendonoran jantung itu dilakukan. Setelah membaca ungkapan isi hati Naruto itu mata gelapnya kini terbuka lebar. Uzumaki Naruto memang sangat mencintainya. Sangat menghargai persahabatannya dengan Sasuke.
Padahal dulu Sai telah mengatakan semuanya pada Sakura. Tapi penyesalan memang selalu hadir belakangan bukan?
Sakura terus berlari… Terus berlari hingga ia sampai di atap Menara Hokage. Dan di sinilah. Di sinilah ia berdiri pada akhirnya. Memandang tumpahan air hujan yang lebat, turun setetes demi setetes dari atas langit. Memandang pohon-pohon hijau yang nampak begitu suram. Bukan pesona yang ia dapat, semuanya hanya menambah kehampaan hati gadis berambut pink itu.
Sakura mengakui bahwa pemandangan yang disuguhkan di depan matanya memang sangat indah. Tapi tetap saja tidak bisa mengobati hatinya yang tergores, tersayat oleh sembilu.
Masih teringat olehnya kata-kata Yamato dulu di jembatan Surga dan Bumi.“Sakura, aku tahu dengan hanya melihatmu… Sebenarnya kamu….”
“Aku juga mencintaimu, Naruto. Aku juga ingin selalu bersamamu!” teriak Sakura sembari terisak-isak. Kedua matanya mengatup, bahunya naik-turun. Tubuhnya gemetar tak keruan.
Sebenarnya Haruno Sakura juga mencintai Uzumaki Naruto, tapi enggan mengakui karena masih terbayang-bayang dengan sosok Sasuke di belakangnya. Sebenarnya ia juga menyayangi Uzumaki Naruto, tapi enggan mengakui karena merasa tidak pantas mendapatkan cintanya. Dan kalau sudah begini, apa Naruto mau menerimanya kembali?
~THE END~
~Andai semua dapatku ulang kembali. ‘Kan ku terima cintamu sepenuh hati… (Astrid_Tak Bisa Kembali)~
*Valinor : Kalau yang pernah nonton LOTR. Itu nama lainnya Grey Havens, tempat persinggahan terkahir para Elf yang menyingkir dari Middle Earth. Mereka hidup damai di sana.
Uzumakigakure : Dalam khayalan Elven tempatnya itu kayak Revendell, rumahnya Lord Elrond di LOTR Hehehe. Jadi bayangkan saja seperti itu.
Buat kamar tidur Naruto di Uzumakigakure itu kayak kamarnya Kira Yamato dari Gundam Seed, pas dia diselamatin Lacus Clyne, dirawat dirumahnya. ^^
Oh ya, sekarang saya nulis novel dan salah satu naskah saya udah diterbitkan di toko buku. Penerbitnya Elex Media Komputindo judul novel Bintang dan cahayanya saya pakai nama pena nama saya sendiri, Pretty Angelia. Yuk dibeli di toko Gramedia dan Gunung Agung terdekat :D.
\
Thursday, 21 April 2011
Fanfic NARUTO Dibuang Sayang: HEART Chapter 9
Heart Chapter 9
Naruto © Masashi Kishimoto
Sindarin Language © J.R.R Tolkien
The Death of Naruto.
NaruSakuSasu. Semi-Canon. Tragedy/Romance. Towards to the adventure in the future.
Kisame dengan santai berjalan di hutan rimba yang gelap gulita. Cahaya matahari terhalang masuk karena pepohonannya yang rindang nan lebat. Panasnya begitu terik, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Seringai kejam terpampang di wajah ikan hiunya yang bersisik.
Beberapa waktu yang lalu Kisame sedikit syok karena dua orang yang tak ia kenali mengobrak-abrik markas Akatsuki hingga luluh-lantak. Tuannya saja—Uchiha Madara—dibuat kerepotan oleh si rambut merah yang akhirnya ia ketahui bernama Namikaze Kushina alias Uzumaki Kushina. Wanita itu seperti racun, menarik hati sekaligus berbahaya. Baru ia lihat ada seorang kunoichi yang berhasil mencundangi tuannya yang merupakan shinobi kriminal papan atas.
Tapi bukan Uchiha Madara namanya kalau ia tidak bisa membalikkan keadaan yang tidak mungkin menjadi mungkin. Rencana yang dibuat Madara boleh dibilang cerdas juga. Meski terlihat konyol, memang tak ada salahnya sekali-kali mengelabui para musuh mereka dan menghilang sementara di suatu tempat untuk mempersiapkan rencana berikutnya.
Maka tentunya sangatlah mudah bagi Kisame mencari mangsa untuk dibunuh. Seperti pesan Madara padanya, Kisame diminta untuk membawakan mayat seseorang, tak peduli dia lelaki atau perempuan.
Setelah berhasil membunuhnya, Kisame membopong mayat tersebut di ujung samaheda yang ia letakkan di atas pundaknya. Sembari menengadah ke belakangnya ia berkata, “Aku sebenarnya ingin membelah tubuhmu jadi beberapa bagian. Tapi apa boleh buat aku di minta Madara-sama untuk membawamu dalam keadaan utuh, walau dengan tubuh tercabik-cabik seperti ini. Fufufufu.” Lantas Kisame pun mulai melanjutkan perjalanannya lagi tanpa ada rasa cemas di hatinya.
Sementara itu di pinggiran hutan—perbatasan antara Amegakure dan Konohagakure, para shinobi Konoha yang terdiri dari Kakashi, Yamato, Neji, Sakura, Shikamaru, TenTen, Kiba, dan Lee, melakukan pencarian markas Akatsuki yang telah mereka cium keberadaannya.
Dengan bantuan Kiba dan Akamaru, mereka bisa mencium jejak Naruto yang dibawa kabur oleh Madara dari robekan baju Naruto yang sempat diambil oleh Sai. Mereka mengikuti kemana arah kedua shinobi pencari jejak itu membawa mereka pergi.
Melompat dari satu dahan ke dahan lain dengan kecepatan tinggi. Saat ini prioritas mereka adalah membawa pulang Naruto ke desa dalam keadaan selamat.
Sakura berada di barisan paling belakang tim. Ia memang terlihat kelelahan, namun bukan hal itu yang sedang mengganjal pikirannya untuk saat ini. Rupanya ia masih memikirkan mimpinya tadi malam. Tapi ia sendiri tak menyangka Akatsuki akan datang untuk menculik Naruto. Ia tak habis pikir Akatsuki akan memanfaatkan keadaan Naruto yang sangat tidak memungkinkan untuk bertarung, atau untuk sekedar melindungi diri. Berarti ada yang memata-matai Naruto selama dia dirawat di rumah sakit Konoha.
Sakura menggigit bibirnya sendiri. Dia tahu betul seorang jinchuuriki akan tewas apabila dipisahkan dari bijuu yang tersegel dalam tubuhnya.
Dulu hal ini pernah ia takutkan, namun lambat laun ketakutannya menghilang karena semakin hari Naruto terlihat semakin kuat. Tapi dia tak menyangka kejadian-kejadian kemarin menimpa dirinya. Dari komanya Sasuke, sampai luka bakar yang dialami Naruto. Semua ini terjadi begitu cepat sehingga Sakura tak tahu mana yang harus ia prioritaskan. Sasuke atau Naruto adalah orang yang sangat berharga baginya. Tapi dia belum berani memutuskan kepada siapa hatinya tertambat.
Ya, Sakura sangat mencintai Sasuke… Tapi di lain pihak, dia juga tak ingin kehilangan Naruto. Mimpinya tadi malam telah membuka matanya perlahan tentang hati kecilnya yang selama ini bersembunyi dibalik kebimbangannya. Naruto mendonorkan jantungnya untuk Sasuke—orang yang selalu Sakura rindukan kehadirannya. Sakura tentu saja sangat mengingat janji seumur hidup Naruto yang ingin membawa Sasuke pulang kembali ke Konoha. Kembali ke pangkuannya. Tapi haruskah sampai seperti itu? Kepulangan Sasuke… Haruskah dibayar dengan hilangnya nyawa Naruto?
Sakura tak mengerti mengapa dia bermimpi seperti itu. Ia boleh bernafas lega karena semua itu hanya mimpi belaka. Ia pasti langsung bunuh diri jika Naruto mendonorkan jantungnya untuk Sasuke. Karena Sakura juga menyadari, Naruto melakukan hal itu karena janjinya. Janji yang membebaninya hingga ia seperti hidup dalam kutukan yang bernama Neraka.
Mungkin kini Sakura telah dewasa dan mengerti apa yang seharusnya ia lakukan. Tak sepatutnya ia membiarkan Naruto sendiri yang terbebani dengan kesengsaraan yang disebabkan olehnya ini. Tak sepatutnya Sakura menuntut banyak pada Naruto sedangkan dia sendiri tak bisa melakukan apa-apa. Ia ingin membantu Naruto, tapi sejujurnya ia belum mampu untuk memikul beban itu di pundaknya sendiri.
Sakura mengatupkan matanya rapat-rapat. Terlalu lama ia pejam matanya hingga ia tak sadar kalau pijakannya pada dahan selanjutnya meleset. Sakura pun terpelanting ke depan, dahan besar siap menerjang tubuhnya yang melesat cepat kea rah sana. Ia ingin menendangkan kakinya ke dahan itu, namun entah mengapa untuk bersalto saja terasa berat ia lakukan.
“Kyaaaa…!!”
“Sakura-san!” teriak Lee yang berada tidak jauh dari Sakura.
Kakashi yang mendengar teriakan Lee, langsung menyambar tubuh Sakura dengan cepat. Lee sendiri tak sempat menyelamatkan Sakura karena saking terkejutnya.
Kakashi meraih Sakura dengan melompat ke dahan di sampingnya. Ia lalu turun ke jalan utama diikuti dengan shinobi yang lain.
“Daijobuka, Sakura?” Ucap Kakashi sembari menurunkan tubuh Sakura ke tanah.
“Ya, aku tak apa-apa. Terima kasih, sensei.”
“Kau terlihat kelelahan, Sakura. Sebaiknya kita istirahat dulu.”
Tapi Sakura tidak setuju dengan keputusan sensei-nya itu. “Tidak, sensei. Aku masih bisa melanjutkan perjalanan. Tenang saja. Tadi aku sedikit melamun hingga nyaris menabrak dahan pohon di depanku.”
“Tapi—.”
Sakura memotong kalimat Kakashi. “Aku mohon, sensei. Aku takut terjadi apa-apa dengan Naruto. Aku mohon kita lanjutkan perjalanan kita. Te—Terlambat sedikit saja Naruto bisa tak tertolong lagi.” Sakura menundukkan kepalanya. Ia merutuki dirinya sendiri, kenapa ia jadi cengeng seperti ini? Lantas mimpinya tadi malam melintas kembali dalam benaknya. “Tadi malam aku bermimpi buruk tentang Naruto. Aku tak mau hal itu terjadi padanya. Aku tak mau dia mati.” Perlahan butiran airmata tampak keluar dari mata jade Sakura yang terlihat sendu.
Tenten menyentuh dagunya dengan tangan. Sebenarnya ia ingin bertanya mimpi seperti apa yang ia alami, tapi ia tak tega menanyakannya.
Kiba dan Akamaru hanya mengerutkan dahi mereka.
Neji, dan Yamato tidak memasang ekspresi apa-apa.
Sedangkan Shikamaru sedang berpikir secara mendalam di alam pikirannya. Kata-kata Ino kemarin kembali menggerayangi otaknya.
“Shikamaru, a—aku… Kau salah mempersepsikan kata-kataku. A—aku hanya tak bisa membayangkan bagaimana Sakura nanti—.”
“Mungkin saja dia berteriak kegirangan karena Sasuke bisa hidup kembali.”
“Tidak, Shika! Sakura tidak mungkin se-egois itu!”
Lantas Shikamaru mengepalkan tangan kanannya. ‘Ck, mendokusei,’ umpatnya dalam hati.
Kakashi menatap kosong muridnya yang sedang bersedu-sedan. “Sakura…” Ia kemudian berjongkok, lalu menyentuh bahu Sakura dengan satu tangannya. “Tenang saja, Sakura. Kita pasti bisa menyelamatkan Naruto,” ucap Kakashi sembari tersenyum di balik maskernya.
Lee sendiri tidak tega gadis yang dipujanya itu tampak berkecil hati. “YOSHH, SAKURA-SAN!!! BETUL YANG DIKATAKAN KAKASHI-SENSEI! KITA PASTI BISA MENYELAMATKAN NARUTO-KUN!!! TENANG SAJA ADA ROCK LEE DI SINI!!!” teriaknya dengan semangat mudanya yang membara.
“Betul, Sakura. Naruto itu shinobi yang kuat. Dia tidak akan mati begitu saja,” ujar Tenten menimpali.
“Hh, si bodoh itu tidak akan mudah mati begitu saja, Sakura. Ingat kita masih memiliki waktu 4 hari sebelum Akatsuki berhasil mengekstrak kyuubi keluar dari tubuh Naruto,” ujar Kiba ikut menyemangati.
Neji, dan Yamato tersenyum pada Sakura. Dari pancaran mata mereka terlihat, mereka juga ikut menyemangati Sakura.
Sakura kemudian menyeka airmatanya yang kadung jatuh keluar. Ia tersenyum karena teman-temannya ada di sampingnya dan menyemangatinya. “Minna… Arigatou”
Hanya satu yang tidak Sakura sadari, Shikamaru menatapnya dengan wajah mengkisut. Sejak tadi Shikamaru memang sedikit blingsatan. Entah mengapa perasaan yang ia rasakan jadi seperti ini. Rasa-rasanya ia ingin kabur, karena baginya perasaan aneh seperti ini terlalu merepotkan untuk ia alami. ‘Semoga kau baik-baik saja, Naruto,’ ucapnya cemas.
0o0o0o0o0o0
Sore hari di Uzumakigakure nampak tenang. Desa yang letaknya lebih tersembunyi dari Konohagakure atau Sunagakure itu memang tak seramai dulu. Namun ke-anggunannya tak pernah lekang oleh waktu. Hutan hujan tropis dengan pepohonan yang lebat dan tingginya melebihi pepohonan di Konohagakure. Lembahnya yang diapit oleh dua tebing tinggi yang di bawahnya terdapat sungai—yang berujung pada lautan luas.
Desa pusaran air, begitu nama lainnya. Di tebingnya yang kokoh lagi tinggi itu berdiri sebuah bangunan cantik yang bertingkat-tingkat menjulang ke langit. Terdapat beratus-ratus paviliun kecil maupun besar di sekitarnya. Inilah sebuah desa kecil yang sebenarnya lebih maju dibandingkan dengan desa lain di Lima Negara Besar shinobi.
Di salah satu ruangannya yang berdinding pualam berwarna pastel, berdiri seorang wanita berambut merah mawar yang memakai lengkap baju miko-nya. Baju itu dulu biasa ia pakai di acara-acara besar desa karena memang dialah dulu pemimpin desa Uzumakigakure. Desa yang kini menghilang dari peradaban dunia shinobi karena keserakahan para shinobi itu sendiri. Perang dunia ninja pertama telah membuat desa itu bersembunyi, menjauh dari desa yang lainnya.
Ruangan rahasia itu sengaja di gelapkan. Kushina tak sendirian di situ. Di depannya terbaring Naruto yang sejak tadi malam tak juga bangun dari tidurnya. Naruto diletakkanya di atas dipan kecil yang tidak terlalu tinggi. Melihat keadaan Naruto yang seperti ini, Kushina telah memutuskan untuk membuka segel Yang Naruto. Ia tak bisa lagi menumbuhkan Kanina Rosu seperti waktu perang dunia shinobi ketiga dulu. Bunga mawar ajaib yang sarinya bisa menyembuhkan luka seseorang.
Waktu menyegel kyuubi ke dalam perut Naruto, Hokage Keempat membagi chakra kyuubi menjadi Yin dan Yang. Yin menyegel chakra iblisnya, sedangkan Yang menyegel chakra lain dan juga kekuatan tersembunyi Naruto yang hanya diketahui oleh kedua orangtuanya sendiri. Chakra kyuubi bagian Yang dapat berbaur dengan tubuhnya sehingga chakra inilah yang biasa Naruto pakai dalam pertarungan normal.
Jika Naruto dalam keadaan marah, chakra Yin dapat menerobos masuk mempengaruhi emosinya. Karena itulah Naruto akhir-akhir ini sering kehilangan kontrol terhadap kyuubi jika ia bertarung dalam keadaan marah. Yin dan Yang dalam segel Naruto memang tak lagi seimbang dulu, sehingga Kushina memutuskan membuka segel chakra Yang agar dapat seimbang dengan segel chakra Yin pada saat Naruto sedang dalam keadaan bertarung. Dan kekuatan tersembunyi Naruto itu akan keluar, sehingga dapat menyembuhkan tubuhnya yang penuh dengan luka.
Naruto akan Kushina jadikan yousei seperti dirinya… Alasan mengapa Minato ikut menyegel kekuatan yousei Naruto? Karena Naruto perlu belajar bertahap menjadi seorang jinchuuriki dan juga yousei. Dua kekuatan iblis dan malaikat itu sangat bertolakbelakang sehingga tak mudah untuk disatupadukan. Namun sudah saatnya Naruto belajar untuk dapat mengendalikan dua kekuatan itu.
Kushina mulai membuat segel tangan secara berurutan. Tatsu… Tora… Saru… Inu… Mi… Uma… Ushi… Ne… Tatsu.
ZIINKKK
Muncul sinar kuning yang menyelimuti tangan kanan Kushina. Ia kemudian mendekati Naruto yang terbaring di depannya—yang hanya memakai celana pendek sampai ke lutut. Segel Hakke muncul di perut Naruto. Dengan perlahan Kushina meletakkan kelima jari tanggannya di beberapa bagian segel. Lalu memutar segel 90 derajat dengan hati-hati.
Tiba-tiba muncul sinar kemerahan yang keluar dari sana. Jiwa Kushina pun masuk ke dalam segel Naruto.
Kyuubi yang sedang tidur nyenyak membuka satu matanya. Telah lama ia dalam keadaan lesu seperti ini. Dia masih ingin tidur, tapi sepertinya ada yang mengunjunginya. Maka Kyuubi pun menggeram kesal karena ada yang mengganggu istirahatnya.
“Grrrhhh… Siapa kau? Tunjukkan dirimu. Aku tahu ada yang menggangguku.”
Kemudian Kushina berjalan perlahan ke arah Kyuubi yang meringkuk di balik jeruji. “Lama tak jumpa, Kyuubi,” ucapnya sembari tersenyum.
“Ka—Kau? Siapa kau?”
“Kau lupa siapa aku?” Kushina lalu mengarahkan tangannya pada Kyuubi.
ZRAATTT!!! DRRR… DRRR…
Tiba-tiba rantai-rantai kuat menjerat tubuh Kyuubi. “GRRAHHH… A—Apaan kau? Tu—Tunggu… Kekuatan ini…” Kyuubi mengalihkan pandangannya ke arah Kushina. “Ku—Kushina… Eh?” Kyuubi menyadari ada yang lain dengan penampilan wanita berambut merah itu. “Kau—Kau kembali menjadi yousei?!!”
“Aku memang tidak merubah diriku menjadi manusia biasa seutuhnya, kyuubi.”
“Heh, bagaimana bisa? Tapi kau dulu mati ‘kan?”
Kushina lalu mengambil anting mawar yang ia pakai di telinganya. “Yousei juga bisa mati, hanya dia memiliki bermacam-macam kekuatan untuk hidup selama ribuan tahun lamanya. Aku hidup kembali karena ini.” Kemudian anting itu berubah menjadi cahaya putih berbentuk bintang segi enam. “Sebelum aku ke Konohagakure, ayahku memberikan hadiah berupa anting ini padaku. Dia kembali membawaku tubuhku yang tak berdaya kembali ke Valinor, tapi tak kusangka ini adalah—.”
“Bi—Bintang utara Earendiru,” ucap Kyuubi memotong kalimat Kushina. “Jadi klan kalian akan bangkit kembali?”
Kushina mengangguk. “Ya, gerbang Shikigami—gerbang Uzumakigakure—telah terbuka. Keempat Dewa Pelindung telah bangkit dari tidur panjangnya. Kalian bijuu-bijuu akan kembali ke tuan kalian.”
“Eh, benarkah? Jadi aku bisa bertemu kembali dengan Suzaku-sama?” Tanya Kyuubi yang langsung tertarik dengan apa yang sedang mereka bicarakan.
Kushina mengangguk lagi. “Tapi aku meminta bantuan padamu, Kyuubi.”
“Huh, apa yang kau inginkan?”
Kushina memejamkan matanya sejenak. “Aku memutar seperempat segel Hakkefuuin Naruto.”
Kyuubi tiba-tiba menjadi marah. “Kau mau membuka segel Yang Naruto? Lalu tetap membiarkan aku di sini?!”
“Belum saatnya kau keluar, Kyuubi. Tapi aku menjamin kau bisa kembali lagi ke tempat asalmu di lembah api bersama Suzaku-sama.” Kushina kembali mengangkat tangannya ke depan kyuubi.
BRAKKK… BRAKKK…
Rupanya ia menambah kerangkeng menjadi 3. Ia lantas mengepalkan kedua tangannya. “Fuuin!” teriak Kushina.
“Grrrhhh… Kau Kushina…”
“Maafkan aku, Kyuubi. Aku akan menjadikan Naruto menjadi yousei. Kau tidak akan kubiarkan mengganggu.”
“Yousei? Hh, jangan bercanda Kushina.”
“Naruto terluka parah, aku tak ada pilihan lain. Lebih baik kau tidur saja, Kyuubi.” Kushina lalu menghilang dari hadapan kyuubi yang terlihat memejamkan matanya perlahan. Ia mulai merasakan badannya lesu kembali. Tapi kyuubi tak ingin berontak, ia ingin kembali melanjutkan tidurnya.
Kushina lalu kembali ke ruangan rahasia tadi, dan mendekati Naruto yang masih terbaring di sana.
“Naruto, anakku. Waktunya telah tiba. Maaf aku tiba-tiba muncul lalu seenaknya saja merubah kau menjadi yousei sepertiku. Tapi tenang saja, kau tetap bisa hidup bersama dengan manusia biasa,” ucap Kushina sembari mencium dahi Naruto. Ia lalu mengarahkan antingnya yang berubah menjadi bintang putih berbentuk segi enam ke kyuubi host itu.
Segel Yang Naruto telah Kushina buka, kini tinggal menambah energi kehidupan yousei agar ia menjadi yousei seutuhnya. Ia lalu mengucapkan sihir purbakala yang berasal dari leluhurnya. “Éala éarendel engla beorhtast*!”
0o0o0o0o0
“Itu tempatnya…” ucap Kiba yang menunggangi Akamaru. “Baunya samar-samar, aku tak mengerti. Tapi… ya aku yakin di sana.” Kiba menunjuk ke arah goa yang pintu masuknya terbuka.
Kakashi memincingkan matanya. Misi ini sedikit berbeda dengan misi-misi ia melawan Akatsuki sebelumnya. Tak ada jebakan, tak ada kesulitan berarti yang mereka hadapi. Kakashi tahu walaupun Akatsuki tinggal sedikit setidaknya pertahanan mereka tak selemah ini. ‘Apa yang sedang kau rencanakan, Uchiha Madara?’ Kakashi terlihat berpikir dalam benaknya.
“Senpai, apa rencanamu?” Yamato yang berdiri di samping Kakashi memperhatikan seluruh area. Dia juga sedikit curiga dengan kesunyian yang meliputi mereka. Seolah ada sesuatu yang besar—yang siap memukul mereka dengan keras. Yamato sendiri tidak tahu mengapa perasaannya menjadi tidak enak.
“Neji, tolong lihat daerah ini dengan byakugan-mu. Apa ada jebakan yang terpasang. Kalau bisa sekalian juga kau lihat apa yang sedang terjadi di dalam goa,” perintah Kakashi pada Neji
“Hai, wakarimashita.” Neji lalu mengatup kedua matanya dan membukanya kembali. “Byakugan!” Mata byakugan Neji melirik ke beberapa tempat yang mencurigakan, tapi ia tak menemukan ada kekkai atau jebakan yang terpasang di sekitar mereka. “Aku menjamin, tak ada kekkai terpasang di sekitar goa ini, Kakashi-sensei.”
“Begitu?” Kakashi terlihat berpikir sejenak. ‘Aneh, kekkai saja tidak dipasang. Apa yang Madara rencanakan sebenarnya?’
“Baiklah, Neji. Sekarang coba kau melihat ke dalam. Apa yang kau lihat?”
Neji lalu melihat ke dalam goa dengan byakugannya yang masih aktif. Beberapa detik kemudian Neji melihat sesuatu yang janggal di dalam goa. Tapi ada satu hal yang membuat bulu kuduknya merinding. “Ugh…,” raut wajah Neji yang tadinya serius tiba-tiba berubah drastis.
Kakashi menyadari akan hal itu. “Apa yang kau temukan, Neji?”
Neji lalu melirik Kakashi sebentar lalu memalingkan wajahya ke arah goa lagi. “Sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Lebih baik kita masuk ke dalam, sensei.”
Kakashi lalu mengiyakan. Ia perhatikan ketujuh anak buahnya yang berdiri tidak jauh darinya. Lantas Kakashi berjalan paling dulu untuk memastikan medannya berbahaya atau tidak.
Kakashi bersandar di pinggir mulut goa. Ia memperhatikan ke dalam, tapi tidak bisa melihat lebih ke dalam lagi karena goa itu sangatlah gelap, cahaya matahari hanya masuk di bagian mulutnya. Ia pun menyuruh yang lain untuk menyusulnya masuk ke dalam dengan isyarat tangan.
Sementara itu di dalam goa…
“Madara-sama, mereka datang.”
“Ya, aku tahu. Biarkan saja mereka masuk. Fufufu.” Madara menyeringai kejam. Ia kemudian memandang ke bawah—ke mayat yang tergeletak di lapangan luas goa. “Shouten no jutsu Pain akan menipu mereka. Beruntung aku pernah meng-copy jutsu-nya dengan sharingan-ku.”
Beralih ke tim Kakashi.
Kedelapan shinobi Konoha mulai masuk secara hati-hati ke dalam goa. Kakashi dan Yamato berada paling depan, tiba-tiba mereka berhenti berlari ketika sebuah suara muncul di sekitar mereka.
“Wah, kalian telah datang rupanya. Sudah kuduga. Fufufu…”
‘Uchiha Madara…’ ucap Kakashi dalam hatinya. “Tunjukkan dirimu, Madara!”
“Aku di sini. Fufufu.”
Kedelapan shinobi Konoha lantas mengalihkan pandangan mereka ke sebelah kanan goa. Di sana tampak Madara dan Kisame sedang berdiri di atas patung Gedou Mazou.
Kakashi melihat disekelilingnya, ia menyadari bahwa goa itu tampak begitu lantak tak beraturan. ‘Kenapa hancur seperti ini. Apa terjadi pertarungan sebelum kami sampai ke sini?’ Lalu matanya mencoba menerawang ke depan. Dilihatnya seseorang tergeletak di sana. Kakashi langsung mengenali seseorang itu dari kejauhan. ‘Ma—Masa?’Matanya tiba-tiba terbuka lebar.
“Senpai, itu…”
“Tidak mungkin. Tidak mungkin itu Naruto, Tenzou.”
“Naruto!” teriak Sakura tiba-tiba. Ia hendak menghampiri sosok Naruto yang tergeletak di tanah goa. Tapi Kakashi langsung menahannya.
“Tunggu, Sakura. Kau jangan gegabah dulu. Bisa jadi ini jebakan.” Kakashi lantas menatap Madara dengan tatapan penuh tanda tanya. “Sebenarnya apa yang terjadi sebelum kami datang? Aku tahu sepertinya telah terjadi pertarungan di sini… Dan menurutku tidak mungkin kau bisa mengekstrak kyuubi secepat itu dari tubuh Naruto.” Kakashi lalu menyadari luka di bahu Madara. Lalu luka di bahu kirimu itu—.”
Madara langsung memotong kalimat Kakashi. “Kau terlalu banyak berspekulasi Kakashi. Ya, tadi monster kecil itu sedikit memberontak sehingga aku harus melawannya sedikit. Aku terpaksa menggunakan sharingan-ku untuk mengeluarkannya. Kau sendiri tahu ‘kan Kakashi? Aku bisa mengendalikan kyuubi dengan sharingan. Fufufu…”
“Maksudmu Naruto berubah menjadi kyuubi?”
“Ya… Begitulah… Dia langsung mati begitu aku mengeluarkan kyuubi dari tubuhnya.” Madara menyeringai kejam, sepertinya aktingnya berhasil ia laksanakan. Ekspresi yang dipasang oleh para shinobi Konoha tampak mempercayai apa yang Madara ucapkan. Mereka terlihat tidak tenang…
“Usotsuki…” ucap Sakura yang tak percaya dengan ucapan Madara.
“Kau tidak percaya? Kalau begitu lihat ini…” Madara menunjukkan patung Gedou Mazou yang kesembilan matanya terbuka. “Kau tahu apa artinya ini ‘kan, Hatake Kakashi?”
‘Ti—Tidak mungkin.’
“Naruto sudah mati, Kakashi. Hahaha!”
“Naruto!” Sakura tiba-tiba berlari ke arah mayat Naruto, ia tak peduli apakah ada jebakan atau tidak. Sakura duduk di sebelahnya, ia langsung berteriak histeris ketika dilihatnya luka-luka yang ada di tubuh temannya itu. Ada beberapa luka bekas cakar di tangan, kaki, dan wajah Naruto. Bibirnya yang membiru penuh dengan bercak darah. Wajahnya penuh luka lebam yang diperkirakan disebabkan oleh pukulan yang sangat kuat.
Sakura langsung buru-buru membuka baju Naruto yang terkoyak-koyak, mengeluarkan jutsu medisnya ke tubuh temannya itu. “Ba—Bangunlah, Naruto!” Cahaya kehijauan menyelimuti kedua tangannya. Ia memeriksa beberapa titik denyut nadi Naruto.
“Percuma saja kau menyembuhkannya, kunoichi pink!”
Sakura langsung menoleh pada Madara, mata hijaunya yang berair memandang Madara dengan tajam. Ia ingin sekali menghajar Uchiha itu hingga babak-belur. Tapi tak Sakura hiraukan kalimat Madara. Ia berusaha mencari nadi Naruto yang masih berdenyut. Tak apa walau lemah, Sakura berharap bisa membuat denyut nadi itu berdetak lagi.
“Aku mohon bangun, Naruto! Kau tidak boleh mati! Kau masih memiliki cita-cita menjadi Hokage!” teriak Sakura. Ia mulai menangis histeris. Tapi yang dipanggil namanya tak memperlihatkan reaksi apa-apa. Seperti tak ingin dibangunkan dari tidur nyenyaknya.
“Hahaha, monster kecil itu sudah mati. Aku sudah bilang percuma saja kau mengobatinya,” ejek Madara.
“Diam kau topeng busuk! Namanya Naruto! Lihat saja, setelah ini aku akan menghajarmu habis-habisan!” bentak Sakura pada Madara.
Madara hanya terkekeh-kekeh mendengarnya. ‘Gadis yang menyeramkan,’ ejeknya dalam hati. Ia pun berniat untuk segera lari dari sana karena tak bagus juga untuk berlama-lama tinggal, meski ia sangat menikmati melihat ekspresi para shinobi Konoha yang terlihat syok.
“Baiklah aku permisi dulu. Sampai jumpa dilain waktu, Hatake Kakashi. Hahahaha.” Madara pun menghilang bersama Kisame dan patung gedou mazou.
Sakura menambah chakra ke kedua tangannya hingga batas maksimum. “Sialan! Aku mohon bukalah matamu, Naruto.” teriaknya lagi.
“Sakura…” lirih Yamato.”
Neji, Tenten, Lee, Shikamaru, Kiba dan Akamaru hanya bisa menatap sedih pemandangan yang ada di depan mereka.
“Sakura, cukup. Kau sudah berusaha dengan keras. Bisa-bisa kau mati karena kehabisan chakra,” ucap Kakashi yang mulai khawatir dengan tindak-tanduk muridnya itu. Sakura sudah terlalu banyak mengeluarkan chakra.
“Tidak bisa, sensei! Aku bisa menyelamatkan Sasuke-kun. Kenapa—Kenapa aku selalu gagal untuk menyelamatkan Naruto?!” Sakura mulai histeris lagi. Ia tak menyangka apa yang ia takutkan berubah menjadi kenyataan.
“Itu bukan salahmu, Sakura-san,” hibur Lee. Tapi tak pelak airmata juga jatuh di kedua matanya yang beralis tebal.
Kakashi yang melihat hal ini tak mau diam saja. Bisa-bisa Sakura juga ikut mati karena kehabisan chakra. “Shikamaru, tolong pisahkan Sakura dari mayat Naruto.”
Sakura langsung menoleh pada Kakashi. “Tidak, sensei! Jangan sebut Naruto seperti itu! Dia belum mati!”
“Ayo, Sakura. Kita keluar dari tempat ini dan kembali ke desa,” Shikamaru secara perlahan menarik Sakura menjauh dari Naruto.
Tapi Sakura memberontak. “Lepaskan! Aku harus menyelamatkan Naruto!”
“Cukup, Sakura! Kau sudah kehilangan banyak chakra. Bisa-bisa kau ikut mati!” Shikamaru mulai menarik Sakura secara paksa untuk keluar goa. Ia hampir ingin menggendong Sakura ala bridal style, tapi Sakura melawan dan mendorongnya hingga Shikamaru jatuh terpelanting ke tanah.
“Aku tak peduli kalau aku mati. Yang penting Naruto bisa hidup! Lepaskan aku, Shikamaru!” Sakura berlari kembali ke arah Naruto. “Naruto!” teriaknya.
Shikamaru lalu mengejar Sakura dan menangkapnya lagi sebelum ia berhasil sampai ke tempat Naruto.
“Kyaa!!!” teriak Sakura sembari berontak. Ia mengayunkan kedua kakinya agar Shikamaru mau melepaskannya.
“Berhenti, Sakura!”
“Lepaskan aku! Aku ingin mengobati Naruto!” perilaku Sakura mulai tak bisa dikontrol. Shikamaru mengerti, the Hokage apprentice itu tidak terima dengan kejadian ini.
Shikamaru lantas memalingkan wajah Sakura agar menatapnya. “Berhenti, Sakura! Kau sendiri sudah tahu ‘kan? Naruto sudah mati!”
Sakura langsung diam, menatap mata onyx Shikamaru yang tampak membara. “Ma—Mati?” lirih Sakura yang banjir air mata. Ia menatap Shikamaru dengan tatapan sendu yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya.
Shikamaru mengangguk kepalanya yang terasa berat. “Aku mohon, Sakura. Aku sangat mengerti dengan apa yang kau rasakan. Tapi aku mohon, biarkan Naruto pergi.” Ia sebenarnya tak sanggup mengatakan ini tapi apa mau dikata, kalimat menyakitkan itu begitu mengalir saja keluar dari bibirnya. Shikamaru sendiri tak ingin mempercayai semua hal yang tiba-tiba saja muncul di depan matanya. Ia ingin mencoba menganalisa semua ini dengan otak cerdasnya yang jarang ia gunakan. Tapi yang penting, ia harus kembali ke desa dulu
Sakura masih menangis terisak-isak. Ia memberanikan diri untuk melihat mayat Naruto lagi. Dilihatnya Kakashi mengangkat perlahan Naruto yang sudah tak berdaya ke punggungnya. Tak ada tanda-tanda kehidupan yang ia lihat di wajah polos Naruto. Sakura ingin berontak, tak terima dengan kenyataan seperti ini.
‘Kenapa? Kenapa?’ batin Sakura. Ia lalu terkulai lemas di dekapan Shikamaru. Ia turunkan kepalanya ke dada pewaris klan Nara itu.
Shikamaru langsung menggendong Sakura ala bridal style dan keluar dari goa lebih dulu dari yang lainnya. Menyusul kemudian Tenten, Lee, Neji, Yamato, Kiba, Akamaru, dan Kakashi. Shikamaru melirik Sakura yang matanya terpejam, tapi masih terdengar isakan kecil dari bibirnya yang berulang kembali menyebut nama Naruto.
“Senpai, apa yang kita akan lakukan selanjutnya?” Tanya Yamato yang wajahnya menjadi sedikit muram.
“Aku akan mengirimkan Pakkun untuk memberi kabar pada Godaime-sama. Kalian pulang ke desa lewat ke gerbang utama saja. Aku akan masuk dari gerbang lain. Yang jelas kematian Naruto ini jangan dulu tersebar luas di desa.”
Para shinobi Konoha mengiyakan, lalu melangkah menjauhi goa. Kakashi sendiri berjalan paling belakang bersama Yamato. Ia memandang ke tanah di kakinya dan menyadari kalau dia telah menginjak sesuatu.
Kakashi berhenti sejenak. ‘Bunga mawar? Aneh di perjalanan tadi aku sama sekali tak menemukan tanaman mawar tumbuh di sekitar hutan yang aku lewati.’ Ia mengangkat kakinya dari bunga mawar itu.
“Senpai.”
Lamunan Kakashi buyar ketika Yamato memanggilnya. Ia menoleh pada anggota Anbu tersebut.
“Ada apa, senpai?”
“Tenzou, bisakah kau mengambil bunga mawar ini?”
“Hm, ada apa, senpai? Kenapa ingin mengambilnya? Aku rasa ini hanya mawar biasa.”
“Bukan begitu, Tenzou. Aku sepertinya mengenal mawar ini. Tapi aku tidak ingat mengapa aku mengenalnya.”
Yamato terlihat bingung dengan pernyataan seniornya itu. Tapi ia menuruti, karena ia sendiri merasa ada yang aneh dengan semua kejadian tadi. Dia juga menyadari bahwa ia sendiri juga tak melihat tanaman mawar tumbuh di sekitar sana
Sementara itu di rumah sakit Konoha, Ino sedang men-check keadaan Sasuke yang baru saja melakukan pengobatan. Keadaan Sasuke belum banyak berubah dari hari kemarin, Ino tahu akan hal itu. Tapi yang membuatnya terkejut adalah progress dari keadaan jantung Sasuke yang berubah drastis.
“Sebenarnya Sakura menemukan tanaman apa? Aku belum pernah melihat ramuan yang bereaksi secepat ini. Keadaan jantung Sasuke-kun berangsur-angsur stabil. Sungguh ajaib,” ucap Ino berbicara sendiri. Ia sangat takjub dengan apa yang ditemukan sahabat sekaligus rivalnya itu. Ia tersenyum, mengaku kalah pada Sakura dalam urusan cinta dan medis. Namun tiba-tiba masalah lain menghampiri otaknya. “Semoga kau juga bisa menyelamatkan Naruto, Sakura,” lirihnya sembari melihat ke arah luar jendela. Gerimis mengundangnya untuk menelaah awan nimbus yang mulai tebal menutupi langit desa Konoha. Musim hujan sudah tiba rupanya…
0o0o0o0o0
Tsunade sedang berada di ruangannya, memandang hujan yang turun rintik-rintik membasahi bumi Konoha. Ia menghembukan nafasnya kuat-kuat. Tadi ia berhasil menang mempertahankan pendapatnya setelah adu mulut selama 3 jam dengan Koharu dan Homura. Tsunade menjamin pada mereka berdua bahwa Naruto akan selamat dan kyuubi tak akan berhasil Akatsuki dapatkan.
Tsunade masih ingat percakapannya tadi dengan dua orang dewan petinggi Konoha itu.
“Bagus kalau itu perkiraanmu, Tsunade. Aku berharap kau bisa memperbaiki semua kekacauan ini dan memperkuat keamanan desa yang akhir-akhir ini terlihat longgar,” ucap Koharu yang langsung menyatakan pendapatnya sehabis mendengar pernyataan Tsunade yang optimis Naruto akan berhasil diselamatkan oleh tim yang sedang bertugas.
“Huh, kalian terlalu berlebihan menghadapi masalah yang ada. Aku tak seperti kalian yang selalu menghadapi masalah dengan kepala panas. Sekali-kali kalian taruh batu es di kepala lain agar sedikit dingin.”
“Beraninya kau berbicara seperti itu, Tsunade! Sebagai seorang pemimpin dan shinobi tak seharusnya kau bersikap lunak seperti itu!” bentak Homura pada the Slug sannin itu.
Tsunade tetap santai menghadapi mereka berdua. “Terserah kalian mau bilang apa. Yang jelas aku tetap mempertahankan ideologi kakekku dalam memimpin desa ini,” ucap Tsunade tersenyum bangga. Bisa dilihatnya Koharu dan Homura mulai tidak tahan dengan sikap keras kepalanya itu.
“Kau—Kau?” Homura menahan amarahnya sebisa mungkin, lalu ia ingat masalah lain yang ia ingin utarakan. “Hh, aku dengar ninja buronan, Uchiha Sasuke telah kembali ke Konoha, benarkah itu?”
Tsunade terkesiap dengan pertanyaan Homura itu tapi dia memasang wajah setenang mungkin. “Kalau memang benar, apa yang ingin kau lakukan?”
“Kami akan menyidang tindak kriminalnya kalau dia keluar dari rumah sakit nanti. Untuk masalah ini aku harap kau tak melindunginya, Tsunade.”
Tsunade tidak menjawab, ia menatap dua orang itu yang duduk di depannya.
“Kami akan mengusulkan hukuman mati untuk Uchiha Sasuke.”
Tsunade lagi-lagi menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Kepalanya sedikit pusing dengan semua masalah yang menimpa desanya. Tak ada yang menemaninya untuk saat ini. Shizune masih berada di rumah sakit karena terluka saat melawan Madara tadi malam. Ia memandang lagi hujan rintik-rintik yang jatuh membasahi bumi desanya.
“Jiraiya… Andai kau berada di sini, apa yang akan kau katakan kepadaku?” lirih Tsunade yang tetap memandang tetesan hujan di depan matanya.
Bersambung…
Glossary
*Wahai earendell. Cahaya terang milik para Malaikat!
Okay fic ni bentar lagi sampai ke final chapter. Elven belum memutuskan mau diakhiri di chappie 10 atau 11.
Kalau mau ngeliat gimana baju miko Kushina, kurang lebih sama kayak Princess Kakyuu dari Sailormoon yang ada di primary pic elven. Kalau mau liat silahkan kunjungi profile elven hehe.
Akhir kata, review please ^^
Naruto © Masashi Kishimoto
Sindarin Language © J.R.R Tolkien
The Death of Naruto.
NaruSakuSasu. Semi-Canon. Tragedy/Romance. Towards to the adventure in the future.
Kisame dengan santai berjalan di hutan rimba yang gelap gulita. Cahaya matahari terhalang masuk karena pepohonannya yang rindang nan lebat. Panasnya begitu terik, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Seringai kejam terpampang di wajah ikan hiunya yang bersisik.
Beberapa waktu yang lalu Kisame sedikit syok karena dua orang yang tak ia kenali mengobrak-abrik markas Akatsuki hingga luluh-lantak. Tuannya saja—Uchiha Madara—dibuat kerepotan oleh si rambut merah yang akhirnya ia ketahui bernama Namikaze Kushina alias Uzumaki Kushina. Wanita itu seperti racun, menarik hati sekaligus berbahaya. Baru ia lihat ada seorang kunoichi yang berhasil mencundangi tuannya yang merupakan shinobi kriminal papan atas.
Tapi bukan Uchiha Madara namanya kalau ia tidak bisa membalikkan keadaan yang tidak mungkin menjadi mungkin. Rencana yang dibuat Madara boleh dibilang cerdas juga. Meski terlihat konyol, memang tak ada salahnya sekali-kali mengelabui para musuh mereka dan menghilang sementara di suatu tempat untuk mempersiapkan rencana berikutnya.
Maka tentunya sangatlah mudah bagi Kisame mencari mangsa untuk dibunuh. Seperti pesan Madara padanya, Kisame diminta untuk membawakan mayat seseorang, tak peduli dia lelaki atau perempuan.
Setelah berhasil membunuhnya, Kisame membopong mayat tersebut di ujung samaheda yang ia letakkan di atas pundaknya. Sembari menengadah ke belakangnya ia berkata, “Aku sebenarnya ingin membelah tubuhmu jadi beberapa bagian. Tapi apa boleh buat aku di minta Madara-sama untuk membawamu dalam keadaan utuh, walau dengan tubuh tercabik-cabik seperti ini. Fufufufu.” Lantas Kisame pun mulai melanjutkan perjalanannya lagi tanpa ada rasa cemas di hatinya.
Sementara itu di pinggiran hutan—perbatasan antara Amegakure dan Konohagakure, para shinobi Konoha yang terdiri dari Kakashi, Yamato, Neji, Sakura, Shikamaru, TenTen, Kiba, dan Lee, melakukan pencarian markas Akatsuki yang telah mereka cium keberadaannya.
Dengan bantuan Kiba dan Akamaru, mereka bisa mencium jejak Naruto yang dibawa kabur oleh Madara dari robekan baju Naruto yang sempat diambil oleh Sai. Mereka mengikuti kemana arah kedua shinobi pencari jejak itu membawa mereka pergi.
Melompat dari satu dahan ke dahan lain dengan kecepatan tinggi. Saat ini prioritas mereka adalah membawa pulang Naruto ke desa dalam keadaan selamat.
Sakura berada di barisan paling belakang tim. Ia memang terlihat kelelahan, namun bukan hal itu yang sedang mengganjal pikirannya untuk saat ini. Rupanya ia masih memikirkan mimpinya tadi malam. Tapi ia sendiri tak menyangka Akatsuki akan datang untuk menculik Naruto. Ia tak habis pikir Akatsuki akan memanfaatkan keadaan Naruto yang sangat tidak memungkinkan untuk bertarung, atau untuk sekedar melindungi diri. Berarti ada yang memata-matai Naruto selama dia dirawat di rumah sakit Konoha.
Sakura menggigit bibirnya sendiri. Dia tahu betul seorang jinchuuriki akan tewas apabila dipisahkan dari bijuu yang tersegel dalam tubuhnya.
Dulu hal ini pernah ia takutkan, namun lambat laun ketakutannya menghilang karena semakin hari Naruto terlihat semakin kuat. Tapi dia tak menyangka kejadian-kejadian kemarin menimpa dirinya. Dari komanya Sasuke, sampai luka bakar yang dialami Naruto. Semua ini terjadi begitu cepat sehingga Sakura tak tahu mana yang harus ia prioritaskan. Sasuke atau Naruto adalah orang yang sangat berharga baginya. Tapi dia belum berani memutuskan kepada siapa hatinya tertambat.
Ya, Sakura sangat mencintai Sasuke… Tapi di lain pihak, dia juga tak ingin kehilangan Naruto. Mimpinya tadi malam telah membuka matanya perlahan tentang hati kecilnya yang selama ini bersembunyi dibalik kebimbangannya. Naruto mendonorkan jantungnya untuk Sasuke—orang yang selalu Sakura rindukan kehadirannya. Sakura tentu saja sangat mengingat janji seumur hidup Naruto yang ingin membawa Sasuke pulang kembali ke Konoha. Kembali ke pangkuannya. Tapi haruskah sampai seperti itu? Kepulangan Sasuke… Haruskah dibayar dengan hilangnya nyawa Naruto?
Sakura tak mengerti mengapa dia bermimpi seperti itu. Ia boleh bernafas lega karena semua itu hanya mimpi belaka. Ia pasti langsung bunuh diri jika Naruto mendonorkan jantungnya untuk Sasuke. Karena Sakura juga menyadari, Naruto melakukan hal itu karena janjinya. Janji yang membebaninya hingga ia seperti hidup dalam kutukan yang bernama Neraka.
Mungkin kini Sakura telah dewasa dan mengerti apa yang seharusnya ia lakukan. Tak sepatutnya ia membiarkan Naruto sendiri yang terbebani dengan kesengsaraan yang disebabkan olehnya ini. Tak sepatutnya Sakura menuntut banyak pada Naruto sedangkan dia sendiri tak bisa melakukan apa-apa. Ia ingin membantu Naruto, tapi sejujurnya ia belum mampu untuk memikul beban itu di pundaknya sendiri.
Sakura mengatupkan matanya rapat-rapat. Terlalu lama ia pejam matanya hingga ia tak sadar kalau pijakannya pada dahan selanjutnya meleset. Sakura pun terpelanting ke depan, dahan besar siap menerjang tubuhnya yang melesat cepat kea rah sana. Ia ingin menendangkan kakinya ke dahan itu, namun entah mengapa untuk bersalto saja terasa berat ia lakukan.
“Kyaaaa…!!”
“Sakura-san!” teriak Lee yang berada tidak jauh dari Sakura.
Kakashi yang mendengar teriakan Lee, langsung menyambar tubuh Sakura dengan cepat. Lee sendiri tak sempat menyelamatkan Sakura karena saking terkejutnya.
Kakashi meraih Sakura dengan melompat ke dahan di sampingnya. Ia lalu turun ke jalan utama diikuti dengan shinobi yang lain.
“Daijobuka, Sakura?” Ucap Kakashi sembari menurunkan tubuh Sakura ke tanah.
“Ya, aku tak apa-apa. Terima kasih, sensei.”
“Kau terlihat kelelahan, Sakura. Sebaiknya kita istirahat dulu.”
Tapi Sakura tidak setuju dengan keputusan sensei-nya itu. “Tidak, sensei. Aku masih bisa melanjutkan perjalanan. Tenang saja. Tadi aku sedikit melamun hingga nyaris menabrak dahan pohon di depanku.”
“Tapi—.”
Sakura memotong kalimat Kakashi. “Aku mohon, sensei. Aku takut terjadi apa-apa dengan Naruto. Aku mohon kita lanjutkan perjalanan kita. Te—Terlambat sedikit saja Naruto bisa tak tertolong lagi.” Sakura menundukkan kepalanya. Ia merutuki dirinya sendiri, kenapa ia jadi cengeng seperti ini? Lantas mimpinya tadi malam melintas kembali dalam benaknya. “Tadi malam aku bermimpi buruk tentang Naruto. Aku tak mau hal itu terjadi padanya. Aku tak mau dia mati.” Perlahan butiran airmata tampak keluar dari mata jade Sakura yang terlihat sendu.
Tenten menyentuh dagunya dengan tangan. Sebenarnya ia ingin bertanya mimpi seperti apa yang ia alami, tapi ia tak tega menanyakannya.
Kiba dan Akamaru hanya mengerutkan dahi mereka.
Neji, dan Yamato tidak memasang ekspresi apa-apa.
Sedangkan Shikamaru sedang berpikir secara mendalam di alam pikirannya. Kata-kata Ino kemarin kembali menggerayangi otaknya.
“Shikamaru, a—aku… Kau salah mempersepsikan kata-kataku. A—aku hanya tak bisa membayangkan bagaimana Sakura nanti—.”
“Mungkin saja dia berteriak kegirangan karena Sasuke bisa hidup kembali.”
“Tidak, Shika! Sakura tidak mungkin se-egois itu!”
Lantas Shikamaru mengepalkan tangan kanannya. ‘Ck, mendokusei,’ umpatnya dalam hati.
Kakashi menatap kosong muridnya yang sedang bersedu-sedan. “Sakura…” Ia kemudian berjongkok, lalu menyentuh bahu Sakura dengan satu tangannya. “Tenang saja, Sakura. Kita pasti bisa menyelamatkan Naruto,” ucap Kakashi sembari tersenyum di balik maskernya.
Lee sendiri tidak tega gadis yang dipujanya itu tampak berkecil hati. “YOSHH, SAKURA-SAN!!! BETUL YANG DIKATAKAN KAKASHI-SENSEI! KITA PASTI BISA MENYELAMATKAN NARUTO-KUN!!! TENANG SAJA ADA ROCK LEE DI SINI!!!” teriaknya dengan semangat mudanya yang membara.
“Betul, Sakura. Naruto itu shinobi yang kuat. Dia tidak akan mati begitu saja,” ujar Tenten menimpali.
“Hh, si bodoh itu tidak akan mudah mati begitu saja, Sakura. Ingat kita masih memiliki waktu 4 hari sebelum Akatsuki berhasil mengekstrak kyuubi keluar dari tubuh Naruto,” ujar Kiba ikut menyemangati.
Neji, dan Yamato tersenyum pada Sakura. Dari pancaran mata mereka terlihat, mereka juga ikut menyemangati Sakura.
Sakura kemudian menyeka airmatanya yang kadung jatuh keluar. Ia tersenyum karena teman-temannya ada di sampingnya dan menyemangatinya. “Minna… Arigatou”
Hanya satu yang tidak Sakura sadari, Shikamaru menatapnya dengan wajah mengkisut. Sejak tadi Shikamaru memang sedikit blingsatan. Entah mengapa perasaan yang ia rasakan jadi seperti ini. Rasa-rasanya ia ingin kabur, karena baginya perasaan aneh seperti ini terlalu merepotkan untuk ia alami. ‘Semoga kau baik-baik saja, Naruto,’ ucapnya cemas.
0o0o0o0o0o0
Sore hari di Uzumakigakure nampak tenang. Desa yang letaknya lebih tersembunyi dari Konohagakure atau Sunagakure itu memang tak seramai dulu. Namun ke-anggunannya tak pernah lekang oleh waktu. Hutan hujan tropis dengan pepohonan yang lebat dan tingginya melebihi pepohonan di Konohagakure. Lembahnya yang diapit oleh dua tebing tinggi yang di bawahnya terdapat sungai—yang berujung pada lautan luas.
Desa pusaran air, begitu nama lainnya. Di tebingnya yang kokoh lagi tinggi itu berdiri sebuah bangunan cantik yang bertingkat-tingkat menjulang ke langit. Terdapat beratus-ratus paviliun kecil maupun besar di sekitarnya. Inilah sebuah desa kecil yang sebenarnya lebih maju dibandingkan dengan desa lain di Lima Negara Besar shinobi.
Di salah satu ruangannya yang berdinding pualam berwarna pastel, berdiri seorang wanita berambut merah mawar yang memakai lengkap baju miko-nya. Baju itu dulu biasa ia pakai di acara-acara besar desa karena memang dialah dulu pemimpin desa Uzumakigakure. Desa yang kini menghilang dari peradaban dunia shinobi karena keserakahan para shinobi itu sendiri. Perang dunia ninja pertama telah membuat desa itu bersembunyi, menjauh dari desa yang lainnya.
Ruangan rahasia itu sengaja di gelapkan. Kushina tak sendirian di situ. Di depannya terbaring Naruto yang sejak tadi malam tak juga bangun dari tidurnya. Naruto diletakkanya di atas dipan kecil yang tidak terlalu tinggi. Melihat keadaan Naruto yang seperti ini, Kushina telah memutuskan untuk membuka segel Yang Naruto. Ia tak bisa lagi menumbuhkan Kanina Rosu seperti waktu perang dunia shinobi ketiga dulu. Bunga mawar ajaib yang sarinya bisa menyembuhkan luka seseorang.
Waktu menyegel kyuubi ke dalam perut Naruto, Hokage Keempat membagi chakra kyuubi menjadi Yin dan Yang. Yin menyegel chakra iblisnya, sedangkan Yang menyegel chakra lain dan juga kekuatan tersembunyi Naruto yang hanya diketahui oleh kedua orangtuanya sendiri. Chakra kyuubi bagian Yang dapat berbaur dengan tubuhnya sehingga chakra inilah yang biasa Naruto pakai dalam pertarungan normal.
Jika Naruto dalam keadaan marah, chakra Yin dapat menerobos masuk mempengaruhi emosinya. Karena itulah Naruto akhir-akhir ini sering kehilangan kontrol terhadap kyuubi jika ia bertarung dalam keadaan marah. Yin dan Yang dalam segel Naruto memang tak lagi seimbang dulu, sehingga Kushina memutuskan membuka segel chakra Yang agar dapat seimbang dengan segel chakra Yin pada saat Naruto sedang dalam keadaan bertarung. Dan kekuatan tersembunyi Naruto itu akan keluar, sehingga dapat menyembuhkan tubuhnya yang penuh dengan luka.
Naruto akan Kushina jadikan yousei seperti dirinya… Alasan mengapa Minato ikut menyegel kekuatan yousei Naruto? Karena Naruto perlu belajar bertahap menjadi seorang jinchuuriki dan juga yousei. Dua kekuatan iblis dan malaikat itu sangat bertolakbelakang sehingga tak mudah untuk disatupadukan. Namun sudah saatnya Naruto belajar untuk dapat mengendalikan dua kekuatan itu.
Kushina mulai membuat segel tangan secara berurutan. Tatsu… Tora… Saru… Inu… Mi… Uma… Ushi… Ne… Tatsu.
ZIINKKK
Muncul sinar kuning yang menyelimuti tangan kanan Kushina. Ia kemudian mendekati Naruto yang terbaring di depannya—yang hanya memakai celana pendek sampai ke lutut. Segel Hakke muncul di perut Naruto. Dengan perlahan Kushina meletakkan kelima jari tanggannya di beberapa bagian segel. Lalu memutar segel 90 derajat dengan hati-hati.
Tiba-tiba muncul sinar kemerahan yang keluar dari sana. Jiwa Kushina pun masuk ke dalam segel Naruto.
Kyuubi yang sedang tidur nyenyak membuka satu matanya. Telah lama ia dalam keadaan lesu seperti ini. Dia masih ingin tidur, tapi sepertinya ada yang mengunjunginya. Maka Kyuubi pun menggeram kesal karena ada yang mengganggu istirahatnya.
“Grrrhhh… Siapa kau? Tunjukkan dirimu. Aku tahu ada yang menggangguku.”
Kemudian Kushina berjalan perlahan ke arah Kyuubi yang meringkuk di balik jeruji. “Lama tak jumpa, Kyuubi,” ucapnya sembari tersenyum.
“Ka—Kau? Siapa kau?”
“Kau lupa siapa aku?” Kushina lalu mengarahkan tangannya pada Kyuubi.
ZRAATTT!!! DRRR… DRRR…
Tiba-tiba rantai-rantai kuat menjerat tubuh Kyuubi. “GRRAHHH… A—Apaan kau? Tu—Tunggu… Kekuatan ini…” Kyuubi mengalihkan pandangannya ke arah Kushina. “Ku—Kushina… Eh?” Kyuubi menyadari ada yang lain dengan penampilan wanita berambut merah itu. “Kau—Kau kembali menjadi yousei?!!”
“Aku memang tidak merubah diriku menjadi manusia biasa seutuhnya, kyuubi.”
“Heh, bagaimana bisa? Tapi kau dulu mati ‘kan?”
Kushina lalu mengambil anting mawar yang ia pakai di telinganya. “Yousei juga bisa mati, hanya dia memiliki bermacam-macam kekuatan untuk hidup selama ribuan tahun lamanya. Aku hidup kembali karena ini.” Kemudian anting itu berubah menjadi cahaya putih berbentuk bintang segi enam. “Sebelum aku ke Konohagakure, ayahku memberikan hadiah berupa anting ini padaku. Dia kembali membawaku tubuhku yang tak berdaya kembali ke Valinor, tapi tak kusangka ini adalah—.”
“Bi—Bintang utara Earendiru,” ucap Kyuubi memotong kalimat Kushina. “Jadi klan kalian akan bangkit kembali?”
Kushina mengangguk. “Ya, gerbang Shikigami—gerbang Uzumakigakure—telah terbuka. Keempat Dewa Pelindung telah bangkit dari tidur panjangnya. Kalian bijuu-bijuu akan kembali ke tuan kalian.”
“Eh, benarkah? Jadi aku bisa bertemu kembali dengan Suzaku-sama?” Tanya Kyuubi yang langsung tertarik dengan apa yang sedang mereka bicarakan.
Kushina mengangguk lagi. “Tapi aku meminta bantuan padamu, Kyuubi.”
“Huh, apa yang kau inginkan?”
Kushina memejamkan matanya sejenak. “Aku memutar seperempat segel Hakkefuuin Naruto.”
Kyuubi tiba-tiba menjadi marah. “Kau mau membuka segel Yang Naruto? Lalu tetap membiarkan aku di sini?!”
“Belum saatnya kau keluar, Kyuubi. Tapi aku menjamin kau bisa kembali lagi ke tempat asalmu di lembah api bersama Suzaku-sama.” Kushina kembali mengangkat tangannya ke depan kyuubi.
BRAKKK… BRAKKK…
Rupanya ia menambah kerangkeng menjadi 3. Ia lantas mengepalkan kedua tangannya. “Fuuin!” teriak Kushina.
“Grrrhhh… Kau Kushina…”
“Maafkan aku, Kyuubi. Aku akan menjadikan Naruto menjadi yousei. Kau tidak akan kubiarkan mengganggu.”
“Yousei? Hh, jangan bercanda Kushina.”
“Naruto terluka parah, aku tak ada pilihan lain. Lebih baik kau tidur saja, Kyuubi.” Kushina lalu menghilang dari hadapan kyuubi yang terlihat memejamkan matanya perlahan. Ia mulai merasakan badannya lesu kembali. Tapi kyuubi tak ingin berontak, ia ingin kembali melanjutkan tidurnya.
Kushina lalu kembali ke ruangan rahasia tadi, dan mendekati Naruto yang masih terbaring di sana.
“Naruto, anakku. Waktunya telah tiba. Maaf aku tiba-tiba muncul lalu seenaknya saja merubah kau menjadi yousei sepertiku. Tapi tenang saja, kau tetap bisa hidup bersama dengan manusia biasa,” ucap Kushina sembari mencium dahi Naruto. Ia lalu mengarahkan antingnya yang berubah menjadi bintang putih berbentuk segi enam ke kyuubi host itu.
Segel Yang Naruto telah Kushina buka, kini tinggal menambah energi kehidupan yousei agar ia menjadi yousei seutuhnya. Ia lalu mengucapkan sihir purbakala yang berasal dari leluhurnya. “Éala éarendel engla beorhtast*!”
0o0o0o0o0
“Itu tempatnya…” ucap Kiba yang menunggangi Akamaru. “Baunya samar-samar, aku tak mengerti. Tapi… ya aku yakin di sana.” Kiba menunjuk ke arah goa yang pintu masuknya terbuka.
Kakashi memincingkan matanya. Misi ini sedikit berbeda dengan misi-misi ia melawan Akatsuki sebelumnya. Tak ada jebakan, tak ada kesulitan berarti yang mereka hadapi. Kakashi tahu walaupun Akatsuki tinggal sedikit setidaknya pertahanan mereka tak selemah ini. ‘Apa yang sedang kau rencanakan, Uchiha Madara?’ Kakashi terlihat berpikir dalam benaknya.
“Senpai, apa rencanamu?” Yamato yang berdiri di samping Kakashi memperhatikan seluruh area. Dia juga sedikit curiga dengan kesunyian yang meliputi mereka. Seolah ada sesuatu yang besar—yang siap memukul mereka dengan keras. Yamato sendiri tidak tahu mengapa perasaannya menjadi tidak enak.
“Neji, tolong lihat daerah ini dengan byakugan-mu. Apa ada jebakan yang terpasang. Kalau bisa sekalian juga kau lihat apa yang sedang terjadi di dalam goa,” perintah Kakashi pada Neji
“Hai, wakarimashita.” Neji lalu mengatup kedua matanya dan membukanya kembali. “Byakugan!” Mata byakugan Neji melirik ke beberapa tempat yang mencurigakan, tapi ia tak menemukan ada kekkai atau jebakan yang terpasang di sekitar mereka. “Aku menjamin, tak ada kekkai terpasang di sekitar goa ini, Kakashi-sensei.”
“Begitu?” Kakashi terlihat berpikir sejenak. ‘Aneh, kekkai saja tidak dipasang. Apa yang Madara rencanakan sebenarnya?’
“Baiklah, Neji. Sekarang coba kau melihat ke dalam. Apa yang kau lihat?”
Neji lalu melihat ke dalam goa dengan byakugannya yang masih aktif. Beberapa detik kemudian Neji melihat sesuatu yang janggal di dalam goa. Tapi ada satu hal yang membuat bulu kuduknya merinding. “Ugh…,” raut wajah Neji yang tadinya serius tiba-tiba berubah drastis.
Kakashi menyadari akan hal itu. “Apa yang kau temukan, Neji?”
Neji lalu melirik Kakashi sebentar lalu memalingkan wajahya ke arah goa lagi. “Sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Lebih baik kita masuk ke dalam, sensei.”
Kakashi lalu mengiyakan. Ia perhatikan ketujuh anak buahnya yang berdiri tidak jauh darinya. Lantas Kakashi berjalan paling dulu untuk memastikan medannya berbahaya atau tidak.
Kakashi bersandar di pinggir mulut goa. Ia memperhatikan ke dalam, tapi tidak bisa melihat lebih ke dalam lagi karena goa itu sangatlah gelap, cahaya matahari hanya masuk di bagian mulutnya. Ia pun menyuruh yang lain untuk menyusulnya masuk ke dalam dengan isyarat tangan.
Sementara itu di dalam goa…
“Madara-sama, mereka datang.”
“Ya, aku tahu. Biarkan saja mereka masuk. Fufufu.” Madara menyeringai kejam. Ia kemudian memandang ke bawah—ke mayat yang tergeletak di lapangan luas goa. “Shouten no jutsu Pain akan menipu mereka. Beruntung aku pernah meng-copy jutsu-nya dengan sharingan-ku.”
Beralih ke tim Kakashi.
Kedelapan shinobi Konoha mulai masuk secara hati-hati ke dalam goa. Kakashi dan Yamato berada paling depan, tiba-tiba mereka berhenti berlari ketika sebuah suara muncul di sekitar mereka.
“Wah, kalian telah datang rupanya. Sudah kuduga. Fufufu…”
‘Uchiha Madara…’ ucap Kakashi dalam hatinya. “Tunjukkan dirimu, Madara!”
“Aku di sini. Fufufu.”
Kedelapan shinobi Konoha lantas mengalihkan pandangan mereka ke sebelah kanan goa. Di sana tampak Madara dan Kisame sedang berdiri di atas patung Gedou Mazou.
Kakashi melihat disekelilingnya, ia menyadari bahwa goa itu tampak begitu lantak tak beraturan. ‘Kenapa hancur seperti ini. Apa terjadi pertarungan sebelum kami sampai ke sini?’ Lalu matanya mencoba menerawang ke depan. Dilihatnya seseorang tergeletak di sana. Kakashi langsung mengenali seseorang itu dari kejauhan. ‘Ma—Masa?’Matanya tiba-tiba terbuka lebar.
“Senpai, itu…”
“Tidak mungkin. Tidak mungkin itu Naruto, Tenzou.”
“Naruto!” teriak Sakura tiba-tiba. Ia hendak menghampiri sosok Naruto yang tergeletak di tanah goa. Tapi Kakashi langsung menahannya.
“Tunggu, Sakura. Kau jangan gegabah dulu. Bisa jadi ini jebakan.” Kakashi lantas menatap Madara dengan tatapan penuh tanda tanya. “Sebenarnya apa yang terjadi sebelum kami datang? Aku tahu sepertinya telah terjadi pertarungan di sini… Dan menurutku tidak mungkin kau bisa mengekstrak kyuubi secepat itu dari tubuh Naruto.” Kakashi lalu menyadari luka di bahu Madara. Lalu luka di bahu kirimu itu—.”
Madara langsung memotong kalimat Kakashi. “Kau terlalu banyak berspekulasi Kakashi. Ya, tadi monster kecil itu sedikit memberontak sehingga aku harus melawannya sedikit. Aku terpaksa menggunakan sharingan-ku untuk mengeluarkannya. Kau sendiri tahu ‘kan Kakashi? Aku bisa mengendalikan kyuubi dengan sharingan. Fufufu…”
“Maksudmu Naruto berubah menjadi kyuubi?”
“Ya… Begitulah… Dia langsung mati begitu aku mengeluarkan kyuubi dari tubuhnya.” Madara menyeringai kejam, sepertinya aktingnya berhasil ia laksanakan. Ekspresi yang dipasang oleh para shinobi Konoha tampak mempercayai apa yang Madara ucapkan. Mereka terlihat tidak tenang…
“Usotsuki…” ucap Sakura yang tak percaya dengan ucapan Madara.
“Kau tidak percaya? Kalau begitu lihat ini…” Madara menunjukkan patung Gedou Mazou yang kesembilan matanya terbuka. “Kau tahu apa artinya ini ‘kan, Hatake Kakashi?”
‘Ti—Tidak mungkin.’
“Naruto sudah mati, Kakashi. Hahaha!”
“Naruto!” Sakura tiba-tiba berlari ke arah mayat Naruto, ia tak peduli apakah ada jebakan atau tidak. Sakura duduk di sebelahnya, ia langsung berteriak histeris ketika dilihatnya luka-luka yang ada di tubuh temannya itu. Ada beberapa luka bekas cakar di tangan, kaki, dan wajah Naruto. Bibirnya yang membiru penuh dengan bercak darah. Wajahnya penuh luka lebam yang diperkirakan disebabkan oleh pukulan yang sangat kuat.
Sakura langsung buru-buru membuka baju Naruto yang terkoyak-koyak, mengeluarkan jutsu medisnya ke tubuh temannya itu. “Ba—Bangunlah, Naruto!” Cahaya kehijauan menyelimuti kedua tangannya. Ia memeriksa beberapa titik denyut nadi Naruto.
“Percuma saja kau menyembuhkannya, kunoichi pink!”
Sakura langsung menoleh pada Madara, mata hijaunya yang berair memandang Madara dengan tajam. Ia ingin sekali menghajar Uchiha itu hingga babak-belur. Tapi tak Sakura hiraukan kalimat Madara. Ia berusaha mencari nadi Naruto yang masih berdenyut. Tak apa walau lemah, Sakura berharap bisa membuat denyut nadi itu berdetak lagi.
“Aku mohon bangun, Naruto! Kau tidak boleh mati! Kau masih memiliki cita-cita menjadi Hokage!” teriak Sakura. Ia mulai menangis histeris. Tapi yang dipanggil namanya tak memperlihatkan reaksi apa-apa. Seperti tak ingin dibangunkan dari tidur nyenyaknya.
“Hahaha, monster kecil itu sudah mati. Aku sudah bilang percuma saja kau mengobatinya,” ejek Madara.
“Diam kau topeng busuk! Namanya Naruto! Lihat saja, setelah ini aku akan menghajarmu habis-habisan!” bentak Sakura pada Madara.
Madara hanya terkekeh-kekeh mendengarnya. ‘Gadis yang menyeramkan,’ ejeknya dalam hati. Ia pun berniat untuk segera lari dari sana karena tak bagus juga untuk berlama-lama tinggal, meski ia sangat menikmati melihat ekspresi para shinobi Konoha yang terlihat syok.
“Baiklah aku permisi dulu. Sampai jumpa dilain waktu, Hatake Kakashi. Hahahaha.” Madara pun menghilang bersama Kisame dan patung gedou mazou.
Sakura menambah chakra ke kedua tangannya hingga batas maksimum. “Sialan! Aku mohon bukalah matamu, Naruto.” teriaknya lagi.
“Sakura…” lirih Yamato.”
Neji, Tenten, Lee, Shikamaru, Kiba dan Akamaru hanya bisa menatap sedih pemandangan yang ada di depan mereka.
“Sakura, cukup. Kau sudah berusaha dengan keras. Bisa-bisa kau mati karena kehabisan chakra,” ucap Kakashi yang mulai khawatir dengan tindak-tanduk muridnya itu. Sakura sudah terlalu banyak mengeluarkan chakra.
“Tidak bisa, sensei! Aku bisa menyelamatkan Sasuke-kun. Kenapa—Kenapa aku selalu gagal untuk menyelamatkan Naruto?!” Sakura mulai histeris lagi. Ia tak menyangka apa yang ia takutkan berubah menjadi kenyataan.
“Itu bukan salahmu, Sakura-san,” hibur Lee. Tapi tak pelak airmata juga jatuh di kedua matanya yang beralis tebal.
Kakashi yang melihat hal ini tak mau diam saja. Bisa-bisa Sakura juga ikut mati karena kehabisan chakra. “Shikamaru, tolong pisahkan Sakura dari mayat Naruto.”
Sakura langsung menoleh pada Kakashi. “Tidak, sensei! Jangan sebut Naruto seperti itu! Dia belum mati!”
“Ayo, Sakura. Kita keluar dari tempat ini dan kembali ke desa,” Shikamaru secara perlahan menarik Sakura menjauh dari Naruto.
Tapi Sakura memberontak. “Lepaskan! Aku harus menyelamatkan Naruto!”
“Cukup, Sakura! Kau sudah kehilangan banyak chakra. Bisa-bisa kau ikut mati!” Shikamaru mulai menarik Sakura secara paksa untuk keluar goa. Ia hampir ingin menggendong Sakura ala bridal style, tapi Sakura melawan dan mendorongnya hingga Shikamaru jatuh terpelanting ke tanah.
“Aku tak peduli kalau aku mati. Yang penting Naruto bisa hidup! Lepaskan aku, Shikamaru!” Sakura berlari kembali ke arah Naruto. “Naruto!” teriaknya.
Shikamaru lalu mengejar Sakura dan menangkapnya lagi sebelum ia berhasil sampai ke tempat Naruto.
“Kyaa!!!” teriak Sakura sembari berontak. Ia mengayunkan kedua kakinya agar Shikamaru mau melepaskannya.
“Berhenti, Sakura!”
“Lepaskan aku! Aku ingin mengobati Naruto!” perilaku Sakura mulai tak bisa dikontrol. Shikamaru mengerti, the Hokage apprentice itu tidak terima dengan kejadian ini.
Shikamaru lantas memalingkan wajah Sakura agar menatapnya. “Berhenti, Sakura! Kau sendiri sudah tahu ‘kan? Naruto sudah mati!”
Sakura langsung diam, menatap mata onyx Shikamaru yang tampak membara. “Ma—Mati?” lirih Sakura yang banjir air mata. Ia menatap Shikamaru dengan tatapan sendu yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya.
Shikamaru mengangguk kepalanya yang terasa berat. “Aku mohon, Sakura. Aku sangat mengerti dengan apa yang kau rasakan. Tapi aku mohon, biarkan Naruto pergi.” Ia sebenarnya tak sanggup mengatakan ini tapi apa mau dikata, kalimat menyakitkan itu begitu mengalir saja keluar dari bibirnya. Shikamaru sendiri tak ingin mempercayai semua hal yang tiba-tiba saja muncul di depan matanya. Ia ingin mencoba menganalisa semua ini dengan otak cerdasnya yang jarang ia gunakan. Tapi yang penting, ia harus kembali ke desa dulu
Sakura masih menangis terisak-isak. Ia memberanikan diri untuk melihat mayat Naruto lagi. Dilihatnya Kakashi mengangkat perlahan Naruto yang sudah tak berdaya ke punggungnya. Tak ada tanda-tanda kehidupan yang ia lihat di wajah polos Naruto. Sakura ingin berontak, tak terima dengan kenyataan seperti ini.
‘Kenapa? Kenapa?’ batin Sakura. Ia lalu terkulai lemas di dekapan Shikamaru. Ia turunkan kepalanya ke dada pewaris klan Nara itu.
Shikamaru langsung menggendong Sakura ala bridal style dan keluar dari goa lebih dulu dari yang lainnya. Menyusul kemudian Tenten, Lee, Neji, Yamato, Kiba, Akamaru, dan Kakashi. Shikamaru melirik Sakura yang matanya terpejam, tapi masih terdengar isakan kecil dari bibirnya yang berulang kembali menyebut nama Naruto.
“Senpai, apa yang kita akan lakukan selanjutnya?” Tanya Yamato yang wajahnya menjadi sedikit muram.
“Aku akan mengirimkan Pakkun untuk memberi kabar pada Godaime-sama. Kalian pulang ke desa lewat ke gerbang utama saja. Aku akan masuk dari gerbang lain. Yang jelas kematian Naruto ini jangan dulu tersebar luas di desa.”
Para shinobi Konoha mengiyakan, lalu melangkah menjauhi goa. Kakashi sendiri berjalan paling belakang bersama Yamato. Ia memandang ke tanah di kakinya dan menyadari kalau dia telah menginjak sesuatu.
Kakashi berhenti sejenak. ‘Bunga mawar? Aneh di perjalanan tadi aku sama sekali tak menemukan tanaman mawar tumbuh di sekitar hutan yang aku lewati.’ Ia mengangkat kakinya dari bunga mawar itu.
“Senpai.”
Lamunan Kakashi buyar ketika Yamato memanggilnya. Ia menoleh pada anggota Anbu tersebut.
“Ada apa, senpai?”
“Tenzou, bisakah kau mengambil bunga mawar ini?”
“Hm, ada apa, senpai? Kenapa ingin mengambilnya? Aku rasa ini hanya mawar biasa.”
“Bukan begitu, Tenzou. Aku sepertinya mengenal mawar ini. Tapi aku tidak ingat mengapa aku mengenalnya.”
Yamato terlihat bingung dengan pernyataan seniornya itu. Tapi ia menuruti, karena ia sendiri merasa ada yang aneh dengan semua kejadian tadi. Dia juga menyadari bahwa ia sendiri juga tak melihat tanaman mawar tumbuh di sekitar sana
Sementara itu di rumah sakit Konoha, Ino sedang men-check keadaan Sasuke yang baru saja melakukan pengobatan. Keadaan Sasuke belum banyak berubah dari hari kemarin, Ino tahu akan hal itu. Tapi yang membuatnya terkejut adalah progress dari keadaan jantung Sasuke yang berubah drastis.
“Sebenarnya Sakura menemukan tanaman apa? Aku belum pernah melihat ramuan yang bereaksi secepat ini. Keadaan jantung Sasuke-kun berangsur-angsur stabil. Sungguh ajaib,” ucap Ino berbicara sendiri. Ia sangat takjub dengan apa yang ditemukan sahabat sekaligus rivalnya itu. Ia tersenyum, mengaku kalah pada Sakura dalam urusan cinta dan medis. Namun tiba-tiba masalah lain menghampiri otaknya. “Semoga kau juga bisa menyelamatkan Naruto, Sakura,” lirihnya sembari melihat ke arah luar jendela. Gerimis mengundangnya untuk menelaah awan nimbus yang mulai tebal menutupi langit desa Konoha. Musim hujan sudah tiba rupanya…
0o0o0o0o0
Tsunade sedang berada di ruangannya, memandang hujan yang turun rintik-rintik membasahi bumi Konoha. Ia menghembukan nafasnya kuat-kuat. Tadi ia berhasil menang mempertahankan pendapatnya setelah adu mulut selama 3 jam dengan Koharu dan Homura. Tsunade menjamin pada mereka berdua bahwa Naruto akan selamat dan kyuubi tak akan berhasil Akatsuki dapatkan.
Tsunade masih ingat percakapannya tadi dengan dua orang dewan petinggi Konoha itu.
“Bagus kalau itu perkiraanmu, Tsunade. Aku berharap kau bisa memperbaiki semua kekacauan ini dan memperkuat keamanan desa yang akhir-akhir ini terlihat longgar,” ucap Koharu yang langsung menyatakan pendapatnya sehabis mendengar pernyataan Tsunade yang optimis Naruto akan berhasil diselamatkan oleh tim yang sedang bertugas.
“Huh, kalian terlalu berlebihan menghadapi masalah yang ada. Aku tak seperti kalian yang selalu menghadapi masalah dengan kepala panas. Sekali-kali kalian taruh batu es di kepala lain agar sedikit dingin.”
“Beraninya kau berbicara seperti itu, Tsunade! Sebagai seorang pemimpin dan shinobi tak seharusnya kau bersikap lunak seperti itu!” bentak Homura pada the Slug sannin itu.
Tsunade tetap santai menghadapi mereka berdua. “Terserah kalian mau bilang apa. Yang jelas aku tetap mempertahankan ideologi kakekku dalam memimpin desa ini,” ucap Tsunade tersenyum bangga. Bisa dilihatnya Koharu dan Homura mulai tidak tahan dengan sikap keras kepalanya itu.
“Kau—Kau?” Homura menahan amarahnya sebisa mungkin, lalu ia ingat masalah lain yang ia ingin utarakan. “Hh, aku dengar ninja buronan, Uchiha Sasuke telah kembali ke Konoha, benarkah itu?”
Tsunade terkesiap dengan pertanyaan Homura itu tapi dia memasang wajah setenang mungkin. “Kalau memang benar, apa yang ingin kau lakukan?”
“Kami akan menyidang tindak kriminalnya kalau dia keluar dari rumah sakit nanti. Untuk masalah ini aku harap kau tak melindunginya, Tsunade.”
Tsunade tidak menjawab, ia menatap dua orang itu yang duduk di depannya.
“Kami akan mengusulkan hukuman mati untuk Uchiha Sasuke.”
Tsunade lagi-lagi menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Kepalanya sedikit pusing dengan semua masalah yang menimpa desanya. Tak ada yang menemaninya untuk saat ini. Shizune masih berada di rumah sakit karena terluka saat melawan Madara tadi malam. Ia memandang lagi hujan rintik-rintik yang jatuh membasahi bumi desanya.
“Jiraiya… Andai kau berada di sini, apa yang akan kau katakan kepadaku?” lirih Tsunade yang tetap memandang tetesan hujan di depan matanya.
Bersambung…
Glossary
*Wahai earendell. Cahaya terang milik para Malaikat!
Okay fic ni bentar lagi sampai ke final chapter. Elven belum memutuskan mau diakhiri di chappie 10 atau 11.
Kalau mau ngeliat gimana baju miko Kushina, kurang lebih sama kayak Princess Kakyuu dari Sailormoon yang ada di primary pic elven. Kalau mau liat silahkan kunjungi profile elven hehe.
Akhir kata, review please ^^
Fanfic NARUTO Dibuang Sayang: HEART Chapter 7
HEART Chapter 7
Madara’s Attack
Naruto © Masashi Kishimoto
NaruSakuSasu, Semi-Canon, Rated T, Tragedy/Romance. Towards to adventure in the future.
“Selesai!” ucap Sakura lantang sembari tersenyum bangga. Ia berhasil meracik ramuannya untuk Sasuke dan Naruto dalam bentuk bubuk. Ia bersyukur bahwa pekerjaannya selesai lebih cepat dari yang ia rencanakan. Tinggal mengeringkan ramuannya saja.
Sebenarnya ia ingin cepat-cepat kembali ke desa tapi rasa kantuk menghalanginya untuk pulang malam ini. Hampir 10 jam non stop ia memeras otaknya, bereksperimen semalam suntuk. Tubuh dan otaknya memang perlu diistirahatkan untuk mengembalikan staminanya esok.
“Sepertinya aku baru bisa pulang besok pagi,.. Hoaahhmm…” ucapnya sembari menguap.
Sebelum beranjak dari meja, Sakura memandang dua botol—berisi obat di dalamnya—yang sedang ia genggam.
“Akhirnya aku bisa menyelamatkan kalian berdua, Naruto… Sasuke-kun…,” ujar Sakura sembari menitikkan airmata. Sakura dulu pernah pernah berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti dia bisa menyelamatkan dua orang rekannya tersebut.
Seperti pesan terakhir Chiyo baa-sama kepadanya.
“Sakura, kali ini tolonglah orang yang kau anggap berharga bagimu. Dan bukan nenek sekarat… Kamu mirip sekali denganku. Karena tak banyak perempuan yang memiliki jiwa ksatria seperti itu… Kamu pasti akan menjadi kunoichi hebat melebihi gurumu…”
Dan sekarang ia bertekad untuk menepatinya. Kali ini dia tidak boleh gagal seperti kemarin. Sakura tak mau membayangkan bagaimana kalau hasil racikannya gagal menyembuhkan luka Sasuke dan Naruto. Ia berpikir se-optimis mungkin.
Lantas ia pun melenggangkan kakinya ke tempat tidur yang telah tersedia di laboratorium. Perlahan ia membuka jendela, melihat langit malam yang terlihat pucat, tak menampakkan keindahannya. Tak ada rembulan dan tak ada bintang yang biasa bertaburan. Mengapa malam seakan tak bergembira untuknya? Padahal hatinya kini sedang menanti kebahagiaan di esok hari. Kebahagiaan melihat dua orang yang berharga baginya bisa berkumpul lagi bersama-sama seperti yang telah lama diharapkannya.
Tapi masa depan tak selalu seirama dengan apa yang kita inginkan bukan?
Sakura pun menutup jendela dan segera membaringkan diri di atas tempat tidur. Ia sangat kelelahan dan dalam waktu sekejap saja Sakura langsung pergi ke alam mimpinya.
0o0o0o0o0
Awan nimbus telah datang, tapi masih segan membagi hujan pada bumi yang telah menantinya sejak lama. Ia hanya mendatangkan angin kencang yang mulai berhembus di desa Konoha. Sentuhannya membuat kulit merinding.
Malam itu terlihat lengang, penduduk desa jarang terlihat berlalu-lalang di jalan. Mereka telah kembali ke rumahnya masing-masing sejak pukul 8 malam. Angin kencang yang nyaris bisa disebut sebagai angin ribut itu memang membuat para penduduk enggan keluar dari rumahnya. Suasananya cepat membuat kantuk.
Tapi tidak bagi Uzumaki Naruto. Dia beberapa kali mencoba memejamkan matanya untuk terlelap tapi tidak bisa. Menghitung domba pun tak menghasilkan efek apa-apa. Bisa jadi ia sangat tegang karena operasi 2 jam lagi akan dilaksanakan. Naruto sedikit was was. Takut operasinya gagal atau tak berjalan dengan lancar.
Naruto memandang ke arah jendela. Rasa-rasanya ia ingin melenggang ke sana dan memandang bintang yang biasanya selalu menampakkan pesonanya di kala malam menjelang. Tapi apa daya kakinya tak mampu untuk melangkah. Bisa ia rasakan kedua kakinya lumpuh, mati rasa. Mungkin efek amaterasu yang membuatnya seperti ini. Efek serangan itu memang belum lindap dari tubuhnya. Namun Naruto tak memberitahukannya pada Tsunade karena disembuhkan pun tak ada gunanya. Untuk apa? Toh sebentar lagi ia akan meninggalkan dunia.
Tok! Tok!
“Ano… Shitsureishimasu, Naruto-kun.”
Naruto mendongakkan kepalanya ke arah pintu, lalu segera bangkit untuk duduk. Seseorang ternyata mengunjunginya. “Ya, silahkan masuk,” jawab Naruto.
Seseorang itu pun membuka pintu ruangan secara perlahan.
“Oh, Shizune-nee. Ada apa? Apa operasi akan segera dimulai?”
“Masih 2 jam lagi, tapi aku mau check keadaanmu dulu. Lagi pula ada yang ingin mengunjungimu, Naruto-kun.”
“Siapa?”
Shizune mempersilahkan seseorang yang lain—yang bersembunyi di balik tembok—untuk masuk ke dalam ruangan. Dan muncul sesosok gadis berambut ungu kebiru-biruan yang sedang menatap Naruto dengan bimbang. Seseorang yang tak Naruto sangka-sangka kehadirannya. Naruto sedikit terkejut dengan kedatangan Hinata di saat seperti ini. Pikirannya pun mengulang kejadian tempo dulu saat dia bertarung dengan Pain. Tapi terinterupsi karena sapaan pewaris klan Hyuuga itu.
“Ko—Konbanwa, Naruto-kun,” ucap Hinata terbata-bata.
Naruto tersenyum simpul. “Konbanwa, Hinata. Silahkan masuk.”
Hinata melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan. Lantas Naruto mempersilahkannya untuk duduk.
“A—Arigatou na, Naruto-kun,” ucap Hinata setelahnya.
Shizune masih berdiri di luar, pintu dibiarkan terbuka. Tapi dia tidak ada niat untuk mendengarkan percakapan antara Naruto dan Hinata. Untuk itu ia pergi sebentar ke ruangan di mana tim dokter sedang berkumpul. 30 menit lagi dia akan kembali ke ruangan Naruto.
Cukup lama Naruto dan Hinata saling membisu. Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut mereka berdua. Naruto sendiri bingung ingin membicarakan apa, tapi pada akhirnya ia mempunyai suatu hal yang ingin ia bicarakan.
“Kau pasti sudah tahu ‘kan, Hinata?’
Hinata langsung menyedarkan pandangannya ke wajah Naruto. Tapi ia tidak berani menatap Naruto lama-lama. Ia pun mengangguk sembari menunduk.
Naruto menyadari suasana yang tidak mengenakkan di antara mereka berdua. “Ah, Hinata. Hahaha… Apa boleh buat. Sasuke dalam keadaan sekarat karena dia melindungiku. Dan aku tak bisa diam saja melihat dia dalam keadaan yang seperti itu.” Naruto menggaruk-garuk belakang kepalanya sembari terkekeh-kekeh. Ia tahu sebenarnya ini bukanlah hal lucu, Naruto hanya ingin mengurangi ketegangan yang menyelimuti mereka berdua.
“Anata wa hontou ni yasashii, Naruto-kun,” ucap Hinata sembari menatap Naruto lekat-lekat.
Naruto tertegun melihatnya. Hinata kelihatan sangat tegar. Walaupun ia menyadari mata Hinata mulai berair tapi gadis itu menahannya agar tidak jatuh. Ia memberikan senyuman penuh ketulusannya pada Naruto. Dan anehnya kali ini dia tidak terbata-bata.
Naruto pun membalas senyuman Hinata. Lalu ia teringat ada perihal penting yang sebaiknya harus ia selesaikan sebelum dia pergi. “Hinata, waktu itu…terima kasih karena telah menolongku dari serangan Pain. Aku sangat khawatir dengan keadaanmu.”
“Daijobu desu, Naruto-kun. Sakura-san langsung menyembuhkan lukaku pada waktu itu. Mungkin aku terlalu nekat, tetapi aku tidak bisa melihat kau dibawa lari oleh Pain.”
“Jadi Sakura-chan yang telah menyelamatkanmu? Aku baru mengetahuinya.” Naruto tersenyum sembari membayangkan gadis berambut pink itu.
“Ya. Tentunya pasti dia juga bisa menyembuhkan lukamu, Naruto-kun,” ucap Hinata yang sedang mengarahkan pandangannya ke kedua kaki Naruto yang tertutup selimut.
Air muka Naruto seketika berubah. Ia sangat yakin Sakura pasti bisa menyembuhkannya. Tapi untuk seseorang yang lain…
“Itu pasti, Hinata,” balas Naruto. “Tapi… Ada satu orang yang ia ingin sembuhkan namun itu terlihat mustahil baginya. Karena itu aku yang akan menyembuhkan orang itu.”
Hinata tertegun, ia sangat tahu perasaan terpendam Naruto pada Sakura. Dan sikapnya yang bersikeras ingin membawa Sasuke pulang. Karena siapa yang sudi melepaskan sahabat sejati begitu saja? Bagi Naruto, Sasuke adalah darahnya—bagian dari kehidupannya. Teman seperjuangan, senasib sepenanggungan. Sedangkan Sakura adalah jantungnya—cinta matinya, tapi gadis berambut pink itu mencintai orang lain yang tak lain dan tak bukan adalah sahabat Naruto sendiri. Lalu apalagi yang harus ditanyakan?
“Sasuke-kun?”
“Ya,” jawab Naruto sembari mengangguk pelan.
“Kau sangat mencintai Sakura-san, ya ‘kan Naruto-kun?”
Naruto tercenung mendengarnya. “Ka—Kau tahu, Hinata?”
“Hai,” jawab Hinata sembari menundukkan kepalanya.
“Go—Gomenasai, Hinata. Aku tidak bermaksud—.”
“Wakarimasu, Naruto-kun.” Hinata kemudian memalingkan wajahnya dari Naruto. Mukanya lalu bersemu merah. “Kau mengetahui perasaanku sebenarnya saja sudah sangat membuatku senang.”
“Eh?”
Hinata tersenyum kecil. “Aku juga pernah nyaris mengorbankan diriku untukmu. Lalu kau hendak mengorbankan dirimu untuk dua orang yang sangat berharga bagimu. Aku…sangat memahami hal itu, Naruto-kun...”
“Begitu?”
“Memang benar ada sebagian dari diriku yang tak ingin menginginkan kau pergi. Tapi pada akhirnya aku mengerti, yang harusku lakukan adalah merelakan kau pergi. Aku tak punya hak untuk memaksamu.”
Naruto nyaris mengigil mendengar pernyataan Hinata. Baru kali ini ia lihat ada seorang gadis yang memiliki perasaan sedalam itu kepadanya. Tentu Naruto sangat senang. Tapi sayangnya perasaan Naruto tidak seirama dengan perasaan Hinata terhadapnya.
“Hinata, aku yakin suatu hari nanti kau akan mendapatkan lelaki yang baik. Dan dia bisa membuat kau bahagia sampai kau menutup mata.”
“Ya, Naruto-kun,” ucap Hinata yang tiba-tiba tersedu-sedu. Airmatanya mulai turun membasahi pipinya. Bagaimanapun hal ini tak mudah bagi Hinata. Dia sendiri tidak yakin apakah bisa berpindah ke lain hati. Hinata hanya ingin menghibur Naruto disaat-saat terakhirnya untuk itu ia berusaha setegar mungkin.
Naruto menggenggam tangan kanan Hinata dengan kedua tangannya. “Terima kasih telah mencintaiku, Hinata.” Naruto tak mampu berucap lebih dari itu. Karena begitulah hatinya. Ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Kemudian ia menyadari ada sesuatu yang beda pada diri Hinata. “Aku lihat sepertinya kau tidak terbata-bata lagi, Hinata.”
Lantas Hinata menyeka airmatanya. Ia tersenyum kecil. “Ya, Naruto-kun. Sejak saat kejadian itu, tak tahu mengapa aku bisa mengontrol kegagapanku. Walaupun hanya sedikit.”
Hinata lalu memperhatikan jam dinding di ruangan Naruto. Ia menyadari waktu kesempatan menjenguk sudah habis. Barusan dia diizinkan oleh Tsunade untuk menjenguk Naruto dan ia berjanji hanya 30 menit ia menjenguk . Malam sudah larut tapi niatnya ia memang ingin bermalam di rumah sakit mengikuti perkembangan operasi.
Sebelum ia pergi, Hinata mengeluarkan sebuah kalung ber-pendant batu aquamarine di tengahnya. “Naruto-kun, ini adalah kalung ibuku. Ini adalah jimat keberuntunganku. Aku percaya dia selalu melindungiku dikala aku sedang dalam keadaan bahaya. Aku ingin kau memakainya.”
Batu biru laut aquamarine terlihat berkilauan di tangan Hinata. Naruto memperhatikannya secara saksama, ia merasa enggan untuk menerimanya. “Ano… Hinata. Sepertinya kalung itu sangat berharga bagimu. Aku tidak ingin mengambilnya. Aku tak bisa memakainya.”
“Kumohon, Naruto-kun. Tidak apa-apa. Aku ikhlas memberikannya padamu.”
“Bukannya aku tak ingin menerimanya. Rasanya kalung itu tak pantas terkubur bersamaku. Kalau itu memang kalung bertuah—yang bisa menyelamatkan seseorang, aku berharap kalung itu dapat menyelamatkan Sasuke.”
Hinata tertegun. “U—Untuk Sasuke-kun?”
Naruto mengangguk.
Hinata terlihat berpikir sejenak. Ia memang tidak terlalu mengenal Sasuke. Tapi kalung itu turun-temurun diwarisi di keluarga Hyuuga. Tidak boleh diberikan ke sembarang orang. Dia ingin memberikan kalung itu pada Naruto karena perasaan spesialnya pada the Kyuubi host itu. Tapi untuk Sasuke…dia ragu.
Naruto menyadari kebimbangan Hinata. “Hinata, aku tahu Sasuke masih sangat asing bagimu. Karena itu boleh aku memberitahukan suatu hal padamu?”
“Tentang apa, Naruto-kun?”
“Tentang dibalik pembantaian klan Uchiha…”
0o0o0o0o0
Operasi transplan jantung Naruto untuk Sasuke dilakukan secara diam-diam. Meski rumor telah tersebar para rookie 9 yang lain sudah tahu perihal ini. Namun mereka sulit sekali mendapatkan izin dari Tsunade untuk menjenguk Naruto. Naruto memang tak memiliki waktu banyak karena operasi ini terlalu mendadak dilaksanakan. Tapi apa mau dikata, mereka ingin bertemu dengan Naruto untuk terakhir kali.
Hinata tidak memberitahu pada Naruto kalau sebenarnya para rookie 9 sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sakit, mengendap-endap seperti pencuri. Memasuki rumah sakit dari pintu belakang yang terpencil, tidak banyak dilalui orang. Apalagi malam-malam begini tempatnya sangat menyeramkan.
“Ugh… Kenapa kita ingin menjenguk Naruto harus diam-diam seperti maling begini? Lagipula aku tak menyukai tempat ini,” ucap Ino yang memeluk kedua bahunya sendiri sembari melihat di sekeliling jalan pintu masuk.
“Ya, apa boleh buat. Memang merepotkan sih. Tapi kalau ketahuan Hokage-sama itu bisa lebih merepotkan lagi. Hoaahhmm…,” ujar Shikamaru yang terlihat mengantuk. Ino langsung memukul kepalanya.
“Kau jangan tidur, Shikamaru!”
“Ck, aku belum tidur seharian tahu!”
“Ssstt, sudahlah kalian jangan bertengkar,” ucap Chouji yang jengkel melihat kedua teman se-timnya adu mulut. Itu karena dia tidak enak hati pada yang lain juga. Semua rela tidak tidur malam ini hanya untuk menjenguk Naruto. Jadi tidak ada salahnya ‘kan mereka tidak tidur hanya sehari? Toh mereka hanya punya waktu 30 menit sebelum operasi dimulai. Kadang Chouji ingin menjitak si pemalas ini juga karena kemasabodohannya.
Ya, bisa Chouji mengerti bukan maksud Shikamaru bersikap seperti itu. Dia hanya kesal pada Tsunade yang tidak mengizinkan mereka semua untuk menjenguk Naruto. Dia juga bingung mengapa hanya Hinata yang diizinkan, padahal mereka juga adalah temannya Naruto.
Mereka telah memasuki koridor utama. Chouji, Shikamaru, dan Ino berjalan paling depan. Neji, Tenten, Lee mengikuti di tengah-tengah. Sedangkan Kiba, Akamaru, dan Shino berada di belakangnya.
“Ano… Aku tidak mengerti mengapa Naruto mendonorkan jantungnya untuk Sasuke. Setahuku luka di kakinya masih bisa disembuhkan. Dan Sasuke…adalah seorang missing nin yang diincar-incar oleh desa tetangga. Lalu kenapa dia yang dipertahankan oleh Tsunade-sama?” Tenten memulai pembicaraan serius di antara mereka. Satu per satu dari mereka pun menjawab dengan persepsinya masing-masing.
“Aku juga tidak mengerti, mungkin karena klan Uchiha adalah salah satu klan hebat di Konoha. Tapi kalau begitu, aku sangat iba terhadap Naruto-kun,” jawab Lee yang matanya mulai berkaca-kaca. Sesekali ia usap matanya dengan bajunya. Neji dan Tenten hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Lee. Lee memang lelaki yang sensitif.
“Bisa jadi kau benar, Lee. Tapi kurasa Naruto ingin merubah takdir Sasuke. Aku dulu pernah berargumen dengannya tentang takdir, dan ia tampak optimis sekali bahwa takdir itu bisa dirubah. Yang tak habis kupikir, mengapa ia tidak mengubah takdirnya sendiri? Ia malah ingin merubah takdir si keparat itu,” ujar Neji sedikit emosi. Rupanya kata ‘takdir’ yang dulu sangat dia junjung tinggi pengaruhnya terhadap kehidupan, masih saja menggerayangi otaknya.
“Hh, si bodoh itu terlalu memikirkan orang lain hingga dirinya saja tidak ia hiraukan,” tukas Kiba yang menyilangkan kedua tangannya di dada. Kata-kata yang diucapakannya memang seakan menunjukkan bahwa ia tak peduli. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia sangat kehilangan sosok Naruto yang diam-diam menginspirasinya.
Sedangkan Shino tidak berkomentar. Dia hanya mengerenyitkan dahinya. Dan itu cukup untuk menginterpretasikan bahwa dirinya juga turut sedih dengan kejadian ini.
“Menurutku Naruto terlalu gegabah dan tidak memikirkan yang lainnya,” ujar Ino tiba-tiba.
Shikamaru langsung menatap tajam teman se-timnya itu.
“Dia tidak memikirkan perasaan Sakura. Aku tak berani membayangkan bagaimana reaksi Sakura nanti. Menurutku ini terlalu berlebihan.”
“Lalu bagaimana denganmu sendiri, Ino?” Tanya Shikamaru yang dari nada suaranya terlihat geram. Ia menatap nanar Ino.
“Ke—Kenapa kau menatapku seperti itu, Shika?”
“Kau tidak senang Sasuke bisa hidup kembali?”
“Apa maksudmu, Shika? A—Aku—.”
“Kau tidak tahu, Ino. Kalau hati laki-laki itu lebih patah dari hati perempuan! Itulah mengapa aku selalu bilang perempuan adalah makhluk yang merepotkan! Mereka ingin dimengerti, tapi sendirinya tak mau mengerti perasaan laki-laki!” bentak Shikamaru.
“Su—Sudahlah, Shika. Ini sudah malam, tidak baik jika—.”
“Damare, Chouji!” Shikamaru mulai naik pitam. “Aku hanya ingin mengeluarkan apa yang ada di benakku, yang terkurung selama bertahun-tahun.”
Shikamaru kembali menghadap Ino. “Kau tidak mengerti apa-apa tentang Naruto, Ino.”
Mata Ino mulai berkaca-kaca. Ia tak mengerti Shikamaru menjadi beringas.
“Hh, bukannya kau sangat terpukul mendengar Sasuke-kun-mu terlibat dalam organisasi kriminal Akatsuki? Bukannya kau menangis tersedu-sedu, Ino? Harusnya kau berterima kasih pada Naruto karena pada akhirnya Sasuke-kun-mu akan hidup kembali!”
Ino hanya diam membisu. Ia menundukkan kepalanya. Kali ini ia menangis.
“Jawab aku, Ino!”
Tenten melangkah ke sebelah Ino—mencoba menenangkan si rambut blondie dengan menyentuh bahunya. “Ano Shikamaru-kun. Aku kira Ino-chan tidak bermaksud untuk—.”
“Maaf, Tenten! Urusanku kali ini dengan Ino.” Shikamaru menarik tangan Ino menjauh dari yang lainnya.
Ino tetap menunduk. Tapi Shikamaru menyentuh dagu Ino dengan tangan kanannya. “Tatap aku, Ino.” Shikamaru mengangkat dagu Ino agar dia menatapnya.
Ino pun mendongakkan kepalanya. Seketika itu ia menggermang. Bisa dilihatnya airmuka Shikamaru. Kesedihan seakan merambat ke seluruh urat nadinya. Menipiskan kulit jangat, menyembul memperlihatkan gurat-gurat amarah yang kian tegang. Ino menggigit bibirnya sendiri. Ini kedua kalinya ia melihat wajah Shikamaru seperti itu. Pertama kali saat guru mereka—mendiang Asuma—tewas di tangan Akatsuki.
“Mengapa kau menganggap hal itu berlebihan?!” Shikamaru mulai menginterogasi Ino.
“Shikamaru, a—aku… Kau salah mempersepsikan kata-kataku. A—aku hanya tak bisa membayangkan bagaimana Sakura nanti—.”
“Mungkin saja dia berteriak kegirangan karena Sasuke bisa hidup kembali.”
“Tidak, Shika! Sakura tidak mungkin se-egois itu!” Ino mulai menangis tersedu-sedu.
“Ck, mendokusai.” Shikamaru kemudian berjalan menuju jendela yang letaknya tak jauh dari tempat ia berpijak.
“Shikamaru…” ucap Chouji lirih. Ia mengerti mengapa Shikamaru tiba-tiba bersikap seperti ini. Sebenarnya ia bisa saja tak ambil pusing dengan kata-kata Ino tadi. Tapi Shikamaru sangat kelelahan hari ini. Lalu ia sangat kesal pada Tsunade yang tidak mengizinkan mereka untuk menjenguk Naruto. Dan alasan terakhir…
“Kalau kau di posisi Sakura apa yang akan kau perbuat, Ino?! Kau akan bilang itu berlebihan juga?!”
Ino menggelengkan kepalanya. Isakannya makin menjadi-jadi.
“Sedikit saja… Coba sedikit saja kau memikirkan teman laki-laki di sekitarmu juga, Ino. Kau terlalu terobsesi dengan si Uchiha brengsek itu!”
Pikiran Shikamaru kembali ke masa itu…
“Na—Naruto. Aku mohon kepadamu. Ini permintaan seumur hidupku. To—Tolong bawa Sasuke-kun kembali ke desa. Aku sudah membujuknya tapi tak berhasil. Hanya kau… Hanya kau yang mampu melakukannya.”
“Kau tidak tahu apa-apa tentang Naruto. Jadi jangan berkata yang macam-macam, Ino!”
“Kau sangat mencintai Sasuke ‘kan, Sakura-chan? Aku mengerti perasaanmu itu.” Naruto tersenyum, lantas mengacungkan ibu jari tangannya pada Sakura. Tenang saja, Sakura-chan. Ini adalah janji seumur hidupku.”
“Kau tak tahu mengapa Naruto nekat mendonorkan jantungnya untuk Sasuke. Itu bukan semata-mata karena Sasuke sahabatnya!”
Shikamaru mengepalkan tangannya yang menyentuh dinding. Tiba-tiba ia meninju dinding tersebut. “Semua ini… Semua ini gara-gara janji ITU!!”
Gigi Shikamaru bergemeretuk hebat. Tanpa ia sadari tangannya berdarah akibat aksinya tadi. Para anggota rookie 9 hanya bisa menatapnya lara. Janji? Siapa yang menjanjikan dan dijanjikan mereka sama sekali tidak tahu. Namun pada akhirnya Neji, dan Kiba menyadarinya.
“Shikamaru, jadi karena itu…” ucap Kiba lirih.
Waktu itu Shikamaru hanya menganggap pernyataan Naruto hanya sebagai angin lalu. Dia tidak menyangka Naruto benar-benar berniat untuk menepatinya. Lantas ia mulai melangkah menjauh. Ia tidak mau menambah runyam keadaan. Sekarang saja pikirannya sangat gundah gulana.
“Shikamaru, kau mau ke mana?” Tanya Chouji.
“Ke ruangan Naruto. Memangnya mau kemana lagi?”
Chouji memang sangat mengerti apa yang Shikamaru rasakan ssaat ini. Cemburu… Memang sangat menguras hati.
0o0o0o0o0o0
Hinata melangkah pelan di koridor gelap menerawang, hanya sebagian lampu yang dinyalakan. Rumah sakit itu terlihat lengang saat malam telah larut.
Pembicaraannya tadi dengan Naruto cukup membuatnya terkejut. Dia tahu di dunia shinobi ini begitu banyak pertikaian. Pertikaian lalu menimbulkan rasa benci. Kebencian sudah biasa ia alami karena Hinata sendiri pernah mengalaminya. Ia dibenci oleh ayahnya karena kelemahannya. Ia dibenci oleh Neji karena ia adalah pewaris the main house-nya klan Hyuuga. Memang perihal-perihal tersebut telah lama berlalu. Tapi yang tak dia habis pikir adalah kebencian ternyata bisa berarah menuju kematian.
“Hinata, Sasuke hanyalah korban kebencian petinggi Konoha terhadap klan Uchiha. Konflik yang ada memang begitu rumit. Tapi penyelesaian yang mereka ambil itu terlalu sepihak. Karena itu Hinata, aku berharap sebagai pewaris klan Hyuuga kau bisa melindungi Sasuke dari ancaman para petinggi Konoha. Uchiha Itachi…tidaklah kejam seperti yang kebanyakan orang kira. Ia adalah seorang Uchiha sejati yang cinta akan kedamaian. Dan aku yakin sifatnya itu terdapat pula dalam diri Sasuke. Kau tahu ‘kan mengapa ia dalam keadaan seperti itu? Itu karena dia melindungiku…”
Hinata menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Kata orang sulit mewujudkan kedamaian di dunia seperti sekarang ini. Tapi kata-kata Naruto ini begitu menggugah sanubarinya.
“Seperti kata Ero-sennin kelak kita akan mencapai masa dimana manusia bisa mengerti satu sama lain...”
Seumpama itu benar adanya, perlahan Hinata bisa memahami kemelut yang terjadi. Meski pilu hatinya, Hinata bisa menerima kenyataan yang ada. Dan pada akhirnya yang ia ingin lakukan sekarang adalah memenuhi permintaan terakhir Naruto.
Kakinya melenggang ke ruangan tempat dimana Sasuke dirawat. Dua orang Anbu menjaga di depan pintu. Setelah berunding sebentar dengan mereka Hinata pun diperbolehkan masuk.
Ruangan itu begitu sesak dikarenakan bau rumah sakit yang menyengat. Lalu tabung-tabung besar oksigen berdiri di sana. Pernafasan Sasuke masih dibantu dengan alat pernafasan. Hinata memperhatikan mesin EKG yang ditempatkan tidak jauh dari tempat dimana Sasuke terbaring. Frekuensi detak jantung Sasuke begitu rendah. Ia pun melenggangkan kakinya mendekat ke arah Sasuke.
Keadaan Sasuke tidak jauh beda dengan waktu kemarin. Ia seperti mayat hidup dengan wajah piasnya. Kelopak matanya menghitam dikarenakan terlalu lama mengatup. Tiba-tiba Hinata merasa iba.
Lantas ia mengeluarkan sesuatu dari kantung kunai-nya. Ia pun menggenggam benda tersebut dan mengarahkannya pada Sasuke.
“Tadinya aku pikir kau hanyalah seorang missing-nin yang berbahaya bagi semua orang, Sasuke-kun.” Lalu ia membuka kunci kalung tersebut, merentangkan rantai peraknya dan mengkalungkannya di leher Sasuke.
“Banyak orang yang pantas hidup tapi mereka mati dan yang pantas mati malah hidup, tapi memang Tuhan yang berhak menentukan.” Kemudian Hinata mengkaitkan kunci kalung dan membenarkan letak pendant Aquamarine-nya di leher Sasuke.
“Dan aku pikir kau pantas untuk diberi kesempatan hidup, Sasuke-kun. Aku akan mendukung apa yang Naruto inginkan...”
0o0o0o0o0
“Naruto-kun, kita ke ruangan operasi sekarang,” ucap Shizune sesampainya ia di depan ruangan tempat Naruto dirawat.
Naruto mengangguk pelan.
Shizune lalu membantu Naruto untuk duduk di kursi roda. Lantas ia hendak mendorong kursi tersebut, namun dikejutkan oleh sesosok serba hitam yang berdiri di ambang pintu—yang bersandar di pinggirannya. Shizune langsung berdiri di depan Naruto.
“Ahh… Aku begitu salut kepadamu, Naruto. Ternyata kau hendak menyelamatkan seseorang dari klanku yang telah dihancurkan oleh desa busuk ini. Aku merasa tersanjung karenanya. Hahaha…”
Mata Naruto melebar seketika. Suara mengerikan ini… Dia tahu siapa pemiliknya. Keringat dingin pun bercucuran di pelipisnya, giginya bergemeretuk hebat. Naruto masih mempunyai rasa dendam pada orang ini. Ingin rasanya ia menghajar orang itu habis-habisan. Tapi sayang seribu sayang…keadaan tubuhnya saat ini tak memungkinkan dia untuk bertarung.
“Siapa kau?!”
Lalu orang itu berdiri menghadap Shizune dan Naruto, ia memperlihatkan bola mata kanannya yang berwarna merah.
“Sha—Sharingan?” ucap Shizune tergagap.
“Omae wa… Uchiha Madara…” Naruto menggenggam ganggang kursi dengan kuat.
“Ma—Madara? Uso… Bagaimana bisa?”
“Hh, aku tidak ada waktu untuk menjelaskan mengapa aku masih hidup. Lagipula aku sama sekali tak mengenalmu…”
Shizune hendak merapalkan sebuah jutsu untuk menyerang Madara. Tapi terlambat. Ia melesat cepat ke arah Shizune. Mendorong Naruto ke kiri hingga membentur dinding. Dan…
PRANGG!!!
Shizune terpental keluar jendela. Madara menendang perutnya dengan kuat. Kaca jendela menjadi pecah berkeping-keping karenanya. Ia pun terkapar, terbatuk-batuk akibat tendangan tadi.
Sai yang berada tak jauh dari pekarangan segera menghampiri Shizune. Ia tahu sebentar lagi operasi akan dimulai sehingga berniat untuk mengamankan proses operasi. Ia sedang duduk di pekarangan tak jauh dari kamar Naruto. Tapi tak ia sangka tamu tak diundang akan mengacaukan segalanya.
“Shizune-san!” teriak Sai. Kemudian ia membalikkan tubuh Shizune, syukurlah dia masih hidup karena kamar Naruto letaknya di lantai dasar, tapi sepertinya beberapa tulang rusuknya patah.
“Sa—Sai… Ta—Tasukete… Naruto…” Shizune mengeluarkan darah segar dari mulutnya.
“Apa yang sedang terjadi, Shizune-san?!”
Tapi mata Shizune mengatup perlahan. Ia pun tak sadarkan diri.
“Shizune-san!” Sai mencoba membangunkan Shizune dengan menepuk-nepuk bahunya. Tapi nihil. Kemudian ia mengarahkan pandangannya ke ruangan Naruto berada. Sai tak mau gegabah, ia langsung mengeluarkan alat lukisnya dan mengirimkan pesan SOS untuk Tsunade. Setahu dia, Yamato dan Kakashi juga sedang berunding dengan the Slug Sannin saat ini di menara Hokage.
“Ninpou… Choujugiga.” Ia membuat tulisan SOS-nya menjadi seekor burung elang. Dan burung elang tersebut langsung melesat cepat ke menara Hokage.
Naruto mencoba untuk bangkit tapi sulit karena ia merasakan lengannya mati rasa. Mungkin karena benturan tadi. “Ku—Kuso! Apa yang kau inginkan sebenarnya, breng—.”
Sebelum Naruto selesai berbicara, Madara mencengkram leher Naruto—mendorongnya ke arah dinding—meninju perutnya hingga Naruto memuntahkan darah segar.
“Uhuk!!”
“Yang aku inginkan adalah sesuatu yang tersegel di sini,” ujar Madara sembari menguatkan tinjunya lebih dalam. Naruto ingin menjerit kesakitan, tapi tenggorokannya tak mampu mengeluarkan suara karena saking hebatnya rasa sakitnya itu.
“Fufufu… Sakit ‘kan? Tapi tenang saja, aku tak akan membunuhmu. Bisa-bisanya kau ingin mengorbankan dirimu untuk Sasuke. Hh, aku tak akan membiarkan hal itu terjadi.”
“Si—Sialan!” umpat Naruto. Ia merasakan bahwa tubuhnya remuk redam tak berdaya. Pukulan Madara ke perutnya membuat sebagian dari kesadarannya lindap. Ia berusaha untuk tidak pingsan. Namun ia tidak kuat juga. Naruto pun perlahan kehilangan kesadarannya.
Madara menyeringai melihat pemandangan itu. “Fufufu… Kau lemah seperti biasa, Naruto. Aku dulu pernah hampir membunuhmu saat pertama kali kau lahir ke dunia. Dan sekarang kau tidak akan lolos dari maut lagi.”
“Ninpou… Choujugiga!”
RAWRR!!!
Madara langsung melihat ke arah jendela. Dua ekor singa lukisan menyerangnya. Ia dengan cepat menghindar ke kanan dengan membawa Naruto bersamanya.
“Ck, ada pengganggu rupanya.”
“Lepaskan, Naruto-kun!” ucap Sai lantang.
“Hm? Hanya satu orang? Mengapa Tsunade sangat bodoh begini. Dia meremehkan aku rupanya.”
“Jadi kau salah satu anggota Akatsuki waktu itu,” sahut Sai yang tak sedikit pun takut menghadapi ninja terkejam yang pernah ada itu. Ya, Sai ingat pernah bertemu dengannya waktu pencarian Sasuke tempo dulu.
“Heh, aku adalah ketua. Bukan anggota.”
“Hm?” Sai mengerenyitkan dahinya. “Aku tak peduli kau anggota atau ketua Akatsuki. Aku tak akan membiarkan kau membawa Naruto-kun!”
RAWRRR!!!!
Singa-singa itu menyerang Madara kembali. Madara menghindar merundukkan tubuhnya dan membuat singa-singa itu kembali wujud aslinya dengan tendangannya. “Huh? Jadi kau terbuat dari tinta? Jurus yang unik, tapi sama sekali tak berguna.”
Madara sedikit kerepotan dengan tubuh Naruto di bahunya. Tapi ia tak ada niat untuk melepaskan Naruto.
Sai mengarahkan pedangnya pada Madara dari atas dengan melakukan salto di udara. Tapi Madara lebih cepat, ia menarik pedang Sai dan membanting tubuh Sai ke lantai hingga ubinnya remuk. Madara belum puas, ia hendak menginjak Sai yang terlihat kesakitan. Namun Sai berhasil menghindar. Lantas Madara tak tinggal diam, dengan tangan kanannya ia meninju wajah Sai hingga ia membentur dinding.
“Ugh, Uhuk!!” Sai memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Madara menyeringai kejam. Ia mengambil kunai di balik jubahnya dan hendak melemparkannya pada Sai. Tapi sebelum itu…
“Raikiri!!”
“Haah, ternyata kau lagi, Kakashi Tapi tak apa. Aku juga ingin bermain sebentar dengan shinobi Konoha. Fufufu…” Madara kini menggunakan sunshin no jutsu untuk menghindar. Ia langsung berada di pekarangan rumah sakit. Dan tak disangkanya beberapa Anbu, Yamato dan Tsunade sudah berdiri di sana.
“Lepaskan Naruto, Madara!” teriak Tsunade garang. Ia mengepalkannya jarinya. ‘Sial, mengapa ia datang di saat-saat seperti ini? Aku terlalu lengah sehingga tak memprediksi kehadirannya,’ ungkapnya dalam hati.
0o0o0o0o0
“Ugh, dia menggunakan jurus itu lagi,” ucap Kakashi sembari memandang ke luar jendela. Lalu ia menemukan Sai yang tak sadarkan diri bersandar ke dinding. “Sai!” Kakashi memeriksa keadaan Sai. Tulang pipi dan tulang punggungnya retak. “Lukanya tak terlalu parah. Lebih baik aku mencari pertolongan medis. Sekalian ke ruangan Sasuke. Bisa jadi Madara hendak menculiknya juga.”
Kakashi meletakkan Sai di tempat tidur, ruangan Naruto menginap. “Semoga saja Tenzo dan Tsunade-sama sanggup menghadang Madara.” Kakashi langsung melesat cepat ke ruangan Sasuke berada.
Di tangga menuju ke lantai dua, Kakashi berpapasan dengan rookie 9 yang tadi mengendap-endap masuk ke rumah sakit Konoha.
Mereka langsung panik ketika Kakashi berada di hadapan mereka.
“Kalian sedang apa di sini?” ucap Kakashi sembari mengatur nafasnya yang tersengal.
Para rookie 9 terlihat kelimpungan mencari jawaban yang tepat. Tapi Kakashi sadar bahwa sekarang bukan waktu yang tepat untuk menginterogasi mereka.
“Ah, sudahlah. Bagus kalian ada di sini. Shino dan Neji ikut aku ke ruangan Sasuke. Sisanya tolong kalian pergi ke ruangan Naruto di rawat. Ino, tolong obati luka Sai dan Shizune. Mereka tadi tak sadarkan diri karena diserang oleh Akatsuki.”
“A—Akatsuki?” Tanya para rookie 9 berbarengan.
Shikamaru langsung mengerti apa yang terjadi. Ia terbelalak kaget. “Naruto… Naruto dalam bahaya!” teriak Shikamaru yang langsung pergi ke ruangan Naruto dirawat.
“Tunggu, Shika!” sahut Chouji yang terkejut melihat Shikamaru meninggalkan mereka tanpa mendengarkan penjelasan Kakashi hingga selesai.
“Tidak apa-apa, Chouji. Shino, Neji, dan Lee ikut aku. Aku takut Madara akan menculik Sasuke juga. Sisanya, tolong kalian susul Shikamaru dan bantu Tsunade-sama untuk menghadang Madara. Jangan biarkan dia membawa Naruto! Nanti aku segera menyusul kalian,” ucap Kakashi.
“Hai, wakarimashita!” ucap Kiba, Ino, Tenten, dan Chouji berbarengan. Mereka langsung melesat cepat menyusul Shikamaru.
0o0o0o0o0o0
“Mokuton no jutsu!” Yamato membuat sebuah kurungan untuk menangkap Madara. Tapi dia mudah berpindah tempat karena Madara memiliki jurus yang sama seperti jikuukan no jutsu milik Hokage Keempat. Para Anbu, Yamato, dan Tsunade sedikit kewalahan menghadapi Madara. Terlebih Tsunade adalah ninja petarung jarak dekat. Ia sulit menyerang Madara dengan tinju dahsyatnya.
“Kalian pasti kecapaian ‘kan? Hahaha…!!!” ujar Madara sembari tertawa mengejek. Ia memang ingin mempermainkan shinobi-shinobi Konoha yang menghadangnya. Sebenarnya ia bisa saja menghilang dan langsung tiba di markas rahasianya lebih cepat.
“Tsunade-sama, kalau aku boleh berpendapat. Kita harus melakukan formasi untuk menyerang Madara. Semua serangan beruntun kita dengan mudah dihindarinya. Aku tak mengerti jutsu apa yang dia miliki. Tapi kalau seperti ini terus cakra kita terbuang dengan sia-sia,” ucap Yamato tersengal-sengal.
Tsunade menatap garang Madara. Ia sedang memikirkan tak tik untuk mengalahkannya. Yang jelas ia tak akan membiarkan Madara membawa Naruto pergi dari desanya.
“Kenapa menatapku seperti itu, Senju Tsunade? Hh, tatapan matamu sedikit mengingatkanku dengan rival abadiku, Senju Hashirama. Jadi kau adalah cucunya eh? Fufufu…”
Tsunade mengerenyitkan dahinya. Ia sebenarnya tak suka mendiang kakeknya diolok-olok Madara. Tapi ia memilih untuk tidak mempedulikan ucapan Madara. Ia tahan emosinya agar tidak meledak. Itu hanya akan mengganggu konsentrasinya saja.
“Hm… Jadi hanya segini saja kekuatan para shinobi Konoha? Heh, aku tidak menyangka kali—… Ugh, ada apa dengan tubuhku?” tiba-tiba Madara merasakan tubuhnya menjadi kaku, sulit untuk dikendalikan. Tubuhnya bergetar hebat. Ia memaksakan kepalanya menengadah ke bawah. Ia sadar ada yang aneh dengan bayangannya sendiri. “Jurus ini… Jurus klan Nara.”
“Yep, kagemane no jutsu sukses.”
“Shikamaru!” teriak Tsunade kegirangan. Ia sangat senang dengan kehadiran pewaris klan Nara itu disaat-saat genting seperti ini. Rupanya ia tak sendirian, di belakangnya berdiri Chouji, Kiba, dan Lee yang siap dengan posisi menyerangnya masing-masing.
“Cih, ternyata aku ditangkap oleh anak ingusan,” ucap Madara dengan nada suara santai.
Tsunade tidak tinggal diam. Ia segera memanfaatkan hal ini dengan maju menyerang Madara.
“Chouji, Kiba, Lee, cepat bantu Godaime-sama. Aku hanya bisa menahannya selama 5 menit. Tapi kalian jangan gegabah menyerangnya,” ucap Shikamaru yang tetap fokus dengan jurusnya.
“Hyaattt!!!!” Tsunade hendak mengirim bogem mentah pada wajah Madara. Tapi ketika ia lihat mata sharingan Madara, ada yang aneh dengan tatapannya. Tsunade memperlambat tubuhnya untuk maju.
“Ya, taktik yang bagus. Tapi sepertinya kalian lupa dengan kemampuanku yang lain.”
Mata Tsunade terbuka lebar. Ia menghindar dengan cepat ke arah kanan. Sebelum itu dia meneriakkan sesuatu pada anak buahnya di belakang. “Kalian semua!! Cepat menghindar!!!”
“Amaterasu!”
Lalu api hitam dengan cepat berkobar, membakar area pekarangan rumah sakit Konoha yang luas. Tsunade memandangnya ngeri.
Shikamaru jadi hilang fokus terhadap jurusnya. Baru kali ini ia lihat api hitam layaknya api neraka yang panasnya sangat terasa di kulit. Dia langsung mengerti ini adalah jurus rahasia klan Uchiha.
“Hahaha… Aku bebas!” Madara makin mempererat genggamannya pada tubuh Naruto yang dia bawa di pundaknya. Ia berpindah ke dahan pohon yang menghadap ke rumah sakit.
“Ugh, sial,” umpat Shikamaru.
“Mokuton no jutsu!”
ZRATT!!! ZRATT!!! ZRATT!!!
Yamato menumbuhkan beberapa pepohonan di titik api hitam yang menyala-nyala. Api itu pun padam seketika.
“Jurusmu memang mirip dengan Hashirama, tapi tetap saja kau kalah jauh darinya. Hahaha…”
Yamato menatap nanar Madara. Ya, memang benar dia sangat kecapaian karena tadi sudah banyak mengeluarkan jurus pohon andalannya. Lagipula dia tidak memiliki gen asli klan Senju, jadi wajar saja dia mudah kelelahan.
Para shinobi Konoha belum menyerah. Mereka mewanti-wanti apa yang akan Madara lakukan selanjutnya. Mereka sangat berhati-hati menyerang Madara karena bisa-bisa Naruto ikut terkena serangan mereka juga.
0o0o0o0o0
Kakashi, Shino, dan Neji telah sampai di ruangan Sasuke. Mereka terkejut melihat kehadiran Hinata di sana.
“Hinata-sama, apa yang sedang anda lakukan di sini?” Tanya Neji.
Hinata tercenung melihat mereka. “Neji-niisan, Kakashi-sensei, Shino-kun. Aku hanya menjenguk Sasuke-kun. Ada apa? Kenapa wajah kalian terlihat panik?”
“Akatsuki hendak menangkap Naruto. Tsunade-sama dan yang lainnya sedang bertarung dengannya,” jelas Kakashi.
“A—Apa?!” Hinata hendak berlari keluar dari ruangan tapi Neji menahannya.
“Hinata-sama, aku tidak akan membiarkan anda berbuat seenaknya seperti waktu itu! Anda, nyaris terbunuh di tangan ketua Akatsuki!”
“Ta—Tapi, Neji-niisan. Naruto-kun…”
“Tidak ada tapi-tapi! Kalau ada apa-apa denganmu, Hiashi-sama juga pasti akan terpukul!”
Hinata mulai menangis. Ia tidak menyangka Akatsuki akan menyerang Konoha lagi. Lantas ia pun mengalihkan wajahnya ke Sasuke. Dilihatnya batu aquamarine yang berkerlip di dada Sasuke, padahal tak ada satu pun sinar di sana. Hinata menjadi pesimis, apakah kekuatan kalung bertuah itu hanya isapan jempol belaka?
0o0o0o0o0
“Aku baru sadar ternyata banyak orang di sini. Fufufu… Aku sebenarnya ingin bermain-main sebentar, tapi rasanya capai juga. Sudah waktunya untuk pulang kalau begitu.”
“Jangan lari, Madara!” teriak Tsunade. Ia memandang iba Naruto. Pikirannya kini berkecamuk, ia tak tahu harus berbuat apa. Tsunade mengerti Madara adalah shinobi yang memiliki kemampuan tingkat tinggi. Tidak sebanding dengan dirinya.
“Hahaha… Tsunade. Setelah aku mengekstrak kyuubi, desa kalian ini akan kuhancurkan menjadi debu dengan bijuu-bijuu yang telah kukumpulkan. Aku tidak akan lari! Kali ini rencanaku pasti berhasil. Bersiaplah! Dan tak ada satu pun dari kalian yang bisa menghalangiku. Tidak akan ada seseorang yang menyelamatkan kalian seperti Yondaime dulu. Hahahaha!!!”
Kemudian pusaran angin mengitari Madara, perlahan sosoknya menghilang dari dedaunan yang melingkarinya. Madara menghilang dari pandangan mereka
“Kalian semua akan mati tak bersisa,” itu yang Madara ucapkan setelah kepergiannya.
“Ugh, aku akan segera melakukan pertemuan. Yamato! Kumpulkan semua Jounin. Kau juga Shikamaru, kumpulkan semua Chuunin. Panggil mereka ke atap menara Hokage. Desa akan kuumumkan siaga 1! Aku tidak akan membiarkan dia berhasil mengekstrak kyuubi,” ucap Tsunade yang langsung melesat cepat ke menara Hokage
0o0o0o0o0
Sementara di sebuah tempat di mana sungai kecil mengalir di antara dua tebing tinggi yang di tumbuhi pepohonan… Sang mawar merah sedang menatap dahan mawar yang bunga-bunganya berguguran, menghitam ke tanah.
“Nee-sama, ada apa? Kau terlihat aneh.”
Mata scarlet itu memandang nadir adik sepupunya dengan wajah mengkisut. Bisa ia rasakan jantungnya berdetak cepat. Ia mengerti pertanda ini.
“Naruto… Dia dalam bahaya!”
“Nee-sama, kau mau ke mana?”
“Ikut aku, Rin! Kita harus menyelamatkan Naruto.”
Bersambung…
Gomenasai elven telat bgt ni updatenya =__=. Laptop bolak-balik di servis. Alhamdulillah sekarang dah betul. Trus sama fighting scenenya juga rada susah hehe.
Chapter ini sengaja elven buat panjang dari biasanya. Semoga reader tidak pusing ngebacanya. Elven usahakan chapter depan update cepet. Masih liburan soalnya. ^^
Okay, review please ^^
Madara’s Attack
Naruto © Masashi Kishimoto
NaruSakuSasu, Semi-Canon, Rated T, Tragedy/Romance. Towards to adventure in the future.
“Selesai!” ucap Sakura lantang sembari tersenyum bangga. Ia berhasil meracik ramuannya untuk Sasuke dan Naruto dalam bentuk bubuk. Ia bersyukur bahwa pekerjaannya selesai lebih cepat dari yang ia rencanakan. Tinggal mengeringkan ramuannya saja.
Sebenarnya ia ingin cepat-cepat kembali ke desa tapi rasa kantuk menghalanginya untuk pulang malam ini. Hampir 10 jam non stop ia memeras otaknya, bereksperimen semalam suntuk. Tubuh dan otaknya memang perlu diistirahatkan untuk mengembalikan staminanya esok.
“Sepertinya aku baru bisa pulang besok pagi,.. Hoaahhmm…” ucapnya sembari menguap.
Sebelum beranjak dari meja, Sakura memandang dua botol—berisi obat di dalamnya—yang sedang ia genggam.
“Akhirnya aku bisa menyelamatkan kalian berdua, Naruto… Sasuke-kun…,” ujar Sakura sembari menitikkan airmata. Sakura dulu pernah pernah berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti dia bisa menyelamatkan dua orang rekannya tersebut.
Seperti pesan terakhir Chiyo baa-sama kepadanya.
“Sakura, kali ini tolonglah orang yang kau anggap berharga bagimu. Dan bukan nenek sekarat… Kamu mirip sekali denganku. Karena tak banyak perempuan yang memiliki jiwa ksatria seperti itu… Kamu pasti akan menjadi kunoichi hebat melebihi gurumu…”
Dan sekarang ia bertekad untuk menepatinya. Kali ini dia tidak boleh gagal seperti kemarin. Sakura tak mau membayangkan bagaimana kalau hasil racikannya gagal menyembuhkan luka Sasuke dan Naruto. Ia berpikir se-optimis mungkin.
Lantas ia pun melenggangkan kakinya ke tempat tidur yang telah tersedia di laboratorium. Perlahan ia membuka jendela, melihat langit malam yang terlihat pucat, tak menampakkan keindahannya. Tak ada rembulan dan tak ada bintang yang biasa bertaburan. Mengapa malam seakan tak bergembira untuknya? Padahal hatinya kini sedang menanti kebahagiaan di esok hari. Kebahagiaan melihat dua orang yang berharga baginya bisa berkumpul lagi bersama-sama seperti yang telah lama diharapkannya.
Tapi masa depan tak selalu seirama dengan apa yang kita inginkan bukan?
Sakura pun menutup jendela dan segera membaringkan diri di atas tempat tidur. Ia sangat kelelahan dan dalam waktu sekejap saja Sakura langsung pergi ke alam mimpinya.
0o0o0o0o0
Awan nimbus telah datang, tapi masih segan membagi hujan pada bumi yang telah menantinya sejak lama. Ia hanya mendatangkan angin kencang yang mulai berhembus di desa Konoha. Sentuhannya membuat kulit merinding.
Malam itu terlihat lengang, penduduk desa jarang terlihat berlalu-lalang di jalan. Mereka telah kembali ke rumahnya masing-masing sejak pukul 8 malam. Angin kencang yang nyaris bisa disebut sebagai angin ribut itu memang membuat para penduduk enggan keluar dari rumahnya. Suasananya cepat membuat kantuk.
Tapi tidak bagi Uzumaki Naruto. Dia beberapa kali mencoba memejamkan matanya untuk terlelap tapi tidak bisa. Menghitung domba pun tak menghasilkan efek apa-apa. Bisa jadi ia sangat tegang karena operasi 2 jam lagi akan dilaksanakan. Naruto sedikit was was. Takut operasinya gagal atau tak berjalan dengan lancar.
Naruto memandang ke arah jendela. Rasa-rasanya ia ingin melenggang ke sana dan memandang bintang yang biasanya selalu menampakkan pesonanya di kala malam menjelang. Tapi apa daya kakinya tak mampu untuk melangkah. Bisa ia rasakan kedua kakinya lumpuh, mati rasa. Mungkin efek amaterasu yang membuatnya seperti ini. Efek serangan itu memang belum lindap dari tubuhnya. Namun Naruto tak memberitahukannya pada Tsunade karena disembuhkan pun tak ada gunanya. Untuk apa? Toh sebentar lagi ia akan meninggalkan dunia.
Tok! Tok!
“Ano… Shitsureishimasu, Naruto-kun.”
Naruto mendongakkan kepalanya ke arah pintu, lalu segera bangkit untuk duduk. Seseorang ternyata mengunjunginya. “Ya, silahkan masuk,” jawab Naruto.
Seseorang itu pun membuka pintu ruangan secara perlahan.
“Oh, Shizune-nee. Ada apa? Apa operasi akan segera dimulai?”
“Masih 2 jam lagi, tapi aku mau check keadaanmu dulu. Lagi pula ada yang ingin mengunjungimu, Naruto-kun.”
“Siapa?”
Shizune mempersilahkan seseorang yang lain—yang bersembunyi di balik tembok—untuk masuk ke dalam ruangan. Dan muncul sesosok gadis berambut ungu kebiru-biruan yang sedang menatap Naruto dengan bimbang. Seseorang yang tak Naruto sangka-sangka kehadirannya. Naruto sedikit terkejut dengan kedatangan Hinata di saat seperti ini. Pikirannya pun mengulang kejadian tempo dulu saat dia bertarung dengan Pain. Tapi terinterupsi karena sapaan pewaris klan Hyuuga itu.
“Ko—Konbanwa, Naruto-kun,” ucap Hinata terbata-bata.
Naruto tersenyum simpul. “Konbanwa, Hinata. Silahkan masuk.”
Hinata melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan. Lantas Naruto mempersilahkannya untuk duduk.
“A—Arigatou na, Naruto-kun,” ucap Hinata setelahnya.
Shizune masih berdiri di luar, pintu dibiarkan terbuka. Tapi dia tidak ada niat untuk mendengarkan percakapan antara Naruto dan Hinata. Untuk itu ia pergi sebentar ke ruangan di mana tim dokter sedang berkumpul. 30 menit lagi dia akan kembali ke ruangan Naruto.
Cukup lama Naruto dan Hinata saling membisu. Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut mereka berdua. Naruto sendiri bingung ingin membicarakan apa, tapi pada akhirnya ia mempunyai suatu hal yang ingin ia bicarakan.
“Kau pasti sudah tahu ‘kan, Hinata?’
Hinata langsung menyedarkan pandangannya ke wajah Naruto. Tapi ia tidak berani menatap Naruto lama-lama. Ia pun mengangguk sembari menunduk.
Naruto menyadari suasana yang tidak mengenakkan di antara mereka berdua. “Ah, Hinata. Hahaha… Apa boleh buat. Sasuke dalam keadaan sekarat karena dia melindungiku. Dan aku tak bisa diam saja melihat dia dalam keadaan yang seperti itu.” Naruto menggaruk-garuk belakang kepalanya sembari terkekeh-kekeh. Ia tahu sebenarnya ini bukanlah hal lucu, Naruto hanya ingin mengurangi ketegangan yang menyelimuti mereka berdua.
“Anata wa hontou ni yasashii, Naruto-kun,” ucap Hinata sembari menatap Naruto lekat-lekat.
Naruto tertegun melihatnya. Hinata kelihatan sangat tegar. Walaupun ia menyadari mata Hinata mulai berair tapi gadis itu menahannya agar tidak jatuh. Ia memberikan senyuman penuh ketulusannya pada Naruto. Dan anehnya kali ini dia tidak terbata-bata.
Naruto pun membalas senyuman Hinata. Lalu ia teringat ada perihal penting yang sebaiknya harus ia selesaikan sebelum dia pergi. “Hinata, waktu itu…terima kasih karena telah menolongku dari serangan Pain. Aku sangat khawatir dengan keadaanmu.”
“Daijobu desu, Naruto-kun. Sakura-san langsung menyembuhkan lukaku pada waktu itu. Mungkin aku terlalu nekat, tetapi aku tidak bisa melihat kau dibawa lari oleh Pain.”
“Jadi Sakura-chan yang telah menyelamatkanmu? Aku baru mengetahuinya.” Naruto tersenyum sembari membayangkan gadis berambut pink itu.
“Ya. Tentunya pasti dia juga bisa menyembuhkan lukamu, Naruto-kun,” ucap Hinata yang sedang mengarahkan pandangannya ke kedua kaki Naruto yang tertutup selimut.
Air muka Naruto seketika berubah. Ia sangat yakin Sakura pasti bisa menyembuhkannya. Tapi untuk seseorang yang lain…
“Itu pasti, Hinata,” balas Naruto. “Tapi… Ada satu orang yang ia ingin sembuhkan namun itu terlihat mustahil baginya. Karena itu aku yang akan menyembuhkan orang itu.”
Hinata tertegun, ia sangat tahu perasaan terpendam Naruto pada Sakura. Dan sikapnya yang bersikeras ingin membawa Sasuke pulang. Karena siapa yang sudi melepaskan sahabat sejati begitu saja? Bagi Naruto, Sasuke adalah darahnya—bagian dari kehidupannya. Teman seperjuangan, senasib sepenanggungan. Sedangkan Sakura adalah jantungnya—cinta matinya, tapi gadis berambut pink itu mencintai orang lain yang tak lain dan tak bukan adalah sahabat Naruto sendiri. Lalu apalagi yang harus ditanyakan?
“Sasuke-kun?”
“Ya,” jawab Naruto sembari mengangguk pelan.
“Kau sangat mencintai Sakura-san, ya ‘kan Naruto-kun?”
Naruto tercenung mendengarnya. “Ka—Kau tahu, Hinata?”
“Hai,” jawab Hinata sembari menundukkan kepalanya.
“Go—Gomenasai, Hinata. Aku tidak bermaksud—.”
“Wakarimasu, Naruto-kun.” Hinata kemudian memalingkan wajahnya dari Naruto. Mukanya lalu bersemu merah. “Kau mengetahui perasaanku sebenarnya saja sudah sangat membuatku senang.”
“Eh?”
Hinata tersenyum kecil. “Aku juga pernah nyaris mengorbankan diriku untukmu. Lalu kau hendak mengorbankan dirimu untuk dua orang yang sangat berharga bagimu. Aku…sangat memahami hal itu, Naruto-kun...”
“Begitu?”
“Memang benar ada sebagian dari diriku yang tak ingin menginginkan kau pergi. Tapi pada akhirnya aku mengerti, yang harusku lakukan adalah merelakan kau pergi. Aku tak punya hak untuk memaksamu.”
Naruto nyaris mengigil mendengar pernyataan Hinata. Baru kali ini ia lihat ada seorang gadis yang memiliki perasaan sedalam itu kepadanya. Tentu Naruto sangat senang. Tapi sayangnya perasaan Naruto tidak seirama dengan perasaan Hinata terhadapnya.
“Hinata, aku yakin suatu hari nanti kau akan mendapatkan lelaki yang baik. Dan dia bisa membuat kau bahagia sampai kau menutup mata.”
“Ya, Naruto-kun,” ucap Hinata yang tiba-tiba tersedu-sedu. Airmatanya mulai turun membasahi pipinya. Bagaimanapun hal ini tak mudah bagi Hinata. Dia sendiri tidak yakin apakah bisa berpindah ke lain hati. Hinata hanya ingin menghibur Naruto disaat-saat terakhirnya untuk itu ia berusaha setegar mungkin.
Naruto menggenggam tangan kanan Hinata dengan kedua tangannya. “Terima kasih telah mencintaiku, Hinata.” Naruto tak mampu berucap lebih dari itu. Karena begitulah hatinya. Ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Kemudian ia menyadari ada sesuatu yang beda pada diri Hinata. “Aku lihat sepertinya kau tidak terbata-bata lagi, Hinata.”
Lantas Hinata menyeka airmatanya. Ia tersenyum kecil. “Ya, Naruto-kun. Sejak saat kejadian itu, tak tahu mengapa aku bisa mengontrol kegagapanku. Walaupun hanya sedikit.”
Hinata lalu memperhatikan jam dinding di ruangan Naruto. Ia menyadari waktu kesempatan menjenguk sudah habis. Barusan dia diizinkan oleh Tsunade untuk menjenguk Naruto dan ia berjanji hanya 30 menit ia menjenguk . Malam sudah larut tapi niatnya ia memang ingin bermalam di rumah sakit mengikuti perkembangan operasi.
Sebelum ia pergi, Hinata mengeluarkan sebuah kalung ber-pendant batu aquamarine di tengahnya. “Naruto-kun, ini adalah kalung ibuku. Ini adalah jimat keberuntunganku. Aku percaya dia selalu melindungiku dikala aku sedang dalam keadaan bahaya. Aku ingin kau memakainya.”
Batu biru laut aquamarine terlihat berkilauan di tangan Hinata. Naruto memperhatikannya secara saksama, ia merasa enggan untuk menerimanya. “Ano… Hinata. Sepertinya kalung itu sangat berharga bagimu. Aku tidak ingin mengambilnya. Aku tak bisa memakainya.”
“Kumohon, Naruto-kun. Tidak apa-apa. Aku ikhlas memberikannya padamu.”
“Bukannya aku tak ingin menerimanya. Rasanya kalung itu tak pantas terkubur bersamaku. Kalau itu memang kalung bertuah—yang bisa menyelamatkan seseorang, aku berharap kalung itu dapat menyelamatkan Sasuke.”
Hinata tertegun. “U—Untuk Sasuke-kun?”
Naruto mengangguk.
Hinata terlihat berpikir sejenak. Ia memang tidak terlalu mengenal Sasuke. Tapi kalung itu turun-temurun diwarisi di keluarga Hyuuga. Tidak boleh diberikan ke sembarang orang. Dia ingin memberikan kalung itu pada Naruto karena perasaan spesialnya pada the Kyuubi host itu. Tapi untuk Sasuke…dia ragu.
Naruto menyadari kebimbangan Hinata. “Hinata, aku tahu Sasuke masih sangat asing bagimu. Karena itu boleh aku memberitahukan suatu hal padamu?”
“Tentang apa, Naruto-kun?”
“Tentang dibalik pembantaian klan Uchiha…”
0o0o0o0o0
Operasi transplan jantung Naruto untuk Sasuke dilakukan secara diam-diam. Meski rumor telah tersebar para rookie 9 yang lain sudah tahu perihal ini. Namun mereka sulit sekali mendapatkan izin dari Tsunade untuk menjenguk Naruto. Naruto memang tak memiliki waktu banyak karena operasi ini terlalu mendadak dilaksanakan. Tapi apa mau dikata, mereka ingin bertemu dengan Naruto untuk terakhir kali.
Hinata tidak memberitahu pada Naruto kalau sebenarnya para rookie 9 sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sakit, mengendap-endap seperti pencuri. Memasuki rumah sakit dari pintu belakang yang terpencil, tidak banyak dilalui orang. Apalagi malam-malam begini tempatnya sangat menyeramkan.
“Ugh… Kenapa kita ingin menjenguk Naruto harus diam-diam seperti maling begini? Lagipula aku tak menyukai tempat ini,” ucap Ino yang memeluk kedua bahunya sendiri sembari melihat di sekeliling jalan pintu masuk.
“Ya, apa boleh buat. Memang merepotkan sih. Tapi kalau ketahuan Hokage-sama itu bisa lebih merepotkan lagi. Hoaahhmm…,” ujar Shikamaru yang terlihat mengantuk. Ino langsung memukul kepalanya.
“Kau jangan tidur, Shikamaru!”
“Ck, aku belum tidur seharian tahu!”
“Ssstt, sudahlah kalian jangan bertengkar,” ucap Chouji yang jengkel melihat kedua teman se-timnya adu mulut. Itu karena dia tidak enak hati pada yang lain juga. Semua rela tidak tidur malam ini hanya untuk menjenguk Naruto. Jadi tidak ada salahnya ‘kan mereka tidak tidur hanya sehari? Toh mereka hanya punya waktu 30 menit sebelum operasi dimulai. Kadang Chouji ingin menjitak si pemalas ini juga karena kemasabodohannya.
Ya, bisa Chouji mengerti bukan maksud Shikamaru bersikap seperti itu. Dia hanya kesal pada Tsunade yang tidak mengizinkan mereka semua untuk menjenguk Naruto. Dia juga bingung mengapa hanya Hinata yang diizinkan, padahal mereka juga adalah temannya Naruto.
Mereka telah memasuki koridor utama. Chouji, Shikamaru, dan Ino berjalan paling depan. Neji, Tenten, Lee mengikuti di tengah-tengah. Sedangkan Kiba, Akamaru, dan Shino berada di belakangnya.
“Ano… Aku tidak mengerti mengapa Naruto mendonorkan jantungnya untuk Sasuke. Setahuku luka di kakinya masih bisa disembuhkan. Dan Sasuke…adalah seorang missing nin yang diincar-incar oleh desa tetangga. Lalu kenapa dia yang dipertahankan oleh Tsunade-sama?” Tenten memulai pembicaraan serius di antara mereka. Satu per satu dari mereka pun menjawab dengan persepsinya masing-masing.
“Aku juga tidak mengerti, mungkin karena klan Uchiha adalah salah satu klan hebat di Konoha. Tapi kalau begitu, aku sangat iba terhadap Naruto-kun,” jawab Lee yang matanya mulai berkaca-kaca. Sesekali ia usap matanya dengan bajunya. Neji dan Tenten hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Lee. Lee memang lelaki yang sensitif.
“Bisa jadi kau benar, Lee. Tapi kurasa Naruto ingin merubah takdir Sasuke. Aku dulu pernah berargumen dengannya tentang takdir, dan ia tampak optimis sekali bahwa takdir itu bisa dirubah. Yang tak habis kupikir, mengapa ia tidak mengubah takdirnya sendiri? Ia malah ingin merubah takdir si keparat itu,” ujar Neji sedikit emosi. Rupanya kata ‘takdir’ yang dulu sangat dia junjung tinggi pengaruhnya terhadap kehidupan, masih saja menggerayangi otaknya.
“Hh, si bodoh itu terlalu memikirkan orang lain hingga dirinya saja tidak ia hiraukan,” tukas Kiba yang menyilangkan kedua tangannya di dada. Kata-kata yang diucapakannya memang seakan menunjukkan bahwa ia tak peduli. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia sangat kehilangan sosok Naruto yang diam-diam menginspirasinya.
Sedangkan Shino tidak berkomentar. Dia hanya mengerenyitkan dahinya. Dan itu cukup untuk menginterpretasikan bahwa dirinya juga turut sedih dengan kejadian ini.
“Menurutku Naruto terlalu gegabah dan tidak memikirkan yang lainnya,” ujar Ino tiba-tiba.
Shikamaru langsung menatap tajam teman se-timnya itu.
“Dia tidak memikirkan perasaan Sakura. Aku tak berani membayangkan bagaimana reaksi Sakura nanti. Menurutku ini terlalu berlebihan.”
“Lalu bagaimana denganmu sendiri, Ino?” Tanya Shikamaru yang dari nada suaranya terlihat geram. Ia menatap nanar Ino.
“Ke—Kenapa kau menatapku seperti itu, Shika?”
“Kau tidak senang Sasuke bisa hidup kembali?”
“Apa maksudmu, Shika? A—Aku—.”
“Kau tidak tahu, Ino. Kalau hati laki-laki itu lebih patah dari hati perempuan! Itulah mengapa aku selalu bilang perempuan adalah makhluk yang merepotkan! Mereka ingin dimengerti, tapi sendirinya tak mau mengerti perasaan laki-laki!” bentak Shikamaru.
“Su—Sudahlah, Shika. Ini sudah malam, tidak baik jika—.”
“Damare, Chouji!” Shikamaru mulai naik pitam. “Aku hanya ingin mengeluarkan apa yang ada di benakku, yang terkurung selama bertahun-tahun.”
Shikamaru kembali menghadap Ino. “Kau tidak mengerti apa-apa tentang Naruto, Ino.”
Mata Ino mulai berkaca-kaca. Ia tak mengerti Shikamaru menjadi beringas.
“Hh, bukannya kau sangat terpukul mendengar Sasuke-kun-mu terlibat dalam organisasi kriminal Akatsuki? Bukannya kau menangis tersedu-sedu, Ino? Harusnya kau berterima kasih pada Naruto karena pada akhirnya Sasuke-kun-mu akan hidup kembali!”
Ino hanya diam membisu. Ia menundukkan kepalanya. Kali ini ia menangis.
“Jawab aku, Ino!”
Tenten melangkah ke sebelah Ino—mencoba menenangkan si rambut blondie dengan menyentuh bahunya. “Ano Shikamaru-kun. Aku kira Ino-chan tidak bermaksud untuk—.”
“Maaf, Tenten! Urusanku kali ini dengan Ino.” Shikamaru menarik tangan Ino menjauh dari yang lainnya.
Ino tetap menunduk. Tapi Shikamaru menyentuh dagu Ino dengan tangan kanannya. “Tatap aku, Ino.” Shikamaru mengangkat dagu Ino agar dia menatapnya.
Ino pun mendongakkan kepalanya. Seketika itu ia menggermang. Bisa dilihatnya airmuka Shikamaru. Kesedihan seakan merambat ke seluruh urat nadinya. Menipiskan kulit jangat, menyembul memperlihatkan gurat-gurat amarah yang kian tegang. Ino menggigit bibirnya sendiri. Ini kedua kalinya ia melihat wajah Shikamaru seperti itu. Pertama kali saat guru mereka—mendiang Asuma—tewas di tangan Akatsuki.
“Mengapa kau menganggap hal itu berlebihan?!” Shikamaru mulai menginterogasi Ino.
“Shikamaru, a—aku… Kau salah mempersepsikan kata-kataku. A—aku hanya tak bisa membayangkan bagaimana Sakura nanti—.”
“Mungkin saja dia berteriak kegirangan karena Sasuke bisa hidup kembali.”
“Tidak, Shika! Sakura tidak mungkin se-egois itu!” Ino mulai menangis tersedu-sedu.
“Ck, mendokusai.” Shikamaru kemudian berjalan menuju jendela yang letaknya tak jauh dari tempat ia berpijak.
“Shikamaru…” ucap Chouji lirih. Ia mengerti mengapa Shikamaru tiba-tiba bersikap seperti ini. Sebenarnya ia bisa saja tak ambil pusing dengan kata-kata Ino tadi. Tapi Shikamaru sangat kelelahan hari ini. Lalu ia sangat kesal pada Tsunade yang tidak mengizinkan mereka untuk menjenguk Naruto. Dan alasan terakhir…
“Kalau kau di posisi Sakura apa yang akan kau perbuat, Ino?! Kau akan bilang itu berlebihan juga?!”
Ino menggelengkan kepalanya. Isakannya makin menjadi-jadi.
“Sedikit saja… Coba sedikit saja kau memikirkan teman laki-laki di sekitarmu juga, Ino. Kau terlalu terobsesi dengan si Uchiha brengsek itu!”
Pikiran Shikamaru kembali ke masa itu…
“Na—Naruto. Aku mohon kepadamu. Ini permintaan seumur hidupku. To—Tolong bawa Sasuke-kun kembali ke desa. Aku sudah membujuknya tapi tak berhasil. Hanya kau… Hanya kau yang mampu melakukannya.”
“Kau tidak tahu apa-apa tentang Naruto. Jadi jangan berkata yang macam-macam, Ino!”
“Kau sangat mencintai Sasuke ‘kan, Sakura-chan? Aku mengerti perasaanmu itu.” Naruto tersenyum, lantas mengacungkan ibu jari tangannya pada Sakura. Tenang saja, Sakura-chan. Ini adalah janji seumur hidupku.”
“Kau tak tahu mengapa Naruto nekat mendonorkan jantungnya untuk Sasuke. Itu bukan semata-mata karena Sasuke sahabatnya!”
Shikamaru mengepalkan tangannya yang menyentuh dinding. Tiba-tiba ia meninju dinding tersebut. “Semua ini… Semua ini gara-gara janji ITU!!”
Gigi Shikamaru bergemeretuk hebat. Tanpa ia sadari tangannya berdarah akibat aksinya tadi. Para anggota rookie 9 hanya bisa menatapnya lara. Janji? Siapa yang menjanjikan dan dijanjikan mereka sama sekali tidak tahu. Namun pada akhirnya Neji, dan Kiba menyadarinya.
“Shikamaru, jadi karena itu…” ucap Kiba lirih.
Waktu itu Shikamaru hanya menganggap pernyataan Naruto hanya sebagai angin lalu. Dia tidak menyangka Naruto benar-benar berniat untuk menepatinya. Lantas ia mulai melangkah menjauh. Ia tidak mau menambah runyam keadaan. Sekarang saja pikirannya sangat gundah gulana.
“Shikamaru, kau mau ke mana?” Tanya Chouji.
“Ke ruangan Naruto. Memangnya mau kemana lagi?”
Chouji memang sangat mengerti apa yang Shikamaru rasakan ssaat ini. Cemburu… Memang sangat menguras hati.
0o0o0o0o0o0
Hinata melangkah pelan di koridor gelap menerawang, hanya sebagian lampu yang dinyalakan. Rumah sakit itu terlihat lengang saat malam telah larut.
Pembicaraannya tadi dengan Naruto cukup membuatnya terkejut. Dia tahu di dunia shinobi ini begitu banyak pertikaian. Pertikaian lalu menimbulkan rasa benci. Kebencian sudah biasa ia alami karena Hinata sendiri pernah mengalaminya. Ia dibenci oleh ayahnya karena kelemahannya. Ia dibenci oleh Neji karena ia adalah pewaris the main house-nya klan Hyuuga. Memang perihal-perihal tersebut telah lama berlalu. Tapi yang tak dia habis pikir adalah kebencian ternyata bisa berarah menuju kematian.
“Hinata, Sasuke hanyalah korban kebencian petinggi Konoha terhadap klan Uchiha. Konflik yang ada memang begitu rumit. Tapi penyelesaian yang mereka ambil itu terlalu sepihak. Karena itu Hinata, aku berharap sebagai pewaris klan Hyuuga kau bisa melindungi Sasuke dari ancaman para petinggi Konoha. Uchiha Itachi…tidaklah kejam seperti yang kebanyakan orang kira. Ia adalah seorang Uchiha sejati yang cinta akan kedamaian. Dan aku yakin sifatnya itu terdapat pula dalam diri Sasuke. Kau tahu ‘kan mengapa ia dalam keadaan seperti itu? Itu karena dia melindungiku…”
Hinata menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Kata orang sulit mewujudkan kedamaian di dunia seperti sekarang ini. Tapi kata-kata Naruto ini begitu menggugah sanubarinya.
“Seperti kata Ero-sennin kelak kita akan mencapai masa dimana manusia bisa mengerti satu sama lain...”
Seumpama itu benar adanya, perlahan Hinata bisa memahami kemelut yang terjadi. Meski pilu hatinya, Hinata bisa menerima kenyataan yang ada. Dan pada akhirnya yang ia ingin lakukan sekarang adalah memenuhi permintaan terakhir Naruto.
Kakinya melenggang ke ruangan tempat dimana Sasuke dirawat. Dua orang Anbu menjaga di depan pintu. Setelah berunding sebentar dengan mereka Hinata pun diperbolehkan masuk.
Ruangan itu begitu sesak dikarenakan bau rumah sakit yang menyengat. Lalu tabung-tabung besar oksigen berdiri di sana. Pernafasan Sasuke masih dibantu dengan alat pernafasan. Hinata memperhatikan mesin EKG yang ditempatkan tidak jauh dari tempat dimana Sasuke terbaring. Frekuensi detak jantung Sasuke begitu rendah. Ia pun melenggangkan kakinya mendekat ke arah Sasuke.
Keadaan Sasuke tidak jauh beda dengan waktu kemarin. Ia seperti mayat hidup dengan wajah piasnya. Kelopak matanya menghitam dikarenakan terlalu lama mengatup. Tiba-tiba Hinata merasa iba.
Lantas ia mengeluarkan sesuatu dari kantung kunai-nya. Ia pun menggenggam benda tersebut dan mengarahkannya pada Sasuke.
“Tadinya aku pikir kau hanyalah seorang missing-nin yang berbahaya bagi semua orang, Sasuke-kun.” Lalu ia membuka kunci kalung tersebut, merentangkan rantai peraknya dan mengkalungkannya di leher Sasuke.
“Banyak orang yang pantas hidup tapi mereka mati dan yang pantas mati malah hidup, tapi memang Tuhan yang berhak menentukan.” Kemudian Hinata mengkaitkan kunci kalung dan membenarkan letak pendant Aquamarine-nya di leher Sasuke.
“Dan aku pikir kau pantas untuk diberi kesempatan hidup, Sasuke-kun. Aku akan mendukung apa yang Naruto inginkan...”
0o0o0o0o0
“Naruto-kun, kita ke ruangan operasi sekarang,” ucap Shizune sesampainya ia di depan ruangan tempat Naruto dirawat.
Naruto mengangguk pelan.
Shizune lalu membantu Naruto untuk duduk di kursi roda. Lantas ia hendak mendorong kursi tersebut, namun dikejutkan oleh sesosok serba hitam yang berdiri di ambang pintu—yang bersandar di pinggirannya. Shizune langsung berdiri di depan Naruto.
“Ahh… Aku begitu salut kepadamu, Naruto. Ternyata kau hendak menyelamatkan seseorang dari klanku yang telah dihancurkan oleh desa busuk ini. Aku merasa tersanjung karenanya. Hahaha…”
Mata Naruto melebar seketika. Suara mengerikan ini… Dia tahu siapa pemiliknya. Keringat dingin pun bercucuran di pelipisnya, giginya bergemeretuk hebat. Naruto masih mempunyai rasa dendam pada orang ini. Ingin rasanya ia menghajar orang itu habis-habisan. Tapi sayang seribu sayang…keadaan tubuhnya saat ini tak memungkinkan dia untuk bertarung.
“Siapa kau?!”
Lalu orang itu berdiri menghadap Shizune dan Naruto, ia memperlihatkan bola mata kanannya yang berwarna merah.
“Sha—Sharingan?” ucap Shizune tergagap.
“Omae wa… Uchiha Madara…” Naruto menggenggam ganggang kursi dengan kuat.
“Ma—Madara? Uso… Bagaimana bisa?”
“Hh, aku tidak ada waktu untuk menjelaskan mengapa aku masih hidup. Lagipula aku sama sekali tak mengenalmu…”
Shizune hendak merapalkan sebuah jutsu untuk menyerang Madara. Tapi terlambat. Ia melesat cepat ke arah Shizune. Mendorong Naruto ke kiri hingga membentur dinding. Dan…
PRANGG!!!
Shizune terpental keluar jendela. Madara menendang perutnya dengan kuat. Kaca jendela menjadi pecah berkeping-keping karenanya. Ia pun terkapar, terbatuk-batuk akibat tendangan tadi.
Sai yang berada tak jauh dari pekarangan segera menghampiri Shizune. Ia tahu sebentar lagi operasi akan dimulai sehingga berniat untuk mengamankan proses operasi. Ia sedang duduk di pekarangan tak jauh dari kamar Naruto. Tapi tak ia sangka tamu tak diundang akan mengacaukan segalanya.
“Shizune-san!” teriak Sai. Kemudian ia membalikkan tubuh Shizune, syukurlah dia masih hidup karena kamar Naruto letaknya di lantai dasar, tapi sepertinya beberapa tulang rusuknya patah.
“Sa—Sai… Ta—Tasukete… Naruto…” Shizune mengeluarkan darah segar dari mulutnya.
“Apa yang sedang terjadi, Shizune-san?!”
Tapi mata Shizune mengatup perlahan. Ia pun tak sadarkan diri.
“Shizune-san!” Sai mencoba membangunkan Shizune dengan menepuk-nepuk bahunya. Tapi nihil. Kemudian ia mengarahkan pandangannya ke ruangan Naruto berada. Sai tak mau gegabah, ia langsung mengeluarkan alat lukisnya dan mengirimkan pesan SOS untuk Tsunade. Setahu dia, Yamato dan Kakashi juga sedang berunding dengan the Slug Sannin saat ini di menara Hokage.
“Ninpou… Choujugiga.” Ia membuat tulisan SOS-nya menjadi seekor burung elang. Dan burung elang tersebut langsung melesat cepat ke menara Hokage.
Naruto mencoba untuk bangkit tapi sulit karena ia merasakan lengannya mati rasa. Mungkin karena benturan tadi. “Ku—Kuso! Apa yang kau inginkan sebenarnya, breng—.”
Sebelum Naruto selesai berbicara, Madara mencengkram leher Naruto—mendorongnya ke arah dinding—meninju perutnya hingga Naruto memuntahkan darah segar.
“Uhuk!!”
“Yang aku inginkan adalah sesuatu yang tersegel di sini,” ujar Madara sembari menguatkan tinjunya lebih dalam. Naruto ingin menjerit kesakitan, tapi tenggorokannya tak mampu mengeluarkan suara karena saking hebatnya rasa sakitnya itu.
“Fufufu… Sakit ‘kan? Tapi tenang saja, aku tak akan membunuhmu. Bisa-bisanya kau ingin mengorbankan dirimu untuk Sasuke. Hh, aku tak akan membiarkan hal itu terjadi.”
“Si—Sialan!” umpat Naruto. Ia merasakan bahwa tubuhnya remuk redam tak berdaya. Pukulan Madara ke perutnya membuat sebagian dari kesadarannya lindap. Ia berusaha untuk tidak pingsan. Namun ia tidak kuat juga. Naruto pun perlahan kehilangan kesadarannya.
Madara menyeringai melihat pemandangan itu. “Fufufu… Kau lemah seperti biasa, Naruto. Aku dulu pernah hampir membunuhmu saat pertama kali kau lahir ke dunia. Dan sekarang kau tidak akan lolos dari maut lagi.”
“Ninpou… Choujugiga!”
RAWRR!!!
Madara langsung melihat ke arah jendela. Dua ekor singa lukisan menyerangnya. Ia dengan cepat menghindar ke kanan dengan membawa Naruto bersamanya.
“Ck, ada pengganggu rupanya.”
“Lepaskan, Naruto-kun!” ucap Sai lantang.
“Hm? Hanya satu orang? Mengapa Tsunade sangat bodoh begini. Dia meremehkan aku rupanya.”
“Jadi kau salah satu anggota Akatsuki waktu itu,” sahut Sai yang tak sedikit pun takut menghadapi ninja terkejam yang pernah ada itu. Ya, Sai ingat pernah bertemu dengannya waktu pencarian Sasuke tempo dulu.
“Heh, aku adalah ketua. Bukan anggota.”
“Hm?” Sai mengerenyitkan dahinya. “Aku tak peduli kau anggota atau ketua Akatsuki. Aku tak akan membiarkan kau membawa Naruto-kun!”
RAWRRR!!!!
Singa-singa itu menyerang Madara kembali. Madara menghindar merundukkan tubuhnya dan membuat singa-singa itu kembali wujud aslinya dengan tendangannya. “Huh? Jadi kau terbuat dari tinta? Jurus yang unik, tapi sama sekali tak berguna.”
Madara sedikit kerepotan dengan tubuh Naruto di bahunya. Tapi ia tak ada niat untuk melepaskan Naruto.
Sai mengarahkan pedangnya pada Madara dari atas dengan melakukan salto di udara. Tapi Madara lebih cepat, ia menarik pedang Sai dan membanting tubuh Sai ke lantai hingga ubinnya remuk. Madara belum puas, ia hendak menginjak Sai yang terlihat kesakitan. Namun Sai berhasil menghindar. Lantas Madara tak tinggal diam, dengan tangan kanannya ia meninju wajah Sai hingga ia membentur dinding.
“Ugh, Uhuk!!” Sai memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Madara menyeringai kejam. Ia mengambil kunai di balik jubahnya dan hendak melemparkannya pada Sai. Tapi sebelum itu…
“Raikiri!!”
“Haah, ternyata kau lagi, Kakashi Tapi tak apa. Aku juga ingin bermain sebentar dengan shinobi Konoha. Fufufu…” Madara kini menggunakan sunshin no jutsu untuk menghindar. Ia langsung berada di pekarangan rumah sakit. Dan tak disangkanya beberapa Anbu, Yamato dan Tsunade sudah berdiri di sana.
“Lepaskan Naruto, Madara!” teriak Tsunade garang. Ia mengepalkannya jarinya. ‘Sial, mengapa ia datang di saat-saat seperti ini? Aku terlalu lengah sehingga tak memprediksi kehadirannya,’ ungkapnya dalam hati.
0o0o0o0o0
“Ugh, dia menggunakan jurus itu lagi,” ucap Kakashi sembari memandang ke luar jendela. Lalu ia menemukan Sai yang tak sadarkan diri bersandar ke dinding. “Sai!” Kakashi memeriksa keadaan Sai. Tulang pipi dan tulang punggungnya retak. “Lukanya tak terlalu parah. Lebih baik aku mencari pertolongan medis. Sekalian ke ruangan Sasuke. Bisa jadi Madara hendak menculiknya juga.”
Kakashi meletakkan Sai di tempat tidur, ruangan Naruto menginap. “Semoga saja Tenzo dan Tsunade-sama sanggup menghadang Madara.” Kakashi langsung melesat cepat ke ruangan Sasuke berada.
Di tangga menuju ke lantai dua, Kakashi berpapasan dengan rookie 9 yang tadi mengendap-endap masuk ke rumah sakit Konoha.
Mereka langsung panik ketika Kakashi berada di hadapan mereka.
“Kalian sedang apa di sini?” ucap Kakashi sembari mengatur nafasnya yang tersengal.
Para rookie 9 terlihat kelimpungan mencari jawaban yang tepat. Tapi Kakashi sadar bahwa sekarang bukan waktu yang tepat untuk menginterogasi mereka.
“Ah, sudahlah. Bagus kalian ada di sini. Shino dan Neji ikut aku ke ruangan Sasuke. Sisanya tolong kalian pergi ke ruangan Naruto di rawat. Ino, tolong obati luka Sai dan Shizune. Mereka tadi tak sadarkan diri karena diserang oleh Akatsuki.”
“A—Akatsuki?” Tanya para rookie 9 berbarengan.
Shikamaru langsung mengerti apa yang terjadi. Ia terbelalak kaget. “Naruto… Naruto dalam bahaya!” teriak Shikamaru yang langsung pergi ke ruangan Naruto dirawat.
“Tunggu, Shika!” sahut Chouji yang terkejut melihat Shikamaru meninggalkan mereka tanpa mendengarkan penjelasan Kakashi hingga selesai.
“Tidak apa-apa, Chouji. Shino, Neji, dan Lee ikut aku. Aku takut Madara akan menculik Sasuke juga. Sisanya, tolong kalian susul Shikamaru dan bantu Tsunade-sama untuk menghadang Madara. Jangan biarkan dia membawa Naruto! Nanti aku segera menyusul kalian,” ucap Kakashi.
“Hai, wakarimashita!” ucap Kiba, Ino, Tenten, dan Chouji berbarengan. Mereka langsung melesat cepat menyusul Shikamaru.
0o0o0o0o0o0
“Mokuton no jutsu!” Yamato membuat sebuah kurungan untuk menangkap Madara. Tapi dia mudah berpindah tempat karena Madara memiliki jurus yang sama seperti jikuukan no jutsu milik Hokage Keempat. Para Anbu, Yamato, dan Tsunade sedikit kewalahan menghadapi Madara. Terlebih Tsunade adalah ninja petarung jarak dekat. Ia sulit menyerang Madara dengan tinju dahsyatnya.
“Kalian pasti kecapaian ‘kan? Hahaha…!!!” ujar Madara sembari tertawa mengejek. Ia memang ingin mempermainkan shinobi-shinobi Konoha yang menghadangnya. Sebenarnya ia bisa saja menghilang dan langsung tiba di markas rahasianya lebih cepat.
“Tsunade-sama, kalau aku boleh berpendapat. Kita harus melakukan formasi untuk menyerang Madara. Semua serangan beruntun kita dengan mudah dihindarinya. Aku tak mengerti jutsu apa yang dia miliki. Tapi kalau seperti ini terus cakra kita terbuang dengan sia-sia,” ucap Yamato tersengal-sengal.
Tsunade menatap garang Madara. Ia sedang memikirkan tak tik untuk mengalahkannya. Yang jelas ia tak akan membiarkan Madara membawa Naruto pergi dari desanya.
“Kenapa menatapku seperti itu, Senju Tsunade? Hh, tatapan matamu sedikit mengingatkanku dengan rival abadiku, Senju Hashirama. Jadi kau adalah cucunya eh? Fufufu…”
Tsunade mengerenyitkan dahinya. Ia sebenarnya tak suka mendiang kakeknya diolok-olok Madara. Tapi ia memilih untuk tidak mempedulikan ucapan Madara. Ia tahan emosinya agar tidak meledak. Itu hanya akan mengganggu konsentrasinya saja.
“Hm… Jadi hanya segini saja kekuatan para shinobi Konoha? Heh, aku tidak menyangka kali—… Ugh, ada apa dengan tubuhku?” tiba-tiba Madara merasakan tubuhnya menjadi kaku, sulit untuk dikendalikan. Tubuhnya bergetar hebat. Ia memaksakan kepalanya menengadah ke bawah. Ia sadar ada yang aneh dengan bayangannya sendiri. “Jurus ini… Jurus klan Nara.”
“Yep, kagemane no jutsu sukses.”
“Shikamaru!” teriak Tsunade kegirangan. Ia sangat senang dengan kehadiran pewaris klan Nara itu disaat-saat genting seperti ini. Rupanya ia tak sendirian, di belakangnya berdiri Chouji, Kiba, dan Lee yang siap dengan posisi menyerangnya masing-masing.
“Cih, ternyata aku ditangkap oleh anak ingusan,” ucap Madara dengan nada suara santai.
Tsunade tidak tinggal diam. Ia segera memanfaatkan hal ini dengan maju menyerang Madara.
“Chouji, Kiba, Lee, cepat bantu Godaime-sama. Aku hanya bisa menahannya selama 5 menit. Tapi kalian jangan gegabah menyerangnya,” ucap Shikamaru yang tetap fokus dengan jurusnya.
“Hyaattt!!!!” Tsunade hendak mengirim bogem mentah pada wajah Madara. Tapi ketika ia lihat mata sharingan Madara, ada yang aneh dengan tatapannya. Tsunade memperlambat tubuhnya untuk maju.
“Ya, taktik yang bagus. Tapi sepertinya kalian lupa dengan kemampuanku yang lain.”
Mata Tsunade terbuka lebar. Ia menghindar dengan cepat ke arah kanan. Sebelum itu dia meneriakkan sesuatu pada anak buahnya di belakang. “Kalian semua!! Cepat menghindar!!!”
“Amaterasu!”
Lalu api hitam dengan cepat berkobar, membakar area pekarangan rumah sakit Konoha yang luas. Tsunade memandangnya ngeri.
Shikamaru jadi hilang fokus terhadap jurusnya. Baru kali ini ia lihat api hitam layaknya api neraka yang panasnya sangat terasa di kulit. Dia langsung mengerti ini adalah jurus rahasia klan Uchiha.
“Hahaha… Aku bebas!” Madara makin mempererat genggamannya pada tubuh Naruto yang dia bawa di pundaknya. Ia berpindah ke dahan pohon yang menghadap ke rumah sakit.
“Ugh, sial,” umpat Shikamaru.
“Mokuton no jutsu!”
ZRATT!!! ZRATT!!! ZRATT!!!
Yamato menumbuhkan beberapa pepohonan di titik api hitam yang menyala-nyala. Api itu pun padam seketika.
“Jurusmu memang mirip dengan Hashirama, tapi tetap saja kau kalah jauh darinya. Hahaha…”
Yamato menatap nanar Madara. Ya, memang benar dia sangat kecapaian karena tadi sudah banyak mengeluarkan jurus pohon andalannya. Lagipula dia tidak memiliki gen asli klan Senju, jadi wajar saja dia mudah kelelahan.
Para shinobi Konoha belum menyerah. Mereka mewanti-wanti apa yang akan Madara lakukan selanjutnya. Mereka sangat berhati-hati menyerang Madara karena bisa-bisa Naruto ikut terkena serangan mereka juga.
0o0o0o0o0
Kakashi, Shino, dan Neji telah sampai di ruangan Sasuke. Mereka terkejut melihat kehadiran Hinata di sana.
“Hinata-sama, apa yang sedang anda lakukan di sini?” Tanya Neji.
Hinata tercenung melihat mereka. “Neji-niisan, Kakashi-sensei, Shino-kun. Aku hanya menjenguk Sasuke-kun. Ada apa? Kenapa wajah kalian terlihat panik?”
“Akatsuki hendak menangkap Naruto. Tsunade-sama dan yang lainnya sedang bertarung dengannya,” jelas Kakashi.
“A—Apa?!” Hinata hendak berlari keluar dari ruangan tapi Neji menahannya.
“Hinata-sama, aku tidak akan membiarkan anda berbuat seenaknya seperti waktu itu! Anda, nyaris terbunuh di tangan ketua Akatsuki!”
“Ta—Tapi, Neji-niisan. Naruto-kun…”
“Tidak ada tapi-tapi! Kalau ada apa-apa denganmu, Hiashi-sama juga pasti akan terpukul!”
Hinata mulai menangis. Ia tidak menyangka Akatsuki akan menyerang Konoha lagi. Lantas ia pun mengalihkan wajahnya ke Sasuke. Dilihatnya batu aquamarine yang berkerlip di dada Sasuke, padahal tak ada satu pun sinar di sana. Hinata menjadi pesimis, apakah kekuatan kalung bertuah itu hanya isapan jempol belaka?
0o0o0o0o0
“Aku baru sadar ternyata banyak orang di sini. Fufufu… Aku sebenarnya ingin bermain-main sebentar, tapi rasanya capai juga. Sudah waktunya untuk pulang kalau begitu.”
“Jangan lari, Madara!” teriak Tsunade. Ia memandang iba Naruto. Pikirannya kini berkecamuk, ia tak tahu harus berbuat apa. Tsunade mengerti Madara adalah shinobi yang memiliki kemampuan tingkat tinggi. Tidak sebanding dengan dirinya.
“Hahaha… Tsunade. Setelah aku mengekstrak kyuubi, desa kalian ini akan kuhancurkan menjadi debu dengan bijuu-bijuu yang telah kukumpulkan. Aku tidak akan lari! Kali ini rencanaku pasti berhasil. Bersiaplah! Dan tak ada satu pun dari kalian yang bisa menghalangiku. Tidak akan ada seseorang yang menyelamatkan kalian seperti Yondaime dulu. Hahahaha!!!”
Kemudian pusaran angin mengitari Madara, perlahan sosoknya menghilang dari dedaunan yang melingkarinya. Madara menghilang dari pandangan mereka
“Kalian semua akan mati tak bersisa,” itu yang Madara ucapkan setelah kepergiannya.
“Ugh, aku akan segera melakukan pertemuan. Yamato! Kumpulkan semua Jounin. Kau juga Shikamaru, kumpulkan semua Chuunin. Panggil mereka ke atap menara Hokage. Desa akan kuumumkan siaga 1! Aku tidak akan membiarkan dia berhasil mengekstrak kyuubi,” ucap Tsunade yang langsung melesat cepat ke menara Hokage
0o0o0o0o0
Sementara di sebuah tempat di mana sungai kecil mengalir di antara dua tebing tinggi yang di tumbuhi pepohonan… Sang mawar merah sedang menatap dahan mawar yang bunga-bunganya berguguran, menghitam ke tanah.
“Nee-sama, ada apa? Kau terlihat aneh.”
Mata scarlet itu memandang nadir adik sepupunya dengan wajah mengkisut. Bisa ia rasakan jantungnya berdetak cepat. Ia mengerti pertanda ini.
“Naruto… Dia dalam bahaya!”
“Nee-sama, kau mau ke mana?”
“Ikut aku, Rin! Kita harus menyelamatkan Naruto.”
Bersambung…
Gomenasai elven telat bgt ni updatenya =__=. Laptop bolak-balik di servis. Alhamdulillah sekarang dah betul. Trus sama fighting scenenya juga rada susah hehe.
Chapter ini sengaja elven buat panjang dari biasanya. Semoga reader tidak pusing ngebacanya. Elven usahakan chapter depan update cepet. Masih liburan soalnya. ^^
Okay, review please ^^