Heart
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: Semi Canon. Rated T. Tragedy/Drama.
Pairing: NaruSakuSasu.
Bahasanya sedikit hiperbola penuh diksi gak jelas kadang lebai bikin orang yang baca mau muntah (maklum bukan sastrawan) bisa dibilang jadul banget hehe. Contains spoiler up to chapter 484. Jadi kalau ada yang belum baca chapter 484 ke atas baca dulu ya ^^. Time settings : setelah konfrontasi Sasuke dan Naruto yang kedua kalinya.
.
.
Chapter 1
Awal Prahara
.
.
Hujan sore itu tumpah di hamparan hijau Desa Konoha. Sunyi, tiada burung-burung berkicau yang selalu ada menyambut datangnya petang. Mati suri, mungkin kedua kata itu yang tepat untuk menggambarkan keadaan Konoha sekarang ini.
Melangkah ke suatu tempat di mana kesunyian ini terjerembab. Derasnya hujan pun hanya menambah kehampaan seorang gadis yang sedari tadi berdiri melihat pohon-pohon hijau yang pemandangannya begitu suram.
Dia seorang gadis yang mempunyai paras menawan, rambutnya berwarna pink seperti bunga sakura yang bermekaran pada waktu musim semi. Kulitnya putih bersih, dan matanya hijau layaknya batu zamrud yang mengkilap dibawah terang rembulan.
Nama gadis itu Sakura—Haruno Sakura lebih lengkapnya. Berdiri tegak ia di atas Menara Hokage, tempat biasanya mendiang Sandaime Sarutobi Hiruzen memandang desanya dengan penuh keceriaan. Namun berbeda dengan Sakura, matanya tertuju ke depan tak jelas sebenarnya apa yang sedang ia pandangi. Wajahnya sembab dikarenakan air mata yang mengaliri pipinya entah berapa lama. Pikirannya berkecamuk, dalam hati ia menangis mengapa hal ini terjadi dalam hidupnya.
Hidup memang banyak rintangan, instrumen kehidupan yang setiap orang merasakannya. Namun rintangan seperti ini tak sanggup ia lewati tanpa dirinya. Cinta yang terlambat ia gapai karena keplin-planannya. Bukankah wajar seorang gadis menjadi plin-plan untuk menentukan apa yang sebenarnya terbaik baginya? Dan pada akhirnya toh ia telah memutuskan untuk menyatakan perasaannya, namun ia tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi. Dirinya yang ia cinta telah pergi...
Flashback on, 1 bulan yang lalu.
Seorang gadis berambut pink berlari di koridor rumah sakit. Rumah sakit Konoha—yang baru saja selesai dibangun seminggu yang lalu itu—telah memperlihatkan kesibukannya. Invasi Pein ke Desa itu enam bulan yang lalu memang telah memporak-porandakan bangunan-bangunan penting yang ada disana.
Tak pelak rumah sakit—yang biasanya merawat para ninja yang terluka atau rakyat sipil yang membutuhkan perawatan medis—ikut hancur karena invasi tersebut.
Tapi setidaknya seorang pahlawan telah berhasil menghentikan invasi itu. Pahlawan itu si ninja penuh kejutan nomor satu, Uzumaki Naruto. Tentunya semua penduduk Desa telah mengenal siapa dia.
Ya, dia dikenal sebagai 'monster'. Orang-orang membencinya—dari anak-anak hingga dewasa—selalu memandangnya dengan tatapan kejam, sinis, dan dingin. Kau tahu mengapa? Karena seekor siluman yang tersegel di perutnya…
Siluman yang 16 tahun lalu telah memporak-porandakan desa Konoha dan membawa awan bencana bagi penduduknya. Semua orang merinding jika disebut namanya karena saking menakutkannya siluman itu. Tapi Hokage keempat berhasil menyelamatkan desanya dengan menyegel siluman tersebut ke dalam perut bayi yang baru lahir. Bayi mungil itu bernama Uzumaki Naruto. Hokage keempat ingin anak tersebut dianggap pahlawan mengingat dialah yang dibebankan seekor siluman kejam di dalam tubuhnya.
Orang lain tentunya tidak akan sudi mengemban risiko yang besar ini. Oleh sebab itu anaknya sendiri yang ia korbankan sebagai host. Hanya segelintir orang saja yang mengetahui kalau Uzumaki Naruto adalah anak kandung dari Hokage Keempat—Namikaze Minato.
Namun takdir berkehendak lain, anak yang tersegel Kyuubi dalam perutnya itu malah dibenci oleh penduduk Konoha. Mereka menganggapnya sebagai kutukan dari langit yang sewaktu-waktu bisa mendatangkan malapetaka.
Tapi bukan Uzumaki Naruto namanya jika ia menyerah. Tekadnya yang bulat untuk menjadi Hokage membuat dia cinta akan desa itu melebihi apapun di dunia ini meskipun penduduk desa ini pada awalnya tidak simpati padanya. Akan dia buktikan bahwa dia benar-benar ada. Sampai akhirnya dia berhasil memperlihatkan eksistensinya sebagai seorang ninja sejati.
Semua penduduk desa telah menganggapnya sebagai pahlawan dan berharap suatu hari nanti pahlawan muda itu dapat menjadi Hokage-yang setiap saat akan selalu melindungi mereka.
Sang pembawa kedamaian begitu pula ia disebut. Orang-orang banyak menaruh harapan pada dirinya.
Tapi sayangnya untuk kali ini dia terbaring lemah di salah satu ruangan yang ada di rumah sakit Konoha. Sudah dua minggu lamanya ia berada di tempat itu. Matanya sayu setengah tertutup menahan silaunya sinar Matahari yang masuk melalui celah jendela ruangan dimana ia dirawat. Bau rumah sakit yang khas membuatnya ingin cepat-cepat keluar dari sana. Bisa-bisa ia mati kebosanan dengan keadaannya yang seperti ini.
Ia ingin segera merasakan hangatnya sinar Mentari, indahnya burung berkicau menyambut datangnya pagi, dan semerbak wangi bunga sakura yang tumbuh di sekitar Monumen Kepahlawanan Konoha. Rindu sekali dirinya dengan pemandangan itu.
'Secantik dirinya…,' ujar Naruto. Ia tersenyum, dalam hati ia rindu sekali dengan seseorang. Karena seseorang itu sedari kemarin tidak mengunjunginya. Ia pun memejamkan matanya sejenak.
Derap langkahmu terdengar mendekat ke arahku
Semerbak harummu, sakura.. tercium hingga memenuhi kerinduanku
Tiba engkau dipersinggahanku, dan memanggilku. . .
“Naruto!” Sekelebat warna pink muncul dari balik pintu ruangan dimana Naruto dirawat. Naruto memalingkan wajahnya ke arah sumber suara itu. Seseorang itu akhirnya datang mengunjunginya juga.
“Sakura-chan...,” balas Naruto sembari tersenyum lemah.
“Ohayou,” ujar Sakura membalas senyuman Naruto. Ditutupnya pintu dan melangkah ia ke arah Naruto.
“Ohayou,” Naruto hendak bangun dari tempat tidurnya, namun Sakura buru-buru menahannya.
“Kau berbaring saja Naruto, lukamu belum sembuh benar,” ujar Sakura lembut. Naruto hanya mengangguk dan kembali berbaring ke tempat tidurnya. Sakura lalu duduk di bagian celah tempat tidur yang kosong. Digenggamnya tangan kanan Naruto secara perlahan dengan tangan kirinya.
Naruto menatap Sakura dengan penuh rasa cinta. “Kemana saja kau akhir-akhir ini Sakura-chan? Aku jarang melihatmu,” ucap Naruto setengah berbisik. Airmuka Sakura yang ceria tiba-tiba berubah menjadi sendu.
'Naruto belum pulih sepenuhnya,' ucapnya dalam hati. Suara Naruto terdengar parau di telinga Sakura, padahal hanya kedua kakinya saja yang luka berat namun akibatnya hingga ke kondisinya juga. Hal inilah yang membuat Sakura setengah putus asa. Bagaimana dirinya bisa tenang? Lagi-lagi dia merasa tidak berguna. Sebisa mungkin Sakura menyembunyikan kesedihannya itu, ia tidak mau Naruto mengetahuinya. Karenanya ia memberikan senyuman palsu ke arah Naruto.
“Aku ada urusan sebentar ke Amegakure, jadi tiga hari kemarin aku tidak bisa mengunjungimu. Aku baru saja tiba.” Suara Sakura datar tapi sedikit bergetar.
Naruto menyadari hal itu begitu juga senyuman palsu Sakura yang dia berikan pada dirinya. Naruto mengacuhkannya dan tidak berburuk sangka. Barangkali Sakura kecapaian setelah perjalanan yang melelahkan dari Amegakure.
Naruto menghirup nafas perlahan, “Begitu rupanya... Ada urusan apa kau pergi kesana, Sakura-chan?” Tanya Naruto. Sakura tercengang, dalam hatinya haruskah ia berbohong? Tapi dia tidak mungkin memberitahukan Naruto perihal kedatangannya ke Amegakure. “Sakura-chan, kau tidak apa-apa?” Tanya Naruto membuyarkan pikiran kalut Sakura. Sakura kembali ke alam sadarnya. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak mengatakan hal yang bukan sebenarnya pada Naruto.
“Ya aku tidak apa-apa Naruto, hanya sedikit lelah. Aku mengantar dokumen aliansi ke Amegakure. Dan Konan-san menyetujuinya. Oh iya, dia menitipkan bunga ini untukmu.” Sakura memperlihatkan bunga mawar dari Konan yang dia genggam di tangan kanannya. Kali ini bunga asli, bukan kertas seperti waktu itu. Walaupun begitu menurut Naruto bunga asli dan kertas—yang pernah Konan berikan padanya waktu itu-sama-sama indah. “Dia mengharapkan kau cepat sembuh,” ujar Sakura lagi. Kemudian bangkit dari duduknya dan meletakkan bunga mawar itu ke vas bunga yang telah ada di ruang Naruto di rawat. Vas bunga itu cukup besar buat delapan kuntum bunga mawar.
Naruto tersenyum. Delapan kuntum bunga mawar; ia mengingat bahwa angka itu adalah angka keberuntungan. Bentuknya yang melingkar ke bawah melambangkan bumi, sedangkan yang melingkar ke atas melambangkan langit.
Sakura lantas mengatur letak bunga itu dengan rapi, lalu ia kembali duduk ke posisinya tadi.
Naruto hanya tersenyum kecil, sepertinya untuk hal tersenyum lebar saja sangat sulit ia lakukan. Sakura meringis dalam hatinya. Ia ingin melihat Naruto tersenyum selayaknya Naruto yang dia kenal. Penuh percaya diri dan keikhlasan. Senyuman tulus yang membuat siapa saja melihatnya menjadi bersemangat. Sakura rindu akan senyumannya.
"Sakura-chan, bagaimana keadaan Sasuke? Apa ada perkembangan?" Tanya Naruto mengubah topik pembicaraan. Sakura tahu Naruto akan menanyakan hal ini padanya. Haruskah ia katakan hal yang sebenarnya pada Naruto? Haruskah ia bilang pada Naruto kalau Sasuke tidak ada harapan lagi untuk hidup? Haruskah ia katakan bahwa sebenarnya dia pergi ke Amegakure bukan hanya untuk mengantar dokumen aliansi saja?
Mencari pendonor jantung untuk Uchiha Sasuke sangat sulit bagi Sakura. Pengkhianat desa yang meninggalkan desa dan teman-temannya hanya karena dendam semata, bekerja sama dengan Akatsuki untuk menangkap jinchuuriki Hachibi, menyerang pertemuan para Kage dan membuat onar di tempat itu.
Kesalahan-kesalahan The Uchiha Prodigy yang membuat banyak orang mengecapnya sebagai shinobi kriminal papan atas. Adakah yang rela mendonorkan jantung mereka untuk seseorang yang ditangannya bergelimpangan dosa? Apa peduli dunia kalaupun dia hidup?
Namun rasa cintanya yang besar membuat Haruno Sakura rela mencari pendonor jantung untuk cinta pertamanya itu. Cinta yang sampai saat ini tidak terbalaskan. hal miris memang Sasuke tidak pernah membalas cintanya. Sasuke selalu mengatakan bahwa dirinya bodoh dan tidak berguna. Namun dipertarungannya beberapa waktu yang lalu dengan Sasuke, membuat Sakura cukup bangga. Karena ia bisa memperlihatkan pada Sasuke kalau dia bukan seorang gadis selfish yang ia kenal dulu. Sakura hanya ingin Sasuke kembali seperti Sasuke yang dia kenal seperti waktu itu, karenanya dia tidak menyerah begitu saja.
Sakura berkeliling mengunjungi desa tetangga untuk mencari seseorang yang rela mendonorkan jantungnya untuk Sasuke. Sayang sekali, orang sekarat yang ia temui pun tidak ada yang mau melakukan hal itu. 'Dia tidak pantas untuk hidup,' begitu ucap mereka kasar, hati Sakura tercabik-cabik—sakit hati atas perkataan orang yang ditemuinya itu. Terlebih lagi dengan keadaan Naruto yang seperti ini. Ia ingin menyelamatkan kedua temannya dan tidak mau kehilangan seorang pun.
Sakura akan selalu berusaha untuk mencari jalan keluar mencari cara agar ia dapat menyembuhkan luka kedua temannya. Sasuke dalam keadaan kritis dimana ia membutuhkan transplantasi jantung untuk kelangsungan hidupnya, sedangkan Naruto keadaannya memang dari hari ke hari semakin membaik, tetapi luka bakar di kakinya tidak kunjung sembuh dan terancam diamputasi apabila dalam kurun waktu satu minggu tidak bisa ditemukan obat bakar yang bisa menyembuhkannya. Amaterasu yang dikeluarkan Madara telah membuat kedua kakinya lumpuh total.
Sakura berusaha semaksimal mungkin agar kedua temannya bisa kembali sehat sedia kala, tidak ada cacat satu pun. Sebagai seorang ninja medis dia tahu apa yang seharusnya dia lakukan.
Lalu ia merenung, sekelebat bayangan masa lalu tiba-tiba datang menghampirinya, memanggilnya untuk mengulangi sekali lagi kejadian itu. Masih teringat di benaknya, saat dimana kedua temannya saling membunuh satu sama lain.
Flashback dalam flashback.
Naruto, Kakashi dan Sakura akhirnya bertemu lagi dengan former team mereka yaitu sang Uchiha Prodigy, Uchiha Sasuke. Dilihatnya oleh mereka penampilan Sasuke yang sekarang, tidak jauh beda dari penampilan Sasuke seperti waktu dulu. Namun pada akhirnya mereka mengerti Sasuke yang sekarang bukan lagi Sasuke yang mereka kenal. Hal itu bisa dilihat oleh mereka dari mata onyx Sasuke yang penuh amarah dan kebencian.
Sakura meringis dalam hatinya, Sasuke-kun yang dia cinta telah berubah menjadi orang yang tidak dia kenal. Yang dia tidak habis pikir Sasuke hampir membunuhnya dua kali, tapi beruntung Naruto menyelamatkan dirinya tepat pada waktunya. Kali ini Sakura melihat dua orang temannya itu saling berhadapan satu sama lain.
“Apa yang kau lakukan pada Sakura, Sasuke? Bukankah dia dari tim tujuh juga, seperti kau dan aku?” Naruto menatap tajam Sasuke dan mendekat ke arahnya. Sasuke hanya bersikap santai; terlihat dari wajahnya kalau dia tidak menyesal melakukan hal itu.
“Aku pernah mengatakan sebelumnya padamu, Naruto. Kalau aku bukan anggota tim tujuh lagi; bagiku tim tujuh sudah mati!” ujar Sasuke bersikap seakan tidak peduli.
“Begitu rupanya Sasuke, memang benar kau telah berubah. Rasanya aku tidak mengenal dirimu yang sekarang berhadapan denganku. Sepertinya memberikan nasihat kepadamu pun akan percuma saja.” Volume suara Naruto sedikit rendah dari yang sebelumnya. Ia sekarang mulai tenang.
“Hn, dan bagiku kau tetap seperti orang bodoh yang selalu ikut campur urusan orang, Dobe," ujar Sasuke dingin. Naruto tertawa kecil. Sakura heran melihat tanggapan Naruto terhadap ucapan Sasuke itu. Di saat tegang seperti ini, Naruto masih bisa tertawa; menganggap ucapan Sasuke tersebut sebuah lelucon. Padahal dari apa yang Sakura lihat, tidak ada maksud Sasuke untuk melucu.
“Untuk yang satu itu, kau tidak pernah berubah Sasuke,” ujar Naruto menimpali. Airmukanya begitu tenang, setenang air berlumpur yang tak bergeming sekalipun dilempari batu.
Sasuke menggurutu dalam hati, ‘Apa-apaan Naruto ini? Tidakkah dia menganggap kata-kataku dengan serius?'
Naruto melanjutkan kata-katanya kembali, “Sepertinya ini adalah waktu yang tepat untuk kita menyelesaikan hal ini.”
Sasuke masih belum mengerti apa yang Naruto katakan. Gaya bicara dan kata-kata yang ia lontarkan layaknya teka-teki yang kalau diterka mungkin tak satu setanpun tahu apa maksudnya itu. Ninja penuh kejutan nomor satu, memang itulah julukan Naruto.
“Aku katakan sekali Dobe, berhenti mengurusi urusanku!” bentak Sasuke. Kesabaran Sasuke mulai hilang, ia maju satu langkah, mengambil aba-aba untuk menyerang Naruto. Namun Uchiha Madara yang entah sejak kapan berdiri di belakangnya, menghentikan rencana Sasuke itu.
“Hentikan Sasuke! Kau kelelahan, sebaiknya kita mundur dulu memulihkan keadaanmu. Setelah kau pulih aku tidak akan melarang kau melawan Kyuubi, lagipula dia target kita selanjutnya.” Madara tidak ingin Sasuke kalah dalam pertarungan kali ini. Karenanya ia memerintahkan Sasuke untuk mundur.
“Sasuke aku akan menghentikanmu kali ini,” kata-kata Naruto ini memecah ketegangan yang sedari tadi membungkus daerah dimana mereka berpijak.
“Apa maksudmu, Dobe?” Tanya Sasuke dia berniat untuk menghilangkan rasa penasarannya. Padahal Sasuke adalah orang yang memiliki sifat gengsi kelas kakap, tidak peduli dengan perkataan orang terhadap dirinya.
“Kali ini kita akan bertarung sebagai shinobi kelas atas. Sebagai lawan yang seimbang aku akan melawanmu dengan segenap kekuaatanku dan aku rasa tidak akan ada yang menang atau kalah.” Naruto mengambil nafas sejenak.
Sakura khawatir melihatnya, Apa yang sebenarnya Naruto rencanakan? Semoga saja bukan rencana gila.
“Aku akan menghentikan kebencianmu dengan melawan dan menghabisimu. Dan pada akhirnya kita akan saling bunuh dan terjerembab ke dalam jurang kematian... Dimana tidak ada lagi yang bernama Uchiha ataupun orang-orang yang menyebutku Jinchuuriki. Kau dan aku kali ini akan mati bersama, Uchiha Sasuke!”
Sakura dan Kakashi terperanjat, mereka memperhatikan dengan seksama raut wajah Naruto yang mulai menegang. Namun masih terlihat ketenangan dari wajahnya yang diselimuti oleh sebongkah emosi jiwa—yang Sakura tahu—membara dari dalam raganya. Begitulah Uzumaki Naruto, selalu percaya diri dan tidak ragu-ragu untuk memutuskan sesuatu.
Sasuke hanya memandang dingin Naruto. Ia malas berkomentar. Sepertinya ia tahu perkataan Naruto belum mencapai titik akhir. Oleh karena itu ia biarkan saja Naruto melanjutkan perkataannya.
“Aku tidak ragu lagi untuk melawanmu, Sasuke,” ujar Naruto.
Kakashi tiba-tiba menginterupsi, tidak setuju akan pernyataan Naruto. “Sudah cukup Naruto, Sasuke adalah urusanku. Kalau kau mati kau tidak akan bisa jadi Hokage. Bukankah hal itu cita-citamu yang paling besar?”
“Bagaimana aku bisa menjadi seorang Hokage apabila seorang teman dekatku saja tidak bisa aku selamatkan, Sensei?” Naruto menatap serius gurunya itu.
'Sial dia benar-benar serius melakukannya,' gerutu Kakashi dalam hati. Sekarang dia bingung apa yang harus ia lakukan.
Sedangkan Sakura menggigit bibirnya sendiri; memikirkan apa yang seharusnya ia lakukan untuk menghentikan kedua temannya itu. Keduanya sangat berarti bagi dirinya.
Yang satu adalah cinta pertamanya, yang satu lagi cinta... Sakura tercengang. Apa yang sedang ia pikirkan? Ia mulai ragu akan perasaannya terhadap Naruto. Naruto adalah teman dekatnya, namun ia tidak mengerti perasaan apa yang mengisi di relung hatinya saat ini. Jantungnya berdegup kencang, layaknya ombak yang berlomba-lomba; menggulungi tubuhnya sendiri untuk sampai ke daerah pantai. Pantai hati, mungkin begitu Sakura mengartikannya.
Apakah ia mulai mencintai Naruto? Sakura tahu betul jika Naruto memendam perasaan melebihi kata 'teman' terhadapnya. Sebelumnya Sai telah mengatakannya langsung padanya bahwa Naruto sangat mencintainya. Tapi ia tidak tahu apa perasaan Naruto masih sama terhadapnya seperti waktu dulu atau tidak. Karena ia baru menyadari kesalahannya.
Sakura telah memanfaatkan perasaan Naruto dengan berbohong padanya. Pengakuan palsunya memang membuat Naruto marah dan mungkin menganggapnya setengah gila. Tapi demi Tuhan, bukan maksud Sakura untuk menyakiti perasaan temannya itu. Semua itu ia lakukan hanya untuk menghilangkan beban Naruto—yang ia tahu karena dirinya alasan semua itu Naruto lakukan. Janji seumur hidupnya pada Sakura yang membuatnya hidup dalam kutukan tiada akhir. Sakura hanya ingin mengurangi beban Naruto saja. Oleh karena itu ia ingin membunuh Sasuke dengan tangannya sendiri.
Tapi cinta pertama memang sulit untuk dilupakan bukan? Sakura tak sanggup—tak sanggup untuk membunuh Sasuke sang pangeran hatinya. Pujaannya yang selalu ada dalam setiap mimpi-mimpi malamnya. Gemerlap bintang-bintang ia umpamakan sebagai Sasuke yang tiap malam ia pandangi hanya untuk melepas kerinduannya.
Cintanya yang besar kepada Sasuke telah membutakannya untuk melihat sebuah realita yang terjadi saat ini. Sakura merasa bodoh dan tak punya arti. Lagi-lagi ia merasa tak berguna, kenapa ia tidak bisa tegas dalam menentukan sesuatu? Kali ini dia gagal melaksanakan misinya sendiri, dan lagi-lagi Naruto yang mengambil alih keadaan. Dan lebih parahnya Naruto memutuskan untuk mengorbankan dirinya sendiri; mengesampingkan cita-cita besarnya dari kecil untuk menghentikan lingkaran kebencian yang merasuki benak sahabatnya 'The Uchiha Prodigy'.
Tetesan air hangat perlahan-lahan jatuh ke pipi Sakura, ia tertunduk lesu baru menyadari bahwa ia menangis melihat pemandangan ini. Sakura tidak mau kehilangan mereka berdua. Sakura tidak dapat hidup tanpa mereka yang selalu ada mengisi hari-harinya.
'Naruto, naze?' begitu yang ada di benak Sakura.
Pandangan Sakura beralih dari Sasuke ke arah Naruto. Naruto masih menatap Sasuke dengan tajam. Kali ini dia tidak akan membiarkan kebencian Sasuke membawa malapetaka bagi dunia shinobi. Sebagai seorang teman dekatnya, Naruto merasa inilah yang tepat untuk menghentikannya. Mati bersama teman dekatnya.
Naruto merasa ini kewajibannya, sebagai seseorang yang gagal menyelamatkan temannya, yang gagal menepati janjinya. Naruto akan membalas semua itu dengan kematian dirinya. Lingkaran kebencian yang ingin dihilangkannya dari muka bumi ini dengan harapan adanya secercah cahaya kedamaian yang akan membawa dunia ini kembali pada awal ia dibentuk, tentram tanpa ada tangan-tangan keji yang mengotorinya. Naruto bisa mengerti mengapa semua itu terjadi dan berniat menghentikannya dengan melakukan satu hal yaitu, 'sebuah pengorbanan besar'.
Sasuke menatap Naruto dengan tatapan kosong. Dalam hatinya ia sungguh tak mengerti kenapa Naruto masih peduli dengannya. Mati konyol, begitu yang Sasuke maksud.
Rasa benci yang sudah lama ia simpan tidak mau ia buang jauh-jauh. Rasa benci, yang ia ingin semua orang merasakannya, merasakan kepahitan jalan hidup yang dia alami. Kepedihan karena kehilangan orang-orang yang paling berharga bagi dirinya, kepedihan karena kehilangan keluarga yang ia cinta sepanjang hidupnya.
Sampai kapan pun Sasuke tidak akan memaafkan orang-orang yang terlibat dalam penghancuran klannya. Mengadu domba ia dan kakaknya. Orang-orang itu harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi terhadap orang-orang yang dicintainya. Para petinggi Konoha yang telah membuat kakak tersayangnya mengemban misi berbahaya yang menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang ninja sejati.
Seorang kakak terbaik bagi Sasuke. Tersayang, yang tidak memandangnya sebelah mata. Uchiha Itachi, seorang kakak terbaik itu telah mati karena lingkaran kebencian yang terjadi di dunia shinobi ini. Sebagai tumbal untuk menciptakan kedamaian? Sasuke tidak mengerti apa yang dipikirkan para petinggi Konoha yang mengutus Itachi untuk membantai klan mereka. Namun sekarang Sasuke mulai merenung. Perkataan Naruto mulai meracuni pikirannya.
'Nii-san apakah kau tidak menyesal melakukan pengorbanan konyol seperti itu? Aku tidak mengerti, kenapa aku melihat sekilas dirimu dalam diri Naruto?' ujar Sasuke dalam hati. Sasuke terpaku di tempat ia berpijak, ia mulai bimbang 'apakah yang dia lakukan itu salah?'
Sudah lama ia tidak merasakan ada orang yang peduli terhadap dirinya. Mengerti keadaannya dan tahu akan penderitaannya. Meskipun ia dan Naruto berbeda namun kepahitan yang mereka alami nyaris sama persis. Sasuke melihat orang tuanya mati dengan mata kepalanya sendiri, sedangkan Naruto dari awal memang telah sendiri, tanpa mengetahui siapa yang telah melahirkannya ke dunia dan siapa yang seharusnya ia panggil dengan sebutan 'ayah'.
Mereka berdua sama-sama pernah merasakan pahitnya hidup dalam kesendirian. Neraka yang mereka sebut dengan kesendirian itu telah membawa mereka masing-masing ke sebuah pembelajaran. Yang satu mengarahkan mereka ke arah kebenaran, lainnya ke arah kebencian. Memang pelik suratan takdir yang mereka miliki, tapi anehnya mereka mengerti satu sama lain. Sasuke mengakui hal itu dalam pikirannya.
Tiba-tiba suara Naruto memecah kesunyian. “Sakura-chan, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku. Aku tidak bisa membawa Sasuke kembali kepangkuanmu. Oleh karena itu...” Naruto tetap memandangi Sasuke, ia tidak berani melihat ke arah Sakura. Ia tahu Sakura menangis, dan Naruto tidak sanggup untuk melihatnya.
“Na—Naruto… Aku…” Sakura hendak berbicara namun terpotong oleh ucapan Naruto.
“Oleh karena itu aku akan membayarnya dengan nyawaku, Sakura-chan!” ucap Naruto lantang. Pernyataan Naruto ini bagai petir di siang bolong bagi Sakura. Tubuh Sakura mulai bergetar hebat, baginya ini adalah mimpi buruk yang ingin sekali ia terbangun karena tak terbayangkan betapa memilukannya. Tapi sayangnya ini adalah kenyataan.
“N—Naruto... Aku, tidak... ja—jangan… Biar aku…,” kali ini Sakura mengangis deras. Hatinya hancur berkeping-keping. Sudah cukup Naruto mengemban beban yang begitu berat ini. Biar dia yang melakukannya sekarang. Biar dia yang merasakan pedihnya. Kenapa Naruto? Kenapa kau begitu peduli padaku? Aku tidak pantas menerima semua ini, aku tidak pantas mendapatkan cintamu.
Tangan Sakura hendak menggenggam sikut Naruto, namun berhenti karena interupsi Sasuke.
Sasuke tersenyum sinis. “Pernyataan yang hebat, Dobe. Kau mau mengorbankan dirimu hanya untuk gadis tolol, yang cara bertarung pun ia tak tahu. Sakura ternyata kau masih saja bodoh seperti dulu. Dan kalau itu yang kau mau baiklah, aku juga akan melawanmu, Dobe. Tapi aku tidak akan mati bersamamu, yang mati hanya kau seorang, super bodoh!” Tiba-tiba Sasuke melesat cepat ke arah dimana Naruto berdiri. Naruto dengan sigap mengambil kunai dari kantong kunainya.
Naruto memandang mata Sasuke sekilas, hawa membunuh Sasuke terasa sekali. Naruto pun akhirnya melesat cepat ke arah Sasuke. Begitu juga dengan Kakashi.
“Sensei, sudah ku bilang ini kewajibanku!” protes Naruto. Namun Kakashi tak peduli dan tetap mengikuti Naruto dari belakang. Naruto dan Kakashi terus maju sampai jarak Sasuke dan mereka semakin mengecil. Naruto mengambil ancang-ancang mengeluarkan jurus kagebunshin-nya, namun diluar perkiraan, Sasuke melewatinya dengan melompat diatasnya. Rupanya Sasuke tidak bermaksud menyerangnya. Naruto bergumam 'sial', ia meringis kesal kemudian melihat ke arah belakangnya, matanya terbuka lebar. Naruto tak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Dia segera berbalik ke arah Sasuke.
“Apa jadinya, Dobe. Jika aku membunuh seseorang yang kau cintai sepenuh hatimu?” Sasuke mengaktifkan chidori di kusanaginya lalu melesat cepat ke arah Sakura.
“Sakura-chan! Kuso! Sasuke lawanmu aku, bukan Sakura!” teriak Naruto.
Sakura ingin menghindar namun ia tidak bisa bergerak, sekujur tubuhnya kaku tak terlukiskan. Bisa ia rasakan hawa membunuh Sasuke di sekitar kulitnya. Sakura memejamkan matanya, ia terlambat menghindar.
CRASSHH!
Sakura bergidik kaget mendengar suara itu. Tusukan kusanagi telah memasuki tubuhnya, entah di daerah mana, namun Sakura bisa merasakan bau anyir darah yang begitu pekat. Dia membuka matanya perlahan, matanya terbuka lebar; terbelalak kaget dikarenakan pemandangan yang ia lihat. Keringat dingin mulai menetesi dahinya, cipratan darah membanjiri bajunya.
Lagi-lagi tubuh Sakura bergetar hebat, tapi kali ini lebih parah dari yang sebelumnya. Ia menyadari bahwa itu bukan darahnya. Dirinya sama sekali tidak terluka sedikit pun. Seseorang telah melindunginya, memeluknya dari arah depan, dan menyelamatkannya dari serangan Sasuke. Diarahkan pandangannya ke arah bawah, di mana kusanagi Sasuke menembus paru-paru kiri seseorang yang melindunginya.
“Iie...” Sakura menutup mulutnya, dia mulai menangis tak terkontrol dan menggelengkan kepalanya tidak percaya hal seperti ini yang akan terjadi.
“K—Kau... Tidak apa-apa ‘kan, Sakura-chan?” Naruto tersenyum simpul, ia memuntahkan darah segar dari mulutnya, lalu teriakan Sakura terdengar menggelegar diantara rona-rona hitam kebengisan—mencuat tajam—menunjukkan betapa kejadian itu mengoyak-ngoyak hatinya.
Bersambung…
Thursday, 31 March 2011
Wednesday, 2 March 2011
Cerita Dibuang Sayang: Mahligai Jiwa
Dinda…
Kau adalah air yang mengenyangkan kehausan raga.
Kau adalah tanah yang mengokohkan rapuhnya hati yang merana.
Kau adalah api yang membuatku terbakar-bakar asmara. Kau adalah angin yang senantiasa meredam emosi hingga reda. Kau telah menjadi putriku di istana cinta… duhai, mahligai jiwa. ~
Hanya diam yang bisa dikeluarkan. Hanya termangu yang bisa dilakukan. Hanya bimbang yang menikamnya siang dan malam. Hanya karena ia tak punya kuasa, ia pun hanya bisa pasrah saja.
Tak tahu itu apa arti cinta, sejak dulu Lingga sama sekali belum pernah memiliki hubungan spesial dengan lelaki mana pun. Terlebih ia juga jarang memiliki teman lelaki. Entah karena terlalu malu atau hanya ragu, Lingga tak pernah membuka diri untuk kaum Adam itu. Memang ia sudah kepalang berumur 24 tahun. Masa yang tepat untuk membentuk keluarga baru; lepas dari beban yang orantuanya pikul. Bukan hati menolak untuk dijodohi, tapi apa daya rasa-rasanya ini bukanlah waktu yang tepat. Lantaran Lingga masih ingin membahagiakan orangtua secara materi lebih lama lagi, meski jasa mereka tak ternilai harganya.
Lingga berpikir kembali berulang-ulang, hingga ia merasa kebosanan karena terlalu lama pikiran itu bersarang di otaknya. Lagipula ini adalah keinginan orangtua, mana mampu ia melawan jika itu membuat mereka bahagia? Namun harus diakuinya dulu ada seorang laki-laki yang diam-diam mencuri hatinya. Meski itu kadung lama dan ia tak tahu siapa namanya, namun memori-memori itu masih tersimpan dengan rapi tak terkorupsi oleh waktu yang kian menua. Hanya saja…lelaki itu bisa ia lihat dari kejauhan saja. Dirinya masih ragu apa laki-laki itu mencintainya balik atau tidak. Maka Lingga tak tahu harus berbuat apa ketika dulu pujaan hatinya itu memberikan sebuah kertas. Tersirat deretan kalimat-kalimat gombal selangit yang maknanya ia pun tak tahu. Ia berspekulasi sendiri bahwa tulisan yang tertera di dalamnya itu hanyalah kerjaan iseng. Karena baginya mendapatkan cinta sang pujaan hati bagaikan pungguk merindukan rembulan. Meski jika ia baca secara saksama, hatinya dapat berdebar-debar pula…
Sore itu, Lingga pulang dari kantor. Masuk ke dalam rumah, ia disambut oleh ayah yang sedang duduk bersama seorang tamu.
Setelah Lingga menyalami ayahnya, ayah pun berkata dengan riang, “Wah, ‘Nak. Telat datang kamu, ‘Nak Bagas sudah mau pulang. Ini lho calon suamimu.”
Lingga pun terkesiap; ia sekilas menatap pria yang berdiri menyambut kedatangannya. Pria itu menyunggingkan senyuman termanis yang baru ia lihat selama hidupnya. Tidak hanya manis, tak ada keterpaksaan yang terpahat di bibir lelaki itu. Lingga buru-buru menundukkan kepalanya malu-malu.
Pria itu pun berpamitan pada ayah dan juga pada Lingga. Lingga mengantarkannya hingga pekarangan rumah. Sebelum pergi ia berbicara pada perempuan yang akan menjadi istrinya kelak, “Minggu depan, aku akan datang kembali bersama orangtuaku. Oh ya, ini.” Bagas memberikan secarik kertas terlipat-lipat pada Lingga. Ia pun tersenyum. “Sampai ketemu nanti, ya.” Bagas pun melenggangkan kakinya menjauhi Lingga yang masih tersipu-sipu di belakang.
Belum jauh Bagas berjalan Lingga pun membuka kertas yang terlipat itu. Di sana tertulis, ‘Akhirnya kau kutemukan juga, Mahligai Jiwa. Aku ‘kan menculikmu untuk pergi ke istana cinta. Maka bersabarlah, Dinda.’ Dan Lingga menatap punggung lelaki itu, tanpa bisa berkedip sedikit pun.
Kau adalah air yang mengenyangkan kehausan raga.
Kau adalah tanah yang mengokohkan rapuhnya hati yang merana.
Kau adalah api yang membuatku terbakar-bakar asmara. Kau adalah angin yang senantiasa meredam emosi hingga reda. Kau telah menjadi putriku di istana cinta… duhai, mahligai jiwa. ~
Hanya diam yang bisa dikeluarkan. Hanya termangu yang bisa dilakukan. Hanya bimbang yang menikamnya siang dan malam. Hanya karena ia tak punya kuasa, ia pun hanya bisa pasrah saja.
Tak tahu itu apa arti cinta, sejak dulu Lingga sama sekali belum pernah memiliki hubungan spesial dengan lelaki mana pun. Terlebih ia juga jarang memiliki teman lelaki. Entah karena terlalu malu atau hanya ragu, Lingga tak pernah membuka diri untuk kaum Adam itu. Memang ia sudah kepalang berumur 24 tahun. Masa yang tepat untuk membentuk keluarga baru; lepas dari beban yang orantuanya pikul. Bukan hati menolak untuk dijodohi, tapi apa daya rasa-rasanya ini bukanlah waktu yang tepat. Lantaran Lingga masih ingin membahagiakan orangtua secara materi lebih lama lagi, meski jasa mereka tak ternilai harganya.
Lingga berpikir kembali berulang-ulang, hingga ia merasa kebosanan karena terlalu lama pikiran itu bersarang di otaknya. Lagipula ini adalah keinginan orangtua, mana mampu ia melawan jika itu membuat mereka bahagia? Namun harus diakuinya dulu ada seorang laki-laki yang diam-diam mencuri hatinya. Meski itu kadung lama dan ia tak tahu siapa namanya, namun memori-memori itu masih tersimpan dengan rapi tak terkorupsi oleh waktu yang kian menua. Hanya saja…lelaki itu bisa ia lihat dari kejauhan saja. Dirinya masih ragu apa laki-laki itu mencintainya balik atau tidak. Maka Lingga tak tahu harus berbuat apa ketika dulu pujaan hatinya itu memberikan sebuah kertas. Tersirat deretan kalimat-kalimat gombal selangit yang maknanya ia pun tak tahu. Ia berspekulasi sendiri bahwa tulisan yang tertera di dalamnya itu hanyalah kerjaan iseng. Karena baginya mendapatkan cinta sang pujaan hati bagaikan pungguk merindukan rembulan. Meski jika ia baca secara saksama, hatinya dapat berdebar-debar pula…
Sore itu, Lingga pulang dari kantor. Masuk ke dalam rumah, ia disambut oleh ayah yang sedang duduk bersama seorang tamu.
Setelah Lingga menyalami ayahnya, ayah pun berkata dengan riang, “Wah, ‘Nak. Telat datang kamu, ‘Nak Bagas sudah mau pulang. Ini lho calon suamimu.”
Lingga pun terkesiap; ia sekilas menatap pria yang berdiri menyambut kedatangannya. Pria itu menyunggingkan senyuman termanis yang baru ia lihat selama hidupnya. Tidak hanya manis, tak ada keterpaksaan yang terpahat di bibir lelaki itu. Lingga buru-buru menundukkan kepalanya malu-malu.
Pria itu pun berpamitan pada ayah dan juga pada Lingga. Lingga mengantarkannya hingga pekarangan rumah. Sebelum pergi ia berbicara pada perempuan yang akan menjadi istrinya kelak, “Minggu depan, aku akan datang kembali bersama orangtuaku. Oh ya, ini.” Bagas memberikan secarik kertas terlipat-lipat pada Lingga. Ia pun tersenyum. “Sampai ketemu nanti, ya.” Bagas pun melenggangkan kakinya menjauhi Lingga yang masih tersipu-sipu di belakang.
Belum jauh Bagas berjalan Lingga pun membuka kertas yang terlipat itu. Di sana tertulis, ‘Akhirnya kau kutemukan juga, Mahligai Jiwa. Aku ‘kan menculikmu untuk pergi ke istana cinta. Maka bersabarlah, Dinda.’ Dan Lingga menatap punggung lelaki itu, tanpa bisa berkedip sedikit pun.
Fanfiksi Naruto: Shinjitsu no Uta
Shinjitsu no Uta
Naruto
© Masashi Kishimoto
Thousand Night Love Song © Chieko Hara
Warning: AU. Rated T.
Typos. Multichapters. Adventure/Romance.
Pairing: Sasuke dan Hinata.
Wanita terdiktum untuk
direndahkan.
Barisan dogma itu sempat
menyesatkanku pada hal-hal yang sebenarnya tak patut aku alami.
Dan aku tak membiarkan para
lalim itu memukauku dengan kesesatan dunia fana yang hina ini.
Aku ingin menemukan diriku
yang asli,
karena itu aku berani keluar
dari sangkarku sendiri.
Membiarkan diriku terbang
bebas tanpa harus mengikuti pranata kuno itu lagi.
Aku akan terus bernyanyi
sampai menemukan kebenaran sejati.
.
.
Chapter
1
Putri
yang Dibuang dan Pangeran Setengah Gila
.
.
Kerajaan
Hyuuga merupakan kerajaan yang menguasai sebagian kecil daerah Kinomoto yang
masih berkembang. Tak ada yang istimewa dari kerajaan itu. Namun rakyatnya
dapat hidup sejahtera dengan pendapatan per kapita yang tidak terlalu tinggi.
Setidaknya…sebagian besar rakyatnya terbilang mampu.
Sayangnya, sebagian besar yang lain hidup di bawah garis kemiskinan. Hal
ini adalah masalah utama yang sering terjadi di wilayah kerajaan Hyuuga. Tak
ayal banyak wanita dan anak di bawah umur yang menjadi buruh kasar. Peminta-minta
bertebaran di seluruh pelosok wilayah. Dan sedikit di antaranya menjadi pekerja
seks komersial.
Sang raja, Hyuuga Hiashi, bukannya tidak tinggal diam dengan persoalan yang
kian hari kian membuatnya pusing tujuh keliling. Ia memikirkan berbagai cara
untuk mengurangi penurunan pendapatan daerah kerajaannya yang semakin merosot
tajam. Dan lagi-lagi jalan keluarnya yang akan ia tempuh adalah ‘itu’. Karena
lagi-lagi ia tidak tahu kemana lagi harus meminta pertolongan. Kebijakan-kebijakannya
telah mencapai kuldesak, sehingga ia tak tahu lagi harus memperbaharui
kebijakan itu dengan sebagaimana mestinya.
Keputusan terakhirnya, Raja Hiashi akan meminjam uang lagi pada kerajaan
tetangga, kerajaan besar Uchiha.
Kerajaan Uchiha wilayahnya sangat makmur dan sejahtera. Daerah kekuasaan
mereka lebih luas daripada kerajaan Hyuuga. Ikut dalam koloni kerajaan
Namikaze, kerajaan terbesar di wilayah utara Kinomoto. Kerajaan yang sekarang
di pimpin oleh seorang ratu karena rajanya mengalami sakit yang tak kunjung sembuh.
Nama ratu tersebut adalah Uchiha Mikoto. Ia menggantikan suaminya yang
sering sakit untuk mengurusi seluruh persoalan kerajaan yang setiap hari
membuatnya kelimpungan.
Sementara itu suaminya ditempatkan di daerah pedalaman yang sejuk dan
damai. Ratu Mikoto mengunjungi suaminya setiap seminggu sekali dikarenakan
kesibukannya.
Namun dengan tangan dingin sang ratu, rakyat kerajaan Uchiha hidup
makmur dengan pendapatan yang tinggi di setiap tahunnya. Ia juga memiliki
pertahanan keamanan yang tangguh.
Kerajaan Uchiha sudah terbiasa membantu kerajaan Hyuuga yang menjadi
aliansi selama bertahun-tahun. Namun ada yang berbeda kali ini, sang ratu
menginginkan pamrih sebagai tanda terima kasih kerajaan Hyuuga yang telah ia
pinjamkan uang untuk memperbaiki masalah ekonomi wilayahnya.
Karena tak tahu harus membayar dengan apa, Raja Hiashi pun memberikan
putri sulungnya pada kerajaan Uchiha untuk dijadikan pelayan pribadi pangeran
kerajaan kaya itu. Dengan syarat putri itu akan tinggal selamanya di sana dan
tak pernah kembali ke kerajaan Hyuuga.
Hiashi pun memberikan putri sulungnya, Hyuuga Hinata kepada Mikoto.
Padahal sebenarnya Hinata adalah pewaris pertama kerajaan Hyuuga. Namun ayahnya
itu meragukannya; ia tidak ingin seorang wanita yang memimpin kerajaan. Ia pun memutuskan
untuk membuang anak sulungnya sendiri dikarenakan putrinya itu sangat jauh dari
kriteria pemimpin yang diidamkannya. Alasan lain mengapa ia tak mau mengurusi
Hinata lagi.
Hiashi lebih mempercayai keponakannya, Hyuuga Neji yang akan
menggantikannya kelak. Walaupun Neji sudah berkali-kali menolaknya secara
halus, namun sepertinya keputusan Hiashi telah tidak dapat diganggu gugat.
.
o0o
.
Raja Hiashi mengantar rombongan kerajaan Uchiha hingga gerbang utama. Ia
kemudian menghadap Ratu Mikoto untuk memberikan salam perpisahan. “Terima kasih
atas bantuannya, Baginda. Saya harap dengan kehadiran Hinata di tempat Anda
bisa semakin mempererat tali persaudaraan kita.”
Mikoto membalasnya dengan tersenyum. “Sama-sama, Hiashi. Tak usah
sungkan-sungkan. Kalau butuh bantuan datang saja ke tempatku,” ujarnya sembari
mengipasi diri dengan kipas berornamen buah plum berwarna merah. Matanya
memandang Hiashi dengan tatapan meremehkan.
Untungnya Hiashi tidak menyadari hal itu karena ia berpaling pada anak
perempuannya yang sejak tadi tertunduk lesu. “Dan kau, Hinata. Jangan berbuat
macam-macam yang merepotkan keluarga Uchiha. Jaga nama baik keluarga ini. Kau harus
bisa hidup mandiri di umurmu yang ke 20 tahun.”
Hinata hanya mengangguk sembari menatap ayahnya dengan takut-takut.
“A-Ayah, apa suatu s-saat aku bisa p-pulang?”
“Itu kalau Mikoto-sama mengizinkanmu,”
ujar Hiashi dengan nada datar.
Hinata langsung termangu dan tak berani untuk memandang tatapan tajam
ayahnya.
“Haha, Hinata. Tidak perlu takut, nanti ada Sasuke, anakku yang akan
menemanimu. Umurnya juga sama denganmu, jadi aku rasa kalian bisa cepat akrab.”
Mikoto mencoba menghibur Hinata dengan menyentuh bahu si putri yang pemalu itu.
“Baiklah, Hiashi-sama. Kami permisi
dulu.” Mikoto dan Hinata pun membungkukkan badan mereka sebelum masuk ke dalam
kereta kuda kerajaan Uchiha.
Hiashi membalasnya dengan membungkukkan badan juga hingga Mikoto dan
Hinata masuk ke dalam kereta.
Kereta pun akhirnya meninggalkan wilayah kerajaan Hyuuga secara
perlahan. Hinata hanya bisa menatap kampung halamannya dari dalam. Ia merasa
sedih dan kehilangan. Ia pasti akan sangat rindu dengan tempat ini. Namun dari
lubuk hatinya yang terdalam, ia juga senang dapat pergi dari sangkar yang
selama ini mengurungnya. Ia bertekad untuk terbang bebas sekarang.
Selama dalam perjalanan, Mikoto sangat ramah pada Hinata. Ia mengajaknya
bercakap-cakap tentang segala hal. Dari soal kerajaan hingga persoalan wanita.
Walau ia tahu alasan mengapa ayahnya memintanya untuk tinggal di kerajaan
Uchiha, ia bersyukur bahwa Mikoto tidak seburuk yang ia kira.
Hinata merasa nyaman dengan sikap Mikoto yang sangat baik padanya. Ia
berdoa semoga saja ia dapat cepat akrab dengan Sasuke, pangeran kerajaan Uchiha
yang akan ia layani nanti. Mengingat ia paling tidak pintar bergaul, tapi
setidaknya ia ingin belajar.
Akhirnya setelah tiga jam perjalanan, mereka sampai di tempat tujuan.
Kereta kuda itu pun berhenti di depan pintu masuk bangunan kerajaan Uchiha yang
sangat besar.
Hinata dengan hati-hati menapakkan kakinya ke tanah. Ia mengangkat
sedikit kimono biru muda yang ia pakai.
Matanya lalu tidak pernah luput dari bangunan kerjaan Uchiha yang
berdiri di hadapannya. Kerajaan ini lebih luas dari pada bangunan kerajaannya
sendiri. Tembok bangunannya meliuk-liuk seperti naga, bisa dipastikan itu
adalah tembok yang sangat kuat. Dibuat untuk melindungi kerajaan apabila
terjadi perang besar.
“Ayo kita masuk, Hinata. Anggap saja sebagai rumahmu sendiri,” ujar
Mikoto, menarik tangan Hinata perlahan agar tidak sungkan-sungkan untuk masuk
ke dalam.
“Selamat datang, Mikoto-sama.”
Seorang penjaga pintu menyalami tuannya itu dengan santun. Ia juga kemudian
menunduk pada Hinata sebelum membuka pintu kerajaan yang berukir kepala naga.
Hinata lekas mafhum bahwa hewan legenda itu adalah lambang kerajaan ini.
“Terima kasih, Kotetsu. Oh ya kau melihat Tuan Muda? Ada di mana dia?”
tanya Mikoto yang mencari anaknya sedari tadi. Ia berharap Sasuke menyambut
kedatangannya karena sejak kemarin malam mereka belum sempat bersua.
“Yang aku tahu, Tuan Muda sedang berkuda di pekarangan belakangan,
Mikoto-sama.”
Mikoto hanya bisa menghembuskan nafas perlahan dengan sikap tidak peduli
anaknya itu. “Ah, baiklah. Mungkin ia belum menyadari kedatanganku. Aku saja
yang mengunjunginya kalau begitu. Kau ikut ya, Hinata?”
Hinata mengangguk perlahan. Ia segera mengikuti langkah Mikoto dari
belakang, enggan berjalan sejajar karena itu tidaklah sopan. Biar pun kini ia
menjadi putri yang dibuang, namun ia sangat menuruti pranata kerajaan yang
mengajarkannya tata krama dengan baik.
Mereka keluar dari bangunan yang satu dan masuk ke dalam bangunan yang
lainnya.
Hinata agak capek juga karena perjalanannya lumayan jauh dari yang ia
bayangkan sebelumnya. Kerajaan Uchiha terdiri dari bangunan-bangunan besar yang
letaknya terpisah.
Tak berapa lama kemudian akhirnya mereka sampai di lapangan berkuda yang
cukup luas. Di sana terdengar ringkikan kuda yang melengking seperti habis
terkena siksa. Ternyata kuda itu berlari bak kesetanan dengan seorang pemuda
yang sedang menungganginya.
Dari kejauhan Hinata melihat pemuda itu tertawa terbahak-bahak seperti
orang gila. Menunggangi kudanya dengan brutal, padahal dari yang ia lihat kuda
itu sedang tidak mood untuk
ditunggangi.
“Hentikan, Sasuke! Kau sebenarnya sedang apa? Ayo turun!” teriak Mikoto
yang khawatir dengan tingkah aneh anak bungsunya itu. Namun sepertinya Sasuke
tidak mendengarnya karena suara ibunya itu kalah besar dengan suara pekikan
kuda yang meronta-ronta untuk ditinggalkan.
Kuda itu berlari berputar-putar dengan ganas, meminta penunggangnya
turun dari tubuhnya.
Beberapa pengawal kerajaan berusaha menghentikan kuda yang mulai tak
bisa dikendalikan itu. “Sasuke-sama.
Nanti anda bisa celaka. Mikoto-sama
sedang melihat tingkah Anda ini. Bisa-bisa Anda kena marah nanti,” ujar Genma
yang berlari sembari berusaha menyamakan kecepatannya dengan kuda yang
ditunggangi Sasuke.
“Berisik! Minggir kau! Aku tidak peduli!” Sasuke memukul badan kuda itu
agar dia mau berlari lebih kencang lagi. “Hahaha. Ayo tunjukan lari tercepatmu
padaku, Hoshi!”
Kuda hitam itu tiba-tiba meringkik sembari mengangkat tubuhnya ke atas.
Ia akan terpelanting ke belakang; hendak menimpa Sasuke yang tersungkur ke
tanah.
Semua orang yang ada di sana memandang ngeri kejadian itu. Para pengawal
berlari menuju Sasuke untuk menyelamatkannya sebelum kuda itu menimpanya.
Hinata memejamkan matanya, tidak mau melihat apa yang akan terjadi.
Tapi ternyata Sasuke menyadari hal itu dan ia pun menggulingkan tubuhnya
ke kanan secepat mungkin. Dan…
BRUK!
Kuda hitam bernama Hoshi itu terpelanting ke tanah setelah Sasuke
berhasil menyelamatkan diri.
Mikoto dan Hinata lantas menghembuskan nafas kuat-kuat melihat apa yang
mereka takutkan itu akhirnya tidak terjadi. Genma si pengawal segera berlari
menuju Sasuke yang terlihat biasa-biasa saja dengan kejadian barusan. Dianggap
seperti angin yang sedang lewat saja.
“Hahaha, benar-benar menyenangkan!” teriak Sasuke sembari
mengibas-ibaskan bajunya yang kotor terkena tanah. Ia berdiri sendiri tanpa
mempedulikan pengawalnya yang menawarkan bantuan.
“Sasuke-sama, Anda tidak
apa-apa?”
“Sudah tidak usah menggangguku!” bentak Sasuke pada Genma. “Mana
handukku?” tanyanya dengan kasar pada pengawal lain.
Pengawal itu buru-buru memberikan handuknya pada Sasuke. “Ini, Tuan.”
Sasuke dengan kasar mengambil handuk itu dari tangan si pengawal. “Haah,
aku jadi kotor begini, sepertinya aku harus mandi,” ujarnya tanpa ekspresi,
lalu berjalan masuk ke dalam bangunan kerajaan.
“Uchiha Sasuke….” Panggil Mikoto pada akhirnya. Sasuke benar-benar
membuatnya naik pitam kali ini. Bukan hanya karena hampir melukai diri sendiri,
tapi tindakan Sasuke tadi mencoreng nama baiknya di depan Hinata. Ia sungguh
malu bukan kepalang.
Sasuke lantas memalingkan wajahnya pada wanita paruh baya yang meski
sudah tua terlihat masih cantik itu. “Oh, kau rupanya…,” ucapnya dingin.
Hinata terkejut mendengarnya, ia tidak tahu jika sifat Sasuke seperti
ini. Apa lagi ia melakukan itu pada ibunya sendiri.
“Di mana sopan santunmu, Sasuke? Kau tidak lihat kita sedang kedatangan
tamu?” ujarnya geram sambil menunjuk pada Hinata.
Sasuke menatap Hinata dengan wajah datar, kemudian ia memejamkan matanya
sambil menyeringai seram. “Habis bersenang-senang, ya? Sekarang pelacur mana
lagi yang kau ajak ke sini untuk melayaniku, eh?”
Hinata dibuat terkejut oleh ucapan Sasuke, tidak menyangka pangeran muda
itu akan mengatainya sekasar ini. Dan pelacur? Apa di sini ia akan dijadikan
budak?
“Jangan berbicara sembarangan, Sasuke! Hinata ini putri dari kerajaan
Hyuuga! Kau harus meminta maaf padanya!”
“Untuk apa? Mengenalnya pun aku tidak. Kau masih menyempatkan diri untuk
pulang. Aku pikir kau tidak ingat jalan ke rumahmu sendiri,” ucap Sasuke lagi
memandang sinis ibunya itu.
“Cepat masuk ke dalam, Sasuke!” Mikoto tak tahu harus bagaimana lagi
menghadapi sikap anaknya yang kurang ajar itu.
“Ya, ya, dari tadi aku mau masuk, kok.” Sasuke lalu berjalan dengan
santai tanpa mempedulikan orang-orang yang memandangnya dengan tatapan beragam.
Ada yang marah, sedih, juga iba… Kemudian Sasuke menghentikan langkahnya di
depan pintu, kembali menatap ibunya dengan sangar. “Jangan pernah kau samakan
aku denganmu.” Setelah itu ia pergi entah ke mana
Hinata bergidik mendengarnya. Bagaimana bisa ia melayani orang kasar
seperti itu. Dan juga Sasuke menyebut dirinya sebagai pelacur, padahal
setahunya ia disuruh kemari untuk menemani Sasuke saja, bukan untuk yang
macam-macam.
“Hinata, maafkan Sasuke. Sejak ayahnya sakit ia menjadi seperti itu.
Harus aku akui, aku juga kurang memberikannya perhatian karena terlalu sibuk
mengurusi urusan kerajaan. Aku harap kau tidak mengambil hati kata-katanya
barusan. Kau datang ke sini bukan untuk dijadikan budak.”
Hinata hanya mengangguk pelan sembari menatap Mikoto tanpa berkedip. Ia
benar-benar syok melihat tingkah laku Sasuke yang kurang waras itu. Paling
tidak ia bisa merasa lega karena ia tidak akan dijadikan sebagai budak.
“Baiklah, kau sekarang ke kamarmu, ya.” Mikoto tersenyum padanya.
“Genma, tolong antarkan putri Hinata ke kamarnya.”
Genma lantas menyanggupi. “Mari ikuti saya, Putri Hinata.”
Hinata pun mengikuti ke mana Genma membawanya. Pangeran Sasuke itu
sebenarnya sangat tampan, namun ia tidak memiliki perangai yang baik. Ia mulai
berpikir dalam benaknya, apa ayahnya akan membiarkan dirinya menjadi pelayan
seorang pangeran yang setengah gila ini? Kalau memang Hiashi tahu, mengapa dia sampai
tega memberikan anaknya pada keluarga kerajaan Uchiha?
Ah, tapi ia tidak perlu berpikiran seperti itu lagi. Hinata menyadari
kalau kini ia telah dibuang oleh ayahnya sendiri. Berharap mendapat kehidupan
yang layak di sini, Hinata tidak tahu apa itu akan bisa terwujud. Semoga saja
hari ini adalah hari terakhir ia diperlakukan kasar seperti ini oleh orang yang
akan ia layani itu.
Sasuke begitu kelewat kasar pada ibunya, pasti telah terjadi suatu
konflik di kerajaan yang megah ini.
Dan Hinata tidak mau terlibat dalam masalah mereka…
Bersambung…